Page 7 of 8 FirstFirst ... 345678 LastLast
Results 91 to 105 of 113
http://idgs.in/424444
  1. #91
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    Ngga se mengecewakan itu juga sih
    cuma bagi gue yang kebanyakan baca komik berantem jadi gitu deh
    masih detail juga, bagus penggambaran aksinya bisa kebayang dengan jelas.

    err,,
    Spoiler untuk ... :
    ngga ada planning bikin Sakuya-chan sama Freya beraksi bareng gituh?
    si Sakuya-chan ceritanya bisa ngendaliin roh2 dan sejenisnya
    wuahooy

    FACEBOOK | TWITTER | Melon's Blog
    I am a melon - MelonMelon

  2. Hot Ad
  3. #92
    -Barathrum-'s Avatar
    Join Date
    May 2012
    Location
    Di hatimu
    Posts
    774
    Points
    4.66
    Thanks: 20 / 14 / 10

    Default

    download dulu ahh . ..

    mau ane baca .... sepertinya good story dan menarik untuk di baca

    trims bro . . .

  4. #93
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Quote Originally Posted by MelonMelon View Post
    Ngga se mengecewakan itu juga sih
    cuma bagi gue yang kebanyakan baca komik berantem jadi gitu deh
    masih detail juga, bagus penggambaran aksinya bisa kebayang dengan jelas.

    err,,
    Spoiler untuk ... :
    ngga ada planning bikin Sakuya-chan sama Freya beraksi bareng gituh?
    si Sakuya-chan ceritanya bisa ngendaliin roh2 dan sejenisnya
    wuahooy
    mustinya final blownya si Friedrich tereak "Demi Teutonium!!",
    terus Daleth nya ngomong.. "Demi...!! Eh, demi apa ya? Demi Resha?"

    terus TRANGGGGGG duar bler bler bler



    Spoiler untuk ... :

    nggak ada, Sakuya-chan selesai di Gift of Life to Azrael Phase 6

    tapi entar Freya sama Azrael bakal satu sekolah kok di cerita berikutnya

    terus satu skul sama anak gw, nah pas kelas 2 SMA nya masuk OSIS bareng

    pokoknya bakal gokil, ngikut style nulis lu kayaknya, santai bin ajaib


    Quote Originally Posted by -Barathrum- View Post
    download dulu ahh . ..

    mau ane baca .... sepertinya good story dan menarik untuk di baca

    trims bro . . .
    kok donlot bisa dibaca langsung kok

    tapi inget !!

    dilarang copas total isi cerita ini ke tempat laen !! cuma boleh kasih link ke forum ini


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  5. #94
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    Quote Originally Posted by LunarCrusade View Post
    mustinya final blownya si Friedrich tereak "Demi Teutonium!!",
    terus Daleth nya ngomong.. "Demi...!! Eh, demi apa ya? Demi Resha?"

    terus TRANGGGGGG duar bler bler bler




    nggak ada, Sakuya-chan selesai di Gift of Life to Azrael Phase 6

    tapi entar Freya sama Azrael bakal satu sekolah kok di cerita berikutnya

    terus satu skul sama anak gw, nah pas kelas 2 SMA nya masuk OSIS bareng

    pokoknya bakal gokil, ngikut style nulis lu kayaknya, santai bin ajaib
    Itu kayaknya lebih manteb
    biar tense yang udah dibangun bisa lebih selesai dengan indah gitu lho

    bold: harus gue umbar demi kepentingan bangsa dan negara
    jadi...Azrael masuk sekolah...berhubung dia di Seihou, berarti.....SAILOR UNIFORM!?!
    Tapi kok udah bisa jadi perawat masih masuk sekolah lagi? SMA pula
    tapi gapapa deh, yang penting gahul

    woakwokakowkoakow

    eh...kayak gue gitu? jadi..
    Spoiler untuk ... :
    Cirno: Azrael, besok ulangan lu mau nyontek?
    Azrael: Ngga, ntar sensei gue todong pake M4A1 aja biar ngga jadi ulangan
    Cirno: ....Papa, gue diajarin bejat

    ........

    FACEBOOK | TWITTER | Melon's Blog
    I am a melon - MelonMelon

  6. #95
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Spoiler untuk Chapter 27 :


    =============================================
    Chapter 27: Heart Vibration ~ Tectonic Dislocation (Part 2)
    =============================================




    “Hyaaa!!”

    Suara itu membangunkanku yang masih dalam kondisi transien. Ternyata aku tidak sengaja tertidur saat tengah malam.

    “Resha? Resha?!”

    “Err…t-tidak apa-apa, hanya ada cicak jatuh. Maaf kalau membangunkanmu.”

    “Syukurlah. Kukira kamu tertimpa atau semacamnya.”

    “Ehehe…iya, maaf. Kamu sempat tidur tadi malam?”

    “Ya, walau sepertinya hanya sebentar. Mungkin lembutnya tanganmu itulah yang membuatku terlelap.”, jawabku sambil tersenyum, yang dilihatnya melalui celah kecil itu.

    “Pagi-pagi begini sudah menggombal…”, jawabnya ketus.

    “Ayolah…setidaknya itu bisa mengurangi rasa tertekan karena tidak bisa keluar dari sini.”



    Kuamati ke atas, melalui celah kecil di antara reruntuhan di atasku, warna langit sudah berubah menjadi biru. Sekitarku juga terasa lebih hangat dibanding tadi malam. Suara-suara manusia yang sayup-sayup masih terdengar, dan sekarang aku juga bisa mendapati suara sirene, yang sepertinya polisi atau ambulans. Aku ingin berteriak minta tolong sekeras-kerasnya, namun sepertinya suaraku tidak akan mencapai mereka…

    “Resha, apa kamu tidak sempat mendengar suara orang mendekat tadi malam?”

    “Tidak, Daleth. Semuanya masih terdengar jauh seperti sekarang ini. Uh…memikirkannya aku jadi lapar…”

    Benar juga. Sejak malam, aku dan Resha belum makan apapun. Tapi apa yang bisa dimakan di tengah reruntuhan begini? Batu? Kayu? Cicak mentah? Kecoa hidup??

    “Jangan memikirkan hal itu dulu. Bersabarlah.”

    “Tapi makanku tergolong banyak…wajar saja kalau aku lapar.”

    “Iya, aku juga tahu. Begitu kita keluar, aku akan masak yang enak untukmu.”, kueratkan genggamanku padanya.

    “Itu malah membuatku tambah laparrrr…!! Kamu ini bagaimana sih…”, tanganya menarik tangan kiriku.

    “Ahaha…maaf, maaf. Mungkin bukan saatnya membicarakan hal itu sekarang. Tapi kalau tidak bicara apapun pasti akan bosan juga nantinya…”

    “Ada benarnya juga sih. Tapi kita harus menghemat energi sebanyak mungkin. Apalagi tidak ada air, tidak ada makanan.”

    “Oke, kali ini aku setuju. Yang jelas selama aku masih bisa merasakan kehangatan tanganmu, aku tidak akan khawatir.”

    “Masih juga menggombal…”, ujarnya ketus.

    “Bukan begitu. Setidaknya aku tahu kalau kamu masih hidup jika suhu tanganmu tidak turun. Masuk akal kan?”

    “Sekarang malah kamu tidak romantis…”, lagi-lagi dia menjawab dengan cara yang sama.

    Bah, perempuan memang membingungkan.



    Beberapa kali getaran lemah terasa, mungkin belasan kali sejak aku terbangun. Pastilah itu semua gempa susulan. Meski hal itu wajar terjadi setelah sebuah gempa hebat, kuharap nanti tidak ada gempa susulan yang terlalu besar untuk menjatuhkan reruntuhan di atasku.

    Waktu terasa berjalan begitu lambat. Entah sudah berapa lama aku hanya memandang ke celah kecil di atas, di antara reruntuhan. Lebar celah itu kurang lebih sekitar 1 meter. Biru…sesekali putih, awan. Ujung celah itu mungkin jaraknya sekitar 4 meter dari sini. 2 meter hingga ke batas reruntuhan yang membentuk kubah tempatku terbaring sekarang, dan 2 meter lagi hingga ke batas permukaan. Bebatuan, kayu, dan pecahan genteng. Hanya itu yang bisa kulihat selain langit yang begitu jauh di atas sana. Seandainya kakiku tidak cedera, pastilah aku sudah berusaha membebaskan Resha dan naik melalui celah itu.

    Sesekali aku juga menengok ke arah Resha. Pagi tadi, wajahnya masih terlihat segar. Mungkin dia sempat tertidur tadi malam, sehingga energi tubuhnya tidak terbuang percuma. Namun…lama kelamaan bibirnya berubah pucat. Aku juga merasa bibir dan tenggorokanku mulai kering. Aku dan Resha membutuhkan air sesegera mungkin. Jika dibiarkan lebih lama, kami akan mengalami dehidrasi. Tapi dari mana…?

    “Resha, kamu haus?”

    “Mmm…sedikit. Terasa agak kering di sini.”, jawabnya dengan tangan kiri yang memegang bagian depan leher.

    Mendengar jawabannya, mataku langsung bergerak mencari ke seluruh ruangan berbentuk kubah ini, mencari apapun yang bisa diminum. Kiri, kanan, tidak ada. Langit-langit reruntuhan, tidak ada juga. Kucoba duduk ---meski menahan sakit di bagian kaki akibat terjepit---, lalu menengok ke belakang. Nihil. Tidak ada tanda-tanda setetes airpun. Tapi…aku tidak tega melihat Resha kehausan. Apalagi air adalah salah satu kebutuhan manusia yang esensial. Lagipula tidak masalah jika tidak mendapat makanan selama berhari-hari selama masih ada air. Seorang manusia dapat bertahan hidup lebih lama tanpa makanan dibanding tanpa air, setidaknya itulah fakta yang pernah diteliti. Hmm…bagaimana kalau…

    “Resha, maaf, aku akan melepaskan genggamanku sesaat.”, kutarik tangan kiriku yang sejak kemarin memegang tangan kanannya.

    “H-Hei, apa yang akan kamu laku---“

    Kubersihkan beberapa bebatuan berukuran kecil hingga sedang di dekat kaki dengan kedua tanganku. Kemudian, dengan sisa-sisa tenaga yang kupunya, aku mulai menarik kakiku dari antara reruntuhan. Satu…dua---

    Sakit, sangat sakit. Rasa sakitnya membuat aliran listrik dalam otakku serasa terhenti sesaat. Untung saja aku tidak pingsan karena rasa sakitnya yang luar biasa itu. Aku juga merasa tenggorokanku menjadi jauh lebih kering setelah berteriak kesakitan. Ada memar yang cukup besar di kedua kaki ---tepatnya di tulang kering---, dapat terlihat di antara sobekan celana panjangku. Sepertinya benar, keduanya mengalami patah tulang.

    “Daleth?! Daleth!! Apa yang terjadi padamu?!”, serunya dengan panik.

    Tentu saja Resha tidak mengetahui apa yang kulakukan, karena celah yang terdapat pada reruntuhan yang membatasi kami berdua tidak memungkinkan dirinya untuk bisa melihat ke sini. Ini juga berarti satu hal, pergerakanku akan lebih bebas. Dengan begini aku bisa mencari di tempat-tempat yang tidak bisa kujangkau karena kaki terjepit.

    “Daleth, kumohon…jawablah…”, suara Resha terdengar hampir menangis.

    “Hei Resha, tenanglah. Aku hanya berusaha mengeluarkan kakiku yang terjepit reruntuhan.”, jawabku sambil menengok ke celah di antara kami berdua.

    “Kamu masih bisa santai setelah berteriak kesakitan seperti tadi?!”, ujarnya sambil melemparku dengan batu kecil melalui celah itu. “Tolonglah…setidaknya beritahukan terlebih dahulu apa yang akan kamu lakukan…”

    “Ng…maaf. Aku hanya berpikir kalau melepaskan diri, akan lebih mudah mencari sesuatu di sini.”

    Dia tidak menjawab. Sudahlah, lebih baik aku mulai mencari.



    Getaran, lagi. Tergolong lemah.

    Butiran-butiran pasir yang jatuh karena getaran tadi sedikit mengotori rambutku ketika mulai duduk. Dimensi ruangan ini juga terasa lebih sempit setelah membuat posisi vertebraku tegak, karena jarak dengan batas reruntuhan di atasku memendek. Di sebelah kiriku ada puing-puing yang membatasi diriku dan Resha, sementara di sebelah kananku lebih luas, mungkin sekitar 2,5 meter jauhnya hingga pojok reruntuhan di sebelah sana.

    Sambil menyeret kaki dengan hati-hati ---yang tidak bisa kugunakan karena patah tulang---, mataku terus memindai dengan teliti ruang sempit ini. Cukup sulit. Permukaan puing yang tidak rata membuatku tidak bisa bergerak dengan cepat. Beberapa kali aku juga harus menutup bibirku erat-erat, agar suaraku saat menahan sakit tidak terdengar. Permukaan reruntuhan yang tidak rata ini membuat lokasi patah tulang menjadi sering terbentur.

    Pergerakanku terhenti setelah hampir 2 meter karena langit-langit reruntuhannya menyempit, membuatku tidak bisa masuk lebih dalam. Tapi setidaknya tanganku masih bisa meraih ke dalam. Kutelungkupkan tubuhku hingga thorax dan abdomennya dapat merasakan permukaan reruntuhan, lalu mengulurkan tangan kanan ke sisa ruang. Sayang sekali aku tidak dapat melihat apapun karena gelapnya bagian ruang tersebut.

    Beberapa saat tangan kananku meraba-raba permukaannya…sial, tanganku tertancap sesuatu. Refleks, kutarik tanganku. Ternyata itu adalah potongan kayu. Panjangnya kira-kira sepanjang jempolku dengan diameter sedikit lebih besar dari paku beton, tertancap menembus telapak tangan. Ingin kutarik potongan kayu itu, tetapi jika aku berteriak kesakitan sekali lagi pastilah Resha akan kembali khawatir. Aku juga tidak ingin terlalu menghabiskan tenagaku. Namun jika tidak kucabut, kemungkinan infeksi menjadi lebih besar. Baiklah, kalau begitu…

    Dengan tangan kiri, kusobek lengan baju sebelah kananku. Kupilin, lalu mengigitnya erat-erat. Semuanya untuk mencegah agar suaraku tidak keluar saat aku menarik potongan kayu ini. Kupegang erat-erat kayu tersebut dengan tangan kiri. Satu…dua…

    ARGH.

    Untunglah suaraku tidak keluar dengan keras. Hal itu dapat kuketahui dari Resha yang tidak merespon sama sekali.

    Perlahan, permukaan tanah di depanku berubah warna menjadi lebih gelap akibat hemoglobin. Selama beberapa detik darah terus mengalir. Aku belum mau mati kehabisan darah sekarang, jadi kuikat erat-erat tanganku, sedikit di atas pergelangan. Tentu saja dengan potongan bajuku yang tadi. Cukup sulit mengikat dengan satu tangan, namun akhirnya berhasil juga. Aku harus lebih hati-hati nantinya agar tidak terjadi lagi yang seperti ini.

    Satu hal yang jelas, tidak ada air di sini.



    “Maaf, Resha. Sepertinya aku tidak bisa menemukan air.”, kataku sambil kembali berbaring di dekat celah reruntuhan, di satu-satunya tempat dimana aku bisa memandang wajahnya.

    “Hmm…di tempatku juga tidak ada. Ya sudah, tidak apa-apa.”

    Tangan kiriku menggali di antara bebatuan, mencari titik dimana aku bisa memegang tangan Resha seperti yang kulakukan sejak kemarin. Untung saja, titik tersebut tidak tertutup puing. Kembali kuselipkan tanganku ke celah itu. Hanya perlu 1 detik sampai aku bisa merasakan genggamannya.

    “Kakimu…sudah tidak apa-apa?”

    “Aku bohong jika mengatakan kalau sudah tidak terasa sakit. Tapi…mau bagaimana lagi. Rasa sakit ini harus kutahan.”

    “Mmm…baiklah, aku tidak akan bertanya lagi soal itu. Aku tahu kamu sudah berusaha sebisamu.”

    Bibir pucatnya itu masih berusaha tersenyum padaku. Makin lama aku memandangnya, aku semakin tidak tega.

    “Seandainya saja turun hujan sekarang.”, kata-kata itu dengan pelan terucap dari mulutku.

    Tanpa sadar aku memejamkan mata dan memohon pada Tuhan agar hujan turun. Untung saja ruang ini memiliki celah yang mendapat akses langsung ke langit sana, sehingga air hujan pastilah akan masuk ke sini jika benar-benar turun.

    Aku tahu kalau keluar dari sini secepatnya adalah prioritas utama, tapi jika belum waktunya bantuan sampai di sini…aku hanya ingin agar kami bisa bertahan hidup sampai saat itu tiba. Aku tidak bisa mengedepankan keegoisanku dengan berdoa supaya kami ditemukan lebih dulu, dan mengabaikan orang lain yang perlu diselamatkan sesegera mungkin.

    Tapi…Tuhan seakan tidak menjawab. Langit tetaplah cerah, biru, dan berawan tipis. Tidak ada tanda-tanda awan tebal sama sekali. Resha juga tampak makin lesu, tatapannya makin lemah. Kumohon Tuhan, kumohon…bagaimanapun caranya, lakukanlah sesuatu agar kami bisa tetap hidup…



    Kondisi tubuhku makin buruk, bangunpun sudah terasa sulit. Langit juga makin redup ditelan warna jingga senja hari. Aku benar-benar sudah pasrah, bahkan mulai ragu apakah Tuhan akan menolong kami berdua. Tapi…

    “Daleth, apa kamu yang bicara?”, tanya Resha sambil sedikit menggoncang tangan kiriku. Suaranya terdengar pelan.

    “Eh…? Bicara apa? Sejak tadi aku diam saja. Memangnya apa yang kamu dengar?”

    “Ada yang berkata ‘Aku nggak akan melakukan apapun kalau kalian nggak siap’.”

    Tunggu. Aku kenal betul logat bicara seperti itu. Resha mungkin tidak menyadarinya karena sudah terlalu lelah, terlihat jelas dari tatapan matanya yang semakin lemah. Tapi apa maksudnya? Tidak siap? Apa yang harus kupersiapkan---

    Itu dia!! Wadah air!! Mana mungkin Dia akan menurunkan hujan untuk memberi minum kami berdua, kalau tidak ada apapun yang bisa digunakan untuk menampungnya? Air hujan pun akan terbuang percuma dan hanya cukup untuk minum beberapa saat. Artinya, aku harus mencari sebanyak mungkin benda berbentuk cekungan yang bisa menampung air. Entah bagaimana tubuhku merasa sedikit bertenaga setelah menyadari hal tersebut.

    “Eh…? Daleth, mau ke mana?”, suara lemahnya itu terdengar ketika aku melepaskan genggamanku padanya.

    “Mencari tempat yang bisa menampung air.”

    “Untuk apa? Sepertinya hujan tidak akan--- ah…aku mengerti. Ternyata suara yang tadi adalah suara…”

    “Ya, seperti yang kamu pikirkan. Untuk apa Dia memberi hujan, sementara kita hanya bisa bertahan hidup sebentar saja jika hujannya berhenti? Dan tidak mungkin Dia menurunkan hujan terus-menerus selama berhari-hari, bisa-bisa pencarian korban yang lain akan menjadi lebih sulit. Aku akan mencari di sisi sebelah sini. Kamu juga, carilah di sisi sebelah sana. Semampumu saja, tidak usah terlalu memaksakan diri kalau kamu tidak kuat.”

    “Hmm…ah, ada satu.”, ujarnya dengan wajah yang menengok ke arah kanan bawah. Dengan mudah tangannya meraih sesuatu –-bahkan tidak perlu dalam posisi bangun---, lalu menunjukkan sebuah gelas plastik padaku. Bagus, kita sudah punya satu.

    Sambil menyeret kakiku yang sudah tidak bisa digerakkan, mataku menyisir setiap sudut ruang kecil ini. Apapun, mulai dari gelas, piring, mangkuk, botol, tutup botol, bahkan sepatu juga boleh selama bisa menampung air. Sayangnya sepatuku sudah rusak dirobek puing bebatuan, sehingga tidak mungkin digunakan.

    Entah sudah berapa lama aku mencari, lalu kuputuskan untuk berhenti karena tangan kananku yang terluka terasa makin sakit. Benturan dengan puing membuat luka di tanganku kembali terbuka. Sejauh ini yang bisa kutemukan adalah 2 buah botol plastik kosong ukuran 1 liter tanpa tutup, sebuah baskom kecil, dan 4 buah kantong plastik berukuran sedang. Sebenarnya bisa lebih banyak jika tangan kananku ikut mencari. Tetapi karena sakitnya luar biasa, maka aku hanya menggunakan tangan kiri untuk mengais di antara puing.

    Tidak sampai 1 menit sejak aku kembali berada dekat reruntuhan yang membatasi diriku dan Resha, awan terlihat makin tebal. Dan begitu langit berubah hitam...hujanpun turun. Aku langsung berseru, mengucapkan syukur pada-Nya.

    Resha sudah mulai minum dengan gelas plastik yang ditemukannya. Sepertinya di sisi tempatnya terbaring, langit-langit reruntuhannya juga berlubang sehingga air hujan dapat masuk. Meski tidak 100% pulih, namun jelas wajahnya nampak lebih segar setelah meminum 3 teguk. Aku juga mengisi semua wadah mulai dari botol, baskom, dan kantong plastik. Untuk kantong plastik, langsung kuikat erat-erat dan kugantung di beberapa paku yang mencuat dari puing-puing palang kayu. Kuberikan dua botol 1 liter itu pada Resha sebagai cadangan air untuknya. Aku sendiri minum dari baskom kecil.



    Aliran air mulai membasahi kerongkonganku ketika lempengan tektonik kembali bergejolak. Awalnya aku berpikir kalau ini adalah hal biasa. Tapi…kenapa getarannya makin kuat? Anehnya lagi, gempa susulan yang terjadi memiliki magnitudo yang meningkat secara teratur. Sangat pelan, agak pelan, mulai kencang. Lama-lama aku merasa in terlalu janggal.

    “Gempa susulannya…kenapa kencang sekali ya? Ada beberapa batu kecil jatuh di dekatku.”, Resha berkomentar. Sepertinya bukan hanya aku yang menyadari hal itu.

    “Aku juga merasa ada yang aneh. Menurut perkiraan kasarku, jika magnitudo gempanya digambar dalam sebuah grafik, maka garisnya akan rapi. Entah linear, entah logaritmik. Terlalu teratur.”, kembali aku merebahkan diri.

    “Hmm…begitu ya.”, dia malah berusaha bangun.

    “H-Hei, bukankah kakimu tertutup reruntuhan? Tidak perlu bangun jika tidak sanggup.”

    “Hanya sampai setengah paha saja kok. Lagipula terlalu sulit jika harus menuang air jika aku tidak--- AAAAHHHH!!.”

    Dari lubang berukuran sedikit lebih besar dari kepalan tangan ini, aku tidak bisa melihat wajahnya karena posisi duduknya itu. Meski begitu, aku bisa mendengar suaranya menahan tangis. Aku bisa mengerti, karena tadi aku juga melakukan hal yang sama. Rasanya ingin kumarahi dirinya, tapi…sudahlah. Mungkin kali ini kita impas. Aku sudah membuat Resha khawatir tadi.

    Dia kembali berbaring setelah meminum 1 gelas. Kudapati jejak air mata di pipinya, berkilauan diterpa cahaya jingga dari matahari terbenam. Kudapati awan mendung sudah menyingkir ketika menengok ke atas.

    “T-Ternyata…sakit juga.”

    Meski begitu, dia masih berusaha tersenyum.

    “Sama denganku tadi. Lagipula buat apa kamu bangun segala?”

    “Tentu saja supaya mudah menuang air, agar tidak terbuang terlalu banyak. Punggungku juga terasa pegal karena hanya tiduran sejak tadi.”

    “Huh…kamu ini. Sudah bisa keluar sepenuhnya?”

    “Mmm, belum. Tulang keringku sepertinya remuk, jadi sulit sekali dikeluarkan.”, Resha diam sejenak, lalu menengok ke arahku melalui lubang itu, “Dan wajahmu terlihat tenang-tenang saja…apa kamu tidak khawatir?”

    “Jelas saja aku khawatir!! Tapi buat apa aku marah-marah? Menghabiskan energi untuk sesuatu yang tidak penting dalam kondisi seperti ini hanya membuat nyawaku berkurang lebih cepat.”

    “Hee…begitu ya. Aku salut denganmu. Di tengah situasi seperti sekarang, kamu masih bisa tenang dan berpikir jernih.”

    Darah langsung naik ke pipiku begitu mendengarnya. Jarang-jarang aku dipuji oleh seorang perempuan…

    “Hahaha…baru begitu saja, wajahmu sudah merah. Tapi jujur saja. Kalau sekarang aku sendirian, mungkin aku sudah depresi berat dan berdoa supaya nyawaku dicabut secepatnya.”

    Kumasukkan tanganku ke celah yang satunya. Kurang dari sedetik, genggaman Resha terasa oleh tangan kiriku.

    “Aku juga bisa tenang karena dirimu.”, kueratkan genggamanku padanya. “Yang jelas…ditolong atau tidak, hidup ataupun mati, aku hanya ingin mengalaminya bersamamu.”

    Kali ini giliran pipinya yang berubah warna menjadi spektrum warna dengan panjang gelombang 630 hingga 740 nanometer itu.

    “Mwahaha…!! Baru begitu saja sudah merah.”, entah, gelak tawaku tidak bisa kutahan.

    “J-Jelas saja!! Perempuan mana yang tidak akan lumer hatinya jika ada seorang pria yang bicara begitu?!”, responnya, dengan aliran darah ke pipi yang masih berlangsung.

    “Sudah lama aku tidak melihat responmu yang seperti itu. Sejenis tsundere.”

    “Jadi kamu suka dengan perempuan yang sifatnya seperti itu?”

    “Tidak juga. Aku hanya suka perempuan sepertimu. Kalau tidak sepertimu, ya aku tidak mau.”

    “Daleeeth…!! Dasar gombaaaallll…!!”, teriaknya dengan malu-malu sambil melempar sebuah kerikil melalui celah di antara kami.



    Suasana gembira itu tidak berlangsung lama. Lagi-lagi Bumi bergelora. Kali ini lebih keras, bahkan beberapa batu yang lebih besar ikut jatuh. Dan…ini tidak berlangsung hanya sebentar.

    “D-Daleth, ada apa ini? Kenapa gempanya malah membesar begini?”, Resha terdengar panik.

    “Mana aku tahu?! Aku juga merasa aneh sejak tadi…!!”, langsung saja aku berusaha duduk, agar bisa menahan dan menyingkirkan beberapa puing besar yang jatuh. Semua rasa sakit kuabaikan, untuk mencegah sampah-sampah ini membunuhku.

    Sebuah palang kayu besar jatuh sekitar 1 meter di sebelah kananku, membuat kubah reruntuhan ini mulai hilang kesetimbangannya. Pecahan genteng, kayu, serta bebatuan jatuh dengan frekuensi yang makin tinggi. Sial!! Ada apa ini sebenarnya?! Ada yang tidak beres dengan lempengan tektonik di tempat ini!!

    Di tengah kepanikan itu, ada cahaya yang terlihat dari celah puing. Cahaya hitam. Asalnya dari sebelah belakang, jika berpatokan pada posisiku duduk. Kristal Dark Matter!! Sejak tadi aku tidak melihatnya karena tertimbun cukup dalam. Namun kali ini, cahayanya yang sangat terang itu mengindikasikan kalau ada distorsi dimensional yang besar. Aku makin yakin kalau gempa ini direkayasa.

    “Reshaaa…!! Kamu masih di sana?!”, aku bertanya demikian karena tanganku sudah tidak lagi menggenggamnya sejak aku duduk.

    “I-Iya..!! Ada apa?!”

    “Gempa ini buatan, Resha!! Buatan!! Kristal Dark Matter bersinar terang sekali!!”

    “Eh…?! Bagaimana mungkin?! Siapa yang melakukannya?!”

    “Siapa lagi yang merencanakan membuat senjata yang bisa mendistorsi kestabilan ruang-waktu selain Liberion?! Resha, apa kamu bisa menghentikannya?!”

    “A-Akan kucoba!!”

    Ya Tuhan, kumohon, jika benar gempa ini adalah perbuatan orang-orang picik di seberang lautan sana…berikan Resha kekuatan agar mampu menghentikannya…

    Beberapa detik aku menunggu sambil dihujani partikel-partikel debu, tidak ada yang terjadi. Gempa ini malah makin besar.

    “Resha!! Bagaimana?!”

    “Aku tidak bisa!! Puing-puing ini terlalu mengganggu--- AAAAAAAAAAAAAHHH!!!”

    “Resha!! RESHA…!!!”

    Suaranya tak lagi terdengar. Dalam sekejap, tubuhku telah tertimbun apapun yang berada di atasku. Bangun? Mustahil. Aku merasa seluruh tulangku remuk. Bobot reruntuhan yang menimpaku juga…argh.

    Tak lama, kulihat darah mengalir. Sepertinya itu milikku sendiri.

    Ah…apakah ini jadi akhir hidupku? Baiklah, jika memang Tuhan sudah berkehendak---

    Spoiler untuk Chapter 28 :


    ================================
    Chapter 28: Divine Mission - Introduction
    ================================





    Kosong.
    Hening.
    Gelap.

    Otot-ototku tidak lagi bisa kurasakan. Tulang…jangan ditanya. Semua seakan tidak ada isinya. Aliran listrik di neuron-neuron otakku juga seperti lenyap. Segala macam impuls dari luar tubuh tak lagi bisa diolah. Mungkin aku sudah mati.

    Eh? Kalau begitu kenapa aku bisa mengetahui semua itu?!



    “Resha…!!!”

    Gendang telingaku mendengar suaraku sendiri. Ah, berarti aku belum mati. Lagipula…ini di mana? Mataku menangkap sinyal optik yang tidak pernah kutemui sebelumnya. Kudapati satu lampu neon tergantung di atas. Meski begitu, tempat ini cukup terang karena masih ada cahaya terang kudapati jauh di sebelah kanan sana. Ada juga bentangan kain hijau tua jauh di atas. Oh, tenda. Tubuhku juga diselimuti sebentang kain, yang sepertinya bukan untuk selimut. Kasur…oh bukan, ternyata aku terbaring di lantai dengan beralaskan beberapa lapis kain, benar-benar ala kadarnya.

    Sebentar, sebentar. Aku harus mengambil nafas sesaat.

    Leherku sepertinya tidak bermasalah, karena masih bisa menengok ke kanan dan ke kiri. Ada beberapa orang yang mengalami cedera. Ah, ini pasti tenda untuk menampung korban yang telah dievakuasi. Mereka semua memang masih hidup, tapi tidak bertenaga. Sesekali juga kudapati suara mengerang dari orang-orang itu.

    Dan Resha?! Bagaimana dengan Resha?!

    Refleks aku berusaha duduk. Percuma, tubuhku langsung rebah sesaat kemudian. Semua terasa sakit. Kaki, punggung, tangan, semuanya terasa ngilu dan nyeri yang luar biasa. Tapi syukurlah, kepala dan leherku masih berfungsi dengan baik.

    Suara eranganku ternyata memancing seseorang untuk datang. Sepertinya kukenal…

    “Daleth?! Ada apa?! Apa ada yang sakit?”

    Ah, itu suster Agnes, yang pernah kutemui di Bharata.

    “T-Tidak apa-apa, suster. Aku hanya berusaha bangun dan…”

    “Jangan banyak bergerak dulu, cedera di tubuhmu cukup banyak. Untung saja Tuhan masih melindungimu.”

    “Ah…begitu ya.”

    Dalam hati, aku langsung mengucap syukur. Setidaknya aku masih punya kesempatan hidup.

    “Lalu…di mana Resha?”, aku lanjut bertanya.

    “Di tenda lain. Dia belum sadarkan diri sejak ditemukan dua hari lalu.”

    Oh, jadi aku sudah 2 hari tak sadarkan diri.

    “Boleh aku minta diantar ke sana?”

    “Tidak bisa, Daleth. Di sana khusus untuk para korban yang mengalami cedera yang jauh lebih buruk.”

    “Tunggu. Maksud suster…Resha cedera parah sekarang?!”, suaraku meninggi.

    “Tenang Daleth, tenang. Para dokter sedang berusaha keras mengobati Resha dan yang lainnya. Berdoalah supaya mereka bisa melakukan yang terbaik.”

    Kata-kata itu bukannya membuatku tenang, malah sebaliknya. Aku jadi panik. Apa yang terjadi padanya? Aku curiga terjadi sesuatu dengan kepala atau organ vital lainnya…

    Setelah itu, suster Agnes melangkah pergi untuk membantu rekan-rekannya yang lain menangani para korban.



    Aku makin depresi. Aku merasa tidak mampu melakukan apapun untuk melindunginya, bahkan tidak berada di sisinya di masa-masa kritisnya seperti sekarang ini. Ingin rasanya air mataku mengalir, namun tidak bisa. Tolonglah dirinya ya Tuhan, selamatkan Resha…aku masih punya janji padanya yang belum kupenuhi.

    Langit di luar sepertinya sudah gelap, sudah malam. Hal itu ditandai dari tidak adanya lagi cahaya matahari yang masuk melalui lubang besar sebagai pintu masuk tenda, jauh di kananku.

    Rasanya aku ingin bangun dan berlari menuju ke tempat Resha berada, tapi mustahil. Menggerakkan kaki saja sudah sangat sulit. Kali ini aku ingin berteriak untuk melampiaskan kekesalan atas diriku sendiri. Tapi…tidak. Melihat korban luka-luka lainnya yang berada di sekitarku, rasanya berteriak adalah hal yang bodoh. Bisa-bisa aku dikira mengalami rasa sakit yang luar biasa.

    Sesekali pikiranku terganggu oleh gempa tadi. Masih jelas di ingatanku, magnitudo gempa susulan yang terjadi benar-benar teratur. Ditambah lagi…Dark Matter bersinar terang. Ah iya, kristal itu ke mana ya? Bisa gawat kalau sampai jatuh ke tangan pihak Liberion.

    Kondisi Resha dan bencana ini membuat pikiranku terlalu lelah. Meski belum lama terbangun, aku merasa mengantuk. Efek cedera di tubuhku mungkin juga menjadi salah satu penyebabnya. Perlahan namun pasti, mataku terpejam dan…

    “Daleth, oi…Daleth…”

    Ada suara yang memanggil, dari sebelah kananku.

    “Umm…iya…ada apa…”

    Kesadaranku belum mencapai titik 100%, masih mengantuk. Kutengok ke arah suara itu, ah…ternyata aku sudah mati. Masih dengan penampilan yang sama seperti di Bharata, mengenakan jaket kulit dan celana jeans.

    “Heh, bangun. Ini belum di surga.”

    “Uh? Belum ya? Lalu kenapa Tuhan ada di sini…”

    “Nanti aja jelasinnya. Sekarang kita ke tempat Resha dulu.”

    Ajaibnya, semua rasa sakit mendadak lenyap. Kakiku tidak lagi terasa nyeri saat berusaha bangun. Luka di telapak tangan seakan hilang ditelan uap. Lenganku yang sepertinya remuk karena tertimpa 2 hari lalu terasa nyaman saat digerakkan. Dada dan punggungku juga, seperti diganti dengan yang baru.

    Begitu aku mengikutiNya melangkah keluar tenda, ada yang janggal. Semua orang di dalam tenda ini tidak ada yang menyadari kehadiranNya, dan tidak ada yang memperhatikanku tiba-tiba berdiri dan berjalan seperti ini. Jangan-jangan hanya rohku yang ditarik keluar? Ah, tapi tidak. Tubuhku tidak lagi terbaring di tempat tadi. Berpindah dimensi barangkali?

    Ada 6 tenda besar berdiri di sebuah lapangan yang luas. Kemungkinan besar adalah halaman depan balai kota, namun sudah runtuh seluruhnya. Aku keluar dari tenda yang paling dekat dengan reruntuhan, lalu mengikuti langkahNya yang menuntunku ke tenda yang paling jauh dari sini.

    Suasana dapat dikatakan sangat ricuh. Beberapa orang berlari ke sana kemari, mengenakan pakaian yang sama dengan suster Agnes. Sepertinya Bharata mengirim relawan-relawan begitu mengetahui ada gempa besar di Hispaniola. Suara-suara orang yang terdengar kesakitan ataupun panik juga tertangkap telingaku. Entah kenapa, suasana ini membuat hatiku lebih tersentuh. Bukannya aku tidak khawatir dengan kondisi Resha, tapi semua ini…argh.

    Ini dia tendanya, tempat Resha berada. Hampir sama berantakannya dengan tenda tempatku tadi. Tidak ada kasur, tidak ada ranjang. Semua korban terbaring begitu saja di tanah, di atas beberapa tumpuk kain, terpal, atau sleeping bag.

    Cukup sepi di sini, karena banyak di antara korban yang tidak sadarkan diri. Entah koma, entah sudah mati. Sepertinya aku mengerti. Tempat ini adalah tempat khusus bagi para korban yang…nyaris mustahil untuk ditolong. Hei, tapi untuk apa aku khawatir? Di depanku ada Sang Pemegang Hidup dan Mati itu sendiri. Bisa jadi Dia ingin membuat mujizat di sini.

    Tidak begitu jauh dari pintu tenda, kudapati Resha terbaring di atas tumpukan beberapa sleeping bag. Kepalanya dibalut perban, matanya tertutup. Begitu duduk di sebelah kanannya, aku langsung menggenggam tangannya. Hangat, masih terasa hangat. Meski…denyut nadinya terasa lemah.

    Dia duduk berseberangan denganku lalu berucap, “Nggak usah khawatir. Kondisi Resha nggak parah kok.”

    Selesai Dia mengatakan itu, Resha terlihat berusaha membuka mata. Refleks, air mataku mengalir. Karena bahagia, tentu saja. Kupikir aku tidak akan bisa bertemu dengannya lagi setelah kejadian itu.

    “D-Daleth…?”, ujarnya lemah, lalu menengok ke sebelah kirinya, “Ah…pasti ini sudah di surga. Aku dan Daleth sudah---“

    Jari tangan kananNya bergerak, lalu menyentil dahi Resha.

    “Ini masih di Hispaniolaaaa…!! Huh…kalian ini sama saja. MelihatKu langsung begini, dikira sudah mati.”, sahutNya.

    “Duh…i-iya, iya. Habisnya yang kemarin itu…”, Resha merespon sambil berusaha duduk.

    “Sudah, sudah. Aku nggak mau basa-basi terlalu lama. Aku mau ngobrol agak privat sebentar dengan kalian. Gimana?”

    Aku dan Resha bertatapan sekitar 2 detik, lalu kujawab, “Ada apa memangnya?”

    “Kalau gitu jangan di sini deh. Kita pindah.”



    Dalam sekejap mata kami bertiga sudah berada di tempat lain, di sebuah bukit. Kuperhatikan sekelilingku, terlihat kota yang hancur seluruhnya di bawah sana. Nyaris gelap. Hanya ada penerangan seadanya karena jaringan listrik hampir bisa dipastikan putus total.

    “Jadi, apa yang mau dibicarakan?”, tanya Resha.

    “Mungkin udah bisa kalian tebak. Soal gempa itu.”

    Kujawab, “Ah…ya, memang ada yang aneh dengan gempa itu. Entah kenapa, kristal Dark Matter bersinar terang sekali saat gempa susulan terakhir. Maksudku, terakhir kulihat.”

    “Nah, itu dia. Kalian tahu? Gempanya benar-benar buatan. Daleth, dugaan kamu benar. Liberion ada di balik semuanya.”

    “Cih…mereka itu…”, bibirku menggerutu sambil mengepalkan tangan erat-erat.

    “Kalian tahu? Mereka udah berhasil membangun senjata itu, senjata yang bisa mendistorsi ruang-waktu. Dan…yang kemarin itu uji cobanya.”

    “HAH?! Dan mengakibatkan korban sebanyak ini?!”, seru Resha.

    “Ya gitu deh. Memang gila mereka itu. Jadi sekarang, Aku punya tugas baru buat kalian. Hancurkan senjata itu, dan jangan sampai dunia ini kacau gara-gara mereka. Kalian sanggup nggak?”

    Jujur saja, sempat timbul keraguan dalam diriku. Apalagi ada resiko kalau Resha akan dijadikan sebagai bagian dari senjata itu. Namun semuanya berubah setelah aku melihat tatapan Resha yang nampak yakin dan tegas. Aku tahu dia pasti ingin menuntaskan semua ini. Jadi…

    “Baiklah, kami sanggup.”, kujawab dengan suara tanpa keraguan.

    “Bagus. Tapi Aku kasih tahu satu hal. Kalian harus ekstra hati-hati kali ini, soalnya yang kemarin itu baru sebagian kecil dari kemampuan senjatanya. Supaya bisa digunakan lebih gila lagi, mereka perlu…kamu, Resha.”

    “Biar kutebak. Senjata itu tersimpan di Beth-Sheol, benar begitu?”, aku berkata dengan yakin.

    “Disimpan…sepertinya nggak tepat. Lebih pas kalau Kubilang senjata itu dibangun di Beth-Sheol. Dibangun dengan bentuk mirip menara, tingginya 960 meter. Tentu aja karena kristal Dark Matter di bawah bekas kota Beth-Sheol itu gede banget dan terlalu susah dipindah, jadi mereka langsung bikin senjata itu di lokasi.”

    Kata-kataNya terhenti sejenak. Tatapannya yang lembut itu memandang ke arah kami berdua, lalu Dia melanjutkan.

    “Setelah ini semuanya Aku serahkan sama kalian. Gimanapun caranya, jangan sampai mereka bisa mengacak-acak dunia ini.”

    Selesai mengucapkan itu, muncul sesuatu di tangan kananNya. Sarung tanganku!!

    Sambil memberikan E.L.O.H.I.M. Project padaku, Dia berujar, “Aku udah sedikit modifikasi code di data storage nya. Pakai kalau terdesak, oke?”

    Code yang mana?”

    “Pokoknya yang ada hubungannya sama Dark Matter. Terus…”, tiba-tiba muncul kristal hitam itu di tangan kiri, “Ini kristalnya. Jaga baik-baik. Ingat, banyak yang bisa disingkap tentang alam semesta dari kristal itu.”

    “Hmm…ya, aku sendiri terkejut dengan kemampuan yang dimiliki.”, jawabku sambil menerima kristal. “Bahkan mampu melemparkanku dan Resha ke masa lalu…”

    “Yah, secara teknologi sekarang sih emang nggak mungkin yang namanya time travel. Tapi karena kristal itu punya akses ke dimensi waktu yang lebih tinggi, kalian bisa terdampar di sana.”

    “Hmm…begitu rupanya. Benar-benar berbahaya kalau Liberion punya senjata dari kristal ini.”

    “Iya. Nah, karena itu Aku suruh kalian untuk ke sana dan hancurkan.”

    “Lalu bagaimana dengan orang-orang di sana? Apa harus kami tinggalkan begitu saja? Rasanya aku tidak tega…tidak adil rasanya kalau kami ditolong, sementara mereka tidak.”, Resha berujar sambil memandang ke arah kota yang luluh lantak, tatapan yang penuh belas kasihan.

    “Yang di sana itu bagian kalian juga. Pakai semua kemampuan yang udah Kukasih pada kalian untuk bantu para korban itu. Satu hal, jangan ngerasa bersalah kalau ada yang nggak berhasil kalian tolong. Anggap aja memang itu udah waktunya buat mereka. Sisanya urusanKu nanti di alam sana. Gimana, paham semuanya?”

    “Biar kusimpulkan. Jadi misi utama kami berdua adalah pergi ke Liberion dan menghancurkan senjata itu. Tapi sebelum ke sana, kami harus membantu sebanyak mungkin orang di tempat ini. Begitu?’, Resha berujar.

    “Yap, betul banget. Masalah kapan kalian harus ke Liberion, nanti kalian bakal tahu sendiri kok. Ada tandanya.”

    Kata-kata terakhir yang diucapkanNya adalah, “Daleth, lindungi Resha dan kristal itu. Dan…Resha, jaga selalu hati dan pikiranmu…” Dalam sekejap, muncul cahaya yang sangat terang. Apa yang dimaksudNya dengan ‘menjaga hati dan pikiran’, diriku sendiri tidak mengerti.



    Akupun kembali tersadar. Entah bagaimana caranya, aku sudah berada di dalam tenda, di tempat yang sama dengan tadi dalam posisi berbaring. Apa yang tadi hanya mimpi? Kutengok ke kanan dan ke kiri…eh? Sarung tangan dan kristal sudah berada di sebelah kiriku. Tidak hanya itu, laptop dan ranselku pun dikembalikan olehNya. Tubuhku tidak lagi terasa sakit dan nyeri, bahkan posisi tulang-tulang anggota gerak tubuhku tidak ada yang salah. Apa Resha kembali ke tenda yang sama?

    Melangkah dengan penasaran, aku menuju tenda tempat Resha berada. Kebetulan, dia juga baru keluar, nampak segar bugar. Jadi yang tadi itu…

    “Daleth, bagaimana? Sudah pulih total?”

    “Uh-huh, sudah.”, jawabku sambil menggerak-gerakkan tangan kiri, menunjukkan padanya kalau aku sudah sembuh.

    “Baguslah. Lalu yang tadi itu…sungguhan?”

    “Pasti sungguhan, tidak mungkin palsu. Tuhan tidak mungkin memalsukan diriNya kan?”

    “Ahaha…benar juga. Berarti tugas kita sekarang…”

    “Yap, kita harus membantu semua orang ini semampu kita. Tinggal tunggu tanda dariNya, baru kita meninggalkan pulau ini.”

    “Oke, setidaknya kita tidak akan mati kebosanan di sini.”

    Baru 1 detik berlalu setelah Resha selesai bicara demikian, suster Agnes datang dengan ekspresi keheranan. Tentu saja dia kaget melihatku dan Resha bisa berdiri tegak tanpa bantuan apapun.

    “K-Kalian sudah bisa berjalan?!”

    “Iya, sudah. Aku yakin suster bisa tebak siapa yang melakukan semua ini.”, jawab Resha dengan santai.

    “Terpujilah Tuhan!! Dia sudah membuat mujizat bagi kalian berdua!!”, serunya.

    “Tapi tujuan kami dipulihkan seperti ini bukan untuk main-main. Kami diperintahkan Dia sendiri untuk membantu para korban.” sama seperti Resha, aku merespon dengan santai. Seakan hal seperti ini sudah menjadi makanan sehari-hari.

    “Ah, begitu ya? Tentu saja bantuan amat sangat dibutuhkan. Kalau begitu kita ke tenda utama untuk mendaftarkan nama kalian. Oh, sebelum itu aku akan memanggilkan dokter untuk memeriksa kalian, apakah kalian sudah pulih seratus persen atau belum.”

    Kami berdua mengangguk setuju. Namun aku tahu, semua ini hanyalah awal dari misi yang lebih berat ke depannya...


    =================================

    Spoiler untuk Trivia :

    NGGAK ADA HOREEE

    ntar gw baru gw cek ulang buat perbaikin typo dst, mo gereja dulu
    Last edited by LunarCrusade; 23-10-12 at 01:06.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  7. The Following User Says Thank You to LunarCrusade For This Useful Post:
  8. #96
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Spoiler untuk Chapter 29 :


    =============================
    Chapter 29: Divine Mission – Prelude
    =============================




    Selama 12 hari penuh, kami hanya berfokus menangani para pengungsi dan membantu evakuasi di antara puing. Tidak begitu sulit dengan adanya sarung tanganku. Ditambah lagi, kemampuan Resha yang dapat menjinakkan hewan dengan mudah sangatlah membantu. ******-****** yang berkeliaran di seluruh penjuru kota digunakan olehnya secara efisien, memanfaatkan kemampuan penciumannya yang tajam itu.

    Beberapa kali terasa gempa susulan, namun kali ini magnitudonya tergolong wajar. Sepertinya senjata itu sedang tidak aktif sekarang.

    Dan seperti yang kukira, persentase korban yang masih hidup makin menurun seiring waktu. Beberapa hari terakhir ini lebih sering kutemui jasad-jasad yang mulai berbau tidak sedap. Awalnya, Resha tidak kuat begitu menemukan tubuh dalam kondisi yang mengenaskan. Namun mau bagaimana lagi? Belum ada tanda sama sekali untuk keluar dari pulau ini. Lagipula…mau pergi dengan apa?

    Kondisi pulau yang terisolasi dari jalur darat membuat kendaraan sulit sekali masuk. Jalan utama tertutup longsoran bukit, sehingga akses ke kota pantai ini hanya bisa dilakukan melalui udara dan laut. Untunglah, sekitar 7 kapal bantuan sudah merapat di pantai, membawa berbagai peralatan yang dibutuhkan. Tak hanya itu, ada dua kapal yang dipakai sebagai rumah sakit. Mereka tidak bisa kembali karena bahan bakar yang menipis. Memang aneh rasanya kenapa kapal-kapal itu tidak membawa cadangan bahan bakar, tapi ya sudahlah.

    Helikopter? Ada juga. Seingatku ada 5 helikopter yang telah datang terhitung sejak 12 hari lalu. Semuanya berasal dari negara-negara pulau di sekitar Hispaniola. Hebatnya, hanya 5. Ya, hanya 5 helikopter yang digunakan untuk bolak-balik membawa bantuan.

    Semuanya belum cukup. Terlalu banyak korban cedera yang belum mendapat pertolongan. Badan misi yang mengirim suster Agnes pun memperhitungkan, kalau tidak ada suplai berkelanjutan dalam 4 hari, maka banyak orang tidak akan tertolong.

    “Daleth, sepertinya di bawah sini masih ada korban.”, ujar Resha sambil menunjuk ke arah reruntuhan sebuah bangunan, beberapa puluh meter dari pantai. Bagaimana dia bisa tahu? Ditemani seekor ******, tentu saja. Banyak yang berhasil dijinakkan olehnya, dan sekarang sedang digunakan oleh para relawan yang bertugas.

    “Oke…Atomic Vibration.

    Potongan tembok yang cukup besar langsung terpecah belah menjadi partikel halus. Sebenarnya aku masih khawatir jika keberadaan sarung tangan ini diketahui orang banyak. Tapi ya sudahlah, toh mereka juga tidak merasa ketakutan saat melihatku mengaktifkan program-program yang ada di sarung tangan ini. “Yang penting evakuasi berjalan lancar.”, begitu kata mereka.

    Argh, bau ini lagi. Yang di dalam pastilah sudah membusuk. Benar saja, setelah 3 kali menghancurkan reruntuhan, aku menemukan jasad seorang wanita yang…memeluk anaknya. Pemandangan mengenaskan ini…tahan Daleth, tahan air matamu. Aku tidak boleh menangis dalam situasi seperti ini. Kupanggil petugas terdekat untuk membawakan tandu, untuk mengeluarkan mereka berdua. Semoga kalian diterima di sisiNya.




    Baru saja aku mengusap peluh di dahiku dengan handuk, mataku menangkap sesuatu dari kejauhan, dari laut. Ada bayangan dua buah kapal. Oh, mungkin kapal bantuan dari entah negara mana.

    Tunggu. Ada yang aneh dengan bentuk kapalnya. Secara ukuran, sepertinya lebih besar dari kapal-kapal di pantai. Makin lama makin jelas kalau itu…kapal perang!!

    “Resha, beritahu ke pos pusat kalau ada dua kapal yang mendekat. Sepertinya kapal perang.”

    “Hah? Kapal perang? Mana coba ku---“

    Kata-katanya langsung terhenti begitu menengok ke arah laut. Meski aku belum tahu kapal negara manakah itu ---karena benderanya belum terlihat---, namun aku harus waspada. Bisa jadi itu kapal perang Liberion. Dalam kondisi membawa bantuanpun, aku yakin mereka tetap diperintahkan untuk menangkapku dan Resha.

    Sementara Resha berlari dengan anjingnya menuju pos pusat, kuputuskan untuk mendekat ke arah pantai. Jika memang benar itu kapal perang Liberion, aku tidak bisa membiarkan mereka membuat kekacauan saat melakukan prosedur penahanan.

    Tingkat kewaspadaanku langsung naik ke titik maksimum, siap menembakkan Photon Blaster kapan saja jika mereka menembak. Menit demi menit terus berlalu hingga aku bisa melihat bendera kapal…bah, bendera Varangia. Otot-otot tubuhku seakan berteriak lega begitu mengetahui kalau mereka bukanlah musuh. Baguslah, aku bisa tenang.

    Keduanya merapat di tepi pantai yang masih kosong, sekitar 100 meter dari tempatku berdiri. Berhubung ukuran keduanya yang lebih besar dibanding kapal-kapal yang sudah ada, pelabuhan ---maksudku, reruntuhan pelabuhan--- kota tidak bisa dimasuki dan dijadikan tempat menepi. Dan…tentu saja, kedatangan kedua kapal itu langsung diserbu oleh para penduduk. Mereka keluar dari kamp pengungsian layaknya sekumpulan koloni semut yang menemukan permen tepat di sebelah lubang sarang. Para petugas terlihat kewalahan menangani jumlah orang yang terus mendesak, hingga akhirnya tentara Varangia sendiri yang turun dan membantu mengatur. Sepertinya bantuanku tidak dibutuhkan, jadi aku menunggu di belakang saja.

    Satu wajah sepertinya kukenal. Valentina!!

    Perempuan berpakaian seragam militer dengan rambut coklat pendek dan mata hijau itu berlari ke arahku. Baru saja ingin kuucapkan “Halo” padanya, dia menarik tanganku untuk menjauhi kerumunan.

    “Hei, kenapa kamu berada di sini?”, tanyanya keheranan.

    “Yah, karena satu dan lain hal, aku tidak bisa keluar dulu dari pulau ini.”

    “Bukan itu. Maksudku, kenapa kamu tidak berada di salah satu front sekarang?! Sarung tanganmu itu pasti sangat dibutuhkan!!”

    “Eh? Front? Tunggu, tunggu. Aku tidak mengerti maksudmu.”

    “Perang, Daleth. Perang. Pasukan aliansi sudah berjaga ketat dekat perbatasan Franks-Frisia dengan Teutonium. Angkatan laut Varangia pun banyak yang dikonsentrasikan di samudera Eirene sebelah utara. Bagaimana kamu bisa tidak tahu?!”

    “Di sini masih belum ada listrik, karena dua pembangkit listrik di pulau ini rusak akibat gempa. Bisa dibilang aku kehilangan sama sekali akses informasi dengan dunia luar. Tapi…perang? Sejak kapan? Seingatku belum ada beritanya sama sekali sebelum gempa ini terjadi.”

    “Memang belum dimulai, namun akan SEGERA dimulai. Minggu lalu pasukan aliansi melakukan mobilisasi besar-besaran dekat perbatasan dengan Teutonium. Pemerintah Teutonium pun segera mengambil tindakan preventif dengan menyiapkan pasukan juga.”

    “Seluruh kekuatan militer baru dipersiapkan satu minggu yang lalu?”

    Mencurigakan. Firasatku mengatakan kalau hal itu sudah dipersiapkan jauh-jauh hari, barulah minggu lalu dibawa ke dekat perbatasan.

    “Betul, Daleth. Hal itulah yang membuat pasokan bantuan ke sini terbilang lambat. Laut di sekitar Hispaniola juga sangat tenang selama 2 minggu terakhir, jadi tidak masuk akal rasanya jika hanya sedikit bantuan yang datang ke sini. Semuanya karena negara-negara besar sedang fokus untuk masalah serangan yang bisa dimulai kapan saja.”

    “Lalu untuk apa kamu ke sini?”

    “Apa kamu lupa lokasi negara ini?! Dasar *****!!”, teriaknya sambil menghantam kepalaku dengan tinju kirinya.

    “Heh!! Tidak perlu main pukul segala!! Kalaupun benar kata-katamu, sudah pasti mereka datang tak lama setelah gempa!!”, kubalas memakinya.

    “Justru itu tujuanku kemari!! Berhubung mereka belum datang, aku bisa mempersiapkan segala sesuatunya jika mereka menyerang…!!”

    “Oke, oke. Tidak perlu teriak-teriak terus begitu. Kita cari tempat yang tenang, lalu jelaskan semua informasi yang kulewatkan selama 12 hari terakhir. Oke?”

    Karena aku tidak tahu tempat lain selain pos relawan di depan reruntuhan balai kota, maka kuajak Valentina ke sana. Dan berhubung kami berpapasan dengan Resha ---dan dia harus tahu hal ini---, akupun mengajaknya ikut ke dalam tenda utama. Ada sebuah sudut kosong di dalam tenda, lalu kami bertiga duduk di situ, di atas tanah.




    Dan inilah yang kulewatkan selama 12 hari.

    Pertama, kondisi global. Dari penjelasan Valentina, aku bisa menangkap kalau perjalananku dan Resha selama hampir 1 tahun ini mengubah wajah dunia secara tidak langsung. Seihou, Bharata, dan beberapa negara di sebelah barat daya Benua Kuning menjadi luput dari sasaran Liberion beserta aliansinya. Untuk Seihou sendiri, aku tidak tahu apakah itu karena diriku atau orang lain. Pemberontakan di Qing juga sedikit lagi bisa dipadamkan. Mungkin Feng bekerja dengan baik kali ini. Parthia? Cukup aman, meski perbatasan dengan Eretz Adonai masih dijaga dengan sangat ketat. Perubahan paling terasa di Benua Biru. Teutonium dan Italia tidak lagi bisa diacak-acak, bahkan memperkuat perbatasan dengan negara-negara aliansi Liberion di sebelah timurnya. Benua Hitam tidak banyak disentuh, karena si beruang tua gila Igor Gvozdev beserta beberapa divisi angkatan darat serta armada angkatan laut dikirim pemerintah Varangia setelah dihubungi oleh seseorang di Bantunia. Pasti itu Mary.

    Kedua, senjata rahasia yang dikembangkan Liberion. Aku dan Resha terlalu berfokus agar tidak tertangkap pemerintah Liberion, sehingga selama di perjalanan aku sama sekali tidak terpikir mengenai apakah Liberion punya proyek senjata baru atau tidak. Ditambah lagi, aku selalu mengganti e-mail ku agar tidak bisa dilacak agen intelejen Liberion yang terkenal amat sangat profesional dan berbahaya itu. Harus kuakui, aku lengah kali ini. Jika keberadaan senjata itu sudah kuketahui sebelumnya, pastilah aku sudah kembali dan menghancurkannya sebelum bisa dibangun.

    “Dan karena itulah, sejarah bisa terulang kali ini. Bahkan menurut data intelejen, tentara Anglion sudah mendekat ke pantai utara kesultanan Al-Zahra, negara di sebelah timur Aegyptus. Kemungkinan mereka akan tiba dalam empat hingga lima hari. Aku yakin sasaran sebenarnya adalah tambang Dark Matter di Bantunia. Jika akses ke sana bisa diperoleh tentara aliansi…habislah kita.”, Valentina menjelaskan.

    “Lalu bagaimana dengan front di Benua Biru? Apa hanya gertak kosong saja yang ada?”, aku bertanya sambil menaruh tangan kanan di dagu.

    “Sayangnya tidak. Beberapa kali tentara Franks tertangkap menyusup ke perbatasan Teutonium melalui Alpina. Yah, seperti yang kamu tahu, Alpina selalu mengambil posisi netral dalam perang apapun. Untunglah unit khusus Teutonium dapat bergerak cepat, meski pimpinannya bukan orang Teutonium sama sekali…”

    “Huang?”, tiba-tiba Resha bersuara.

    “Resha, kamu kenal dengannya?”

    “Kami sudah kenal dengan pemimpin-pemimpin di Qing, Teutonium, bahkan Pontifex di Italia. Jadi tidak usah heran.”, jawabnya bangga.

    “Ah…jadi itu alasannya kenapa mereka dengan sukarela mau bekerjasama dengan Varangia.”, diapun menghela nafas, lalu melipat kedua tangannya di dada sambil tersenyum. “Sepertinya aku harus berterima kasih pada kalian berdua.”

    “Simpan rasa terima kasihmu itu nanti, Valentina. Masih ada yang lebih berbahaya. Senjata itu.”, ujarku.

    “Hmm…ya, kamu benar. Meski begitu, tidak banyak yang bisa diketahui karena keamanan yang super ketat. Anehnya lagi, foto satelit menunjukkan area hitam yang sangat besar. Wujud fisiknya…nihil. Belum ada satupun orang intelejen yang tahu. Kapan mulai dibangun, tidak ada data yang bisa dijadikan acuan. Hanya satu hal yang kutahu, senjata itu dapat menghancurkan satu negara seluas Qing dengan mudah. Itupun tidak bisa kupercaya seratus persen karena hanya berdasarkan hasil interogasi tentara Franks yang kedapatan menyusup ke Teutonium. Bisa jadi dia membual untuk menakut-nakuti saja.”

    Sayang sekali, nona kolonel. Aku sudah mendapat informasi dari agen intelejen sorgawi mengenai bentuknya…hehehe. Tapi kemungkinan senjata itu dapat menghancurkan negara sebesar Qing dengan mudah…sepertinya bisa dipercaya. Dengan kekuatan kecil saja sudah bisa menggeser lempeng tektonik, bagaimana jika ditambah? Hancur sudah dunia ini.

    Diapun berdiri, “Baiklah, hanya itu yang bisa kusampaikan karena memang hanya itu yang kutahu. Sekarang bantu aku mengurusi barang bantuan, oke?”

    Kehadiran bantuan dari tentara Varangia itu benar-benar membawa angin segar bagi para pengungsi. Cukup banyak yang diangkut oleh dua kapal perang itu ---yang sepertinya cruiser class---, yang langsung diserbu oleh para pengungsi, bahkan sebelum sempat dikumpulkan di beberapa titik pengungsian. Untunglah tidak terjadi suasana kacau.




    Sekarang, masalah komunikasi. Generator-generator darurat yang ada lebih dikonsentrasikan untuk menyalakan lampu, sehingga tidak ada media komunikasi yang bisa digunakan termasuk televisi dan telepon. Internet? Mustahil. Untunglah aku diijinkan menggunakan televisi yang ada di dalam kapal, sehingga aku bisa tahu apa yang terjadi di luar sana secara langsung. Melalui saluran televisi satelit Varangia, aku bisa menyaksikan sendiri bagaimana persiapan yang dilakukan kedua kubu.

    Selagi aku menonton ---bersama Resha tentunya---, seorang awak kapal memberitahu sesuatu pada Valentina.

    Valentinapun berucap, “Anak buahku yang tadi memberitahu kalau ada transmisi masuk dari Teutonium dan Qing. Mau ikut mendengarnya?”

    “Eh? Apa boleh?”, Resha berkata dengan ekspresi tidak percaya.

    “Sudah, tidak apa-apa. Jika benar kalian sudah kenal dengan mereka, kenapa tidak? Lagipula aku yakin, sejak kejadian di Parthia itu, kalian pastilah mengenal mereka karena sudah membantu negaranya masing-masing. Jadi…ikut ke ruang komunikasi. SEKARANG!! Ini perintah!!”

    “E-Eh…i-iya...”, Resha terdengar kaku. Meski aku tahu Valentina hanya bercanda.

    Ruang komunikasinya sangat modern, dengan beberapa layar holografik muncul tepat di tengah-tengah sebuah meja besar berbentuk lingkaran, melayang beberapa sentimeter di atas meja. Satu orang, satu layar. Hampir semua pernah kutemui, mulai dari Kaiser Wilhelm, Friedrich, Huang, Feng, hingga Igor. Hanya kaisar Yu yang belum pernah bicara secara langsung denganku.

    Begitu aku dan Resha mendekat ke arah meja, semua mata langsung tertuju pada kami berdua.

    “Daleth?! Resha?!”, semuanya, kecuali kaisar Yu dan Kaiser Wilhelm, berseru dengan timbre masing-masing.

    “Ng…halo semuanya…”, balas Resha sambil melambaikan tangan ke arah layar-layar itu.

    Wajah kaisar Yu, dengan ciri khas kacamata berlensa lingkaran itu, menengok ke arahku, lalu berkata, “Ah, jadi anda yang menerima darah dari saya waktu itu?”

    “Benar, Yang Mulia. Saya ingin berterima kasih kali ini, karena tidak sempat mengatakannya waktu itu.”

    “Tidak perlu sungkan, saudara Daleth. Jika bukan karena…”, matanya memandang ke arah Resha, “…Resha, mungkin saya tidak akan tergerak untuk menolong anda. Berterima kasihlah padanya.”

    “Ehem. Ayah, sepertinya urusan kali ini bukan untuk membicarakan hal itu.”, tiba-tiba Feng menyahut.

    “Oke, oke. Jadi sebenarnya ada apa tiba-tiba semua menghubungi kapal ini? Saya sendiri kaget begitu salah seorang awak memberitahu mengenai hal ini.”, ujar Valentina.




    Dengan suara bass nya yang khas, Kaiser Wilhelm berucap, “Kebetulan Daleth dan Resha juga ada di sini, jadi saya rasa hal ini juga harus diberitahukan pada mereka. Baiklah, langsung saja. Berhubung kondisi planet ini sudah di ujung tanduk, sudah sepatutnya kita membicarakan apa yang akan kita lakukan selanjutnya. Memang belum ada serangan sama sekali, namun hal itu bisa terjadi kapanpun.”

    Kaiser Wilhelm menengok sebentar ke arah layar komputer yang bisa juga kulihat dari sini, lalu lanjut berbicara, “Di sini, hanya cukup dengan menembakkan artileri satu kali saja ke arah wilayah Franks atau sebaliknya, pertempuran akan pecah. Mungkin kondisi secara detail dapat dilaporkan sendiri oleh Friedrich, yang sedang berada di garis depan.”

    Friedrich melanjutkan kata-kata Kaiser, “Ya, benar yang dikatakan ayah barusan. Sudah beberapa divisi tank terdeteksi hanya berjarak beberapa kilometer dari perbatasan. Provokasi dengan menerbangkan pesawat di dekat wilayah udara Teutonium juga seringkali terjadi. Kupikir tidak bisa serangan kuperintahkan sekarang, karena pastilah efeknya akan merambat ke negara-negara lain seperti Varangia ataupun Parthia, memicu serangan pihak aliansi. Ditambah lagi isu mengenai senjata pemusnah massal milik Liberion itu…”

    “Untuk itulah aku yang akan pergi ke Liberion untuk memastikan kebenarannya.”, sambung Huang.

    “Kamu sendiri sekarang ada di mana? Masih di sekitar Teutonium?”, tanyaku.

    “Tidak, Daleth. Sekarang aku berada di Italia. Dalam dua puluh empat hingga empat puluh delapan jam ke depan, aku bersama tim khususku akan terbang menuju Liberion, tepatnya reruntuhan Beth-Sheol. Lalu…ayah, bagaimana dengan di Qing? Menurut apa yang kudengar, pemberontak sudah bisa dipadamkan nyaris seluruhnya.”

    “Ha!! Tentu saja!!”, yang menjawab malah Feng. “Data intelejen menunjukkan hanya tinggal satu kota lagi yang masih dikuasai, di sebelah timur laut.”

    “Aku tidak bertanya padamu, Feng.”, ujar Huang dengan nada sinis, amat menusuk. Friedrich terlihat menahan tawa mendengar kata-kata itu.

    “Tapi benar yang dikatakan Feng. Tentara Qing banyak yang bisa dikirim ke manapun jika dibutuhkan. Dan tidak bisa dipungkiri kalau titik paling berbahaya ada di sebelah barat, lepas ke arah samudera.”, kaisar Yu membenarkan ucapan Feng.

    “Huh…ayah ini…”, Huang terdengar kecewa.

    “Oke, oke. Jadi kesimpulannya?”, entah kenapa bibirku tiba-tiba bergerak sendiri.

    “Kami butuh pendapatmu, advisor.”, jawab kaisar Yu, lalu tersenyum.

    “Eh…? Saya? Kenapa harus saya? Bukankah---“

    “Jangan banyak alasan, anak muda!!”, seru orang tua itu, Igor Gvozdev. “Aku tahu kamu punya kemampuan yang lebih dalam menganalisis situasi.”

    “Cih…tidak usah teriak-teriak begitu. Baiklah, tapi saya masih butuh situasi yang lebih detail di titik-titik kritis, khususnya beberapa perbatasan. Apalagi Parthia…”




    Mendadak satu layar holografik muncul. Kaisar Kurosh.

    “M-Maaf, maaf. Butuh waktu lama untuk melacak dan melakukan decoding agar bisa masuk ke frekuensi ini.”, ujar kaisar Kurosh, sedikit kaku.

    “Ah, tuan Kurosh rupanya. Bagaimana dengan Eretz Adonai?”, tanya Kaiser Wilhelm.

    “Sejauh ini tidak ada pergerakan yang signifikan. Hanya tentara perbatasan biasa saja. Tapi saya dengar akan ada pendaratan tentara Anglion di pantai utara Al-Zahra, jadi saya akan memerintahkan empat divisi infantri, satu divisi artileri, dan satu divisi tank untuk memperlambat pergerakan mereka. Maaf kalau tidak sempat mengirim kapal-kapal perang, karena saya baru menerima informasinya tiga hari lalu.”, jawab kaisar Kurosh.

    “Hmm…kudengar empat divisi infatri dan dua divisi tank Varangia juga sudah berada di perbatasan Bantunia dengan Al-Zahra. Bagus, sepertinya---“

    Kupotong kata-kata orang tua itu, “Tunggu. Bagaimana dengan Zululand di selatan Bantunia? Negara itu, yang condong ke pihak aliansi, punya akses lepas ke samudera Atlantean dan Indicus.”

    “Aku dan kapal Arkhangelsk Mikhail serta empat armada sekarang sedang berada beberapa mil dari laut teritorialnya yang di timur. Satu divisi infantri dan satu divisi tank juga sedang mengamankan perbatasan Bantunia dengan Zululand, dan menurut informasi dari mereka, belum terdeteksi pergerakan apapun. Semoga saja tidak akan ada.”, jawabnya.

    Hmm, berarti hampir bisa dipastikan kalau tidak akan ada akses bagi pihak aliansi untuk memutar lewat jalur selatan, lalu menerobos ke samudera Indicus yang menuju ke Benua Kuning. Jika melihat peta dunia, maka yang masih benar-benar berbahaya adalah samudera Eirene yang membentang luas dari utara hingga selatan, memisahkan Benua Kuning dengan Benua Merah, tempat Liberion berada. Apalagi Liberion punya beberapa armada yang sering sekali berpatroli di laut internasional, membuat mereka punya keuntungan dalam hal bergerak cepat. Tidak perlu mengejar kapal-kapal mereka, hanya membuang-buang logistik saja.

    “Baiklah, sepertinya yang perlu dikhawatirkan hanya samudera Eirene saja. Kalau bisa, kirim beberapa armada untuk memperkuat titik-titik strategis seperti pulau-pulau yang tersebar di samudera itu. Ada yang sanggup menyediakan pasukan ke sana?”

    “Armada kelima dan kedelapan angkatan laut Varangia sepertinya bisa dikirim. Nanti akan kuhubungi komandan masing-masing.”, jawab orang tua itu.
    “Oke…dan bagaimana dengan Qing, Yang Mulia? Mungkinkah mengirim beberapa bantuan untuk armada Varangia?”, tanyaku pada kaisar Yu.

    “Bisa, saudara Daleth. Sangat mungkin. Apalagi banyak negara-negara netral yang berbatasan langsung dengan Eirene yang harus dilindungi. Segera akan saya perintahkan kapal-kapal terbaik Qing ke sana.”

    “Ah…bagus. Untuk strategi detailnya, saya akan menyerahkannya pada anda.”, lalu aku kembali bertanya pada Igor, “Dan bagaimana kondisi laut di sana?”

    “Seperti yang sudah kukatakan tadi, dari arah Zululand tidak ada masalah. Yang perlu diwaspadai adalah mobilisasi armada dari arah utara. Samudera Atlantean utara, yang memisahkan Benua Merah dan Benua Biru, adalah ruang gerak yang sangat bebas bagi tentara aliansi. Yah, meski aku sendiri heran kenapa mereka tidak bergerak hingga saat ini, padahal sudah dipancing…”

    “Tunggu. Maksudmu, dua kapal yang di Hispaniola ini juga berfungsi untuk memancing mereka?!”

    “Betul, Daleth. Sebenarnya aku akan segera pergi selambat-lambatnya dalam dua hari. Rencana awalnya, jika Liberion mengejar kedua kapal ini, aku akan memerintahkannya kembali ke selatan.”, jawab Valentina.

    “Huh…untung saja tempat ini tidak jadi medan perang.” Otakku menyadari sesuatu, lalu aku bertanya, “Hei, jadi kedua kapal ini berlayar dari selatan? Kenapa tidak dari utara? Bukankah tujuannya adalah memancing aliansi untuk keluar?”

    “Semuanya karena Midgard yang agak condong ke pihak Liberion. Mereka memang tidak bersikap ofensif, namun mereka mengancam kapal-kapal Varangia yang berani lewat satu meter saja memasuki laut mereka. Apalagi sekarang musim dingin, terlalu berbahaya jika mengambil jalan lebih ke utara lagi.”, perempuan bermata hijau itu menjelaskan.

    Diapun menambahkan, “Lagipula aku juga heran…padahal pulau ini hanya beberapa ratus kilometer di sebelah selatan Liberion, namun tidak ada sama sekali yang menuju kemari. Terlalu tenang.”

    “Hmm…benar juga. Tapi bagaimanapun juga, laut terlalu berbahaya jika kamu terpisah terlalu jauh dari armada utama. Saranku, segeralah kembali---“

    Tiba-tiba orang tua itu menyambar, “Ooo…tidak bisa, anak muda. Armada kesebelas, ketigabelas, dan keempatbelas sedang menuju ke sana sekarang, melalui jalur yang sama dengan yang Valentina lalui. Kurang dari empat puluh delapan jam, mereka akan tiba.”

    “Oke, itu bisa kuterima. Namun tolong menjauhlah dari pulau ini jika ingin bertempur. Jangan menambah korban lagi…orang-orang di sini sudah terlalu menderita.”

    “Tenanglah. Untuk yang satu itu aku juga mengerti. Ketiga armada itu berfungsi sebagai blokade yang akan bersiap tujuh ratus kilometer dari tempatmu itu, dan menunggu kapalku menuju ke sana untuk bersama menerobos hingga pantai Liberion.”

    “Ah…baguslah. Tapi aku hanya ingin memperingatkan satu hal padamu, orang tua--- tidak. Ini juga berlaku untuk anda sekalian, para kaisar. Tentara aliansi memiliki kekuatan udara paling canggih di zaman ini. Persiapkan skuadron pesawat dan persenjataan anti-udara sebanyak-banyaknya. Dan jika perang benar-benar dimulai, saya harap segera duduki pangkalan-pangkalan udara penting di negara musuh atau peperangan akan berlangsung makin alot.”

    “Baiklah, saya akan menuruti saran anda itu, saudara Daleth. Dan…Feng, segeralah ke front di Benua Biru. Ayah akan menangani satu kota itu sendiri.”, ujar kaisar Yu.

    “Jika ayah yang meminta…ya sudahlah.”, jawabnya.




    “Tunggu. Feng, kapan kira-kira estimasi waktu dirimu dapat tiba di Teutonium?”

    “Malam ini juga sepertinya aku akan berangkat. Ada apa memangnya?”

    “Bagus. Dengan kemampuanmu itu, lakukan serangan mendadak, serangan pembuka. Lakukan delapan jam setelah kamu mendarat.”

    “Jadi kita yang menyerang lebih dulu?”, tanya putra kaisar Yu itu.

    “Kemampuan bergerakmu yang cepat bisa menjadi shock therapy buat tentara Franks. Dan kamu Friedrich, usahakan untuk meratakan Frisia lebih dulu sementara Feng melakukan kejutan di wilayah Franks.”

    “Cih, sebenarnya aku tidak mau bekerjasama dengan---“

    Terdengar Kaiser Wilhelm menggeram.

    “Tapi…baiklah. Untung saja sebentar lagi dia akan menjadi saudara iparku. Kalau tidak…”

    “Kalau tidak kamu mau apa, hah?”, sahut Feng.

    Bah, sepertinya mereka berdua tidak arkab.

    “Heh kalian berdua, stop.”, lalu kubertanya, ”Feng, kira-kira berapa banyak titik-titik strategis yang bisa kamu hancurkan dalam sehari?”

    “Jika ada backup dari tentara khusus bawahanku, mungkin bisa belasan ludes dalam sehari. Barak, cadangan minyak, pabrik, bandara, apapun itu. Tapi tergantung lokasinya juga. Kalau terlalu berjauhan, pastilah akan menurun jumlah yang bisa kuhancurkan.”

    “Hmm…baiklah, lakukan semaksimal mungkin. Aku yakin kemampuanmu bisa melakukan semua itu. Dan…Friedrich, apa saja yang sudah ada di garis depan?”

    “Di dekat perbatasan dengan Frisia sendiri ada delapan belas divisi infantri, dua belas divisi tank, dan sembilan divisi artileri. Masih ada backup beberapa belas divisi lagi untuk masing-masing unit, ditambah beberapa divisi berjaga di perbatasan sebelah selatan dan juga di Italia. Tambahan, ada puluhan pesawat yang siap diterbangkan kapan saja dari pangkalan-pangkalan udara di Teutonium.”

    “Buat Frisia panik dengan itu. Setahuku, mereka adalah yang terlemah di antara empat negara penyusun aliansi. Namun berharaplah untuk serangan balasan yang cukup menyulitkan, karena suplai senjata mereka berasal dari negara-negara dengan teknologi super seperti Liberion dan Anglion. Untuk kalian berdua, waspadalah dengan Anglion karena mereka bisa memasuki pertempuran kapanpun mereka mau. Tapi karena konsentrasi mereka terpecah dengan mobilisasi ke Benua Hitam, mungkin kalian bisa tenang untuk beberapa hari. Lalu…berharaplah untuk bertemu tentara Liberion sesegera mungkin. Seingatku memang ada satu atau dua divisi yang selalu siaga di Franks.”

    Kuberhenti berkata-kata sejenak.

    “Kaiser Wilhelm, saya menyarankan untuk mengirim satu atau dua armada kapal melalui laut di sebelah utara. Dengan begitu, negara anda bisa memecah konsentrasi Frisia dan sangat mungkin, memancing Anglion. Tidak hanya itu, manfaatkan juga kekuatan dari semenanjung Italia. Buat agar pasukan Franks bertempur di dua front darat, dan juga di Laut Mediteranea. Kembalinya Italia ke dalam kedaulatan Teutonium memberi keuntungan dalam perang kali ini. Gunakanlah hal itu dengan baik.”

    Akupun mengambil nafas panjang.

    “Baiklah, jadi ini yang bisa saya simpulkan. Pertama, Varangia dapat menangani samudera Atlantean agar aliansi tidak bisa menerobos ke samudera Indicus. Kedua, armada Qing dan Varangia bisa melakukan pertempuran di samudera Eirene. Ketiga, angkatan darat Parthia akan terus memperketat penjagaan dengan Eretz Adonai, serta menghalangi Anglion di Benua Hitam dibantu tentara Varangia. Keempat, Feng dan pasukan elitnya akan melakukan serangan kejutan terhadap tentara Franks sementara Friedrich akan menghajar Frisia habis-habisan. Kelima, tentara dan angkatan laut Italia akan memecah konsentrasi pasukan Franks. Keenam, Huang akan melakukan inflitrasi ke Liberion untuk memastikan keberadaan senjata itu. Ketujuh---“




    Resha memotong, “Ng…maaf memotong. Tapi bagaimana dengan...”

    Dia bangkit berdiri, lalu menuju sebuah peta dunia yang digantung di tembok sebelah kanan meja jika berpatokan pada posisiku.

    “…ini?”, Resha menunjuk ke bagian selatan Benua Merah. “Bagaimana sikap mereka atas situasi kali ini?”

    Resha benar. Jika negara-negara di Benua Merah bagian selatan itu bekerjasama dengan aliansi, habislah semuanya. Akses bebas ke samudera Eirene dan Atlantean selatan menjadi poin strategis yang mereka miliki, dan dapat dijadikan batu loncatan untuk menyerbu Benua Hitam ataupun Benua Kuning melalui jalur selatan. Aku yakin hal ini tentu tidak akan dilewatkan oleh Liberion sebagai negara aliansi yang posisinya paling dekat dengan tempat itu.

    “Valentina, bagaimana kondisinya sewaktu kedua kapal ini melalui jalur selatan?”

    “Waktu itu tidak terjadi masalah. Tidak ada satupun negara yang mengancam keberadaan kami, namun mereka juga tidak bicara apapun mengenai situasi gawat ini.”

    Sikap diam yang mereka ambil sekarang tidak menjadi jaminan kalau mereka tidak akan ikut serta dalam perang. Mau tidak mau, harus ada yang mengetahui dengan pasti apa yang terjadi pada pemerintah negara-negara di sana.

    Para pemimpin itu hanya diam sambil menggelengkan kepala beberapa kali. Aku juga tidak bisa meminta Huang untuk ke sana, karena misi ke bekas kota Beth-Sheol tidak mungkin dibatalkan mendadak. Apa aku harus---

    “Sebentar Daleth.”, kaisar Kurosh memotong. “Sepertinya saya bisa menghubungi seseorang yang bisa mengatur semua itu.”

    Ekspresi keheranan ditunjukkan oleh para pemimpin itu, sementara kami bertiga yang ada di sini hanya bisa saling bertatapan karena bingung. Apa maksud kaisar Kurosh?

    Beberapa menit kutunggu, lalu muncullah satu layar holografik lagi tepat di sebelah kanan kaisar Kurosh. Aku hanya bisa tersenyum sendiri begitu melihat wajah orang itu. Sudah kuduga sejak lama…

    “Terima kasih untuk kesempatannya, kaisar Kurosh.”




    Albert Cardinal.

    “Halo kalian berdua, sudah lama sekali aku tidak melihat kalian.”, pria itu menyapaku dan Resha sambil tersenyum.

    “Albert?!”, seru Resha.

    “Sudah kuduga sejak di Maple Country. Kamu kepala suku Nehiyaw kan?”, langsung saja kutembak.

    “Hahaha…ketahuan juga.” Ekspresi santainya langsung berubah serius, lalu dia berkata, “Masalah Benua Merah ini bisa kalian serahkan padaku. Memang aku hanyalah kepala salah satu suku dari sekian ribu suku asli penduduk Benua Merah. Tapi sepupu-sepupu jauh suku kami itu dapat diajak bekerjasama kapanpun, mulai dari utara hingga selatan benua.”

    “Dan bagaimana kalian akan melakukannya? Benua Merah terbentang ribuan kilometer dari utara ke selatan. Informasi sangat dibutuhkan dengan cepat saat ini.”

    “Tenang saja, Daleth. Beberapa orangku sudah kukirim langsung ke selatan ketika berita itu didengar oleh suku kami. Dan berhubung Liberion ingin merusak tanah nenek moyang kami untuk mengambil lebih banyak sumber daya dalam peperangan…tidak ada kata tidak setuju bagi kami dan suku-suku tetangga kami demi melindungi tanah ini.”

    “Ah, aku mengerti. Kamu tidak menghubungi mereka dengan alat komunikasi tertentu agar tidak terlacak, benar begitu?”

    “Yap, betul. Baru saja mereka kembali kemarin dan memberitahu kalau semua penduduk asli Benua Merah akan mengacak-acak negara manapun yang memihak Liberion. Jadi, kalian bisa tenang.”

    “Terima kasih banyak untuk hal itu, Albert. Namun…bagaimana jika perang terjadi? Apa kalian akan ikut melawan Liberion?”

    “Jika mereka memaksa dan merusak tanah kami, maka tidak ada pilihan lain.”

    “Baiklah…aku juga tidak punya hak untuk menghentikan suku kalian. Aku hanya berpesan, hati-hatilah.”

    Sebenarnya aku khawatir dengan jurang perbedaan teknologi antara Liberion dan suku-suku asli itu. Terlalu jauh. Tapi…mau bagaimana lagi. Segala bentuk bantuan yang dapat menghentikan Liberion beserta aliansinya harus diterima.

    “Ngomong-ngomong, bagaimana kamu bisa kenal kaisar Kurosh?”, tiba-tiba Resha bertanya.

    “Perusahaan Mr. Edmond sebenarnya merupakan rival bisnis bagi perusahaan-perusahaan minyak di Parthia. Kesempatan itupun kumanfaatkan saat Liberion berusaha untuk menghancurkan hutan-hutan yang menyimpan sumber daya di bawahnya. Dan siapa lagi yang bisa kuhubungi selain orang yang paling vokal menentang Liberion dalam forum internasional, yang ternyata adalah pemimpin negara tempat rival-rival Mr. Edmond bernaung?”, jawab Albert.

    “Lalu bagaimana keadaannya?”, Resha bertanya lagi.

    “Mr. Edmond maksudmu? Dia sedang bersama Mary di Bantunia. Untunglah dia sempat mengambil penerbangan sebelum akses bandara ke negara-negara tertentu banyak yang ditutup.”




    “Sebentar, Daleth. Sepertinya di televisi ada sesuatu.”, sahut Kaiser Wilhelm. “Kalian semua, coba nyalakan televisi.”

    Valentina langsung melangkah ke tembok sebelah kiri, dengan layar televisi flat yang cukup besar tergantung di sana. Diapun menyalakannya, lalu…

    Semua siaran televisi hanya menayangkan satu hal: deklarasi perang terhadap Varangia yang disampaikan oleh presiden Liberion. Alasannya? Tenggelamnya dua buah kapal di samudera Eirene utara, yang mereka katakan dilakukan oleh angkatan laut Varangia. Aku amat sangat yakin kalau itu adalah fitnah belaka. Terlihat juga Gregor berdiri tak jauh dari seorang ajudan presiden. Lagi-lagi dia….cih.

    Selang beberapa menit, Franks, Anglion, serta Frisia juga mengumumkan perang dengan alasan Teutonium mengusik keamanan Benua Biru dengan penempatan pasukannya di perbatasan. Siapa pula yang melakukan provokasi lebih dulu?

    Mendadak dadaku merasakan sesuatu. Kuat, sangat kuat. Detak jantungku meningkat, lalu terdengar suara entah dari mana yang berkata, “Pergilah.”

    Inilah saatnya untuk pergi…



    Spoiler untuk Worldwide Plan Overview :




    Khusus Benua Biru:




    ========================================

    Spoiler untuk Trivia :

    • Eirene (Greek) = peace
      Akar kata "Pacific" memang berasal dari kata "peace", tapi dalam bhs Portugal (pacifico)
    • 2 samudera lainnya udah terlalu mudah ditebak...soalnya emang ga gw otak atik sampe keterlaluan sih

    Last edited by LunarCrusade; 23-10-12 at 01:23.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  9. The Following User Says Thank You to LunarCrusade For This Useful Post:
  10. #97
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    OH, YES BEYBEH! WAR! WAAR! WARRR!!

    Ehm2 oke udah dulu gila nya. Yang jelas, 3 chapter terakir keren. Chapter 27 itu rada haru2, ya, enteng mirip shoujo manga. Terus chapter 28 si funky-God muncul lagi , seriously, gue ketawa ngebayangin ada Tuhan yang se-friendly gitu. Dan chapter 29, rada berat... WW3, eh? Tapi disini 'elu' yang kaga muncul di cerita pendek sebelomnya itu muncul lagi.

    Yes, semuanya diterangin dengan jelas, bikin gue gampang ngayal nya. Ngga sabar buat baca lanjutannya.

    tumben2an, ada sekali typo di chapter 29. terus, penulisan nama gelar itu bukannya pake huruf kapital?
    Suster itu termasuk salah satu gelar, kan? makanya kalo nulis Mother Teresa, mother nya juga kapital. kayak Suster Agnes yang diatas itu...

    well, ngga ada komen2 segala macem. Alur nya terlalu indah buat gue komenin, serius. Jadi, gue tunggu lanjutannya

    FACEBOOK | TWITTER | Melon's Blog
    I am a melon - MelonMelon

  11. #98
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Quote Originally Posted by MelonMelon View Post
    OH, YES BEYBEH! WAR! WAAR! WARRR!!

    Ehm2 oke udah dulu gila nya. Yang jelas, 3 chapter terakir keren. Chapter 27 itu rada haru2, ya, enteng mirip shoujo manga. Terus chapter 28 si funky-God muncul lagi , seriously, gue ketawa ngebayangin ada Tuhan yang se-friendly gitu. Dan chapter 29, rada berat... WW3, eh? Tapi disini 'elu' yang kaga muncul di cerita pendek sebelomnya itu muncul lagi.

    Yes, semuanya diterangin dengan jelas, bikin gue gampang ngayal nya. Ngga sabar buat baca lanjutannya.

    tumben2an, ada sekali typo di chapter 29. terus, penulisan nama gelar itu bukannya pake huruf kapital?
    Suster itu termasuk salah satu gelar, kan? makanya kalo nulis Mother Teresa, mother nya juga kapital. kayak Suster Agnes yang diatas itu...

    well, ngga ada komen2 segala macem. Alur nya terlalu indah buat gue komenin, serius. Jadi, gue tunggu lanjutannya
    oke tengkyu komentarnya /"


    eh iya yak pake kapital? bentar gw cari tau dolo deh, entar dibenerin

    dan ini lanjutannya...





    Spoiler untuk Chapter 30 :


    ==============================
    Chapter 30: Divine Mission – Overture
    ==============================




    “Baiklah, rencana sedikit berubah. Feng, sesegera mungkin masuki wilayah Franks begitu kamu tiba. Friedrich, sekarang tugasmu adalah membombardir titik-titik terdepan pasukan Franks dengan pesawat-pesawat tempur yang ada. Dan saya harap para kaisar sekalian jangan ikut maju ke garis depan. Jika terjadi sesuatu pada anda semua…bisa-bisa semangat para prajurit akan menurun drastis. Sisanya, tetap jalankan rencana sesuai kesepakatan awal.”

    “Oke, akan kuhubungi skuadron angkatan udara sekarang…!!”, jawab Friedrich dengan semangat.

    “Beres. Akan kuacak-acak langsung orang-orang Franks itu begitu kakiku menginjak tanah.”, sahut Feng.

    “Kalau begitu, sekarang saya akan menghubungi pimpinan angkatan laut Teutonium wilayah timur untuk menyerang Frisia lewat laut.”, Kaiser Wilhelm menambahkan.

    “Samudera Eirene akan menjadi milik Qing kali ini. Kapal-kapal terbaik Qing akan berlayar dalam 12 jam ke depan.”, kaisar Yu berujar.

    “Satu kata dariku, maka para prajurit Parthia akan langsung menuju Al-Zahra. Kami siap kapan saja.”, kaisar Kurosh mengkonfirmasi.

    “Tunggulah aku, anak muda. Kita akan bertempur bersama lagi di lautan.”, ujar orang tua itu.

    “Kami juga akan melakukan bagian kami, Daleth. Semoga kekuatan alam selalu bersamamu.”, kata Albert.

    Satu persatu transmisi dimatikan, kecuali Huang. Selang beberapa detik setelah transmisi yang lainnya menghilang, dia mulai bicara.




    “Ng…mungkin ini hanya perasaanku saja. Tapi…kalian akan pergi ke Liberion, benar begitu?”, tanyanya.

    Wow, bagaimana dia bisa menebaknya? Tidak sepatah katapun kuucapkan mengenai rencanaku untuk pergi ke Liberion bersama Resha.

    “Begitulah. Kami akan menyelesaikan semua ini. Pasti.”, jawab Resha.

    “Yap, benar yang dikatakan Resha. Semuanya diawali dari kami berdua, dan harus diakhiri oleh kami juga. Tidak ada alasan untuk mundur.”, ujarku menambahkan.

    “Tapi kalian harus menunggu armada kesebelas, tiga belas, dan empat belas itu dulu jika kalian benar-benar ingin pergi. Beth-Sheol terletak di pantai barat dan agak ke utara. Terlalu beresiko jika mendaratkan kalian di wilayah terdekat Liberion, beberapa ratus kilometer sebelah utara pulau ini.”, sahut Valentina.

    “Kamu…pimpinan kapal yang di sana itu?”, perempuan berambut twintail itu bertanya pada Valentina.

    “Uh-huh, benar sekali. Yah…meski aku bisa pindah tugas ke divisi militer manapun sesukaku.”

    “Mmm…sebenarnya…aku punya firasat tidak enak. Jadi, tolong jaga mereka berdua baik-baik---“

    “Valentina. Valentina Kosmodemyanskaya.”

    “Ah, baiklah.”, ekspresi Huang berubah sangat khawatir, lalu melanjutkan, “Valentina, sekali lagi, kumohon dengan sangat…lindungi mereka berdua.”

    “Hei Huang, memangnya ada apa sih? Tidak biasanya kamu terlihat khawatir begitu.”, sahutku.

    “A-Aku juga tidak tahu, Daleth. Sesuatu yang buruk…jika kalian tidak hati-hati…”

    “Tenang saja, Huang. Kami janji, kami akan berhati-hati. Kamu juga…jalankan misimu dengan baik yah.”, jawab Resha, diikuti dengan sebuah senyuman.

    “Ng…ya sudah kalau begitu. Maaf sudah berceloteh tidak jelas begini. Kuharap tidak terjadi malapetaka pada kalian, dan…sampai bertemu lagi.”

    Tanda tanya besar mencuat di dalam kepalaku. Aku tahu misi ini sangat berbahaya, karena sama saja dengan seekor antelop yang memasuki kumpulan singa. Namun dengan begitu, pastilah kami akan waspada penuh setiap detiknya. Mungkinkah Dia memberi suatu pertanda pada Huang?




    48 jam berlalu.

    Dua kapal cruiser class ini, Glasnost dan Perestroika, akhirnya memulai perjalanannya untuk bertemu armada sebelas, tiga belas, dan empat belas. Mereka sekitar 6 jam di belakang karena kondisi laut yang bergejolak kemarin. Orang tua itu juga mengatakan sedang dalam perjalanan, meninggalkan keempat armada yang bersamanya. Saat kutanya kenapa, dia hanya menjawab, “Mereka hanya memperlambatku saja!! Hahaha!!” Yah, memang harus kuakui kalau Arkhangelsk Mikhail dapat melayang di udara, memberinya kecepatan yang lebih. Mudah-mudahan dia bisa tiba sesuai jadwal.

    Aku dan Valentina berada di Glasnost, sementara Resha berada di Perestroika. Ada alasan khusus kenapa kami berada di kapal yang terpisah. Perestroika menyimpan perangkat-perangkat yang berfungsi sebagai encoder untuk sinyal komunikasi, yang sudah tentu Resha lebih ahli dalam menggunakannya. Dua kali sudah dia berada di belakang perangkat-perangkat yang sejenis, jadi tak heran Valentina mempercayakannya untuk hal itu. Dengan kata lain, sementara Glasnost berkomunikasi dengan pasukan Varangia ataupun negara-negara sekutunya, Perestroika akan mengubah sinyal tersebut menjadi sesuatu yang tidak bisa dibaca oleh Liberion tanpa proses decoding yang rumit. Yang tentu saja, teknik decoding nya sudah diketahui negara-negara sekutu namun tidak dengan aliansi. Aku sendiri berada di Glasnost karena kapal inilah yang memiliki alat untuk berkomunikasi langsung dengan pemimpin-pemimpin negara sekutu, yang pastinya akan memilih untuk bicara denganku untuk bertukar pendapat mengenai strategi peperangan.

    Selagi di tengah laut, aku menerima beberapa transmisi dari negara-negara sekutu.

    Pertama, Teutonium. Serangan ke Frisia terbilang sukses, dua divisi infantri dan satu divisi tank Frisia habis ditelan keganasan tentara Teutonium. Beberapa pesawat Franks berusaha mengintervensi, namun setengah dari skuadron yang dikirim dapat dijatuhkan oleh angkatan udara Teutonium. Laut di sebelah utara juga menjadi tempat bermain bagi armada Teutonium. Kapal-kapal Frisia tak mampu bertahan, pelabuhan-pelabuhan pentingnya pun dapat dikuasai.

    Kedua, serangan terobosan yang dilakukan Feng. Meski hanya berjumlah 20 orang, mereka bisa menghancurkan lokasi-lokasi strategis milik Franks yang berada di perbatasan ---apalagi kalau semuanya memiliki kemampuan seperti Feng---. Rencananya, mereka akan masuk lebih jauh, diikuti oleh beberapa divisi tentara Teutonium yang tidak ikut menyerang ke Frisia.

    Ketiga, di Al-Zahra. Anglion belum melakukan pendaratan, namun gabungan pasukan Parthia dan Varangia sudah siap menyambut mereka kapanpun. Beberapa lokasi di pantai utara Al-Zahra telah dipasangi beberapa meriam dan peluru kendali oleh tentara Varangia yang tiba lebih dulu, siap ditembakkan jika kapal Anglion terdeteksi.

    Keempat, armada Qing di samudera Eirene. Kudengar mereka memiliki kapal jenis baru hasil riset para ilmuwan Qing, namun sayang sekali belum bisa diturunkan ke Eirene saat ini. Meski begitu, jumlah armada-armada konvensional yang diterjunkan ke pulau-pulau di Eirene sangatlah besar. Hal itu membuat mereka dapat bergerak cepat untuk menguasai pulau-pulau yang ada, sekaligus membangun pertahanan. Semuanya dapat dilakukan dalam 3 hingga 4 hari ke depan. Jika tidak ada halangan, dalam 5 hari setelahnya segalanya akan siap.

    Kelima, armada Varangia di samudera Eirene utara. Kapal-kapal Liberion mulai terdeteksi bergerak mendekat, sepertinya siap berpesta dengan angkatan laut Varangia yang siaga sejak beberapa hari lalu. Tapi aku yakin, Varangia lebih mampu menguasai medan karena laut musim dingin yang penuh es adalah lapangan bermain bagi mereka.

    Keenam, serangan di sebelah selatan Benua Biru. Kudengar tentara Italia cukup kesulitan pada awalnya, namun pegunungan Alpina yang membentang dari Alpina hingga utara dan timur Italia memberi keuntungan besar. Angkatan darat Franks yang bergerak maju tidak mampu menembus pegunungan itu tanpa kehilangan sebagian besar pasukan. Pesawat? Tidak mungkin diterbangkan karena seringkali terjadi badai di pegunungan itu. Di laut sepertinya agak berimbang, meski armada Franks jumlahnya lebih besar. Kuharap mereka bisa menahannya lebih lama lagi.

    Ketujuh, suku Nehiyaw. Aku tidak bisa berkomunikasi langsung dengan mereka, hanya dapat kulakukan melalui perantaraan kaisar Kurosh. Kudengar beberapa suku mulai bergerilya di hutan dan pegunungan, sesekali menghancurkan beberapa titik yang menjadi sumber pasokan tentara Liberion pada malam hari. Mudah-mudahan mereka tidak habis semuanya karena persenjataan yang berbeda jauh…

    Kedelapan…masalah Huang. Jujur saja, aku belum mendengar kabarnya sama sekali sejak hari itu. Sudah mendaratkah? Atau sudah mulai masuk ke menara ******* itu? Kuharap tidak terjadi sesuatu yang buruk terhadapnya.




    “Bagaimana laporan dari seluruh dunia?”, mendadak Valentina memasuki ruangan tempatku duduk, ruang yang sama yang digunakan untuk berkomunikasi dengan para pemimpin 2 hari lalu.

    “Di satu sisi aku puas, namun di sisi lain…tidak. Ini terlalu mulus. Aku cukup terkejut dengan perlawanan yang dilakukan Frisia. Terlalu enteng. Hanya dua divisi infantri dan satu divisi tank? Apa mereka tidak tahu kalau Teutonium akan menyerang dengan lebih dari tiga puluh gabungan divisi infantri, tank, dan artileri? Mustahil. Mereka memang lemah, namun tidak selemah itu.”

    Dia mengambil kursi di sebelah kananku, lalu berkomentar, “Uh-huh. Memang terlalu mulus. Kakek juga memerintahkan pada armada Varangia di seluruh dunia agar lebih waspada…apalagi baru saja kapal-kapal Liberion di Eirene utara bergerak berbalik arah.”

    “Eh? Maksudmu? Mereka kabur?”

    “Mungkin? Tapi mereka baru kehilangan empat kapal, kapal biasa. Baru begitu saja sudah lari…payah.”

    Tunggu. Ini aneh. Kenapa mereka tidak meluncurkan kapal-kapal induk? Selain proyek-proyek aneh bin ajaib yang dilakukan, kapal induk Liberion sangatlah ditakuti di seluruh dunia, apalagi dengan kapasitasnya yang paling besar diantara kapal-kapal induk milik negara lain. Ada apa ini sebenarnya…?

    “Ya sudah, aku kembali ke stasiun komando dulu. Sepertinya tiga armada Varangia itu akan tiba satu atau dua jam lagi.”

    Karena bosan ---dan selama satu jam tidak ada transmisi masuk---, aku melangkah meninggalkan ruang komunikasi menuju haluan kapal. Yang ada di depan sini hanya dua buah meriam. Yang satu diameternya besar, sangat mungkin untuk melakukan serangan ke darat. Satu lagi jauh lebih kecil, dan seingatku di belakang juga ada satu yang kecil juga. Mungkinkah sejenis Phalanx CIWS? Melihat kecilnya diameter laras meriam, sepertinya ini bukan senjata utama. Apalagi dengan adanya 6 penembak peluru kendali terpasang di beberapa bagian kapal, yang sangat mungkin adalah persenjataan utama kapal.

    Berkeliling sebentar, sampailah aku di buritan. Ada satu helipad di belakang, sepertinya helikopter anti kapal selam sejenis seri Seahawk milik Liberion. Oh, ternyata ingatanku tidak salah, ada satu meriam kecil juga di belakang sini. Perestroika, yang berlayar beberapa ratus meter di sebelah kiri juga memiliki persenjataan yang identik. Cukup lengkap persenjataan pada kedua kapal ini.

    Kapal ini terasa melambat, begitu juga Perestroika. Ah, aku mengerti. Sepertinya agar ketiga armada yang di belakang itu bisa berlayar mendekat. Benar saja. Tak lama, kulihat beberapa kapal muncul dari horizon. Awalnya hanya beberapa, tapi…wow. Valentina memberitahu kalau total ada 28 kapal yang datang dari ketiga armada, jadi ada 30 kapal jika ditambah kedua kapal ini. 12 frigate dan 9 destroyer class berlayar di depan, lalu menyusul kedua kapal ini. 4 cruiser class, yang setipe dengan kapal ini, mulai menyamakan posisi agar tidak terlalu jauh di depan Glasnost dan Perestroika. Sisanya, ada 3 buah heavy cruiser di belakang. Baru kali ini aku melihat rombongan kapal berlayar bersama dalam jumlah sebanyak ini.

    Akupun diajak ke menara komando, lalu memperkenalkan diri pada para pimpinan armada yang ada. Aku juga sempat mendengar suara Resha yang pasti menggunakan alat komunikasi di kapal sebelah.

    Mendadak orang tua itu menghubungi lewat radio.

    “Kalian segeralah berlayar ke arah pantai Beth-Sheol. Dalam tiga jam aku akan menyusul kalian.”

    “Hah? Cepat sekali!!”, aku nyaris tidak percaya. Aku tahu kapal itu bisa bergerak dengan cepat, tapi…aku tidak menyangka akan secepat ini.

    “Hei anak muda, mesin kapal ini sudah ditambah kapasitasnya, jadi aku bisa bergerak lebih cepat…hahaha!! Pokoknya jalankan saja perintahku, mengerti?!”

    Transmisi radio langsung ditutup. Bah. Ya sudahlah, semoga dirimu tidak menemui masalah di perjalanan. Valentinapun menginstruksikan ke semua kapal agar bergerak dengan kecepatan penuh.

    “Kakekmu itu gila kecepatan?”

    “Yah…begitulah. Aku sendiri heran kenapa dia tidak masuk angkatan udara saja…”, jawab Valentina sambil menaruh tangan kanannya di dahi.

    “Dan bagaimana denganmu sendiri? Sebenarnya kamu ini berada di bawah angkatan laut atau angkatan darat? Sewaktu di Parthia, sepertinya kamu datang bersama orang-orang dari angkatan darat.”

    “Aku? Aku bisa pindah divisi sesukaku. Kamu tahu sendiri kan kemampuanku…hehehe…”, dia menjawab dengan ekspresi…agak menyeramkan.




    Setengah jam berlalu.

    Matahari nampak tinggi di langit, memberi kehangatan di atas laut yang dingin ini. Suara ombak yang lembut membuat hatiku merasa tenang, meski di beberapa bagian dunia sedang terjadi tembakan meriam dan hujan peluru kendali. Suasana ini membuatku merasa...ah.

    Aku masih berada di menara komando ketika ada transmisi radio masuk. Operator menekannya, lalu terdengar suara Resha.

    “Daleth? Valentina? Coba kalian periksa radar sekarang…ada sesuatu yang bergerak dari arah depan.”

    Valentina memerintahkan operator bagian radar untuk memeriksa, namun nihil. Tidak ada apapun di depan, selain kapal-kapal Varangia sendiri.

    “Hei, apa kamu tidak salah lihat?”

    “Tidak, Valentina. Di sini terlihat jelas sekali ada objek asing yang mendekat. Tapi…memang ada yang aneh. Beberapa kapal bisa mendeteksinya, sementara kapal-kapal lainnya tidak.”

    Ada yang tidak beres di sini.

    “Resha, awasi terus pergerakan objek itu. Dan…Valentina, aku akan mengambil sarung tanganku. Objek tersebut terlalu mencurigakan, jika benar kata-kata Resha. Bisa jadi itu milik Liberion atau pasukan aliansi.”

    “Hmm…baiklah. Akan kuperintahkan semuanya untuk mempersiapkan senjata.”

    Suara Valentina yang tegas itu mulai terdengar saat aku membuka pintu menara komando. Sementara aku berlari ke ruanganku di kapal ini untuk mengambil sarung tanganku, semua awak terlihat sibuk. Alarm peringatan siaga dipasang, bersuara hingga ke seluruh kapal. Akupun bergeas ke ujung haluan, siap menyambut objek asing itu.

    “Hei, bukankah kamu seharusnya siaga di menara komando?”, tanyaku saat melihat Valentina berjalan kemari.

    “Dan ketinggalan permainan seru ini? Yang benar saja…hahaha!!”

    Benar-benar mirip kakeknya.

    Dia memberikan satu buah headset padaku, lalu berkata, “Pakai ini. Resha akan mengarahkan kita melalui alat ini.”

    “Seperti di Parthia…eh?”

    “Haha…nostalgia. Ngomong-ngomong, apa ada senjata Liberion yang bisa berada di bawah laut? Selain kapal selam tentunya.”

    “Sepertinya tidak--- HEI !! Aku baru ingat!! Leviathan bisa menyelam ke dalam air juga!!”

    Kenapa baru kuingat sekaraaaangg?!

    “Cih…ular besi itu lagi. Tapi tenang saja, beberapa kapal punya meriam dengan peluru anti-matter.”

    “Fiuh…untunglah. Mudah-mudahan ular rongsokan itu bisa tumbang.”

    “Oke…bersiaplah. Sepertinya dia akan muncul.”




    Selang beberapa detik, laut terasa bergejolak. Namun yang terlihat paling dahsyat ada di satu titik, tak jauh dari kapal frigate terdepan. Dan…benar saja, Leviathan--- EH?! Kenapa ukurannya 3 kali lipat lebih besar dari yang waktu itu?! Yang ini nyaris 100 meter panjangnya!!

    “D-Daleth…”, ujarnya kaku.

    “Huh…?”

    “Kenapa yang satu ini besar sekali?! Satu frigate bisa dikunyah habis hanya dalam sekejap!!”

    “Mana aku tahu?! Beberapa bulan berlalu, ditambah kondisi dunia yang tidak stabil, tidak mungkin Liberion tidak melakukan modifikasi apapun!!”

    “AAAAHHH!! Baiklah!!”, Valentina menyalakan headset nya, lalu berkomat-kamit dalam bahasa Varangia. Memerintahkan serangan, mungkin?

    Tiba-tiba masuk transmisi, lalu kudengar suara Resha. “Halo? Daleth? Valentina?”

    “Ada apa?”, tanyaku.

    “Mendadak…yang terdeteksi tidak hanya satu. Ada beberapa belas di sini…”

    “APA?! Tidak hanya satu?!”, seru nona kolonel. “Bagaimana mereka tidak bisa terdeteksi?!”

    Kemungkinan besar yang satu ini bukan terdiri dari komposit yang biasa digunakan untuk pesawat stealth. Bisa jadi…Leviathan kali ini memiliki sistem radar jammer, membuat kapal-kapal Varangia menerima sinyal yang berbeda mengenai keberadaannya. Dan jika benar ada belasan…gawat. Menghadapi satu saja sudah susah setengah mati, apalagi banyak?!

    Mendadak muncul beberapa ular besi lagi di sela-sela formasi kapal perang yang sedang melaju. Sekali Valentina berteriak, maka semua kapal menembak ke ular-ular terdekat yang ada. Helikopter-helikopter yang berada di cruiser atau heavy cruiser class juga terbang untuk membombardir ular-ular tersebut.

    Kepulan asap membumbung di beberapa titik akibat tembakan meriam. Beberapa misil juga ditembakkan, sekedar untuk memperlambat pergerakan ular-ular besi itu. Namun…percuma. Mereka bisa menyelam dan muncul sesukanya, mengganggu barisan armada Varangia.

    “Ular-ular brengsek ini tidak bisa dibiarkan mengacau lebih jauh. Kalau begitu, kamu ke kanan, aku ke kiri. Mengerti?!”, perintahnya.

    “Baiklah. Jangan mati sebelum sampai ke Beth-Sheol, oke?”

    “Hahaha!! Tenang saja, aku janji.”

    Diapun mengionisasi udara di sekitarnya dengan medan listrik, lalu mengambang. Cara serupa digunakannya di Parthia, hanya saja waktu itu dengan mengionisasi pasir dan tanah. Diapun melesat dengan kecepatan tinggi ke arah salah satu Leviathan. Baiklah…

    “Plasma Directing!!”

    Menaiki awan plasma, lalu menuju ke salah satu ular busuk itu. Sesekali asap mengganggu pandanganku, namun aku masih bisa melakukan manuver untuk menghindari serangan nafas napalm nya. Perlahan namun pasti, permukaan air berubah menjadi lautan api.

    Satu ular yang di hadapanku mengeluarkan beberapa gatling gun dari sisi tubuhnya lalu menembaki 2 destroyer, 1 cruiser, dan 1 heavy cruiser yang terletak nyaris segaris. Selagi menembak dengan peluru, dia mengeluarkan beberapa buah misil dari punggungnya tepat ke arahku. Untunglah Energy Barrier bisa menahan gempuran senjata konvensional seperti itu.

    “Ular brengsek!! Atomic Vibration!!

    BAM!! Kuhantam kepalanya, membuat lapisan pelindung terluarnya terkelupas. Bah, ular-ular baru ini ternyata memiliki lapisan pelindung yang lebih tebal dibanding yang di Parthia. Beberapa kali Atomic Vibration, barulah aku bisa melihat sistem mekanik-elektrik di dalam kepalanya. Untunglah tubuhku tidak berada dalam kondisi parah seperti di Parthia, jadi apa yang kulakukan tidak terasa membebani fisik. Kemudian dengan sekali Photon Blaster, kepala ular itu langsung berlubang hingga ke bawah. Namun sebelum jatuh, dia sempat menembakkan napalm ke salah satu frigate, dan…kapal itupun meledak. Mengerikan.




    Dengan nafas terengah-engah, Valentina bertanya padaku melalui headset, “Bagaimana?”

    “Satu jatuh. Di sana sendiri?”

    “Sama juga. Tapi ular ini alot sekali, menurutku lebih keras dibanding yang di Parthia. Amunisi bisa terbuang percuma kalau begini caranya…ya sudah, aku akan menghajar yang selanjutnya.”

    Kemudian, Resha menghubungi, “Daleth? Halo? Bersiaplah, akan ada satu lagi yang datang di dekatmu…!!”

    “Eh? Jadi yang terlihat sekarang belum seluruhnya?”

    “Belum, dan kurasa masih ada banyak. Untunglah di sekitar Perestroika tidak ada satupun yang muncul. Hati-hati ya menghajarnya…jangan pergi ke alam sana lebih dulu.”

    “Tentu saja tidak, Resha. Aku masih punya janji yang belum kutepati. Ingat?”

    “Ng...iya, aku tahu. Ya sudah, aku akan terus memandumu dan Valentina dari sini. Ah, sedikit lagi satu lagi akan---“

    Mendadak Valentina masuk ke transmisi, “Heh kalian berdua!! Jangan pacaran di situasi begini!!”

    “Siapa pula yang pacaran hah?! Resha sedang memberitahu kalau ada yang akan datang lagi!!”

    “Cih…masih beralibi. Baiklah…Resha, apa akan ada lagi yang datang ke sektor kiri? Sejauh ini aku hanya melihat empat ekor di kiri, semuanya sedang dihadapi armada sebelas.”

    “Ah ya, ada dua lagi yang akan datang, dua puluh derajat arah timur.”

    “Baiklah…aku sudah tidak sabar menghajar mereka. Dan Daleth, bagaimana di sana? Apa mereka kesulitan?”

    “Sedikit. Tapi armada empat belas bisa menahan lima ekor yang ada di sini, setidaknya hingga sekarang.”

    “Bagus.”, Valentina terdengar lega, lalu melanjutkan, “Kudengar juga armada tiga belas sedang menghadapi empat yang di formasi depan. Daleth, pancing terus agar ular-ular itu tidak mendekati Glasnost ataupun Perestroika. Segala peralatan komunikasi rahasia ada di kedua kapal itu.”

    “Dan jangan lupa kalau ada Resha juga di Perestroika…”

    “Kalian ini…manis sekali. Masih juga saling memikirkan satu sama lain. Aku mau muntah rasanya.”

    “D-Diamlah dan lakukan saja tugasmu!!”, seru Resha, namun terdengar malu-malu.

    Dan…benar kata Resha, tiba-tiba satu lagi muncul di dekatku dari dalam laut, sekitar 100 meter di kanan. Palka-palka di punggungnya membuka, lalu menembakkan misil-misil ke arahku dan kapal-kapal terdekat. Permukaan air bergoncang dengan hebatnya akibat ledakan-ledakan misil tersebut. Bahkan di satu titik tercipta deburan air setinggi 10 meter, membuat satu cruiser terdekat bergoyang hebat. Satu destroyer terkena misil langsung, sehingga bagian belakangnya terbakar.

    Aku menghindar sesaat karena heavy cruiser di belakang akan menembakkan peluru anti-matter. Aku bisa tahu karena ledakannya hanya menghasilkan sedikit asap. Bagian dadanya terkena, membuat sedikit lapisan pelindungnya terkelupas. Tembakan itu diikuti cruiser terdekat dengan peluru normal, membuat bagian tersebut agak penyok. Langsung saja kuterobos gumpalan asap akibat tembakan cruiser tadi, lalu menghajarnya dengan Atomic Vibration.

    Akhirnya, setelah dihajar terus menerus olehku dan kapal-kapal Varangia, Leviathan keduapun jatuh. Kulihat satu lainnya juga sudah tumbang meski tidak dibantu olehku. Baguslah, sepertinya hanya butuh firepower yang lebih dahsyat saja untuk mengalahkan ular-ular itu. Setidaknya aku tidak perlu mengaktifkan Overdrive System kali ini, jadi aku dapat bergerak lebih bebas untuk menghajar ular berikutnya.




    Ular ketiga. Menyadari kalau Atomic Vibration dan Photon Blaster tidak dapat digunakan untuk sekali serang, aku harus menggunakan taktik lain.

    Hei…bagaimana kalau…

    Cruiser yang berada di paling kanan sedang menembaki salah satu ular rongsokan itu, terlihat kesulitan karena beberapa kali bergoncang hebat. Dengan kecepatan tinggi, aku langsung mendekat ke arahnya, lalu meletakkan tanganku di atas kepalanya. Dan…

    “Energy Absorber. Cryogenic shift!!”

    Kubekukan bagian kepalanya, hingga lapisan pelindungnya menjadi rapuh. Semua material akan berubah sifat mirip kaca bila dibekukan mendekati titik nol mutlak. Selama beberapa saat kutahan Energy Absorber, membuat permukaan ular itu membeku diselimuti es. Tentu saja aku tidak menginjakkan kaki agar kakiku tidak ikut beku. Sistem kontrol di kepalanyapun kacau, membuatnya tidak menembakkan apapun lagi. Dengan sekali hantaman misil dari cruiser tadi, kepala Leviathan hancur berkeping-keping.

    Mendadak transmisi masuk. Itu Resha.

    “Daleth, apa kamu dengar?”

    “Hmm? Kenapa?”

    “Ada yang ingin bicara denganmu. Akan kusambungkan ke sana.”

    Sepertinya aku bisa tebak…

    “Tinggalkan satu untukku, anak muda!! Aku belum beraksi hari ini!!”

    Benar dugaanku, orang tua gila itu.

    “Ha…!! Cepatlah kemari kalau tidak ingin ketinggalan!! Aku sudah menumbangkan tiga ekor barusan!!”, ujarku bangga.

    “Cih…jangan sombong dulu. Kepulan asapnya sudah terilhat dari sini, jadi…tunggu dan lihatlah aksiku!! Hahaha!!”

    “Hah?! Sebentar lagi kapalmu akan sampai?! Memangnya berapa kecepatan yang digunakan?!”

    “Hanya tiga ratus kilometer per jam, anak muda. Terasa nikmat sekali berkendara secepat ini tanpa harus menyentuh permukaan.”

    “Bah…pantas saja. Tapi perlambat kapalmu sekarang juga agar tidak menabrak yang lain!!”

    “Ah…oke, oke. Aku juga tidak mau mencederai orang-orang sebangsaku.”, lalu terdengar sayup-sayup suaranya berteriak dalam bahasa Varangia.

    “Ya sudah, cepat siapkan juga meriam anti-matter yang waktu itu. Aku yakin kapalmu bisa menumbangkan ular-ular itu lebih cepat karena kekuatan tembakannya yang lebih besar dibanding kapal-kapal biasa.”

    “Hohoho!! Tenang saja!! Sudah dipersiapkan oleh para awak kapal sejak tadi, hanya tinggal ditembakkan saja begitu salah satunya terlihat.”

    Bagus. Dengan begini ular-ular itu bisa dimusnahkan lebih cepat.




    Benar saja. Tak lama, terlihat kapal besar itu dari kejauhan. Aku langsung menghela nafas panjang, merasa lega karena akhirnya muncul juga sesuatu yang bisa mengalahkan Leviathan Project.

    “Whoa…anak muda, yang kali ini lebih besar?”, suaranya terdengar seperti seorang yang habis melihat hantu.

    “Tidak usah takut. Mereka tetap bisa dihancurkan dengan peluru anti-matter, hanya saja perlu waktu lebih lama karena lapisan pelindungnya menjadi lebih tebal.”

    “Oh…begitu. Baiklah!! Akan kusiapkan meriamnya sekarang!!”

    Kapal itu mengambil posisi horizontal agar meriam-meriam di sisi kirinya tepat mengarah ke sini. Kudengar orang tua itu berseru dalam bahasa Varangia, lalu peluru-peluru besar terlontar dari tiap laras meriam. Disambut dengan beberapa misil dari Arkhangelsk Mikhail, satu ular langsung rubuh.

    Tunggu. Ada yang bergerak di bawah air.

    Kuganti saluran transmisi untuk menghubungi Resha, lalu bertanya, “Halo? Resha? Aku melihat dua bayangan di dalam air…apa kamu melihatnya?”

    “Oh iya, benar. Masih agak jauh di kanan, di dekatmu--- oh tidak…”

    “Resha? Resha?! Hei!! Ada apa?!”, nada bicaraku langsung naik karena panik.

    “Daleth, keduanya menuju ke sini dengan kecepatan tinggi!! Cepatlah kemari!!”

    Refleks, aku melesat ke arah Glasnost dan Perestroika. Anehnya lagi, kedua bayangan di dalam air itu bergerak jauh lebih cepat dibanding Plasma Directing. Apa iya Leviathan bisa berenang secepat itu?!

    Dua Leviathan tiba-tiba muncul ---meski bentuk keduanya lebih hidrodinamik dengan ujung kepala yang lebih runcing---, masing-masing di depan Glasnost dan Perestroika. Kedua kapal itu berusaha menembak, namun kedua ular tersebut tidak tumbang. Langsung saja kuhubungi Valentina.

    “Hei, Valentina!! Ada dua yang berada di sekitar Glasnost dan Perestroika!!”

    “Eh…?! Wah, gawat!! Baklah, aku ke sana!!”

    “Aku hajar yang satu, kamu hajar yang lain, oke?!”

    “Beres!!”

    Kuganti transmisi, ke Arkhangelsk Mikhail.

    “Hei orang tua, apa tembakan selanjutnya sudah siap?!”

    “Kapal ini sedang memutar, jadi sabarlah!! Akan kugunakan deretan meriam di sisi satunya!!”

    Bagus. Dengan begini keduanya pasti jatuh.

    Hanya selang dua detik, terdengar bunyi keras dari arah kapal raksasa itu. Dia telah memuntahkan beberapa peluru anti-matter berukuran besar, dan 10 butir mengenai kedua ular tersebut, membuat beberapa titik di tubuhnya berlubang. Langsung saja…

    “Atomic Vibratioooooooonnn!!!!”

    Terlihat Valentina terbang dari arah berlawanan, sepertinya siap memberikan setruman listrik berkekuatan tinggi.

    Tiga. Dua. Satu. *BHUUUMMM!!!~

    Kuhajar ular di depan Glasnost tepat di bagian kepalanya yang rusak. Sementara itu, Valentina terlihat menyambar ular di depan Perestroika, tepat di bagian dada, di titik yang terkelupas cukup dalam. Keduanyapun tumbang.




    Kupikir ancaman terhadap Resha sudah berlalu, tapi…

    “Daleth!! Valentina!! Ada satu lagi---“

    Deburan air yang besar menandakan satu ekor Leviathan yang tiba-tiba muncul. Yang satu itu tidak terlacak oleh radar. Aku terhempas beberapa meter akibat tingginya ombak yang terbentuk. Untunglah aku tidak tenggelam, namun gelombang tadi membuat nafasku terganggu untuk beberapa saat.

    “Oi, orang tua!! Cepat tembak yang satu itu!!”

    “Tidak bisa, anak muda!! Peluru belum siap!!”

    Parahnya, Valentina mendadak tidak bisa dihubungi. Kemungkinan hempasan ombak tadi membuat perangkat headset nya terganggu, atau membuat dirinya tak sadarkan diri.

    Dan yang kutakutkan…terjadi.

    Sementara aku masih berusaha mengambil nafas karena air tadi benar-benar menyelimuti penuh tubuhku, ular itu…


    …menerkam Perestroika.


    Layaknya menyobek sebuah kertas, ular rongsokan tersebut membuat kapal cruiser class itu terbelah dua di sepanjang sisi pendeknya. Belum sempat Glasnost menembak, dia kembali ke dalam air dan tidak muncul lagi.

    “RESHAAAAAAAAA….!!!!!”

    Tidak ada yang bisa kudengar selain suara teriakanku sendiri.


    ===================================

    Spoiler untuk Trivia :


    Last edited by LunarCrusade; 26-07-12 at 05:07.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  12. The Following User Says Thank You to LunarCrusade For This Useful Post:
  13. #99
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Spoiler untuk Chapter 31 :


    =============================
    Chapter 31: Divine Mission – Chorus
    =============================




    Beberapa hari berlalu. Aku tidak tahu sudah tanggal berapa sekarang, dan aku tidak peduli. Setengah dari jiwaku seakan pergi meninggalkan tubuhku, membuat diriku sama sekali tidak bertenaga. Selama beberapa hari aku hanya berada di satu ruangan kecil di Glasnost. Belum pernah aku merasa depresi seberat ini dalam hidup. Saat diadili atas pembunuhan ratusan orang di laboratorium E.L.O.H.I.M. Project pun, aku tidak merasa seperti ini, malah jauh lebih tenang. Resha…

    “HAAAAAAAAAAAHHH!!!”

    Aku berteriak keras-keras sambil melempar tas milikku ke dinding. Nyaris gila? Ya, mungkin itu kata-kata yang tepat untuk kondisiku saat ini.

    Peristiwa itu mendadak kembali ke ingatanku.

    Begitu Leviathan mengoyak Perestroika dengan mudahnya…akal sehatku seakan hilang. Tidak sempat kulampiaskan emosiku pada ular itu karena dia langsung pergi menyelam, lalu lenyap entah ke mana. Di tengah kepanikanku, aku langsung melesat ke arah kapal yang terbelah dua itu, mencari keberadaan Resha. Namun…nihil. Tidak kutemui dirinya di antara para awak yang terapung di laut.

    Tentara Varangia yang melakukan pencarian di sekitar situ juga tidak menemukan apapun. Beberapa awak Perestroika didapati tewas, namun tak ada Resha di daftarnya. Di antara para awak yang masih hidup juga tidak kutemukan keberadaannya. Lenyap, benar-benar lenyap. Kondisi mentalku langsung jatuh ke titik terendah begitu mengetahui semuanya.

    Valentina sendiri ternyata ditemukan tak sadarkan diri di atas lautan, karena hempasan ombak itu membuat kepalanya terbentur bagian bawah haluan Perestroika. Ingin rasanya kumarahi dia karena kelalaiannya, namun…tubuhku sudah lemas. Sejak hari itu, aku hanya mengurung diri di ruangan ini. Menutup diri, tidak berkomunikasi dengan siapapun. Hanya Valentina saja yang sesekali masuk ke kamarku, namun sering keberadaannya tidak kuhiraukan. Pertanyaan darinya lebih sering kujawab dengan mengangguk atau menggelengkan kepala, tanpa bicara.




    Pagi ini, dia kembali mengunjungiku. Meski ruangan ini tidak memiliki akses cahaya matahari, namun aku tahu sekarang sudah pagi dengan melihat jam tangan.

    “Mmm…ini makanan untukmu. “, ujarnya sambil menaruh nampan dengan sebuah piring logam di meja. “Jangan sampai tidak makan.”

    Pertanyaan itu tidak kujawab. Aku tetap duduk di kasur sambil bersandar ke dinding.

    “Hei…bagaimana kalau kita keluar sebentar? Udaranya cukup segar kali ini.”

    Kata-kata biasa. Namun…kali ini entah kenapa aku tidak bisa menolaknya. Kujawab dengan sekali mengangguk, lalu kakiku seperti bergerak sendiri. Kuikuti langkahnya hingga ke dek layaknya boneka tak bernyawa.

    Berada di dalam ruang tertutup selama berhari-hari membuat mataku terasa nyeri begitu berada di dek. Mungkin intensitas cahaya seperti ini tergolong biasa bagi orang banyak, namun tidak denganku yang belakangan ini mengunci diri, membuat mataku lebih beradaptasi dalam kondisi gelap. Refleks kuangkat tanganku untuk menghalangi cahaya matahari yang menyilaukan itu.

    Dia berhenti melangkah, lalu bersandar di tepian dek yang memiliki pinggiran dari batangan logam. Sepertinya ini di sebelah kiri kapal.

    “Kenapa…kamu mengajakku keluar…”, ujarku datar.

    “Baiklah…bukan hobiku untuk basa-basi. Langsung saja. Kamu masih depresi karena kejadian itu?”, tanyanya.

    “Bukan urusanmu.”

    “Tentu saja itu urusanku, dasar bodoh!! Apa kamu tahu kalau negara-negara sekutu sedang kesulitan sekarang?!”

    “Masa bodo. Aku sudah tidak peduli dengan itu.”

    Kulihat dia mengepalkan tangan kanan, lalu muncul kerutan-kerutan di dahinya.

    “Kamu mau memukulku? Pukul saja.”

    Mendadak tangannya kembali lemas, lalu dia menghela nafas satu kali. “Huh…kamu ini. Tidak, aku tidak akan memukulmu. Bisa-bisa itu membuat kondisimu tambah buruk.”

    “Baguslah kalau kamu mengerti.”

    “Tapi aku tidak pernah mengira kalau kamu bisa jatuh seperti ini. Berbeda sekali dengan Daleth yang kutemui di Parthia.”

    “Jangan bicara seakan-akan kamu tahu banyak mengenai diriku.”

    “Dan membiarkan jutaan orang terancam kehilangan nyawa di luar sana?! Daleth, apa kamu tidak menyadari hal itu?!”

    “……”

    “Tolonglah, kemampuanmu itu sangat dibutuhkan banyak orang!! Jika kamu tidak bisa mengehentikan Liberion---“

    Tanpa sadar kutarik kerah bajunya, lalu berteriak, “TUTUP MULUTMU!! Semua hanya peduli dengan kemampuan yang kumiliki. Ya, hanya itu!! Mereka tidak memikirkan bagaimana perasaanku sekarang!!” Apa kamu tahu bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang berhasil mengisi kekosongan hatiku selama dua puluh lima tahun?! APA KAMU MENGERTI HAL ITU???!!!”




    Tiba-tiba sebuah suara terdengar dari belakangku.

    “Akan kutenggelamkan dirimu kalau berani macam-macam dengan cucuku!!”

    Orang tua gila itu lagi.

    “Lepaskan tanganmu yang kotor itu darinya. CEPAT!!”

    “Cih…”, kulepaskan genggamanku itu, lalu menjawabnya, “Apa urusanmu di sini, orang tua?!”

    “Ha!! Seenaknya saja memerintah begitu. Kamu pikir ini kapalmu, hah?! Seharusnya aku yang bertanya kenapa kamu masih ada di sini!! Kupikir kamu bisa menolong dunia ke arah yang lebih baik. Nyatanya? Kamu hanya seorang pengecut!! Manusia lemah!! Aku heran kenapa orang-orang bisa mempercayakan semua ini padamu!! Sudah sepantasnya kamu mati tenggelam dan dimakan ikan-ikan di laut!!”

    “Kurang ajaaaaaarrr…!!”

    Kuarahkan tinjuku padanya sambil berteriak keras-keras seperti itu. Tetapi, orang tua itu berhasil menahannya. Untuk orang setua dia, tenaganya…kuat sekali. Argh, sial.

    “Hmmph, masih terlalu cepat lima puluh tahun untuk bisa mengalahkanku, anak muda!!”

    Dengan cepat dia berhasil mengunci kedua tanganku hingga tidak bisa kugerakkan. Kemudian, dia melemparkan tubuhku ke lantai dek. Kenapa orang tua ini kuat sekali?!

    Aku belum sempat berdiri saat tangannya menarik kerah bajuku. Dengan nada marah dia berkata, “Pasang telingamu dan ingat kata-kataku ini baik-baik. Aku. Tidak. Butuh. Bantuanmu. Untuk. Memenangkan. Perang ini. Tidak akan ada hasil yang bisa diraih jika ada orang lemah sepertimu!! Sekarang putuskan, bangkit dan ikut berperang atau enyahlah dari hadapanku!!”

    “Ternyata dirimu sama saja, orang tua!! Kamu hanya peduli dengan kemampuanku, tanpa peduli dengan apa yang kurasakan sekarang!! Apa kamu tahu kalau Resha---“

    Belum selesai aku bicara, dia memotong.

    “Aku tahu, anak muda!! AKU TAHU!! Empat puluh tahun lamanya aku tidak pernah lagi bertemu dengan seseorang yang kucintai!! Dan kamu tahu apa lagi? Dia sudah meninggal begitu aku kembali ke tanah airku!! Tapi lihat diriku sekarang. LIHAT BAIK-BAIK!! Apa pernah sekalipun aku ragu untuk berjuang meski dia sudah tidak ada? Apa pernah kamu lihat aku bersikap layaknya orang brengsek sepertimu saat ini??!! JAWAB!!!!”

    Seakan ada palu besar yang menghantam kepalaku saat mendengar kata-katanya yang menggelegar itu. Tak bisa kubalas ucapannya yang satu itu, karena sesuatu dalam hatiku berkata bahwa yang dikatakan orang tua itu benar adanya. Bukan hanya masalah dia jujur atau tidak, namun…mengenai bagaimana seharusnya bersikap.

    Dia benar. Aku tidak bisa terus terpuruk.

    Tubuhku dihempaskan, lalu dia berjalan menjauhiku. Tiga langkah setelahnya dia berkata, “Lagipula Resha belum tentu mati, anak muda. Jasad yang tidak ditemukan bukan berarti dia pergi untuk selamanya.”

    Mendengar kata-katanya, kukumpulkan seluruh tenagaku untuk bangkit berdiri. Ya, aku harus bangkit. Bukan hanya berdiri dengan kedua kaki, namun juga berdiri di atas semangat hidup demi menyelamatkan orang banyak.

    “Ingat baik-baik, orang tua. Aku akan menghajar kepalamu dengan botol vodka…”

    Kutarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan.


    “…setelah kuobrak-abrik pasukan Liberion.”


    Ekspresi Valentina langsung berubah gembira, sementara orang tua itu hanya tersenyum bangga.

    Orang tua itu berujar, “Namun sebelum kamu kembali ikut berperang…”

    “Ada apa lagi hah?”, kujawab dengan nada ketus.

    “Badanmu benar-benar bau. Ada kamar mandi yang bagus di kapalku yang bisa digunakan kalau kamu mau.”

    “Cih…kupikir mulutmu ingin berceloteh lagi…”

    “Ini perintah!! Seorang prajurit juga harus menjaga kebersihan tubuhnya!! Cepat bersihkan dirimu atau kuceburkan ke laut!!”

    “Iya, iya…”




    Semangatku benar-benar kembali bangkit dan menyala. Orang tua itu benar, ada kemungkinan kalau Resha masih hidup meski persentasenya kecil. Bukankah selama ini aku dapat terus berharap padaNya meski dalam kejadian-kejadian dengan kemungkinan hidup yang kecil? Ternyata emosi sesaatku benar-benar membahayakan. Dia sendiri berjanji kalau kami akan terus bersama. Kenapa aku bisa lupa?

    Guyuran air yang segar saat mandi membuat pikiranku kembali jernih 100%. Segera aku kembali ke ruang komunikasi untuk mengetahui kondisi dunia saat ini. Begitu kumasuki ruangan tersebut, hampir semua ---kecuali Huang, Albert, dan Igor--- sudah stand by di layar holografiknya masing-masing.

    Willkommen, Kommandeur.”, sambut Friedrich dalam bahasa Teutonium.

    “Kemana saja kamu hah?! Untung saja robot-robot brengsek itu belum masuk ke wilayah Teutonium lebih jauh!!”, seru Feng.

    “Maaf…hanya ada sedikit masalah di sini. Tadi apa kamu bilang? Robot?”

    “Menurut data intelejen, robot-robot yang mulai memasuki medan pertempuran sejak 5 hari lalu itu adalah Shedu Project. Tapi sampai saat ini kami masih bisa bertahan.”, Friedrich menambahkan.

    Jadi itu alasannya kenapa hanya ada dua divisi infantri dan satu divisi tank yang menahan serangan di Frisia ketika perang dimulai. Mereka menunggu backup dari Shedu Project.

    “Ah, musuh lama rupanya. Di mana posisi kalian saat ini?”

    “Aku masih bergelut di Frisia mengahadapi robot-robot itu.”, jawab Friedrich.

    “Sebentar lagi aku bisa tiba di Frisia. Pasukan Teutonium yang mengikutiku sudah memasuki Franks enam hari lalu.”, jawab Feng.

    “Mereka juga ditemani robot berbentuk ular dengan panjang kira-kira tiga puluh meter, Leviathan Project.”, ujar Friedrich.

    “Lagi-lagi musuh lama. Apalagi yang diterjunkan ke sana adalah tipe lama…”

    “Kamu terlihat optimis sekali. Punya cara untuk mengalahkan mereka?”, sahut Feng.

    “Masalah Shedu Project, kalian tidak perlu terlalu panik. Ingat, ukuran mereka yang besar adalah kelemahannya. Akan lebih mudah jika kalian sengaja memancing mereka secara berkelompok, lalu masuki medan dengan pepohonan tinggi atau gedung-gedung yang berdempetan. Mereka bisa dijatuhkan dengan mudah oleh meriam tank ataupun RPG biasa. Jika masih kesulitan, kirim beberapa skuadron pesawat. Robot-robot itu memang dapat terbang, namun tidaklah selincah pesawat tempur, bahkan mereka tidak bisa menandingi pesawat F-14 milik Liberion yang umurnya sudah cukup tua. Manfaatkan hal itu.”

    “Hmm…baiklah. Lalu bagaimana dengan ular-ular besar itu?”, tanya Friedrich.

    “Sebentar…Feng, apa kamu bisa membekukan air dan udara di sekitarmu?”

    “Itu urusan mudah.”, jawabnya.

    “Bagus. Cepatlah menuju front di Frisia. Begitu bertemu ular itu, bekukan kepalanya hingga rapuh lalu hancurkan. Ular-ular yang di sana tidaklah sekeras yang sempat kami hadapi di sini, jadi kurasa akan lebih mudah. Dan musuh pastilah hanya akan menurunkan beberapa ekor Leviathan saja. Menurut pengalaman di Parthia, satu Leviathan akan ditemani ribuan Shedu. Dengan begitu, kamu dan pasukan khususmu bisa berkonsentrasi menghajar ular rongsokan tersebut, sementara tentara Teutonium yang lain bisa membombardir para Shedu yang ada.”

    “Ah…begitu rupanya. Aku sendiri sempat panik begitu mendengar kalau Leviathan itu tidak bisa dihancurkan dengan artileri…”, komentar Feng.

    “Dan…bagaimana, Kaiser Wilhelm? Ada perkembangan di laut sebelah utara negara anda?”

    “Buruk, Daleth. Angkatan laut Anglion mendadak muncul dan menyerang kami dari dua front.”

    “Dua?”

    “Seperti yang kamu lihat di peta, negara kami memiliki dua sektor laut, dipisahkan oleh Jutland yang berbatasan dengan Teutonium di utara. Dan ternyata…Anglion menyerang kami dari sisi laut sebelah timur dan juga barat, bahkan mendesak kami jauh hingga ke pantai. Armada di sebelah timur yang menyerang Frisia benar-benar kesulitan menghadapinya, bahkan saya memerintahkannya untuk kembali demi mencegah kehancuran lebih lanjut. Anglion juga memiliki pilot-pilot berpengalaman yang menyertai penyerangan, membuat armada timur kesulitan. Lagipula tidak mungkin memerintahkan armada barat untuk menerobos kapal-kapal Anglion dalam sekejap untuk mendukung armada timur…”, Kaiser Wilhelm terdengar lesu.

    “Tenanglah, Kaiser. Yang anda lakukan sudah benar. Armada di Frisia memang harus diperintahkan kembali secepatnya dalam kondisi demikian. Anglion juga…sudah melakukan kesalahan fatal.”

    “Eh? Mereka melakukan kesalahan?”

    “Anda bilang kalau mereka mendesak anda hingga ke pantai, benar begitu? Itu artinya anda bisa memanfaatkan artileri ataupun roket-roket yang tersisa di darat untuk menembaki mereka, selama berada dalam jangkauan. Anda juga punya keuntungan dalam hal kecepatan penyampaian suplai, tidak seperti mereka yang jauh dari daratan utama. Dan jangan lupa, perkuat pertahanan udara anda. Pancinglah pesawat-pesawat itu agar mendekat ke daratan Teutonium, lalu tembaki juga mereka dari darat jika skuadron udara anda tidak mencukupi untuk menghadapi mereka sekaligus. Kali ini semua bergantung pada siapa yang lebih mampu bertahan.”

    “Hmm…benar juga. Baiklah, akan saya perintahkan demikian pada angkatan laut.”

    “Kalau kabar dari front Italia?”

    “Ah…ya, Italia. Serangan pasukan Franks melalui jalur darat dapat dibendung, memanfaatkan pegunungan Alpina itu. Hanya saja di laut mereka mengalami kesulitan karena armada Franks yang lebih kuat. Untunglah tuan Kurosh bersedia mengirimkan kapal-kapal terbaiknya ke Laut Mediterranea, dan mereka akan tiba dalam tiga hari.”

    “Benar begitu, kaisar Kurosh?”

    “Benar sekali, Daleth. Meski porsi wilayah laut kami terbilang kecil di Laut Mediterranea, kami punya kapal-kapal yang cukup baik dan mampu mengimbangi armada Franks. Hanya saja ilmuwan-ilmuwan kami belum bisa menemukan mesin yang lebih cepat untuk kapal.”

    “Tidak apa-apa, kaisar. Sektor Laut Mediterranea sangat vital bagi perang ini karena memiliki akses bebas ke banyak negara dan juga Benua Hitam, jadi sudah selayaknya dilindungi dengan sekuat tenaga. Lalu…bagaimana dengan Al-Zahra?”

    “Buruk, Daleth. Pertahanan pantai yang dibangun tentara Varangia dapat dihancurkan dengan mudah, bahkan pasukan Parthia dan Varangia terdesak hingga ke tengah gurun. Saya sendiri sudah mengirim pasukan tambahan melalui laut, dan dua hari lagi akan mendarat.”

    “Total kehilangan?”

    “Hampir sepertiga pasukan Parthia dan Varangia tewas.”

    “Hmm…kalau begitu, perintahkan yang di Al-Zahra untuk mundur, terus hingga ke Bantunia.”

    “Eh? Mundur? Bukankah saya akan mengirim tambahan---“

    “Gurun Al-Zahra lebih keras dibanding Parthia, kaisar Kurosh. Mundurlah hingga Bantunia yang alamnya sedikit lebih bersahabat. Padang rumput Bantunia yang luas juga bisa menjadi tempat bermanuver yang lebih mudah dibanding harus bertempur di gurun pasir. Masalah pasukan tambahan itu, tidak apa-apa. Perintahkan mereka terus maju dan menyerang Anglion dari belakang. Bahkan jika memungkinkan, mintalah bantuan dari tentara Bantunia juga. Sesedikit apapun, pastilah sangat bermanfaat karena mereka lebih mengetahui negaranya sendiri.”

    “Ah…saya mengerti. Jadi yang sudah berada di Al-Zahra berfungsi untuk memancing Anglion, sementara pasukan tambahan itu akan menyerang dari belakang. Benar begitu?”

    “Benar sekali, kaisar Kurosh. Oh ya, bisa saya minta tolong pada anda untuk mencari tahu bagaimana kondisi di Benua Merah sekarang?”

    “Sulit, Daleth. Beberapa kali saya mencoba menghubungi Albert, namun hasilnya nihil. Dua hari lalu memang ada tiga kilang minyak militer yang meledak menurut data satelit. Namun saya tidak tahu apakah hal itu dilakukan oleh teman-teman suku asli di sana atau ketidaksengajaan.”

    “Hmm…tidak bisa dihubungi ya. Tetap adakan kontak dengan mereka, kaisar. Keberadaan mereka dapat membuat Liberion kebingungan di rumahnya sendiri.”

    Sekarang, samudera Eirene.

    “Bagaimana dengan Qing, kaisar Yu?”

    “Sejauh ini masih berimbang, saudara Daleth. Strategi anda untuk menguasai pulau-pulau di samudera Eirene secepatnya benar-benar membantu. Teknologi kami memang kalah canggih saat ini, namun kami bisa menyerang dalam area yang lebih luas.”

    “Ah…bagus. Lalu bagaimana mengenai proyek kapal baru negara anda itu?”

    “Sedikit lagi bisa diluncurkan. Saya harap kapal itu bisa selesai sebelum perang berakhir. Dan saya amat yakin, kapal terbaru itu bisa mendesak armada Liberion bahkan hingga kembali ke negaranya.”

    “Baiklah kalau anda memang sudah mengerti apa yang harus dilakukan. Akan saya serahkan semuanya pada anda. Satu pesan dari saya…berhati-hatilah terhadap Leviathan Project. Jika mereka mengirimkan tipe terbarunya ke sana, anda harus bekerja ekstra keras, lebih daripada tentara Teutonium yang di Frisia.”

    Akupun menyambung, “Dan bagaimana dengan Huang? Ada yang sudah mendengar kabar tentangnya?”

    Semua hanya menggelengkan kepala, bahkan Friedrich terlihat lebih khawatir dibanding yang lain.

    “Jadi…belum ada yang mengetahui kondisinya?”

    “Dia sendiri mengatakan kalau akan menghubungi secepatnya jika sudah mendapat informasi. Tapi…sudah tujuh hari…”, jawab Feng.

    Ah, berarti aku mengunci diriku sendiri juga selama itu.

    “Misinya memang yang paling berbahaya…tapi tenanglah. Akan kucari dia begitu mendarat di Beth-Sheol. Baiklah, apa masih ada pertanyaan?”

    Mereka menjawab “Tidak” sesuai nada suaranya masing-masing, lalu mematikan transmisi. Tak lama, kudengar suara pintu ruang komunikasi ini dibuka.




    Hmm…aroma ini…kopi? Begitu aku menengok ke belakang, kulihat Valentina membawa dua cangkir kopi. Dari baunya mungkin cappuccino atau caffe latte.

    “Ini untukmu.”, katanya sambil menaruh satu cangkir di depanku, lalu duduk di kursi sebelah kananku.

    “Ah, terima kasih. Tumben kamu mau membuatkan kopi…ada keperluan apa memangnya?”

    “Cih, kebaikanku yang tulus ini dicurigai.”

    “Hahaha…maaf, aku hanya bercanda. Tapi benar kan, ada yang ingin kamu bicarakan?”

    Dia menyeruput sedikit kopi dari cangkirnya, lalu menjawab, “Uh-huh. Soal yang tadi, ketika aku berusaha membawamu keluar kamar.”

    “Sebentar. Jangan bilang kalau kamu menghipnotisku dengan gelombang elektromagnetik…”

    “Argh…manusia yang satu ini kenapa cepat sekali menebaknya…”, ujarnya sambil menaruh tangan kananya di dahi.

    “Sudah kuduga. Masalahnya tadi aku merasa tubuhku bergerak sendiri. Tapi…lupakan itu untuk sekarang. Aku masih belum mendengar kabar dari armada Varangia di Eirene utara.”

    “Seperempatnya…hancur. Mungkin kamu sudah bisa tebak kalau penyebabnya adalah Leviathan. Kamu benar, kapal-kapal Liberion hanya berfungsi sebagai pancingan saja.”

    “Untung saja kaisar Yu sudah kuperingatkan barusan. Entah sejak kapan mereka membuat ular-ular rongsokan sebanyak itu…”

    “Dan gara-gara merekalah, di sini kita kehilangan dua pertiga total armada. Untunglah kapal kakekku memiliki perangkat yang sama dengan di Perestroika, jadi sinyal komunikasi tetap bisa di-encode agar tidak diketahui aliansi.”

    “Tunggu. Maksudmu, dua puluh kapal hancur saat kejadian itu?!”

    “Betul, Daleth. Tidak ada frigate yang tersisa, lima destroyer hancur, begitu juga dengan tiga cruiser termasuk Perestroika. Hanya tipe heavy cruiser saja yang masih utuh karena berlayar agak di belakang. Begitu hanya tersisa tiga ekor, ular-ular itu langsung menyelam dan kabur.”

    “Lalu bagaimana caranya kita mendarat di pantai Beth-Sheol?! Aku yakin penjagaan di sana amat sangat ketat!!”

    “Sebenarnya aku sudah menghubungi empat armada di Zululand untuk segera menyusul kemari, tapi sepertinya tidak bisa tepat waktu meski seluruh kapal di sini sudah kuperintahkan untuk berhenti bergerak selama tiga hari. Jadi…agar tidak membuang waktu, baru saja kakek memutuskan untuk menerobos blokade Liberion saat sudah mendekati Beth-Sheol.”

    “Tunggu. Maksudmu…”

    “Ya, betul. Sementara dia menghancurkan segala macam pertahanan yang ada, kamu harus segera turun, lalu menuju ke tempat senjata rahasia itu berada.”

    “Hah? Apa dia sudah gila?! Bagaimana jika tidak hanya Leviathan, namun seluruh skuadron udara dan armada laut yang ada diturunkan untuk menghadapi Arkhangelsk Mikhail?! Apa dia sanggup?!”

    “Jika kakekku sudah berkata demikian, bahkan tembakan meriam di dekat telinganya pun tidak akan bisa menghentikannya…”

    “Huh….benar juga. Ah, terserah dia saja lah. Percuma juga jika aku yang meminta, pasti dia tidak akan mendengar.”

    Kuseruput kopi yang di depanku itu. Hmm, caffe latte rupanya.

    Kuminum seperempatnya, lalu menaruh cangkirnya kembali sambil bertanya, “Lalu…berapa lama lagi kita akan sampai di Liberion---“




    Alarm siagapun terdengar.

    “Daleth, sudah saatnya. Pastilah menara komando sudah bisa melihat pantai Beth-Sheol saat ini.”

    “Sekarang…ya? Sebentar, biar kuhabiskan caffe latte ini dulu.”

    Selagi aku meneguk kopi dengan cepat, dia berkata, “Huh…masih saja kamu menyempatkan diri untuk menghabiskannya.”

    “Mana mungkin aku menyia-nyiakan sesuatu yang dibuat dengan ‘tulus’?”, responku sambil mulai berdiri.

    Darah naik ke pipinya, membuatnya berubah kemerahan. “Cih…dasar gombal. Sudah berapa kali Resha menjadi korban kata-kata gombalmu ini, hah?”

    “Wajahmu bisa merah juga?”

    “Tentu saja bisa, dasar *****!!”, teriaknya sambil menendang perutku. “Sekarang cepatlah ikut denganku ke menara komando, lalu turun ke pantai!!”

    “Argh…tidak perlu main tendang segala…”

    Untung saja tendangannya tidak begitu keras.

    Dengan binocular, aku bisa melihat pantai dari kejauhan yang sudah pasti adalah pantai Beth-Sheol. Tanah yang berubah hitam akibat sisa ledakan ---lebih tepatnya, pemusnahan--- waktu itu juga tidak berubah. Begitu rapi, menyerupai lingkaran. Walau yang membuatku terkejut adalah keberadaan menara itu, yang masih samar-samar jika dipandang dari sini. Tingginya yang hampir 1 kilometer itu sangat mencolok dibanding sekitarnya yang kosong. Valentina yang ikut melihatnya juga terlihat shock, mungkin tidak menyangka kalau ada menara setinggi itu yang bisa dibangun tanpa diketahui negara-negara lain.

    “Apakah itu senjata rahasia mereka…?”, komentarnya dengan mata yang tertuju ke arah Beth-Sheol.

    “Aku yakin pasti itu. Berhati-hatilah, senjata berbasis Dark Matter yang dimiliki Liberion di sana itu sangatlah berbahaya.”

    “Hei, bagaimana kamu bisa tahu kalau senjata tersebut menggunakan Dark Matter?”, tanyanya dengan curiga.

    “Emmm…inspirasi surgawi?”

    “Bwahahaha!! Bilang saja kalau kamu asal tebak, tidak perlu berdalih segala. Namun jika benar katamu…mungkin kita harus ekstra hati-hati. Ditambah informasi yang waktu itu, aku jadi makin yakin mengenai kekuatan senjata tersebut.”

    “Tenang saja. Jika mereka menggunakan Dark Matter, aku juga punya.”, kukeluarkan kristal itu dari kantong celana panjangku.

    “Tunggu. Bukankah benda itu sudah dikirim ke Helenos?! Bagaimana bisa berada dalam genggamanmu?! Apa kamu mencurinya?!”

    “Hah? Kamu bercanda? Aku tidak mungkin mencuri. Kepala museum Hagia Sophia sendiri yang memberikannya padaku. Sudahlah, tidak penting bagaimana detailnya. Sepertinya aku harus segera bersiap.”

    Dan…seperti yang sudah kuduga, kedatangan kami pastilah akan disambut dengan meriah. Dari arah langit yang berkabut di kejauhan, beberapa kapal terlihat melaju ke arah sini. Ada juga dua kapal induk yang bersiap meluncurkan segala pesawat yang ada di atasnya. Tidak hanya itu, empat ekor Leviathan mendadak muncul dari dalam laut tidak jauh dari barisan armada Liberion.

    Transmisi radio masuk dari Arkhangelsk Mikhail, yang berlayar di belakang kesepuluh kapal Varangia yang tersisa.

    “Daleth, segeralah turun begitu kutembak salah satu ular itu. Aku akan berusaha memancing armada Liberion yang menuju ke sini. Dan…Valentina, posisikan semua meriam dari kapal-kapal yang tersisa dengan sudut 28 derajat, ke arah 39 derajat timur laut untuk membersihkan pantai. Ada beberapa tank dan infantri dengan senjata berat yang bisa membuat Daleth kesulitan jika tidak dimusnahkan lebih dulu.”

    “Kakek…bolehkah aku ikut turun?”

    “Hah?! Lalu siapa yang akan memerintah sepuluh kapal yang ada?!”

    “Lalu membiarkan kesempatan ini berlalu begitu saja? Bukankah Varangia akan lebih heboh jika ada pasangan kakek dan cucu yang langsung dianugerahi gelar sebagai pahlawan nasional?”

    Bah, jadi itu tujuannya? Keren-kerenan?

    “Hahaha!! Baiklah kalau begitu, turun dan temani dia. Aku tidak sabar melihat pemerintah menyematkan bintang kehormatan yang sama pada kita berdua…hahaha!!”

    Kakek dan cucu sama gilanya.




    Pertempuranpun…dimulai.

    Serangan pembuka diawali oleh Arkhangelsk Mikhail yang menembakkan peluru anti-matter nya pada salah satu Leviathan, diikuti dengan sepuluh kapal yang menembak ke arah darat. Setelah memasang sarung tangan, aku langsung bersiap di dek, menunggu saat yang tepat untuk terbang dan mendarat di pantai dengan Valentina.

    “Bagaimana, kamu siap?”, tanyanya.

    “Tentu saja. Senjata itu harus dihancurkan sebelum dapat aktif kembali.”

    “Lagi-lagi seperti di Parthia, eh?”

    “Hahaha…yah, mungkin memang sudah takdir kita untuk bertempur hingga nyaris mati. Buktinya, ini sudah kedua kalinya.”

    “Aku tidak keberatan jika takdirku ditentukan demikian. Akan lebih mengasyikkan pastinya.”

    Deru pertempuran telah terdengar. Sesaat kurasakan angin yang berhembus di sekitarku, lalu meyakinkan diri sendiri sebelum benar-benar terjun menghadapi tentara Liberion di darat.

    “Oke, akan kujelaskan misi kali ini. Pertama, prioritas utama tetaplah apa yang ada di menara itu. Kedua, jika memang memungkinkan, kita cari putri kaisar Qing itu. Ketiga, dan mungkin ini yang paling kamu tunggu, kita cari informasi tentang Resha. Apapun kondisi Resha nanti, aku harap kamu bisa menguatkan hatimu. Mengerti?”

    “Baiklah, aku paham. Kalau begitu…Plasma Directing.”

    Ion Drive.”, lalu dia mengambang sepertiku.

    “Eh? Sejak kapan kamu perlu aktivasi suara untuk mengeluarkan kekuatanmu?”

    “Cih…dasar tidak bisa membaca suasana. Agar lebih keren saja kok…hahaha!!”

    Aku tidak mampu berkomentar apa-apa melihat kelakuannya itu. Kalau dia laki-laki, mungkin aku masih bisa maklum. Tapi ini…bah.

    “Jangan lupakan ini.”, dia memberikan, lagi-lagi, headset. “Dengan begini kita bisa tahu kondisi armada Varangia di pantai, dan situasi peperangan di berbagai tempat.”

    “Oke…”, kuterima perangkat headset itu, lalu memasangnya. “Yap, sudah semuanya.”




    Kutarik nafas dalam-dalam, lalu membuangnya. Aku tidak tahu apa yang akan ada di depan nanti, namun satu hal. Jika Dia sendiri yang memerintahkanku untuk menghentikan Liberion, maka pasti semuanya akan berhasil, entah bagaimana caranya. Kupejamkan mataku, lalu berkata perlahan…

    “Sertai aku, ya Tuhan.”

    Dengan kecepatan penuh, kami berdua melesat menuju daratan Liberion, tanah airku sendiri...



    ==================================

    Spoiler untuk Trivia :

    • "Willkommen, Kommandeur" (German) = Welcome, Commander
    • F-14 merujuk pada F-14 Tomcat

    Last edited by LunarCrusade; 25-07-12 at 20:51.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  14. The Following User Says Thank You to LunarCrusade For This Useful Post:
  15. #100
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    Spoiler untuk Chapter 32 :


    =====================================
    Chapter 32: Crusade Against Homeland (Part 1)
    =====================================




    Tanah Liberion, tanah yang sudah setahun tidak kujejaki. Aku selalu membayangkan akan kepulangan dalam suasana yang hangat dan menyenangkan. Masalah sudah selesai sebelumnya, kemudian aku tinggal memperkenalkan Resha pada orang tuaku. Disetujui, menikah. Punya rumah lalu memiliki anak, sebuah keluarga sendiri. Tapi kali ini? Berbeda 180 derajat.

    Tembakan ke darat yang dilakukan kapal-kapal Varangia sukses membuat blokade darat Liberion kocar-kacir. Beberapa tank terlihat berasap, dan jasad-jasad bergelimpangan. Entah kenapa, aku terdorong untuk berdoa bagi mereka. Aku tahu menjadi tentara tidaklah mudah karena hanya harus menjunjung satu hal: martabat negara. Terlepas dari mereka bersalah atau tidak, selama semuanya demi kehormatan Liberion, maka mereka akan berjuang mati-matian meski harus membuat musuh tak bernyawa. Semoga dosa kalian diampuni.

    Valentinapun berkomentar, “Kamu ini, masih sempat-sempatnya berdoa…”

    “Mereka hanya alat, Valentina. Sama seperti tentara Varangia. Tidak adil rasanya jika para tentara ini menanggung dosa yang seharusnya menjadi milik pemerintahnya.”

    “Iya, pak pendeta. Amin, amin.”, responnya sambil mengangguk beberapa kali.




    Perlahan terlihat sesuatu dari kejauhan. Makin lama makin jelas kalau itu adalah barisan tank dan kendaraan pengangkut personel, jumlahnya lumayan banyak.

    “Siap menghabisi mereka?”, tanyanya.

    “Tidak.”

    “Hah?! Apa kamu sudah gila?! Lalu kita harus apa? Diam saja begitu?!”

    “Sudah setahun lebih aku tidak pernah mencabut nyawa orang lain, dan tiba-tiba saja aku harus melakukannya lagi. Aku harus menenangkan diri dahulu…”

    Ya, itu yang kukhawatirkan. Kali ini aku harus melanggar janjiku pada Resha. Jika tidak, maka tidak mungkin aku bisa menuju ke menara super besar di sebelah sana itu untuk menghancurkannya. Maaf Resha, harus ada darah yang tertumpah kali ini. Oh iya, satu lagi. Kumohon ya Tuhan, ampuni dosa yang akan kulakukan. Kuharap Engkau bisa memaklumi. Dan jikalau Engaku berkenan, kiranya semua orang yang akan terbunuh olehku atau Valentina dapat diampuni juga. Karena…mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.

    Kutarik nafas dalam-dalam.

    “Amin.”

    “Berdoa lagi?”

    “Ahaha…iya. Dengan begitu aku jadi sedikit tenang.”, sambil kugaruk-garuk kepalaku.

    “Jarang-jarang manusia sepintar dirimu masih melakukan kebiasaan itu. Ya sudahlah, sekarang kita harus konsentrasi dengan yang ada di depan. Kamu siap?”

    Aku mengangguk sekali dengan tegas.

    “Bagus. Sekarang kita mulai. Heyaaaaaaaaaaaaahhh…!!!!!”




    Muatan-muatan positif dan negatif pada awan dipisahkannya. Lalu, tanpa ragu 10 sambaran dilakukannya langsung di beberapa titik, menghasilkan beberapa ledakan dan kepulan asap. Terlepas dari semua itu, kendaraan-kendaraan tempur Liberion terus melaju hingga jarak tembak. Banyak di antara infantri yang turun, lalu mulai menembak ke arah sini. Tidak hanya itu, semua tank juga mulai mengatur laras meriamnya.

    Aku langsung melesat ke atas dengan Plasma Directing diikuti Valentina untuk menghindari tembakan. Segera kusiapkan…

    “Photon Blaster. Charge up!!”

    Kutahan charge nya selama beberapa detik hingga menghasilkan bola cahaya berdiameter lebih dari 20 meter. Dan BHUMMM!!! Banyak yang langsung hancur ditelan cahaya bekekuatan tinggi. Tercipta juga bekas kawah berdiameter 60 meter di tanah.

    “Hahaha!! Kemampuanmu belum tumpul rupanya.”

    “Benarkah? Baiklah…di bawah masih ada yang menunggu. Mari kita buat mereka beristiarahat dengan tenang.”

    “Se. Tu. Ju.”

    Melesat langsung ke tengah-tengah pasukan yang tersisa, kulepaskan serangan berikutnya dengan Atomic Vibration ke arah mereka, menggetarkan partikel-partikel udara sekuat-kuatnya hingga lapis baja tank biasapun tidak mampu menahannya. Banyak yang langsung meledak. Manusia-manusia yang terkena…tentu tidak punya kesempatan. Rata-rata mereka terpental cukup jauh dan tinggi, mungkin tidak akan bertahan hidup jika jatuh menghantam tanah.

    Di sisi Valentina sendiri tidak jauh berbeda. Beberapa kali terdengar ledakan yang berasal dari tank-tank yang terkena sambaran bertegangan tinggi. Malah bisa kucium bau kuat yang sudah jelas berasal dari substansi organik. Maksudku…daging panggang. Aku tidak berani menengok ke arahnya karena beresiko melihat pemandangan mengerikan.

    Beberapa terlihat berbalik arah dan melarikan diri. Valentina ingin mengejar dan menghancurkan mereka semua, namun kucegah. “Jangan dikejar lagi. Itu artinya divisi mereka sudah menyerah. Tidak baik menghabisi pihak yang sudah menyerah.”, begitu yang kukatakan.

    Blokade darat selesai ditangani, berarti sekarang menuju ke menara. Masih jauh, mungkin beberapa kilometer sebelah utara dari tempatku berdiri sekarang. Kupasang Plasma Directing lalu terbang menuju ke menara itu.

    “O-Ow…”

    Kata-kata itu keluar dari mulut Valentina begitu melihat teman lama kami, Shedu Project, mulai berdatangan dari arah timur. Aku mengerti. Pasukan-pasukan konvensional-organik yang tadi hanyalah berfungsi sebagai tanker atau meat shield untuk menguras tenaga kami berdua. Tapi mereka salah, aku dan juga Valentina tidak merasa kelelahan sama sekali.

    “Bagaimana, Daleth? Kita ladeni mereka sebentar?”, tanya Valentina, lalu tersenyum hingga menunjukkan giginya.

    “Yah, mau tidak mau. Lagipula tidak ada perasaan bersalah sama sekali dalam diriku jika membantai sepasukan logam otomatis. Lebih lega rasanya.”

    “Kali ini jangan gunakan Overdrive System. Mungkin nanti, tapi tidak untuk sekarang.”

    “Siap, nona kolonel.”, jawabku tegas.

    “Hahaha!! Aku suka gayamu kali ini!! Baiklaaahh…!!!”

    Setelah kami menjejakkan kaki kembali di tanah, kilatan-kilatan petir muncul dari tangan Valentina menjatuhkan beberapa robot yang sedang terbang. Segera kususul dengan sebuah Plasma Directing Aeroblast Phase, menambah jumlah yang jatuh. Tapi seperti yang sudah kuduga, Shedu yang diturunkan sangatlah banyak, mungkin mencapai ribuan. Merekapun mulai menembak dengan gatling gun.

    “Energy Barrier---“

    Sial!! Graviton Bullet!!

    “Hei…ada apa dengan pelindung supermu itu?”, wajahnya terlihat heran.

    Graviton Bullet. Satu-satunya jenis peluru yang mampu membuat Energy Barrier menghilang seperti uap.”

    “Jadi, kita terobos--- whoa!!”, sebutir peluru besar melesat, membuatnya menghindar sesaat. “…saja?!”

    “Itu yang… Photon Blaster, charge up!!”, sambil kutahan charge nya beberapa detik. “…kumaksud!!”

    Deretan terdepan terkena, memecah tubuh mereka menjadi potongan-potongan logam. Beberapa kali Valentina menyambar mereka dengan petir yang muncul dari langit dan dari tangannya, menjatuhkan puluhan. Terus menerus kulakukan serangan ---begitu juga dengan gadis tukang setrum di sebelahku ini--- hingga nyaris seluruhnya habis, tersisa belasan saja. Permukaan tanahpun dipenuhi puing-puing logam yang berserakan. Tapi…





    Mendadak puncak menara itu menghasilkan sinar hitam.

    Pemandangan yang aneh terjadi. Seluruh puing Shedu yang berhamburan di tanah melayang naik, menempel di sekitar beberapa Shedu yang masih utuh, membuat mereka ikut hancur karena tekanan logam-logam. Dengan kecepatan tinggi, puing-puing itu bersatu menjadi beberapa bola kecil. Bola-bola logam itupun ---entah berapa jumlahnya, tidak sempat kuhitung--- tiba-tiba diselimuti selaput hitam. Mereka berubah terang, lalu dalam sekejap semuanya mengecil. Dan…


    DHUUUUUUUAAARRRRR!!!~


    Entah dengan cara apa bola-bola itu bisa meledak dengan hebat, bahkan ledakannya membuatku dan Valentina terpental beberapa meter. Sempat kunyalakan Energy Barrier secara refleks saat tubuhku mulai didorong oleh ledakan itu, sehingga tidak ada apapun yang melukai tubuh kami berdua.

    “A-Apa yang terjadi barusan?!”, serunya sambil berusaha berdiri.

    Kulayangkan pandanganku ke arah puncak menara ketika berusaha bangkit. Mati. Sinar hitamnya sudah tidak ada. Tunggu…jangan-jangan…

    “Supernova!!”, teriakku, mungkin mirip Archimedes saat berteriak, “Eureka!!”

    “Hah? Supernova?”

    “Tidak. Maksudku, bukan supernova sebenarnya. Hanya saja mekanismenya mirip.”

    “Jangan bercanda, Daleth!! Massa yang dihasilkan tidak cukup untuk membuat inti materinya runtuh karena gravitasinya sendiri---“

    “Kamu lupa apa gravitasi itu sebenarnya?”

    “Brengsek…pak profesor yang satu ini masih saja bisa mengingatnya di kondisi begini…”

    “Begini hipotesisku. Bola-bola hitam tadi merobek-robek struktur logam dan udara yang terperangkap menjadi hidrogen, lalu membuatnya bereaksi secara fusi. Yang terjadi berikutnya adalah terbentuk inti yang terbentuk dari bahan yang berat, besi misalnya, yang massanya akan bertambah seiring terus berjalannya reaksi fusi. Energi yang dihasilkan reaksi fusi, beserta gejala degenerasi elektron pada bola-bola itu pun tidak lagi mampu menandingi kekuatan gravitasi yang dimilikinya. Bola-bola itu akhirnya runtuh karena gravitasi, dan…dhuar. Meledak sudah.”

    “Tetap saja, bagaimana mungkin gravitasi sebesar itu dihasilkan tanpa massa yang cukup---“

    Kulanjutkan penjelasanku tanpa menghiraukan ucapannya.

    “Kalaupun batas massa yang dicapai tidak memenuhi, lekukan ruang waktu bisa ditambah seenaknya oleh menara itu agar ledakan bisa dihasilkan. Berhubung ukurannya yang kecil, ditambah manipulasi ruang-waktu, sebuah supernova bisa tercipta hanya dalam waktu singkat. Bahkan peningkatan gravitasi yang singkat itu tidak sampai mempengaruhi permukaan tanah di sekitarnya, karena terlalu cepat.”

    “Tapi itu artinya supernova tipe II !! Bagaimana bisa---“

    Lagi-lagi kupotong kata-katanya, “Sudah kukatakan tadi, menara itu membuatnya menjadi mungkin. Batas massa yang sekitar 1,4 kali itu tidak lain adalah kuantitas pelekukan ruang waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan supernova. Kapabilitas Dark Matter yang diubah menjadi Dark Energy memang mengerikan…”

    “Tolong jangan potong lagi yang kali ini. Kalau begitu, bagaimana tidak ada sisa sama sekali? Bukankah supernova tipe II, begitu juga Ib dan Ic, hampir selalu menghasilkan bintang neutron, atau lubang hitam?”

    “Batas massa memang bisa dilampaui dengan mudah oleh menara itu. Namun, total materinya tidaklah cukup untuk membentuk bintang neutron, apalagi lubang hitam. Karena itulah tidak ada yang tersisa dari ledakan tadi. Mungkin ada, tapi tidak bisa kita lihat saja.”

    “Jadi…rumor kalau senjata itu bisa menghancurkan satu negara dengan mudah…” Raut wajahnya benar-benar menunjukkan keterkejutan yang tidak biasa.

    “Bukan hanya satu negara. Planet inipun bisa dihancurkan jika mau.”

    “Sial, menara itu harus dihancurkan sesegera mungkin!! Kita tidak bisa buang waktu---“

    Baru saja Valentina ingin kembali terbang dengan ionisasinya itu, teman lama kami kembali datang dalam jumlah yang nyaris sama banyaknya. Ini gila. Benar-benar tidak masuk akal. Dua tahun lebih tidak kudengar mengenai Shedu Project, dan mereka sudah membuat sebanyak ini…

    “Mendengar penjelasanmu tadi…apa yang harus kita lakukan terhadap logam-logam rongsokan itu? Jika dihancurkan, kita mati bersama ledakan. Jika tidak dihancurkan, kita mati ditembaki. Bagaimana ini…”

    “Menembaki mereka, lalu kabur secepatnya?”, jawabku cepat.

    “Oke, kita coba saja.”




    Ledakan demi ledakan kembali muncul di udara saat aku menghajar mereka bergantian dengan Photon Blaster dan Atomic Vibration, disusul oleh sambaran petir dari langit ataupun lecutan listrik dari tangan Valentina. Tentu saja, dengan terus menerus melakukan manuver menghindar. Suara-suara ledakan yang dihasilkan sesekali membuat telingaku berdengung, namun untunglah tidak dalam waktu lama. Seripihan-serpihan logam pun berjatuhan layaknya hujan salju.

    Sekali lagi, ujung menara mengeluarkan sinar hitam. Kukira akan ada mini-supernova lagi, tapi…

    Baru saja aku mengaktifkan Plasma Directing, muncul sesuatu berwarna hitam, melayang beberapa meter di atas tanah. Bentuknya lebih mirip piringan, bukan bola seperti yang pertama. Partikel-partikel tanah dan logam perlahan terhisap ke dalamnya. Tunggu. Jangan-jangan…!!

    Benar saja, Sekuat apapun kami berusaha melesat ---bahkan sempat kunyalakan Photonic Velocity---, tubuh kami terus ditarik ke arah lubang itu. Black hole. Lubang hitam buatan. Hanya dengan membuat kontinuitas ruang waktu melekuk tajam, lubang hitam bisa diciptakan. Tidak hanya itu, tak jauh di atas lubang hitam buatan, terbentuk bola hitam seperti tadi yang juga tersedot ke arah lubang hitam.

    Begitu posisi kami berada tidak begitu jauh dari lubang hitam buatan itu, dia menghilang. Dalam sekejap bola hitam yang di atasnya itu ---yang tidak sampai tersedot ke dalam lubang hitam--- meledak, sangat cepat hingga kami tidak sempat menghindar. Kali ini karena produksi supernovanya cukup cepat, tidak banyak materi yang direaksifusikan. Namun tetap saja sisa-sisa potongan logam di tanah terpental ke segala arah begitu ledakan terjadi. Dua potongan logam sepanjang 10 sentimeter menancap di bahu kiriku, dan dapat kusingkirkan dengan mudah tanpa mengakibatkan cedera lebih lanjut. Sementara itu, ada satu yang cukup panjang menembus perut kiri Valentina dari depan hingga belakang. Tidak begitu tebal, mungkin diameternya sekitar 2 hingga 3 sentimeter. Berbahaya jika dicabut terlalu cepat. Bisa-bisa batangan logam itu patah dan sisa potongannya tersangkut di tubuh.

    “O-Oi…jangan terlalu dipaksa begitu.”, komentarku saat melihatnya setengah berlutut sambil berusaha mencabut batangan besi itu.

    “Tapi ini akan mengganggu gerakanku…lebih baik---“, terlihat dia mencabut sekuat tenaga, menyebabkan darah mengucur makin deras.

    “Hei!! Sudah kubilang jangan dicabut terlalu kasar begitu!!”, kugenggam keras-keras tangan kanannya.

    Dia malah balas memaki, “L-Lalu harus bagaimana hah?! Jika ini masih menancap di tubuhku, aku tidak bisa menghajar musuh dengan cepat!!”

    “Setidaknya biarkan orang-orang yang lebih ahli untuk menanganinya!!”, kubopong tubuhnya di sebelah kiriku. “Sebentar, biar kuhubungi armada Varangia.”

    Begitu kuhubungi kapal Akrhangelsk Mikhail melalui headset untuk meminta bantuan, orang tua itu malah memarahiku.

    “Apa kamu gila?! Di sini kami sedang kesulitan!! Tim medis juga sedang kesusahan karena satu kapal sudah meledak akibat dihantam misil pesawat Liberion!! Brengsek, mereka seperti lalat yang mengerubungi bangkai saja…!!”

    “Lalu bagaimana dengan cucumu sendiri?! Darah yang keluar semakin banyak!!”

    “Dia tidak selemah dirimu, anak muda!! Tidak mungkin dia berhenti hanya karena cedera!! Turuti saja kata-katanya karena hanya dia yang paling tahu yang terbaik untuknya!!”

    Transmisi mati. Dasar orang tua *******!! Apa dia tidak khawatir dengan cucunya sendiri?!

    “S-Sudahlah, Daleth. Lebih baik kamu bantu aku untuk mencabutnya.”

    “Bagaimana jika malah melukai organ lainnya saat dicabut?!”

    “Turuti saja kata-kataku!! Lihat, mereka sudah datang lagi!!”

    Astaga.




    Layaknya gumpalan awan, para Shedu kembali berdatangan, kali ini dari arah selatan. Sudah jelas jumlah mereka jauh lebih banyak dengan yang diturunkan di Parthia waktu itu. Di satu sisi aku harus bergegas ke menara, di sisi lain aku harus menghancurkan para Shedu, dan di sisi lain lagi aku harus membawa Valentina menyingkir dari area pertempuran agar bisa diobati.

    Menembak menara itu mungkin bisa kulakukan dari sini dengan Photon Blaster, walau konstruksinya yang supermasif membuatnya sudah pasti tidak bisa kuhancurkan dalam sekali tembak. Dan itulah masalahnya. Para Shedu yang menuju kemari memperkecil persentase untuk melakukan tembakan ke arah menara dari sini. Lengah sedikit, matilah aku. Ditambah lagi Valentina tidak bisa bergerak bebas akibat lukanya. Menghajar kaleng-kaleng bersayap tersebut pastilah akan sulit, apalagi Energy Barrier mustahil kupasang jika mereka menggunakan Graviton Bullet.

    Tunggu. Dia pernah bilang kalau Dia telah memasukkan code ke dalam E.L.O.H.I.M. Project, dan dapat kugunakan jika terdesak. Apakah harus kugunakan sekarang?

    Tidak, tidak. Hatiku berkata ini belum saatnya untuk menggunakan code dari surga itu. Dark Matter? Sepertinya tidak mungkin. Kondisi darurat ini tidak menyempatkanku untuk membuat program baru dengan Dark Matter, jadi tidak ada program ofensif berbasis kristal hitam misterius itu yang bisa kugunakan untuk menggilas mereka.

    Sebagian besar dari mereka mendarat di tanah sekitar 100 meter di depan, lalu memposisikan ekor gatling gun mereka untuk bersiap menembak. Sepertinya yang ini tipe baru, karena kulihat beberapa peluncur misil muncul dari sisi tubuh mereka. Tipe lama tidak punya persenjataan itu.

    Untuk kali ini…sepertinya aku harus membawa Valentina menyingkir. Entah kemana, yang penting ke tempat yang lebih aman.

    “Sial…b-bagaimana ini---“

    Belum selesai Valentina bicara, darah keluar dari mulutnya. Sepertinya luka itu mengenai lambung atau usus besarnya, membuat darah mengalir ke organ tersebut. Begitu menjadi terlalu penuh, darahpun dimuntahkan. Baiklah, akan kuaktifkan Plasma Directing lalu melesat ke Arkhangelsk Mikhail. Terserah apa kata orang tua itu nanti, yang penting keselamatan gadis malang ini adalah prioritas untuk sekarang.

    “Plasma---“

    Argh!! Lubang hitam itu lagi!!

    Belum sempat kuaktifkan Plasma Directing, piringan hitam kembali muncul sesaat, memperpendek jarak kami dengan robot-robot itu. Suara tembakan peluru dan pelepasan misil pun terdengar dari arah para Shedu. Refleks kuaktifkan Energy Barrier, meski aku tahu itu hanya bisa menahan misil-misil saja. Tanganku juga mengambil posisi di depan mata, seperti menutup mata karena cahaya menyilaukan. Bukan karena ada sinar atau apa, namun tangan yang otomatis bergerak seperti itu menunjukkan kalau aku sudah pasrah. Jika tertembak Graviton Bullet , setidaknya kerasnya material sarung tanganku ini masih bisa menahannya agar tidak menembus kepalaku.




    Tiba-tiba sekitarku menjadi sedikit lebih gelap, matahari seakan meredup. Ada apa…? Awankah? Terdengar juga bunyi ledakan misil, namun suaranya seperti diredam dengan bahan soundproof. Hanya terdengar bunyi *bum* yang rendah dan pelan. Begitu kusingkirkan tanganku dari pandangan…

    Tembok. Maksudku, tanah. Tembok dari tanah menjulang di depanku, sangat tinggi. Inilah yang menahan gempuran gatling dan misil dari para Shedu.

    “Halo, maaf menunggu lama.”

    Warna suaranya sangat kukenal. Sosok seorang perempuan nampak ketika kuputar leherku ke arah belakang. Rambut twintail, kipas, gothic dress. Siapa lagi kalau bukan…




    “Huang!!!”, teriakku, sambil tersenyum lega.




    ============================

    Spoiler untuk Trivia :

    • Kenal Archimedes kan?
    • Supernova adalah ledakan sebuah bintang yang umurnya udah tua. Well, dengan sedikit lebay effect, maka jadilah seperti di cerita
    • Supernova ada beberapa tipe:
      • Tipe Ia
        Dihasilkan karena bintang tipe white dwarf (yg sebenernya adalah sisa-sisa bintang yg udah mati) yg mengambil hidrogen dari bintang tetangganya (tentu aja karena gravitasi),
        sampai akhirnya si white dwarf ini "bunuh diri" lewat proses carbon detonation.
        Bunuh dirinya gimana?
        Biasanya, white dwarf memiliki komposisi sebagian besar berupa karbon.
        Dengan ditumpukin hidrogen terus karena nyedot punya bintang tetangga, temperatur dan tekanan inti nya pun naik, dan mereaksikan karbon yang ada di inti. Ujungnya? Duar.
        Biasanya ada di sistem binary star a.k.a. bintang kembar.
        Mungkin bisa lebih jelas kalo liat gambar ini:
        Spoiler untuk gambar :


        Singkatnya:
        1. Ada 2 bintang (A sama B)
        2. Yang massanya lebih gede (A) berkembang duluan
        3. Mati, jadi white dwarf
        4. Yang satunya (B) akhirnya punya kesempatan jadi gede
        5. Namun, si white dwarf (A) ini nyedot hidrogen dari bintang B
        6. Hidrogen dah cukup buat carbon detonation, akhirnya meledaklah si white dwarf (A)
        7. Bintang B pun terlontar gara" ledakan

        Di cerita ga mungkin dihasilkan supernova tipe ini, karena masing" bola ga punya "tetangga" yang bisa disedot lapisan hidrogennya.
      • Sebelum kita ke tipe" berikutnya, sebentar gw jelaskan ttg apa sebenarnya yg terjadi dalam bintang-bintang yg massanya besar (kira" >= 10x lebih masif dari Matahari)
        Spoiler untuk penjelasan :

        • Bintang terbentuk karena hidrogen-hidrogen di luar angkasa menyatu lewat proses yang...oke, ga usah gw jelasin ntar keluar konteks. Setuju aja sampe sini ya.
        • Massanya pun bervariasi.
        • Untuk bintang" yg minimal kira" 10x massa Matahari, mereka punya bahan bakar hidrogen lebih banyak dan ujung-ujungnya akan menjadi berlapis-lapis seperti ini:

          Dari luar sampe dalem: Hidrogen - Helium - Karbon - Neon - Oksigen - Silicon - Besi (Ferrum)
          Gimana bisa terjadi?
          Mungkin di laen waktu gw jelasin, entar keluar konteks makin ******* (atau mau tanya lewat PM/di thread ini? boleh.)
        • Tapi kenapa mereka ga meledak saat itu juga?
          Jawabannya satu: electron degeneracy pressure
        • Berdasarkan asas larangan Pauli (Kimia kelas 10 SMA coy),
          Nggak boleh ada 2 elektron dengan 4 bilangan kuantum yang sama
          ARTINYA, ga ada 2 elektron dengan SPIN sama yang boleh menempati satu level energi kuantum yg sama
          (jadi ga bole ada +1/2 sama +1/2 di 1s, 2s, 1p, 2p, dst, bolehnya +1/2 sama -1/2. ATAU +1/2 ATAU -1/2 aja)
        • Asas itulah yg membuat inti besinya ga akan segera runtuh (kenapa besi? well...lama" belajar quantum mechanics. Percaya aja deh), karena efek electron degeneracy pressure itu yang bekerja berdasar asas larangan Pauli.
        • NAH!! Tapi efek tersebut ga selamanya bertahan.
          Jika massa inti udah melebihi 1,4 kali massa matahari (Chandrasekhar limit), maka inti akan runtuh karena gravitasinya sendiri, bahkan electron degeneracy pressure ga lagi bisa menahannya.
        • Meledaklah bintang tsb.

      • Tipe Ib/Ic
        Terjadi karena fenomena yang udah dijelaskan di atas, TAPI...ada bedanya.
        Bedanya adalah:
        Ib: Tidak ada layer hidrogen
        Ic: Tidak ada layer hidrogen dan helium
        Kenapa? Bisa karena stellar wind ATAU seperti pada Ia, ada bintang tetangganya.
        Proses sisanya sama.
      • Tipe II
        Prosesnya sama persis dengan di spoiler "penjelasan".
        Sisanya?
        Bintang neutron, atau jika bintang neutronnya melewati T-O-V limit, jadilah black hole
    • Masalah black hole, sebenernya sudah jelas amat sangat fiksi di situ.
      Gw hanya memadukan konsep gravitasi dalam relativitas (yg sebenarnya adalah pelekukan ruang waktu yg sangat ekstrim akibat adanya bintang neutron), mengabaikan harus adanya neutron star yg massanya melebihi T-O-V limit.

    Last edited by LunarCrusade; 01-08-12 at 12:51.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  16. The Following User Says Thank You to LunarCrusade For This Useful Post:
  17. #101
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    3 or 4 chapters to go.

    Spoiler untuk Chapter 33 :


    =====================================
    Chapter 33: Crusade Against Homeland (Part 2)
    =====================================





    “Dari mana saja kamu? Semuanya mengkhawatirkan dirimu karena tidak ada kabar sama sekali!!”

    Sebenarnya aku ingin marah, sedikit. Tapi anggaplah kemarahanku sudah dibayar dengan tembok tanah ini. Kalau tidak, mungkin aku sudah mati sekarang.

    “Ahaha…maaf, maaf.”, jawab Huang sambil menggaruk-garuk kepala. “Ada urusan sebentar di Maple Country, jadinya agak lama sedikit. Jika kondisi memungkinkan, teman-teman di utara sana akan mendesak Liberion hingga kemari.”

    “Satu lagi. Bagaimana kamu bisa berdiri di belakangku secara tiba-tiba?”

    “Oh, itu. Aku memang lewat…”, dia menginjak tanah tiga kali dengan kaki kanan, “…sini.”

    “Hah? Lewat bawah tanah?”

    “Yap, benar. Dengan kekuatanku, hal tersebut bisa dilakukan. Untuk itulah aku selalu cocok untuk misi mata-mata. Yah, meski tidak mungkin untuk mengajak orang lain ikut masuk.”

    Ternyata itu alasannya kenapa dia beberapa kali diterjunkan lebih dulu untuk mengamati suatu kejadian, seperti di Italia misalnya.




    Menengok ke arah Valentina, Huang berkata, “Ah, kamu kolonel militer Varangia yang waktu itu? Whoa…lukamu parah sekali. Duduklah dan tahan sebentar sakitnya. Akan kusembuhkan setelah menghancurkan robot-robot aneh itu.”

    “T-Tidak perlu. Aku bisa---“

    “Valentina.”, sengaja kusentil dahinya.

    “Aw…!! Jangan keras-keras---“ Suaranya terhenti karena kembali batuk mengeluarkan darah.

    “Tenanglah dahulu dan jangan banyak bergerak. Sabar sedikit, oke?”

    Kata-kata persuasif dari Huang itu mampu membuat Valentina menurut. Perempuan bermata hijau ini pun duduk di tanah, tentu saja sambil dibantu olehku.

    Akupun bicara untuk menginformasikan mengenai para Shedu itu, “Huang, hati-hatilah. Entah bagaimana caranya, robot-robot itu selalu menghasilkan ledakan dengan mekanisme seperti supernova jika dihancurkan.”

    “Hmm…begitu ya. Baiklah.”, jawabnya tenang. Tangan kanannya yang memegang kipas terangkat lurus ke arah langit, lalu dia berseru, “Earth’s Grave, Huang Long!!

    Tembok tanah tadi melaju bagai ombak ke arah para Shedu yang menembak. Entah setebal apa tembok itu, yang jelas misilpun tidak mampu menembusnya. Terus melaju hingga jarak tertentu, lalu semua…ya, semua Shedu dibungkus oleh tanah tersebut menjadi bentuk bola. Yang terbangpun tidak luput karena tanah yang dikendalikan Huang menarik mereka hingga jatuh.

    Begitu tertutup sempurna dengan tanah, Huang menurunkan tangannya, lalu semua bola-bola tanah berisi Shedu tersebut masuk ke dalam Bumi. Merekapun lenyap tak berbekas. Dia hanya tersenyum ke arah kami berdua setelah selesai melakukannya.

    “Hei…caramu berhasil!! Dengan begitu tidak mungkin ada supernova yang bisa dihasilkan!!”, seruku kegirangan.

    Aku mengerti. Sepertinya para Shedu itu mengirim sinyal tertentu ke menara jika berada dalam kondisi nyaris hancur. Tapi, karena mereka dilumat habis oleh tekanan tanah saat masih utuh, sinyal itupun tak akan terkirim. Ditambah lagi jika mereka masuk jauh ke permukaan tanah, sinyalpun tak bisa menembus, mirip sebuah telepon seluler yang kehilangan sinyal dari menara jaringan. Walhasil, supernova tidak akan terjadi.

    “Sekarang…”, ujar Huang sambil melangkah ke arah Valentina. “Tenang sebentar ya. Mungkin akan sakit sedikit, namun bisa kujamin tidak akan merusak organ dalammu lebih lanjut.”

    Tangan kirinya meraih batangan logam yang menusuk perut kiri Valentina, lalu tangannya itu mengeluarkan aura berwarna keemasan. Hebatnya, diameter batangan logam itu perlahan mengecil. Sesekali Valentina terlihat menahan sakit, namun tidak lagi begitu diameter batangannya berubah menjadi sekecil jarum. Akhirnya, benda itu bisa dikeluarkan dengan mudah dan dilempar begitu saja oleh Huang, lalu berubah kembali menjadi batangan logam dengan ukuran seperti sebelumnya.

    Belum selesai. Kembali, tangan kirinya beraksi, kali ini diarahkan sekitar 1-2 sentimeter di atas luka yang menganga. Warna aura yang sama terpancar darinya, perlahan membuat luka itu tertutup tanpa bekas. Kemungkinan besar cahaya itu juga menyembuhkan organ dalam yang terluka.

    Setelah berdiri tegak, Valentina berucap, “Terima kasih banyak, nona Huang. Saya tidak tahu kalau anda bisa melakukan hal seperti itu.”

    Wow. Valentina bicara dengan sopan dan formal?! Dunia sudah mau kiamat rupanya.

    “Ahaha…yah, memang tidak banyak orang yang tahu mengenai kemampuanku tadi. Jangan sungkan, aku selalu siap membantu jika dibutuhkan.”

    “Bagaimana…bisa?”, mulutku tiba-tiba bergerak sendiri. Bukankah dia identik dengan elemen tanah dan bukan logam?

    “Meski logam adalah elemen yang berbeda, tapi tidak ada logam yang tidak didapat dari tanah. Benar begitu?”, jawabnya sambil mengedipkan sebelah mata.

    Menyadari dirinya mengenakan pakaian yang super-rumit, akupun menyambung, “Ngomong-ngomong, apa kamu tidak kerepotan mengenakan gothic dress seperti itu? Apalagi misimu kali ini berhubungan dengan kegiatan mata-mata.”

    “Ah...sudah biasa kok. Friedrich sangat suka jika aku berpakaian seperti ini, jadi selalu kugunakan untuk sehari-hari. Tapi tidak saat aku masuk ke menara. Yah, terpaksa aku menyamar dengan seragam mereka.”

    Mengetahui Huang yang kembali tanpa masalah, ditambah kondisi Valentina sudah pulih dan bisa berdiri tegak, akupun bangkit dan menatap ke arah menara. Sudah saatnya menara itu dihancurkan sebelum menimbulkan kehancuran lebih dahsyat.

    “Sekarang…”




    Baru saja kubuat bola cahaya dengan Photon Blaster, Huang berkata, “Daleth…apa yang ingin kamu lakukan?”

    “Menembaki menara itu sampai runtuh. Aku tidak tahu apakah konstruksi raksasa itu sudah melakukan sesuatu di belahan dunia lain. Namun jika belum, maka harus kucegah sekarang juga.”

    “Hah?! Apa kamu gila?! Resha ada di dalam!!”

    Bola cahaya di depan tangan kananku pun lenyap. ‘Resha ada di dalam!!’ terus terngiang selama beberapa detik, membawa kesadaranku melayang entah ke mana. Sebenarnya aku sudah siap dengan apapun kabar mengenai Resha, meski dia sudah mati sekalipun. Namun…jikalau benar dia masih hidup, kenapa Huang tidak mengeluarkannya?!

    “Eh…? Resha…?”, suaraku terdengar kaku dan pelan.

    “Aku tidak tahu apa yang terjadi dengannya sekarang, namun jelas sekali kudapati kalau dia ada di dalam, dikurung di lantai 6 pada gedung yang menyangga menara. Tiga hari lalu aku sudah menginfiltrasi tempat itu. Cukup sulit, bahkan aku tidak mungkin berlama-lama di dalam sana.”

    Kugenggam kedua lengannya erat-erat, lalu berteriak, “Lalu kenapa kamu tidak menyelamatkannya?! Jika kamu tahu dia sedang dikurung, kenapa kamu tidak membawanya keluar, hah???!!! ” Harus kuakui, emosiku naik saat ini.

    “Daleth, hentikan. Genggamanmu terlalu erat.”, ujar Valentina sambil meraih bahu kananku.

    Menyadari raut wajah Huang yang menahan sakit, maka kulepaskan tanganku darinya. “Maaf…aku benar-benar emosi.”, ujarku pelan, sambil menoleh ke arah lain.

    “Tidak apa-apa, Daleth. Aku bisa mengerti perasaanmu. Entah apa yang sudah terjadi pada kalian berdua, namun satu hal yang kutahu…kalian pastilah berpisah dengan cara yang tidak mengenakkan.”, jawabnya. Hebatnya, Huang masih bisa tersenyum saat menjawab.

    Kuceritakan segala detail yang terjadi mengenai hilangnya Resha, begitu juga dengan kondisi mentalku yang jatuh ke titik terendah ketika hal itu terjadi. Semuanya tidak ada yang kututupi.

    “Ah…begitu rupanya. Maaf kalau aku tidak tahu menahu soal itu. Lagipula penjagaan menara itu sangat ketat, ditambah lagi semua ruangan memiliki retina identifier sehingga aku tidak mungkin membuka pintu ruangan Resha dikurung tanpa menghancurkannya. Kalau kupaksa, aku akan sulit keluar setelahnya. Jadi…sekali lagi aku minta maaf, Daleth.”

    Kuhela nafas satu kali untuk menenangkan pikiran, lalu menjawab, “Oke, tidak perlu terlalu dipermasalahkan lagi. Setidaknya aku sudah tahu kalau dia masih hidup.”

    “Jadi, apa rencanamu sekarang?”, tanya Valentina.

    “Tentu saja aku harus mengeluarkan Resha, baru menghancurkan menara itu. Namun sebelum itu…”, kulepaskan headset ku, lalu memberikannya pada Huang. “Hubungilah keluargamu dan juga Friedrich. Mereka pasti sangat khawatir.”





    Belum sampai headset itu di tangan Huang, ada transmisi masuk, terlihat dari lampunya yang berkedip-kedip. Valentina langsung menerima sambungan. Namun, begitu dia menekan tombol untuk menjawab transmisi…terlihat ujung menara kembali memancarkan sinar hitam. Pandangan kami semuapun teralih ke arah menara.

    Aku ingin langsung membawa Huang pergi ---karena kupikir akan ada ledakan lagi---, tetapi tidak ada bola hitam yang muncul sama sekali di sekitar sini. Bahkan tidak kudapati satupun di laut sana, yang ada malah beberapa jejak asap karena pertempuran armada Varangia dan Liberion. Ada apa lagi ini sebenarnya?

    “A-Ah, iya. Maaf, kek. Ada apa?”, Valentina terdengar kaku, mungkin orang tua itu berteriak-teriak karena konsentrasi kami sempat teralih. “Daleth, pasang sebentar headset mu.”

    Segera kuposisikan lagi headset di telinga, dengan mikrofon tepat di depan mulut. Dapat kudengar suara orang tua itu.

    “Anak muda, ada transmisi dari front di Frisia. Akan kusambungkan sekarang.”

    “Ah, Frisia rupanya. Baiklah, tolong sambungkan.”, kutengok ke arah Huang, lalu berkata, “Kebetulan sekali mereka menghubungi kemari. Kamu bisa bicara setelah ini.”

    Mudah-mudahan akan ada kabar baik dari seberang lautan sana.

    “Oi Daleth, ada sesuatu yang aneh di sini.” Itu suara Friedrich.

    “Coba jelaskan.”

    “Sekitar dua ratus meter di depan pasukanku…ada benda hitam yang melayang beberapa meter di atas tanah. Bentuknya seperti bola, makin besar. Anehnya lagi, bola itu menyedot segala puing robot yang sudah kami hancurkan.”

    Otot-otot di sekitar mataku langsung berkontraksi, terbelalak. Jadi menara itu membuat mini-supernova di Frisia sana?!

    “Cepat lari dari sana!! Benda itu berbahaya!!!!”

    “Eh? Berbahaya? Hei Feng, sepertinya kita harus pergi. Kamu pergilah duluan, akan kuperintahkan pasukan untuk mundur.“

    Kudengar suara Friedrich memerintahkan tentara untuk mundur dalam bahasa Teutonium. Argh!! Terlalu lama!! Kalau begini, mereka berdua bisa mati sekaligus!!

    “Feng juga ada di sana??!! Jangan tunggu apa-apa lagi!! PERGILAH SEKARANG JUGA!!! Bola hitam itu akan segera meledak!!!”

    “HAH?! Segera meledak?! Baiklah---“

    Suara ledakan terdengar melalui headset, disertai dengan putusnya transmisi. Sinar hitam dari puncak menara lenyap sekitar 3 detik kemudian. Tubuhku langsung lemas bahkan tidak sanggup untuk berdiri.

    “Da…leth? Apa yang terjadi…?”, tanya Huang perlahan.

    Aku tidak sanggup untuk menjawabnya. Bibirku terasa kelu, pita suaraku seakan tidak bisa bergetar normal.

    Sambil berlutut di sebelah kananku dan menggenggam pundakku erat-erat, dia berteriak, “Hei Daleth!! Apa yang terjadi dengan Friedrich dan Feng?!”

    Aku hanya bisa menaruh tangan kananku di dahi. Ingin rasanya kukatakan apa yang terjadi, namun aku tidak tega…

    “DALETH!!! Kenapa dengan mereka berdua??!!!”, suaranya makin keras.

    “Ledakan. Sepertinya dekat dengan tempat mereka berada…”, jawabku pelan.

    “J-Jadi…mereka…”

    Huang hanya bisa duduk dan tertunduk lesu. Wajahnya memang tidak dapat kulihat, namun aku bisa mendengar suara tangisnya.




    Tidak berhenti sampai di situ, puncak menara menyala sekali lagi. Sama seperti sebelumnya, tidak kudapati satupun bola hitam di sekitar, yang artinya sedang terjadi serangan di tempat lain. Benar saja. Tiga kali berturut-turut transmisi masuk dari Teutonium, Qing, dan Parthia, diterima oleh Valentina. Armada Teutonium sebelah timur hilang seperempatnya. Basis pertahanan Qing pada beberapa pulau di Eirene lenyap ditelan ledakan. Di Benua Hitam pun sama saja, pasukan Parthia dan Varangia yang sedang mundur juga dihantam oleh ledakan itu. Mengetahui semua itu, aku menyadari ada sedikit kesalahan dalam hipotesisku mengenai pengiriman serangan oleh menara itu.

    “Kalau begini caranya…peperangan tidak mungkin dimenangkan selama menara itu masih ada...”, ujar Valentina.

    Dia benar. Senjata mematikan itu harus dihancurkan secepatnya. Akupun bangkit berdiri dengan mantap, lalu berkata, “Tidak ada waktu lagi, kita harus menghenti---“

    Belum selesai kata-kataku, tiba-tiba Huang ikut berdiri, masih berusaha menghapus air matanya. Lalu dengan nada yang tegas dia berkata, “Aku ikut.”

    Aku kagum dengan cepatnya dia mengambil keputusan, meski kondisi orang yang dicintainya sudah jelas, kecil kemungkinannya untuk didapati masih hidup. Berbeda sekali denganku waktu itu.

    “Perasaanku mengatakan kalau Resha dimanfaatkan total untuk melakukan semua ini. Aku tidak mau lagi kehilangan siapapun, jadi…kita selamatkan Resha, lalu hancurkan menara itu hingga rata dengan tanah.”, sambungnya.

    “Semangatmu boleh juga, nona Huang. Tidak seperti pria lemah yang satu ini.”, sahut Valentina. Meledekku. Bah.

    “Siapa yang kamu bilang lemah hah?”

    “Ya, ya. Mengurung diri, tidak mandi, tidak makan. Untung saja kamu tidak membusuk di dalam Glasnost. Jika bukan karena rencanaku dan kakek, mungkin kamu sudah menjadi umpan untuk ikan-ikan di laut.”

    “Kurang ajaaarrrr…!!”, kujepit lehernya dengan bagian dalam lengan kiriku.

    “Aaaahh!! S-Sakit, dasar *****!!”

    Melihat kelakuan kami berdua, Huang tertawa kecil. “Baguslah, kulihat kalian berdua cukup akrab. Akan lebih mudah bekerjasama dengan orang-orang yang punya hubungan baik satu sama lain.”




    Hmm, ada yang datang lagi rupanya. Kali ini bukan Shedu, hanya kombinasi infantri, tank, dan artileri. Mereka datang dari arah timur, sepertinya ingin bersiaga pada jarak 3 kilometer hingga beberapa ratus meter di depan menara.

    “Oh ya, seingatku kamu berjanji untuk tidak membunuh siapapun. Lalu bagaimana kita akan menangani mereka?”, tanya Huang sambil menunjuk ke arah pasukan Liberion yang baru datang.

    “Hari ini, pengecualian. Kamu bisa mengubur mereka hidup-hidup jika mau.”

    “Heee…begitu rupanya.” Entah kenapa, raut wajahnya berubah sedikit menyeramkan. “Baiklah, akan kubuat mereka beristirahat dengan tenang.”

    Kunyalakan Plasma Directing lalu berkata pada Huang, “Naiklah.”

    “Wow, ini seperti dalam legenda Qing saja. Journey to the West.”, ujarnya sambil memperhatikan awan plasma yang diinjaknya.

    “Jangan samakan aku dengan ****** itu…”

    “Ahaha…maaf, maaf. Baiklah, jangan lama-lama lagi. Mereka sudah menunggu kita.”

    Beberapa saat kemudian, kami mendarat tak jauh dari depan mereka. Ujung laras rifle, senapan mesin, grenade launcher, tank, hingga rocket launcher mulai diposisikan untuk menembak ke arah sini. Tiga orang melawan…hmm, 7 batalyon, mungkin?

    “Bagaimana, kalian siap?”, kataku.

    “Tidak ada kata tidak siap, Daleth.”, jawab Valentina.

    “Yup, benar kata nona kolonel yang satu ini. Tapi kalau jumlahnya tidak berimbang begini, sebaiknya… Golem Creation, Huang Long.

    Wohoho!! Ini dia!! Golem-golem yang dibentuk untukku berlatih waktu itu, muncul lagi kali ini. Entah berapa banyak yang dibentuk Huang, namun yang jelas cukup untuk membuat formasi mereka semua terpecah. Bagaimana tidak? Boneka-boneka tanah itu muncul begitu saja di antara mereka. Para tentara terlihat menembaki golem yang ketika hancur, langsung terbentuk kembali secara utuh. Sisanya mulai menembak ke arah sini dengan segala senjata yang dimiliki. Untunglah, Huang mampu membuat permukaan tanah sebagai pelindung.

    Seperti kesetanan, Valentina membuat belasan sambaran di beberapa titik di antara formasi mereka. Yang tidak terkena sambaran menutup telinga karena kerasnya suara. Dan…tentu saja, mereka segera dihajar oleh golem terdekat.

    Di tengah suasana yang kacau itu, aku melesat ke tengah-tengah mereka dengan Photonic Velocity, lalu menghantam tanah sekeras mungkin dengan Atomic Vibration.


    *BHUUUUMM!!!~


    Partikel-partikel tanah dan batuan melesat dengan kecepatan tinggi, menembus tubuh manusia-manusia di sekitarku. Knock out. Anehnya, tidak ada sama sekali amarah di dalam dadaku saat menghabisi mereka. Aku bisa lebih tenang dan mengantisipasi segala tembakan yang mengarah kepadaku, menghindarinya jika perlu. Apa karena sebenarnya aku senang bisa membunuh mereka? Tidak, sepertinya tidak. Aku tidak pernah merasa senang jika mencabut nyawa seseorang, bahkan ketika masih menjadi eksekutor sekalipun. Ataukah ini…karena aku tahu kalau Resha masih hidup dan sangat mungkin untuk kuselamatkan?

    Terlepas dari semua itu, kulanjutkan seranganku dengan cepat. Entah sudah berapa kali kukeluarkan Photon Blaster, Atomic Vibration, dan Plasma Directing Aeroblast Phase. Lubang-lubangpun terbentuk di tanah akibat seranganku, sambaran Valentina, ataupun Huang yang mencabut permukaan tanah untuk dilempar ke arah musuh. Tank-tank dan artileri juga nampak hancur atau terbakar. Tidak ada satupun yang mampu menghadapi kombinasi kami bertiga. Memang cukup melelahkan harus menghancurkan sekitar 7 batalyon sekaligus. Namun karena dikerjakan bertiga, efek lelah seakan tidak ada apa-apanya bagiku.




    Akhirnya, barisan terakhir. Ya, barisan terakhir sebelum menuju menara mematikan itu. Hanya sekitar 100 hingga 200 meter di luar batas pagar halamannya.

    Sambil terengah-engah, Valentina berujar, “Tinggal…mereka saja?”

    “Sepertinya begitu…nona…kolonel…”, jawab Huang, terlihat nyaris sama lelahnya.

    “Tapi…sayang juga, nona Huang… pakaian indahmu itu…sedikit rusak…”

    “Tidak masalah…aku masih punya banyak di rumah. Mungkin aku bisa memberimu…satu.”

    “Ahaha…itu tidak perlu. Yang seperti itu…bukan tipe…saya.”

    Dasar perempuan. Di saat begini masih saja membicarakan fashion.

    “Haloooo…wahai gadis-gadis cantik?? Di depan masih ada pasukan yang menunggu kita!!”

    “Tenang saja, Daleth. Yang di depan itu…”, lagi-lagi ekspresi Huang terlihat menyeramkan. “…sudah pasti akan dikirim ke alam sana. Express.”

    “Benar sekali.”, kulihat lecutan-lecutan listrik muncul di kedua tangan Valentina. “Mereka...pasti habis.”

    “Kalian berdua ini…sadist ya?”

    Hanya terdengar sekali “hehehe” yang datar dan mengerikan dari mulut mereka berdua. Kuakui bulu kudukku sedikit merinding. Aku BENAR-BENAR bersyukur karena tidak ada di pihak Liberion saat ini.

    “Akan kupecah formasi mereka, lalu cepatlah melesat menuju menara. Aku dan nona kolonel ini akan menahan mereka. Bagaimana, Daleth?”

    “Kalian berdua ingin menghadapi mereka sendirian?”

    “Ayolah, Daleth. Yang ini tidak sebanyak tadi, jadi bisa kami hadapi sendiri. Jangan membuat Resha menunggu lebih lama lagi. Cepat sana.”, jawab Valentina sambil menepuk punggungku.

    “Baiklah kalau kalian memaksa. Aku hanya minta tolong, bersihkan mereka dalam garis lurus sehingga aku tidak menabrak siapapun saat bergerak menggunakan Photonic Velocity.”

    “Dimengerti. Siap, nona Huang?”

    “Kapan saja.”

    Keseriusan terlihat jelas pada mereka berdua. Seketika itu juga, golem-golem mulai muncul di tengah-tengah pasukan Liberion. Beberapa sambaran dikonsentrasikan di satu titik, membersihkan celah selebar kira-kira 50 meter, tepat menuju ke halaman menara.

    “Daleth, jaga dirimu.”, ujar Valentina.

    “Jangan lupa bawa temanku yang menggemaskan itu, oke?”, Huang ikut menyahut.

    “Tenang saja. Begitu aku kembali membawa Resha dengan selamat, akan kutraktir kalian makan-makan. Kalau begitu…Photonic Velocity.”

    Dalam sekejap aku sudah berada di belakang formasi pasukan Liberion yang tersisa, tepat di dalam halaman menara. Barisan paling belakang ingin menembak, namun tiba-tiba muncul golem yang cukup besar, menghalangi sekaligus menghancurkan formasi mereka.




    Dan…ini dia, menjulang di hadapanku menara supermasif setinggi 960 meter. Senjata rahasia Liberion yang membawa kehancuran total.

    Harus. Segera. Dimusnahkan.


    ==========================

    Spoiler untuk Trivia :

    Tau Journey to the West kan? Itu loh, Sun Go Kong.
    Last edited by LunarCrusade; 21-09-12 at 04:09.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  18. The Following User Says Thank You to LunarCrusade For This Useful Post:
  19. #102
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    BLEDUM BELEGUR BAM BUM JEGER JEGER!!! YESSS!!!! MATI SEMUA!!!!!!

    *ehhmm*

    Oke, gue lagi *****.

    Intinya adalah: 2 chapter terbaru itu seru. BANGET. Gue bacanya berasa lagi nonton film perang hi-tech yang dimotorin sama cg kelas berat. asli, bener2 butuh urat ekstra buat baca nya.

    Sayang, chapter 32 diisiin supernova. Supernova nya sih keren, tapi teori nya enggak (dan gue masih baca trivia nya juga)... Buat gue, agak memusingkan.

    3 chapter lagi? ahh,
    Spoiler untuk asdf :
    kapan duet si manusia super sama sarung tangan super?

    FACEBOOK | TWITTER | Melon's Blog
    I am a melon - MelonMelon

  20. #103
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    AOSKAOSKAOSKOASKOAK gimana gak heboh, yg nemenin 2 cewek sadist gitu

    yah, lagipula itu trivia berat terakhir yang bakal lu baca di cerita ini kok
    anggep aja kenang"an /"

    Spoiler untuk curhat :

    sebenernya gw pengen bikin sistem yang lebih sederhana untuk cara menara itu nembak

    tapi entah kenapa gw seakan mendapat ilham dari sorga

    ---"Let there be science.", and there was astrophysics--- dah jadinya


    Spoiler untuk lagi :

    duet?
    liat aja nanti...

    yang jelas ending arc ini udah solid banget di kepala gw,
    makanya bisa seminggu 7 chapter kek orang gila ngetiknya OWKAOWKAOWKAOWKOAK


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  21. #104
    LunarCrusade's Avatar
    Join Date
    Jun 2008
    Location
    Unseen Horizon
    Posts
    8,965
    Points
    30,120.80
    Thanks: 298 / 586 / 409

    Default

    2 chapters to go.

    *OPTIONAL: ada bagusnya baca ini dulu

    Spoiler untuk Chapter 34 :


    =====================================
    Chapter 34: Crusade Against Homeland (Part 3)
    =====================================




    Atomic Vibration!!

    *BRAAKKK!!

    Chimera itu terpental masuk kembali ke dalam gedung, menghantam tembok di dalam bangunan, membuatnya agak retak, lalu terkapar ---meski aku yakin, makhluk itu belum mati---.

    Uh-huh, chimera. Makhluk aneh sepanjang hampir 4 meter, dengan mencampuradukkan DNA beberapa hewan. Kepala singa, 4 buah ekor kalajengking, 2 pasang sayap kelelawar, tubuh sapi atau kerbau, dan kaki kuda. Tentu saja ekor dan sayapnya sudah diperbesar agar sesuai proporsi tubuh. Makhluk inilah yang tadi menghalangi pintu utama di selatan bangunan, dan mungkin adalah tantangan terakhirku agar bisa menyelamatkan Resha.

    “Hahaha!! Bagaimana, teman lama? Bermain-mainlah sebentar dengan makhluk buatanku ini!!”

    Suara itu terdengar ketika aku melangkah masuk ke dalam gedung. Gregor Crick. Siapa lagi orang ******* yang berpikiran untuk membuat makhluk aneh semacam ini?

    “Bukankah dulu sudah kukatakan, jangan melanggar hukum alam sembarangan!! Bagaimana jika makhluk seperti itu melukai orang yang tidak berdosa?!”

    “Ha!! Lihat siapa yang bicara!! Selalu menasihati orang lain, namun melanggar kata-katanya sendiri. Apa kamu tidak sadar kalau sarung tanganmu itu juga adalah suatu bentuk manipulasi hukum alam yang tidak wajar?!”

    “Terserah apa katamu. Setidaknya aku tidak memiliki tujuan awal untuk membunuh orang yang tidak pantas mendapatkan hukuman.”

    Kekesalan nampak di wajahnya, ditambah tangan kanannya yang dikepalkan erat-erat seakan ingin memukulku.

    “Omong kosong!! Lalu apa yang kamu lakukan di laboratorium itu? Membantai hampir dua ratus orang…apa kamu pikir semuanya adalah orang yang berhak untuk mati?!”

    Kembali aku teringat mengenai peristiwa itu, yang terjadi lebih dari 3 tahun lalu jika dihitung dari hari ini.




    Bagi sebagian orang, dapat mengepalai sebuah proyek ilmiah berskala besar tidaklah terlalu menghebohkan. Mereka lebih memilih hidup mencari uang dengan cara yang biasa. Menjadi kaya secepat mungkin, membeli barang sebanyak mungkin, dan hidup tenang selama mungkin. Namun tidak denganku.

    Sejak kecil aku selalu tertarik dengan bidang sains, bahkan kupilih jurusan Transcendental Physics ketika kuliah. Relativitas dan teori kuantum adalah makanan sehari-hari dalam jurusan kuliahku. Sebuah jurusan yang menurut banyak orang amat sangat sulit, karena berurusan dengan sesuatu yang tidak bisa dibuktikan dengan mudah. Hal itulah yang menggoda dosen-dosen dan juga teman-temanku untuk menicptakan sesuatu yang mempermudah penelitian mengenai apa yang kami pelajari.

    E.L.O.H.I.M. Project. Ya, itulah yang kami rencanakan. Diambil dari bahasa Eretz Adonai untuk “Tuhan”, karena banyak di antara kami yang beranggapan kalau inilah yang akan menjadi kunci alam semesta. Awalnya, aku kurang setuju dengan namanya, walau akhirnya kuputuskan untuk berpartisipasi dan ujung-ujungnya dijadikan pimpinan proyek. Kenapa? Mudah saja. Banyak yang melihat kalau aku bisa memimpin dengan baik serta menganalisis situasi dengan cepat, meski ada beberapa di antara mereka yang dapat dikatakan lebih jenius dariku. Hatiku benar-benar melonjak kegirangan saat diangkat menjadi pimpinan proyek.

    Tapi…militer Liberion mengintervensi proyek kami. Material terkeras di alam semesta, artificial intelligence tercanggih, serta sistem elektronik paling modern ---lebih tepat kalau kukatakan sistem fotonik---, memancing pihak militer untuk menjadikannya alat penghancur. Untuk itulah, diam-diam aku meminta Gregor untuk mendesain DNA Lock, agar benda yang akan tercipta hanya bisa dikendalikan olehku. Yah, harus kuakui, aku sedikit egois dan sangat idealis waktu itu.

    Dididik dalam keluarga dengan standar moral yang tinggi, sense of justice amat kental nampak dalam kepribadianku. Terbentuklah seorang Daleth Reshunuel yang super-idealis, amat sangat jijik dengan hal-hal yang jahat. Contohnya, jika melihat berita kriminalitas. Perutku bisa mual setengah mati bahkan hingga ingin memukul monitor televisi. Hal itulah yang membangkitkan amarahku begitu mengetahui kalau semua orang yang terlibat dalam proyek ---kecuali diriku--- setuju untuk menjadikannya sebuah senjata, yang dapat diproduksi massal setelahnya.

    Dan…hal itupun terjadi.

    Tepat di hari ketika pihak militer ingin membawanya ke pusat penelitian militer melalui sebuah acara resmi, akupun melakukan aksiku. Beberapa pejabat terbunuh. Tidak hanya itu, orang-orang yang membiayai proyek inipun ikut kulenyapkan saat acara berlangsung di aula laboratorium. Bahkan teman-temanku sendiri…

    Awalnya, pemerintah ingin menjatuhkan hukuman mati untukku. Untunglah kepala penjara ---yang entah bagaimana caranya bisa mengetahui tentang proyek ini--- tiba-tiba mengintervensi dan mengajukan proposal yang menyelamatkan nyawaku. Negara ini memang memiliki sebuah sistem khusus yang bisa mengampuni para kriminal, asalkan dia mau bekerja apapun untuk pemerintah. Maka ditempatkanlah diriku sebagai seorang eksekutor di Beth-Elyon, sebuah kota yang memiliki penjara khusus untuk menampung para tahanan kelas berat. “Senjata itu dapat meringankan pekerjaanku.”, begitu kata pak kepala saat itu, sambil tertawa santai.




    “Kamu pikir aku menyesal dengan kejadian itu?”, tanyaku sinis.

    “Brengsek!! Apa kamu bilang?! Kamu tidak menyesal?!”

    “Maaf, Gregor. Tapi kamu tahu sendiri bagaimana sifatku. Aku selalu meyakini, semua pasti memiliki tujuan baik pada waktunya, termasuk hal tersebut. Jika aku tidak melakukan hal itu, bisa kamu bayangkan…negara ini pasti sudah mengacak-acak dunia. Sekarang minggirlah, ada seseorang yang menungguku.”

    “Langkahi dulu…”, dia mengeluarkan M9 nya, diarahkan padaku.

    Aku sudah tahu lanjutan kata-kata itu. Klasik.

    “…chimera itu.”

    EH?!

    Dia menekan sesuatu yang diikat di pergelangan tangan kirinya, membuat chimera yang sejak tadi terbaring di belakangku kembali bangkit. Kupikir aku dapat menahannya dengan mudah jika kuaktifkan Energy Barrier. Tapi…aku melupakan sesuatu.

    Terdengar suara letusan pistol, kemudian dalam sekejap kuaktifkan Energy Barrier. Kaki besar makhluk itu terangkat dan melakukan gerakan menginjak, namun jelas, tertahan sempurna oleh perisai energiku. Dan ini dia yang kukhawatirkan. Peluru itu…adalah Graviton Bullet. Energy Barrier lenyap seketika. Kakinya mengenai punggungku, membuat tubuhku melayang di udara, bahkan headset ku ikut lepas. Untunglah sebelum tubuhku menghantam tembok, sempat kuaktifkan kembali program itu sehingga tidak ada cedera lebih lanjut.

    Belum sempat aku berdiri, Gregor datang dan menginjak bagian dadaku keras-keras. Sial, sakit sekali…

    “Menyerahlah.”, ujarnya dingin sambil menodongkan pistolnya.

    “Tidak akan!! Tidak mungkin aku menyerah semudah ini!!”

    “Dengar, dia tidak mungkin diselamatkan. Ingin mencoba mematikan sumber dayanya? Itu hanya akan memperburuk keadaannya yang sedang berada di lantai empat.”

    “Aku sudah tahu hal itu.”

    “Jika sudah tahu kenapa tidak berbaring saja dan membusuk di sini, HAH?!”

    “Tidak mungkin kubiarkan seseorang yang kucintai menunggu terlalu lama.”, jawabku santai.

    Terbakar amarah, dia menghajarku dengan gagang M9 miliknya. Keras-keras dia berteriak sambil menarik kerah bajuku, “Kenapa…kenapa kamu mendapatkan segalanya?! Menjadi pimpinan, terselamatkan dari hukuman, selalu bisa bertahan hidup, dan juga mendapatkan seseorang yang dicintai…KENAPA HARUS SELALU DIRIMU, HAH?!”

    “Cih, jadi itu alasannya. Selalu iri.”

    “Wajah tenangmu itu juga…BRENGSEEEEKKK!!!”, tinjunya diarahkan padaku.




    Untunglah, percakapan tadi membuatku bisa lebih tenang. Segera kunyalakan Photonic Velocity dan dalam sekejap sudah lepas dari cengkeramannya.

    “Mau bagaimana lagi? Sudah dari sananya.”

    “Kurang ajar…serang dia!!!”

    Kembali, chimera itu berusaha menyerangku setelah Gregor menekan sesuatu yang terpasang di pergelangan tangan kirinya. Sepertinya benda itu yang menjadi pengendalinya. Harus segera kuhancurkan. Namun bagaimana caranya…? Chimera itu berdiri di antara kami berdua, sehingga Photonic Velocity menjadi sulit digunakan karena aku harus melihat dan memastikan jarak dengan target. Jika begini…makhluk aneh itu harus ditumbangkan lebih dulu. Photon Blaster…tidak. Energinya yang kuat dapat menjebol tempat ini. Salah arah tembakan malah dapat mengenai Resha atau bagian yang mengatur sumber daya menara ini.

    “Sepertinya aku harus menjatuhkanmu dulu, hewan jelek…”, ujarku pelan.

    Makhluk itu mulai berlari ---karena tinggi koridor yang tidak memungkinkannya untuk terbang---, lalu mengarahkan keempat ekornya sekaligus padaku. Semburan asam yang kuat tersemprot, melubangi beberapa titik di lantai. Whoa…bahaya.

    Kuaktifkan Energy Barrier lalu berlari menerjang. Sekali lagi kuhantam dengan Atomic Vibration, kali ini tepat di bagian atas kepala, namun dia hanya terkapar selama 2 detik dan mampu bangkit. Kulitnya juga terasa keras sekali, mungkin hanya sedikit di bawah Leviathan tipe lama. Kupikir sehari-harinya dia diberi makan potongan logam, mencernanya dengan baik, lalu molekul-molekulnya menjadi bahan utama penyusun sel-sel kulit. Satu hal yang jelas, dia tidak akan pernah kekurangan zat besi.

    “Bagaimana, hei teman lama? Semuanya sudah kuprediksi. Jelas Photon Blaster tidak akan digunakan, karena bisa meruntuhkan bangunan ini jika salah tembak. Energy Barrier? Dapat kuhilangkan dengan mudah jika mau. Kecepatan cahayapun tak ada gunanya jika peliharaanku ini selalu menghalangi.”, kembali dia menekan tombol di tangan kirinya. “Cepat habisi dia!!”

    Sial, ternyata dia sudah mengira-ngira apa yang akan kulakukan.

    Tiga detik berpikir, sebuah ide muncul. Photonic Velocity memang tidak dapat digunakan jika aku tidak dapat melihat target. Kalau begitu…tinggal kuubah targetnya.

    Sekali melesat dengan kecepatan cahaya, tepat ke atas makhluk itu. Sebelum aku menabrak langit-langit koridor, kuhentakkan kakiku agar dapat melesat tepat ke arah tengkuk makhluk itu.

    Atomic…!!!!

    Tiga. Dua. Satu.

    …VIBRATIOOOONNN!!!

    BAMMM!!! Tepat sasaran, menghilangkan keseimbangan chimera itu untuk sementara. Berikutnya, kuhajar bagian punggungnya. Yup, semuanya untuk membuatnya rubuh. Makhluk apapun, selama memiliki vertebra, pasti akan cedera parah jika mengalami hantaman di bagian tengkuk atau vertebranya. Setelah ini…Photonic Velocity.

    Lebih cepat dari kedipan mata, posisiku sudah berada di sebelah kiri Gregor.

    “Terkejut, eh?”

    “Kurang a---“

    Kupukul perutnya sebelum dia berhasil menembakku dengan M9 nya. Terpental ke arah tembok yang berlawanan dengan chimera itu tergeletak, sekarang giliran dia yang tidak dapat bergerak.

    “Sekarang katakan, bagaimana cara menghentikan mesin itu tanpa melukai Resha.”, kutarik kerah bajunya. Tentu saja aku tidak sebiadab dia yang main injak bagian vital sembarangan, seperti bagian dada.

    “Mustahil. Dia tidak dapat diselamatkan.”

    “JANGAN BERCANDA!! Pasti kamu tahu sesuatu!!”

    “Ya, aku tahu sesuatu.”, jawabnya sinis sambil membuang muka.

    “Katakan sebelum kupatahkan tulang-tulangmu.”

    “Kamu mau dia tetap bertahan hidup? Tunggulah dua puluh jam lagi. Seluruh mesin di menara akan mati secara otomatis.”

    “Apa kamu gila?! Jutaan nyawa akan melayang jika tidak kuhentikan sekarang!!”

    “Terserah apa katamu. Yang jelas itulah kenyataannya.”

    Tidak mungkin. Semudah itu? Menunggu dua puluh jam saja? Bisa saja kuperintahkan pasukan-pasukan yang siaga di seluruh dunia untuk mundur dengan cepat. Terlalu aneh...pasti ada sesuatu yang masih disembunyikan.

    “Apa yang akan terjadi padanya setelah jangka waktu itu berlalu? Jawab!!”

    “Hmmph…dia tidak akan mengingatmu lagi.”

    “Jangan main-main, Gregor!!”

    “Apa aku terlihat tidak serius, hah?! Mesin itu akan menguras habis energi otaknya, membuatnya mengalami kerusakan setelah dua puluh jam!! Pilihanmu hanya dua. Melihatnya mati, atau tetap bersamanya dengan kondisi otak yang rusak parah.”

    Mendengar hal itu, kulepaskan tanganku dari kerah bajunya.

    Sial!! Apa artinya aku menunggu jika sel-sel otaknya akan rusak parah?!

    Pilihan ini sulit, terlalu sulit. Bisa saja aku menunggu, namun itu artinya akan lebih banyak nyawa yang melayang. Aku juga tidak bisa menjamin 100% apakah kehancuran bisa diminimalisasi jika tentara Varangia, Qing, dan Parthia kuminta untuk mundur. Tapi jika kumatikan mesin secara paksa, Resha akan mati. Cobaan macam apa lagi ini…argh.




    “Hanya karena iri hati, kamu mampu melakukan semua ini…tidak bisa kupercaya. Apa kamu sadar kalau Resha tidak ada hubungannya dengan kekesalanmu padaku?!”

    Mendadak amarahnya kembali menyala, lalu meneriakiku, “Tidak ada hubungannya? TIDAK ADA HUBUNGANNYA, KATAMU??!! Ingat siapa saja yang kamu bunuh tiga tahun lalu!!! INGAT BAIK-BAIK!!”

    “Tidak mungkin kuingat kedua ratus orang itu!! Bahkan aku tidak ingat siapa saja yang sudah kueksekusi…beberapa benar-benar kulupakan.”

    “Beraninya…BERANINYA KAMU MELUPAKAN DIA!! Bukankah kamu sendiri yang memperkenalkannya padaku?!”

    Tunggu. Siapa yang dimaksud Gregor--- astaga. Aku ingat sekarang.

    “Shinagaku…Tenka?”, jawabku perlahan.

    “Dia salah satu korban aksimu tiga tahun lalu!! APA KAMU INGAT SEKARANG, HAH??!!”

    Untuk yang satu itu, aku masih mengingatnya dengan jelas. Dulu, kami berempat ---aku, Gregor, Iwanaga-senpai, dan Tenka-san--- adalah teman dekat. Seorang gadis pendek dan pemalu, yang seringkali kesulitan bicara dengan orang banyak yang belum dikenal. Ya, itulah Tenka-san. Bahkan aku masih ingat penampilannya yang nyaris tidak berubah setiap hari, selalu dengan kacamata berlensa persegi panjang kecil dan rambut coklat yang dikuncir, meski rambutnya hanya sedikit di atas bahu.

    Aku mengenalnya pertama kali dari Iwanaga-senpai. Seingatku, dia bersekolah di SMA yang sama dengan senpai, terpaut satu tahun di bawahnya. Di awal-awal perkuliahan, dia hanya dekat dengan senpai, walau akhirnya dapat terbuka padaku dan juga Gregor ---yang juga baru saling kenal waktu itu---. Uh-huh, benar kata Gregor, akulah yang pertama kali memperkenalkan Tenka-san padanya, karena aku mahir bicara dalam bahasa Seihou.

    Harus kuakui, kecerdasannya jauh di atasku sehingga mudah sekali baginya untuk masuk ke University of Liberion. Seorang jenius astronomi dan segala sesuatu yang berada di luar atmosfer Bumi, bahkan sudah paham betul konsep-konsep yang masih misterius seperti black hole dan Dark Matter sebelum masuk universitas ---aku juga sih, tapi penurunan persamaan matematisnya masih membuatku muntah darah waktu itu---. Hal itulah yang membuatnya direkrut oleh orang-orang satu jurusanku, dengan harapan dia mampu membantu dalam perancangan sistem pengendalian energi di sarung tanganku ini, sesuatu yang mungkin hanya dapat diamati pada pusat pembangkit energi berskala besar, contohnya pada bintang-bintang.

    Meski tergolong jenius, bahkan paling jenius di antara kami berempat, dia tergolong perhatian dan menyenangkan. Dialah yang selalu mengucapkan selamat ulang tahun pertama kali saat tengah malam, yang selalu merencanakan liburan bersama ke tempat-tempat tertentu, dan yang seringkali membuatkan bekal untuk kami bertiga ---karena senpai sering tidak memikirkan makanan, Gregor tidak bisa masak, sementara aku sering malas ke dapur waktu itu---.

    Tetapi…di balik sifatnya itu, dialah salah satu orang yang pertama kali setuju dengan tawaran pihak militer Liberion. Waktu itu aku tidak menyangka, orang sebaik dia malah menyetujui proyek suci ini, yang awalnya bertujuan untuk mengungkap misteri alam semesta, menjadi sebuah senjata penghancur. Sense of justice yang kumiliki langsung bekerja pada saat itu, lebih dari perasaanku sebagai sahabatnya sendiri. Aku masih ingat wajahnya saat nyawanya kucabut. Dia tidak merasa takut, bahkan jelas sekali terbayang senyumannya di benakku, saat amukan Photon Blaster menelan habis tubuhnya.

    Tunggu. Jangan-jangan sebenarnya mereka sudah…oh, tidak.




    “Apa kalian berdua sudah…”

    “Sudah, Daleth!! SUDAH!!! Seperti dugaanmu, kami sudah menjalin hubungan serius!!!! Dan kamu…KAMU MENGHANCURKAN SEMUANYA!!!”

    Kakiku mendadak lemas. Ternyata semua yang terjadi saat ini adalah buah dari perbuatanku waktu itu. Apa yang kau tabur, itulah yang kau tuai. Aku menghancurkan hubungan cinta dua orang, dan sekarang…giliranku…argh.

    “Aku…benar-benar tidak tahu…kalau kalian…”

    Diapun berdiri, mendorongku ke tembok, lalu kembali mencengkeram kerah bajuku. “Lalu apa gunanya jika kuberitahu?! Kamu akan tetap membunuhnya!!”

    “Setidaknya…aku akan berpikir dua kali---“

    “Dengan kata lain, kamu tidak berpikir panjang saat menghabisinya??!! Keterlaluan. Sekarang lihat siapa yang lebih biadab!!”

    Gregor benar. Ternyata diriku jauh lebih kejam. Sekarang aku mengerti kenapa dia membenciku setengah mati, dan sangat mahir menutupinya hingga kejadian di Alberton itu. Lalu apa? Apa yang harus kulakukan? Minta maaf? Percuma. Aku yakin dia akan tetap melemparku ke mulut chimera, yang sekarang mulai berdiri karena sesuatu di tangan kirinya itu kembali ditekan.

    Sambil tertunduk, kuberkata perlahan, “Baiklah…aku sudah tahu apa keinginanmu. Tapi satu hal…”

    Kutarik sesuatu berbentuk gelang yang berada di tangan kiri Gregor, tepat ketika dia lengah karena memperhatikan chimera yang sedang berdiri.

    Atomic Vibration.

    Gelang itupun hancur.

    “Lakukan sendiri. Jangan menggunakan hewan jelek itu untuk membunuhku.”

    “DASAR BODOH!! Dia akan lepas kendali jika gelang ini hancur!!!”

    Belum sempat kubalas kata-katanya karena terkejut, makhluk itu menyerang kami berdua sekaligus. Dengan ekor kalajengkingnya, asam kuat kembali disemprotkan, namun sia-sia saja karena tidak mampu menembus Energy Barrier.

    “Kenapa…”, tuturnya kaku.

    “Diamlah dan simpan kata-katamu untuk mengeksekusiku nanti.”

    Kuhantam makhluk itu dengan Atomic Vibration hingga hampir 10 meter. Selagi dia belum bergerak…

    “Ingin kamu lakukan sekarang?”

    Dia tidak membalas ucapanku, hanya nampak bibirnya yang bergerak-gerak kelu.

    “Aku tahu, permintaan maaf saja tidaklah cukup. Tapi…aku akan tetap mengatakannya. Maaf sudah mencabut nyawa Tenka-san tanpa pikir panjang…aku benar-benar menyesal. Pastilah dirimu depresi berat waktu itu. Belum lama ini aku juga merasakannya. Maafkan juga sifatku yang kurang sensitif dan tidak mampu mengerti perasaan orang lain, termasuk pada sahabat-sahabatku sendiri.”

    Hanya ada keheningan.

    “Namun…perlu kamu tahu, aku sudah berubah, bersumpah untuk tidak membunuh sembarangan. Nyawa manusia, bahkan yang paling jahat sekalipun, masih kuanggap berharga dan bisa diubah sifatnya. Yah, meski tadi baru saja kulanggar…tapi setidaknya aku tetap meminta pada Tuhan untuk mengampuni para tentara itu, dan juga mengampuniku.”

    Tangannya gemetar.

    “Tidak hanya itu, aku belajar untuk dapat mengerti orang lain, siapapun itu. Kawan ataupun lawan, aku selalu berusaha berpikir seandainya aku berada di posisi mereka. Semuanya hanya karena satu orang, seseorang yang kalian, para ilmuwan bawahan militer Liberion, sebut sebagai Destructive Reaper. Ya, semuanya karena Resha. Jika bukan karenanya, mungkin aku sudah menguapkanmu dengan cahaya atau mencincangmu dengan getaran atom.”

    Tangan kanannya bergerak, mengarahkan M9 nya padaku, meski masih gemetaran. Chimera itu juga…sial. Masih bisa bangun juga. Kalau begini caranya…

    “Setelah semua ini berakhir, aku akan menghubungi senpai, dan kita akan sama-sama ke sisa-sisa laboratorium itu. Aku janji akan duduk seharian untuk memohon maaf pada Tenka-san. Jadi…tidak bisa kubiarkan dirimu dicabik-cabik oleh hewan aneh itu. Aneh rasanya jika pencipta dibunuh oleh ciptaannya sendiri.”

    Binatang jelek itu sudah kembali berdiri, mulai melangkah.

    “Jadi...maaf, Gregor. Sepertinya kamu tidak bisa mengeksekusiku sekarang.”

    Dengan cepat kusentuhkan tangan kiriku ke M9 itu, lalu mengaktifkan Atomic Vibration. Pistol itupun hancur menjadi debu. Seketika kugerakkan tinju kananku ke arah perutnya, namun tidak sampai memukulnya. Lalu…

    “Setidaknya ijinkan aku menyelesaikan dahulu masalahku dengan Resha. Atomic…

    “Brengsek!! Apa yang akan kamu---“

    …Vibration.

    Tubuhnyapun melayang di udara, terpental hingga keluar bangunan, entah hingga berapa belas meter jauhnya. Sengaja kulakukan hal itu untuk memastikan dia tidak akan masuk kembali. Suasana ini terlalu berbahaya untuknya, karena chimera itu bisa membunuh makhluk organik macam apapun, kecuali diriku yang dapat melindungi diri dengan Energy Barrier. Lagipula, dibuat melayang sejauh itu pastilah membuat tubuhnya terasa nyeri selama beberapa waktu, jika menghantam tanah.




    “Sekarang giliranmu, makhluk jelek. Material Creation, Diamond Blade!!!

    Yap, pedang intan ini lagi. Jika Atomic Vibration tidak cukup, maka akan kutusukkan pedang ini di kepalanya lalu mengaktifkan program penggetar atom itu. Dengan kata lain, pedang ini akan menjadi perantara getaran, langsung ke otaknya. Namun…aku harus menebas ekornya lebih dahulu. Terlalu berbahaya jika kubiarkan.

    Photonic Velocity!!

    Dengan kecepatan cahaya, keempat ekornya dapat kuputuskan dengan mudah. Bagus, dengan begini aku tidak perlu takut dengan asam dari ekornya.

    Segera kuberlari ke bagian lehernya. Maka kutusukkan pedang ini sekuat tenaga, lalu…

    Atomic Vibratiooooooonnnn…!!!!!

    Getaran tercipta di ujung pedang, menembus kulit tebalnya, lalu kuputar-putar beberapa kali agar otaknya rusak total. Sekali lagi Atomic Vibration, raungan keras terdengar, dan…knock out. Diapun rubuh. Kemudian, kubakar tubuhnya dengan Photon Blaster berintensitas rendah, namun tetap berenergi tinggi. Beberapa kali harus kulakukan agar tubuhnya terbakar habis, sehingga DNA nya lenyap sama sekali.

    Fiuh…akhirnya. Kuusap sedikit peluh di dahiku dengan tangan kiri, lalu mematikan Material Creation sehingga pedang itu berubah menjadi butiran cahaya.

    Headset…headset…ah, itu dia, terlepas saat serangan pertama dari chimera tadi. Terlihat berkedip, berarti ada transmisi masuk.

    “Ya? Ada apa---“

    “Oi anak muda!! Ke mana saja kamu?!”

    “Maaf, tadi ada sedikit halangan di sini, namun sudah dapat kuatasi. Tenang saja.”

    “Baguslah. Aku sendiri masih berurusan dengan beberapa kapal dan seekor ular besi lagi. Aku hanya ingin memberitahu kabar dari Qing.”

    “Kabar baik? Kabar buruk?”

    “Tentu saja kabar baik!! Hahaha!! Dragonship milik armada Qing telah selesai, dan baru saja menjatuhkan dua ekor ular rongsokan di Eirene.”

    “Ah, jadi itu kapal terbaru mereka?”

    “Benar sekali, anak muda. Kapal terbaru mereka dapat berganti mode berlayar dan menyelam dalam waktu cepat, membuat ular-ular itu kebingungan. Ditambah senjata Positron Laser, kapal-kapal itu mampu membuat para cecunguk Liberion kocar-kacir!! Hahaha…!!”

    Whoa…positron? Hebat juga mereka.

    “Baiklah, orang tua. Terima kasih atas informasinya.”

    “Sama-sama. Teruslah berjuang di sana.”

    Transmisi mati, namun ada lagi yang masuk. Valentina kah?

    “Ya? Halo?”

    “Hei Daleth!! Lama sekali?”, seru Valentina.

    “Sepertinya seru sekali di sana…”

    “Hahaha!! Benar sekali tebakanmu. Sebenarnya sih tadi kami nyaris mati karena ada dua batalyon lagi yang datang. Namun orang-orang Nehiyaw itu datang tepat pada waktunya!! Pesta pun masih berlanjut hingga sekarang. Sekarang, cepatlah keluar dan bergabung!!”

    “Belum bisa, Valentina. Aku masih harus menuju ke ruangan tempat Resha berada. Bagaimana dengan Huang sendiri? Bisa aku bicara dengannya?”

    “Ah…maaf, Daleth. Nona Huang sedang asyik melempari tank-tank itu dengan batu, sesekali mengombang-ambingkannya dengan ombak dari tanah. Nanti saja kamu tanya sendiri detailnya.”

    “Baiklah, sisakan sedikit untukku, oke?”

    “Enak saja…pokoknya cepatlah keluar, dan kamu pasti kebagian!! Ya sudah, aku mau lanjut dulu!! Wohohoho…!!”

    Sempat terdengar sambaran sebelum transmisi terputus. Mengerikan…sepertinya ada banjir darah di luar sana.




    Berhubung liftnya mati ---mungkin karena kondisi darurat---, akupun menyusuri anak tangga hingga ke lantai 4. Untunglah tiap lantai memiliki denah yang tertempel di tembok, sehingga tidak sulit mencari pintu masuknya. Begitu kutemukan, langsung saja kuhancurkan dengan Atomic Vibration karena jelas retinaku tidak terdaftar di sistem menara ini.

    Mulai kuangkat kakiku untuk melangkah masuk…

    Sebuah ruangan besar menyerupai kubah, di tempat inilah Resha berada. Sebenarnya ruangan ini memiliki tinggi yang sama dengan total tinggi lantai 1 hingga 6, namun entah kenapa pintu masuknya ada di lantai 4.

    Kuambil langkah pertama, berharap Resha sedang menungguku di dalam...



    =======================================

    Spoiler untuk Trivia :

    • Shinagaku Tenka (科学 天科)
      ---> 科 (ka, shina) = science
      ---> 学 (gaku, manabu) = study, education
      ------> 科学 (shinagaku; alternate spelling: kagaku) = science
      ---> 天 (ten, ama) = heaven
      ------> 天科 (tenka) = science of heaven (maksud gw...astronomi)
      Artinya? Yang jelas cocok sama profesinya...soalnya gw bener" baru kepikiran nama ini satu kalimat sebelum nama ini ditulis
    • Positron adalah anti-partikel dari elektron.
      Basically, anti-matter tersusun dari anti-particle. Dengan kata lain, senjata Dragonship ga beda jauh sama Arkhangelsk Mikhail, hanya bentuknya laser.

    Last edited by LunarCrusade; 11-08-12 at 09:06.


    +Personal Corner | Lunatic Moe Anime Review
    +My Story INDEX
    +GRP/BRP Formula | IDGS Newbie Guide


    The moment you say a word of parting, you've already parted.
    So long as you and I are both somewhere in this world, we haven't parted.
    So long as you don't say it, you haven't parted.
    That is the way of the world:
    The Law of Linkage.

    Shichimiya Satone - Sophia Ring S.P. Saturn VII

  22. The Following User Says Thank You to LunarCrusade For This Useful Post:
  23. #105
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    Gregor pun akirnya terdiam

    Gue rasa chapter kali ini jadi semacem perkembangan dari chapter duel lawan si Friedrich dulu itu ya. Fokus tarungnya ke 1 objek, tapi lebih dibikin tegang dan berasa. mantap.
    Oh, pedang intan yang keren itu pun muncul lagi. Sayang, muncul nya masih sebentar juga.

    Hmm, terus akirnya udah ketemu Resha..? Sayang, gue jadi malah bisa ngira2 apa yang bakal terjadi di chapter selanjutnya. Toh tinggal 2 chapter, mungkin ngga jauh dari bayangan gue. petunjuknya udah lumayan banyak juga
    tapi gue tetep tunggu realisasinya yaa.

    FACEBOOK | TWITTER | Melon's Blog
    I am a melon - MelonMelon

Page 7 of 8 FirstFirst ... 345678 LastLast

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •