Page 4 of 11 FirstFirst 12345678 ... LastLast
Results 46 to 60 of 162
http://idgs.in/171851
  1. #46
    MimiHitam's Avatar
    Join Date
    Oct 2006
    Posts
    9,242
    Points
    16,524.95
    Thanks: 14 / 58 / 42

    Default

    Ketika mulai dekat dengan Aidit, Sjam menjalin hubungan dengan anggota ABRI. Channel nya dia sangatlah mengagumkan. Ia pernah menjadi informan Moedigdo, seorang komisari polisi. Kelak salah satu anak Mudigdo diperistri oleh Aidit. Sjam juga disebut-sebut pernah menjadi intelnya Kolonel Soewarto, direktur seskoad pad tahun 1958. Melalui cabang-cabang di daerah, Sjam berhasil mengadakan kontak-kontak tetap dengan kira-kira 250 perwira di Jawa Tengah, 200 di Jawa Timur, 80 sampai 100 di Jawa Barat, 40 hingga 50 di Jakarta, 30 - 40 di Sumatera Utara, 30 di Sumatra Barat dan 30 di Bali.

    Sjam ibarat hantu yang bisa menyusup kemana saja ia mau. Sehingga banyak orang yang yakin bahwa sesungguhnya Ia adalah agen ganda. Dia bukan cuma bekerja untuk PKI, tetapi juga bertugas sebagai spionase untuk kepentingan-kepentingan lain. Ada lagi yang meyakini bahwa Sjam adalah agen rahasia ganda untuk KGB dan CIA. Lalu ada juga yang bilang bahwa Sjam itu adalah orang sipil yang menjadi informan tentara.

    Sjam dianggap sebagai tokoh terpenting dalam peristiwa september 1965 ini yang membuat bukan saja PKI, tetapi juga kekuatan-kekuatan politik nasionalis, runtuh dalam beberapa hari seperti layaknya rumah kertas.

    Setelah G 30 S meletus dan kemudian gagal (atau didesain untuk gagal), Sjam pun menghilang.

  2. Hot Ad
  3. #47
    MimiHitam's Avatar
    Join Date
    Oct 2006
    Posts
    9,242
    Points
    16,524.95
    Thanks: 14 / 58 / 42

    Default

    Menurut Mayjen Tahir, perwira pelaksana Team Pemeriksa Pusat, Sjam ditangkap di daerah Jawa Barat sekitar akhir tahun 1965 atau awal 1966.

    Banyak orang sepakat bahwa sesungguhnya Sjam adalah tokoh kunci dalam peristiwa September 1965 tersebut. Tetapi sejauh manakah peranan yang dia mainkan ?

    Saat Bung Karno jatuh sakit, Sjam dipanggil Aidit ke rumahnya tanggal 12 Agustus 1965 dan dalam pertemuan itu, Aidit mengemukakan suatu hal yaitu " seriusnya sakit Presiden dan adanya kemungkinan Dewan Jenderal mengambil tindakan segera apabila beliau meninggal"

    Kemudian Aidit meminta Sjam untuk "meninjau kekuatan kita" dan "mempersiapkan suatu gerakan". Atas dasar instruksi tersebut maka Sjam dan rekan-rekannya dari Biro Khusus yakni Pono dan Walujo membicarakan kemungkinan ikut serta dalam "suatu gerakan", dan memutuskan untuk mendekati Kolonel Latief, Komandan Brigade Infantri I Kodam Jaya, Letkol Untung, komandan salah satu dari tiga batalyon pasukan pengawal istana Cakrabirawa di Jakarta dan Soejono dari AU, komandan pertahanan pangkalan Halim. Petunjuk inilah yang menunjukkan bahwa Sjam adalah inisiator dari gerakan yang kemudian gagal.

    Di sisi lain ada yang meragukan bahwa inisiatif itu datangnya dari Sjam. Keterangan Untung dalalm sidang pengadilannya mengatakan bahwa semua gerakan itu adalah idenya dan Kolonel Latief dan bukan ide Sjam.

    Sementara itu, eksekusi terhadap para jenderal, juga bukan atas inisiatif Sjam. Gathut Soekresno yang dihadapkan sebagai saksi atas perkara Untung pada tahun 1966, memberi petunjuk bahwa Doel Latief lebih berperan, kendati sebetulnya Mayor Udara Soejono adalah yang bertanggung jawab terhadap nasib para jenderal tersebut.

  4. #48
    MimiHitam's Avatar
    Join Date
    Oct 2006
    Posts
    9,242
    Points
    16,524.95
    Thanks: 14 / 58 / 42

    Default

    Di pengadilan, Sjam memang divonis mati. Akan tetapi, banyak mantan tahanan politik penghuni RTM (Rumah Tahanan Militer) Budi Mulia, Jakarta Pusat, meragukan apakah Sjam betul-betul dieksekusi.

    Dari para mantan tapol penghuni RTM Budi Mulia, lebih banyak yang percaya, Sjam dilepas. Ia ganti identitas dan hidup sebagaimana orang biasa, atau bahkan sudah kabur ke luar negeri. Semua itu tidak lepas dari jasanya terhadap pemerintahan Orde Baru dibawah Jenderal Soeharto.

    Beberapa pendapat yang menyatakan bahwa Sjam adalah agen ganda, memang didasarkan pada logika yang dapat diterima. Dugaan itu sesuai dengan karakteristik Sjam yang cukup cerdas dan penuh perhitungan, akan tetapi misterius. Dia tidak banyak omong. Karakteristik tokoh ini ditampakkan oleh ciri-ciri fisiknya; berkulit gelap, berambut keriting, tinggi 170 cm, sering memakai baju drill, dan ada codetan di pipi dekat mata kanannya.

    John Lumeng Kewas, Ketua Presidium GMNI tahun 1957 - 1965 dan juga wakil sekjen PNI menceritakan percakapannya yang pernah terjadi dengan Sjam bahwa dia menanyakan kepada Sjam kenapa PKI melakukan pemberontakan pada 30 September 1965. Dia dengan hati-hati mengatakan, "Bung John perlu tahu, bahwa memang PKI berniat mengkup Bung Karno". Ketika John menanyakan alasannya, kembali Sjam menjawab "Bung Karno memimpin revolusi itu secara plin-plan"

    Perlakuan istimewa petugas LP terhadap Sjam juga diakui oleh banyak orang. Sjam bisa lebih leluasa berada di luar sel dan tampak akrab berbincang-bincang dengan petugas.

    Eks Kolonel Latief mengatakan bahwa sekitar tahun 1990 Sjam Kamaruzzaman pun masih ditahan di Cipinang. Sementara hal itu bertentangan dengan cerita seorang mantan pejabat di lingkungan Depkeh RI bahwa Sjam dilepaskan pada malam hari di bulan September 1986 atas seizin Soeharto.

    Demikianlah sekelumit tentang misteri orang paling misterius dalam pemberontakan September 1965 .. Sjam Kamaruzzaman ..

  5. #49
    MimiHitam's Avatar
    Join Date
    Oct 2006
    Posts
    9,242
    Points
    16,524.95
    Thanks: 14 / 58 / 42

    Default

    Brigjen Soepardjo berasal dari Divisi Siliwangi,yang kemudian dipertautkan dengan Mayjen Soeharto pada satu garis komando. Dalam kapasitasnya sebagai Wakil Panglima Komando Mandala Siaga (KOLAGA), bulan Agustus 1965 Mayjen Soeharto disebut-sebut mengunjungi Kalimantan dan bertemu dengan Soepardjo.

    Menjelang 30 September, Brigjen Soepardjo terbang dari Kalimatan khusus ke Jakarta untuk ikut serta dalam gerakan bulan September 1965 tersebut. Dia yang melaporkan penangkapan jenderal-jenderal kepada Soekarno. Dia juga yang mendapat perintah Soekarno untuk menghentikan gerakan dan menghindari pertumpahan darah.

    Tengah hari 1 Oktober 1965, Brigjen Soepardjo membawa amanat itu pulang ke Cenko II yang bertempat di rumah Sersan Udara Anis Suyatno, kompleks Lubang Buaya. Perintah itu didiskusikan oleh para pimpinan pelaksana gerakan September 1965.

    Brigjen Soepardjo dan pasukan Diponegoro, terlibat pertempuran bersenjata melawan pasukan RPKAD yang menyerang mereka. Bersama Sjam dan Pono, Brigjen Soepardjo menyelamatkan diri ke rumah Pono di Kramat Pulo, Jakarta. Kemudian mereka menemui Sudisman di markas darurat CC PKI.

    Setelah tertangkap, Brigjen Soepardjo langsung diamankan ke RTM untuk kemudian diadili dan dijatuhi hukuman mati. Berbeda dengan Sjam yang ditempatkan di ruang VIP dalam tahanan militer, eks Brigjen Soepardjo berbaur dengan tapol lainnya. Seorang mantan tapol yang biliknya berdekatan dengan Soepardjo memberikan kesaksian, ketika esoknya akan dihukum mati, malamnya Soepardjo sempat mengumandangkan adzan. Kumandang adzan itu sempat membuat hati para sebagian penghuni penjara yang mendengarkan tersentuh dan merinding ...

    Dalam memoarnya, sebagaimana pernah gue ceritain, Oei Tjoe Tat menuliskan perihal kematian Soepardjo. Sebelum eksekusi, Soepardjo dengan sangat gentle ambil bagian dalam "perjamuan terakhir" yang dihadiri oleh keluarganya dan petugas militer. Pada waktu makan bersama pada perjamuan tersebut, Soepardjo memohon pada petugas penjara agar diperbolehkan berpidato. Salah satu isinya: "Kalau saya malam nanti menemui ajal saya, ajal saudara-saudara tak diketahui kapan. Itu perbedaan saya dari kalian." Kemudian ia minta diperkenankan menyanyi lagu kebangsaan Indonesia Raya.

    Tiga hari sebelum eksekusi, familinya datang membesuk. Supardjo memberikan kenang-kenangan berupa sepasang sepatu buat istrinya. Makanannya yang terakhir sebelum dieksekusi, dibagikan kepada orang lain.

  6. #50
    MimiHitam's Avatar
    Join Date
    Oct 2006
    Posts
    9,242
    Points
    16,524.95
    Thanks: 14 / 58 / 42

    Default

    Oei Tjoe Tat mendikotomikan karakter Supardjo dengan sosok Sjam. Dua tokoh utama gerakan September 1965 - yang satu Sjam, sipil, orang pertama Biro Khusus yang kabarnya perancang dan pelaksana; yang lain Jenderal Supardjo, ujung tombak militernya - menampakkan sikap yang berbeda ketika harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

    Jenderal Pardjo selama dalam tahanan di RTM mendapat simpati, baik dari para petugas maupun dari para tahanan karena sikapnya. Ia tidak mau diutamakan lebih dari yang lain, hanya karena ia seorang Jenderal. Bila menerima kiriman makanan, ia selalu membagi-bagikan kepada para tapol lain yang melintas di depan selnya. Oei Tjoe Tat melukiskannya dengan kata-kata: "Sangat mengesankan, jantan, benar-benar bermutu jenderal, namun tetap sopan, ramah terhadap siapa pun".

    Menurut penggambaran Oei Tjoe Tat, Supardjo merupakan orang yang loyal terhadap Presiden. Tapi mengapa Supardjo ikut serta dalam gerakan September 1965 yang mendemisionerkan kabinet dan tidak mencantumkan nama Soekarno dalam daftar 45 orang anggota Dewan Revolusi? Memang, ada kemungkinan, Supardjo dijerumuskan (entah oleh siapa), sehingga ambil bagian dalam gerakan tersebut.

    Satu kemungkinan, yang menjerumuskan Supardjo dalam hal itu adalah Sjam. Kemungkinan lain sebagaimana dituturkan oleh Siregar, "Supardjo sekalipun kemudian dibunuh juga oleh Soeharto menyusul hancurnya Gerakan 30 September 1965, tadinya bukan tidak mungkin adalah juga anggota dari kubu Soeharto. Perekrutan atas Supardjo mungkin sekali ketika ia menjadi Wakil Panglima KOSTRAD dan ketika kampanye Ganyang Malaysia dimana Soepardjo menjadi Panglima Komando Tempur Kalimantan dibawah KOLAGA yang dikepala-staffi oleh Soeharto"

  7. #51
    MimiHitam's Avatar
    Join Date
    Oct 2006
    Posts
    9,242
    Points
    16,524.95
    Thanks: 14 / 58 / 42

    Default

    Akhir petualangan Lettu Doel Arif pun tak jelas. Sebagai komandan Pasukan Pasopati yang menjadi operator G 30 S, ia adalah tokoh kunci. Ia bertanggung jawab terhadap operasi penculikan jenderal-jenderal pimpinan AD. Tapi Doel Arief, yang ditangani langsung oleh Ali Moertopo, hilang bak ditelan bumi. Bentuk hukuman apa yang diberikan Ali Moertopo bagi Doel Arief? Mungkin saja ia langsung di-dor, seperti halnya DN. Aidit oleh Kolonel Yasir Hadibroto. Atau, bukan tidak mungkin, ketidakjelasan Doel Arief lebih mirip dengan misteri tentang Sjam Kamaruzzaman.

    Kalau dilihat secara holistik **dengan asumsi bahwa G 30 S betul-betul merupakan skenario kudeta** peran Doel Arief tidak begitu penting. Setidaknya, ia hanyalah pion yang dimainkan para elit diatasnya. Perannya hanya sebagai pelaksana untuk menculik para jenderal. Namun kalau diasumsikan bhw G 30 S merupakan skenario jenial untuk menabrakkan PKI dan AD guna memunculkan konstelasi politik baru di Indonesia, maka Lettu Doel Arief adalah key person, seperti halnya Sjam.

  8. #52
    MimiHitam's Avatar
    Join Date
    Oct 2006
    Posts
    9,242
    Points
    16,524.95
    Thanks: 14 / 58 / 42

    Default

    Dalam sebuah operasi intelijen, antara operator dan pengguna (desainer gerakan), tak ada struktur komando langsung. Yang ada hanyalah pivot atau penghubung secara tidak langsung, yang biasanya dimainkan oleh beberapa aktor kunci. Kalau Sjam dianggap sebagai desainer G 30 S, dan Untung adalah pelaksana - maka tesis yang muncul adalah; Doel Arief sebagai pivot. Dalam istilah intelijen, ia adalah faktor cut - disadari atau tidak disadari oleh Doel Arief sendiri. Kalau operasi intelijen, ternyata gagal, faktor cut memang harus di-cut artinya di dor! agar tidak meninggalkan jejak.

    Berdasarkan atas asumsi diatas, dapat disusun rekonstruksi sebagai berikut. Sjam mendisain gerakan yang dirancang untuk dilakukan Untung. Namun, ada pihak ketiga yang memanfaatkan Lettu Doel Arief untuk mengacaukan gerakan. Cara kerjanya mirip dengan virus komputer yang dirancang untuk mengacaukan program/sistem. Kalau semula tidak ada perintah bunuh terhadap para jenderal, tetapi oleh Doel Arief (selaku komandan Pasukan Pasopati), diberikan instruksi "tangkap hidup atau mati". Akhirnya gerakan menjadi kacau balau.

  9. #53
    MimiHitam's Avatar
    Join Date
    Oct 2006
    Posts
    9,242
    Points
    16,524.95
    Thanks: 14 / 58 / 42

    Default

    Betulkah eks Lettu Doel Arief merupakan faktor cut yang dimanfaatkan oleh pihak ketiga ? lalu, siapakah pihak ketiga itu ? Soeharto-kah ?

    Sulit untuk menyimpulkan. Perkembangan yang terjadi sungguh-sungguh rumit. Lettu Doel Arief bergabung bersama Pelda Djahurub dalam operasi di rumah Nasution. Tetapi ternyata operasi itu gagal. Nasution lolos. Bahkan Pierre Tendean dan Karel Sasuit Tubun (pengawal di rumah Leimena) menjadi korban. Operasi penculikan di rumah Nasution itu sendiri sama sekali tidak elegan. Sebab dari awal sudah memancing keributan; yang berarti membuka kemungkinan untuk gagal.

    Menurut keterangan yang diperoleh dari pengadilan Gathut Soekresn, sebetulnya diperoleh petunjuk tentang Doel Arief. Ketika ditanya Hakim apa tindakan yang diambil Gathut (selalu petugas pengamanan basis di Halim, di bawah komando Mayor Soedjono) setelah jenderal-jenderal itu dibawa ke Lubang Buaya, Gathut menjawab:
    "Doel Arief memaksa meminta saya supaya dibereskan saja. Saya tidak tahu apa yang harus saya perbuat, kemudian saya menulis surat kepada Mas Jono (maksudnya, Mayor Udara Soedjono), yang disampaikan per kurir yang bunyinya ialah bagaimana mengenai para jenderal yang sudah ada di Lubang Buaya, terutama yang masih hidup. Oleh karena waktu itu kami dalam keadaan gugup, maka kami suruhkan kurir untuk membawa surat sampai kedua kali untuk minta keputusan Mas Jono, yang pada waktu itu berada di PENAS (gedung penas). Lagipula oleh karena Saudara Doel Arief waktu itu mengulangi lagi permintaannya, memaksa-maksa dan membentak-bentak, maka kami jawab kami belum mengerti bagaimana saya harus perbuat, karena ketentuan harus datang dari Mas Jono.
    ....."

  10. #54
    MimiHitam's Avatar
    Join Date
    Oct 2006
    Posts
    9,242
    Points
    16,524.95
    Thanks: 14 / 58 / 42

    Default

    ... Kemudian ada orang datang membawa balasan yang ditulis di balik surat kami, yang mana maksudnya supaya para jenderal itu diselesaikan, dibereskan artinya ditembak mati.

    ... Kemudian karena saya sendiri tidak mempunyai niat semacam itu, maka hal itu tidak dapat kami lakukan sendiri, maka kami perintahkan kepada Serma Marsudi, anak buah langsung dari Mayor Soejono, untuk melaksanakan perintah itu."

    Analisis yang lain: Sjam-lah yang merupakan faktor cut. Berdasarkan pengakuan Kolonel Latief, bahwa ada hal-hal yang diluar perencanaan, tak sulit diduga bahwa Sjam memainkan kartu penting. Menurut Latief, sebenernya dalam perundingan, tidak ada rencana pembunuhan terhadap para jenderal.

  11. #55
    MimiHitam's Avatar
    Join Date
    Oct 2006
    Posts
    9,242
    Points
    16,524.95
    Thanks: 14 / 58 / 42

    Default

    "Mula-mula kita sepakati para jenderal itu dihadapkan kepada Presiden / Panglima Tertinggi Bung Karno di Istana. Pelaksanaannya oleh Resimen Cakrabirawa yang dikomandoi Letkol Untung. Komando pelaksananya Letnan Doel Arief. Tanpa sepengetahuan Brigjen Supardjo dan saya sendiri, Sdr. Sjam ikut Letkol Untung. Kami baru tahu setelah selesai pelaksanaan atas laporan Letnan Doel Arief. Saya dan Brigjen Supardjo kaget. "Kenapa sampai mati?" tanya Pak Pardjo. Letnan Doel Arief menjawab bahwa Sjam menginstruksikan bahwa bila mengalami kesulitan menghadapi para jenderal, diambil saja hidup atau mati. Mereka melaksanakan perintah Sjam karena tahu bahwa Sjam duduk dalam pimpinan intel Cakrabirawa."

  12. #56
    MimiHitam's Avatar
    Join Date
    Oct 2006
    Posts
    9,242
    Points
    16,524.95
    Thanks: 14 / 58 / 42

    Default

    Kesaksian Keluarga Korban

    Penculikan dan pembunuhan para jenderal tentu saja amat membekas di benak keluarganya. Khususnya mereka yang langsung menyaksikan segerombolan tentara, dengan perilaku kasar, menggelandang ayah atau suami mereka. Apalagi bagi keluarga jenderal yang ditembak di rumah sendiri.

    Peristiwa tragis itu dialami oleh Untung Mufreni Achmad Yani, anak ketujuh dari delapan bersaudara putra Letjen A. Yani. Ketika itu usianya masih 11 tahun. Dialah yang terbangun malam itu, dan menyaksikan ayahnya ditembak. Adiknya, Eddy, saat itu berusia 7 tahun, membangunkan ayahnya karena diminta oleh salah seorang anggota Pasukan Cakrabirawa.

    "Karena ada ribut-ribut saya terbangun. Di rumah itu kan ada semacam bar. Saya disitu saja. Waktu itu terjadi perselisihan atau pertengkaran. Tapi, Bapak itu sepertinya disuruh cepat-cepat menghadap Presiden. Bapak mau ganti baju dulu. Waktu itu Ia pakai piyama agak biru. Tentara itu bilang, tidak usah karena harus segera. Bapak memukul salah seorang Cakrabirawa. "Kamu prajurit tahu apa," kata Bapak yang lalu membalikkan badan menutup pintu kamar. Waktu itulah Bapak ditembak."

    "Lalu jenazah Bapak diseret keluar, kami mencoba mengejar dari belakang. Waktu sampai di pintu belakang, ada satu Cakrabirawa yang menghadap ke arah kami. Dia mencegah dan mengancam kami, kalau sampai keluar akan ditembak . Kami tidak jadi keluar. Akhirnya, kami cuma menangis. Kami akhirnya hanya mengintip dari jendela. Jenazah Bapak diseret - seret sampai depan. Sesudah itu kami tidak tahu lagi. Mau coba telpon, kabelnya diputus."

    Tak berapa lama kemudian Ibu datang dengan beberapa pengawal pribadi Bapak. Begitu Ibu masuk dan melihat darah bekas seretan, Ibu menangis . Masuklah Ibu ke dalam, dekat meja makan dan melihat darah disitu. Lalu beliau ambil baju Bapak yang terakhir malam itu dipakai. Darah itu dipel dengan baju itu, lalu baju itu dilap ke muka Ibu . Baju itu lalu dibungkus, Ibu bawa baju itu kemana-mana, tidur pun dibawa.

  13. #57
    MimiHitam's Avatar
    Join Date
    Oct 2006
    Posts
    9,242
    Points
    16,524.95
    Thanks: 14 / 58 / 42

    Default

    Rianto Nurhadi, anak ke 3 dari lima bersaudara putra Mayjen Mas Tirtodarmo Haryono, saat itu baru berusia sembilan tahun. Ia tahu benar bahwa bapaknya ditembak oleh pasukan Cakrabirawa yang dipimpin Boengkoes.

    "Malam itu ayah, ibu dan adik saya (berumur 5 tahun) tidur bertiga. Di kamar tengah, saya dan adik saya. Saya tidur di kasur bagian atas (tempat tidur bertingkat). Jadi saya melihat peristiwa itu. Ketika Ibu membangunkan adik dalam keadaan panik kemudian lari ke kamar depan tempat dua kakak saya yang lain tidur, kemudian Ibu mengunci kamar depan sehingga hubungan dengan kamar tengah terkunci, saya tertinggal di kasur atas."

    "Saya terbangun karena banyak reruntuhan tembok yang jatuh ke badan saya. Rupanya mereka juga menembak dari samping. Saya lihat diatas dan ditembok samping saya banyak bekas tembakan."

    "Saya langsung turun kebawah dengan kaget dan lari ke kamar ayah saya. Disitu saya melihat Ayah saya masih hidup sementara pintu sudah maulai ditembaki. Dia menyuruh saya untuk berlari lagi ke kamar sebelah dan saya menurutinya."

    "Cuma kejadian ditembaknya aya saya tidak melihat. Yang saya lihat, pintu ditembaki karena saya keburu lari menuruti perintah ayah. Rasanya saat itu ayah belum kena peluru karena orang-orang masih menembaki dari luar kamar."

    "Keadaan kamar waktu itu sangat gelap karena lampu dimatikan. Mereka menembak membabi buta, mereka membakar koran dan korannya ditaruh dibawah kasur. Jadi rumah kami pun hampir terbakar karena kasur ayah pun sudah terbakar."

    "Ibu syok. Kami ingat sekali, setelah kejadian tersebut, kami anak-anaknya merubung ibu yang saat itu sedang mengepel darah ayah saya dan dimasukkan ke ember sambil menangis . Mulai dari kamar ayah, beliau terus mengepel sampai ke pintu luar. Kami mengikuti beliau sambil menangis .

  14. #58
    MimiHitam's Avatar
    Join Date
    Oct 2006
    Posts
    9,242
    Points
    16,524.95
    Thanks: 14 / 58 / 42

    Default

    Pierre Tendean
    Nyonya Mitzi F. Tendean, pada tahun 1966-1967 mencari tahu apa yang terjadi pada adiknya, Lettu Pierre Andreas Tendean, ajudan Jenderal Nasution, yang pada tanggal 30 September 1965 diculik oleh Pasukan Cakrabirawa karena dikira Jenderal Nasution.

    Nyonya Mitzi mengumpulkan berbagai dokumentasi pers, foto, tulisan arsip proses verbal para pelaku di markas CPM di Gambir. Dia juga mengikuti semua persidangan mahkamah militer dan mahkamah militer luar biasa., serta melakukan wawancara singkat dengan 14 anggota Gerwani yang dianggap terlibat penganiayaan seksual terhadap adiknya.

    "Usaha saya mengumpulkan fakta seputar kematian adik saya berawal dari ketidakpuasan saya pribadi. Saya sangat tidak percaya terhadap segala cerita penganiayaan di Lubang Buaya, 30 September 1965. Saya pikir itu hanya laporan wartawan."

    "Ketika saya bertemu dengan Dokter Roebiono Kertapati, Kepala Tim Pemeriksa Mayat Pahlawan Revolusi, saya mendesak dia menceritakan kondisi mayat adik saya yang sebenernya. Dokter itu tidak bersedia. Alasannya, ia terikat sumpah. "Hanya dua orang yang berhak mengetahui hasil visum, Presiden Soekarno dan Mayor Jenderal Soeharto," kata Roebiono. Roebiono cuma menyimpulkan, perlakuan terhadap para korban, termasuk Pierre, "melebihi binatang".

    Mendengar itu, saya semakin tergerak untuk mencari tahu sendiri.

  15. #59
    MimiHitam's Avatar
    Join Date
    Oct 2006
    Posts
    9,242
    Points
    16,524.95
    Thanks: 14 / 58 / 42

    Default

    "saya meminta izin ke Direktur Zeni Angkatan Darat Mayor Jenderal Deni Kadarsan (almarhum), untuk melihat lokasi di Lubang Buaya. Tanggal 2 Januari 1966, kami dikawal melewati jalan Pondok Gede. Waktu itu, situasi sangat mencekam, tidak diketahui siapa kawan, siapa lawan. Saya, Ibu Nasution dan Pak Deni Kadarsan datang ke Lubang Buaya, melihat sumur berkedalaman 12 meter dan berdiameter 75 sentimeter itu. Disampingnya ada pohon durian. Kemudian ada rumah yang persis berada di samping sumur. Itu rumah seorang guru yang istrinya anggota Gerwani. Saya menemui istrinya ketika berkunjung ke Penjara Bukit Duri. Rumah yang ada disampingnya sudah agak reot, yang dibelakangnya ada kolam kecil. Daerahnya sangat rindang, banyak pohon karet dan durian.

    "Hal yang sangat membuat saya dan keluarga kami sakit hati; di Lubang Buaya sudah jelas ketahuan bahwa Pierre bukan Jenderal Nasution. Tapi, dia tetap disiksa dan dibunuh."

    "Tim Cakrabirawa yang datang ke rumah Pak Nas di Jalan Teuku Umar adalah Pelda Djahurub. Sampai sekarang, orang itu belum tertangkap. Demikian juga Letnan Doel Arief. Dari pengakuan mereka yang tertangkap dan diajukan ke persidangan, fakta soal Pierre sudah jelas."

    "Pierre ditangkap, lalu dimasukkan ke satu ruang yang disebut dalam pengakuan mereka ruang piket, disatukan dengan tiga jenderal yang masih hidup -- yakni Jenderal Sutojo, Jenderal Parman dan Jenderal Prapto. Mereka berempat mengalami penyiksaan yang sungguh berat. Bahkan, harus menyaksikan dulu penyiksaan yang lain."

    "Dari kesaksian mereka di persidangan terungkap, mereka semua berkumpul di Gedung Penas sebelum korban-korban dieksekusi. Gedung itu kan masih berada di kompleks Halim juga. Yang ada di gedung itu Doel Arief, Gathut Sukresno dan Soejono."

    "Mayor Udara Gathut Sukresno sebagai penganiaya adik saya pada persidangan militer menyatakan sudah meragukan identitas Pierre. Dia bilang, Pierre yang masih muda sudah jelas bukan Jenderal Nasution. Tapi, karena sudah terlalu berat penyiksaannya, terutama soal luka menganga di kepalanya, ia sudah tidak mampu bertahan."

    "Gatot menyatakan Pierre sudah diserahkan ke kelompok Gerwani, yang katanya sudah diberi obat perangsang dan memang dilatih untuk melakukan penganiayaan seksual. Merek datang tidak mendadak dan sudah dilatih cukup lama. Malah, ada yang sudah lebih enam bulan (di Lubang Buaya)."

    "Saya menemui Pak Harto dan akhirnya mendapatkan izin khusus masuk Rumah Tahanan Khusus Salemba dan Bukit Duri dengan surat kuasa dari Penguasa Pelaksana Daerah Jakarta Raya dan sekitarnya. Surat itu mulai berlaku 6 April 1967 sampai Juni 1967. Ada catatan di surat itu, saya harus didampingi petugas teperda (team pemeriksa daerah)."

    "Dua hari berturut-turut, saya datang ke Bukit Duri. Satu per satu, saya tanyai 14 anggota Gerwani itu berdasarkan data, proses verbal yang saya pinjam dari markas besar Polisi Militer."

    Berikut cuplikan dari delapan lembar kertas catatan hasil pertemuan Mitzi dengan para anggota Gerwani yang dipenjara di Bukit Duri ...

  16. #60
    MimiHitam's Avatar
    Join Date
    Oct 2006
    Posts
    9,242
    Points
    16,524.95
    Thanks: 14 / 58 / 42

    Default

    1. Atikah 'Djamilah'
    di dalam PV disebutkan datang ke Lubang Buaya pada 28 September hingga 02 Oktober 1965. Ia anggota Pemuda Rakyat Tanjung Priok, dengan pelatih Soejono. Ketika ditemui, Jamilah, yang menurut teman-temannya memimpin kelompok kecil Gerwani yang menganiaya Pierre, tak mau bicara dan menyatakan 'tak tahu' berkali-kali. Sorot matanya tajam dan menusuk tak dapat saya lupakan. Sosok Djamilah bertubuh tegap, kulit sawo matang, wajah tipe Arab, hidung mancung.

    2. Eni bint Madah
    Adalah wanita tuna susila. Menurut PV, ia tertangkap di Tangerang pada 30 Oktober 1965. Dia tiba di Lubang Buaya pada 30 September 1965 pukul 22.00. Keesokan paginya, ia diperintahkan menari-nari setengah telanjang mengelilingi ruang piket sambil bernyanyi dan melukai tawanan. Dia mengetahui di dalam sumur sudah ada dua orang. Ia mengaku ikut memasukkan Sutoyo, Soeprapto, Parman dan Pierre. Sebelumnya, bersama Isah dan Tati ia menari-nari mengelilingi Pierre. Dia melihat dengan mata kepala sendiri penganiayaan, pemotongan alat vital Pierre oleh Jamilah. Eni mengaku juga disuruh mengiris-iris Jenderal Parman, Pierre dan Soeprapto. Djamilah mencungkil mata Parman, Tati menusuk punggungnya. Semua korban diperlakukan begitu dalam keadaan masih hidup.

Page 4 of 11 FirstFirst 12345678 ... LastLast

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •