Results 1 to 4 of 4
http://idgs.in/713463
  1. #1

    Join Date
    Nov 2013
    Location
    Bandung-Medan
    Posts
    13,615
    Points
    50.80
    Thanks: 262 / 270 / 198

    Default Kematian dan Adat Upcara Kematin dalam Budaya Batak


    Kematian dan adat tradisinya dalam budaya Batak memiliki perlakuan atau upacara serta adat yang berbeda-beda. Setiap orang yang mati dengan umur dan status dari orang yang mati tersebut, akan saling berbeda satu sama lain prosesinya. Media Budaya mencoba menggali informasi sebagai referensi lebih jauh sebagai pengaya terhadap budaya Batak, kali ini mengenai jenis-jenis mati dan prosesinya dalam tradisi Batak.


    Kehidupan terdiri dari dua kutub pertentangan, antara “hidup” dan “mati”, yang menjadi paham dasar manusia sejak masa purba sebagai bentuk dualisme keberadaan hidup hingga masa kini (Sumardjo,2002:107). Kematian merupakan akhir dari perjalanan hidup manusia. Maka kematian pada dasarnya adalah hal yang biasa, yang semestinya tidak perlu ditakuti, karena cepat atau lambat akan menjemput kehidupan dari masing-masing manusia.

    Dalam tradisi Batak, orang yang mati akan mengalami perlakuan khusus, terangkum dalam sebuah upacara adat kematian. Upacara adat kematian tersebut diklasifikasi berdasar usia dan status si mati. Beberapa nama atau istilah mati dalam tradisi Batak berikut prosesinya antara lain yaitu :

    Mate Di Bortian

    Mate Di Bortian berarti meninggal pada saat masih dalam kandungan. Tradisi atau prosesi adat kematian belum berlaku karena langsung dikubur tanpa peti mati.

    Mate Poso-poso

    Mate poso-poso berarti meninggal saat masih bayi. Tradisi atau prosesi adat kematian yaitu jenazah ditutupi selembar ulos (kain tenunan khas Batak) yang diberikan oleh orang tuanya.

    Mate Dakdanak

    Mate dakdanak berarti meninggal saat masih kanak-kanak. Tradisi atau prosesi adat kematian yaitu jenazah ditutupi oleh ulos (kain tenunan khas Batak) yang dilakukan oleh tulang (paman/saudara laki-laki dari ibu).

    Mate Bulung

    Mate bulung berarti meninggal pada saat remaja atau menjelang dewasa. Tradisi atau prosesi adat kematian sama dengan mate dakdanak, yaitu jenazah ditutupi ulos dari tulang.

    Mate Ponggol

    Mate ponggol berarti meninggal pada saat berusia dewasa namun belum menikah. Tradisi atau prosesi adat kematian sama dengan mate dakdanak dan mate bulung, yaitu jenazah ditutupi ulos oleh tulang.

    Tingkatan prosesi kematian di atas adalah bagi jenazah yang belum berumah tangga. Berikut ini adalah tingkatan tradisi prosesi kematian bagi yang telah berumah tangga atau telah memiliki keturunan :

    Mate Di Paralang-alangan atau Mate Punu

    Mate Di Paralang-alangan atau Mate Punu berarti meninggal pada saat sudah berumah tangga (sudah menikah) namun belum memiliki keturunan.

    Mate Mangkar

    Mate mangkar berarti meninggal pada saat sudah menikah (berumah tangga) dan meninggalkan beberapa orang anak yang masih kecil-kecil.

    Mate Hatungganeon

    Mate Hatungganeon berarti meninggal dan sudah memiliki anak-anak, beberapa di antara anaknya sudah ada yang menikah namun belum memiliki cucu.

    Mate Di Paralang-alangan, Mate Mangkar dan Mate Hatungganeon prosesi adatnya lebih sarat dibandingkan dengan 5 tingkatan kematian sebelumnya, namun sudah memberlakukan peranan dalihan na tolu di dalamnya. Biasanya hanya berupa kebaktian atau seremonial tanpa ada unsur musik atau gondang.

    Mate Sari Matua

    Mate Sari Matua berarti meninggal dengan meninggalkan anak-anaknya dan sudah pula bercucu, namun ada di antara anak-anaknya tersebut yang belum menikah. Prosesi adat Mate Sari Matua biasanya telah melibatkan unsur musik atau gondang di dalamnya, dan dalam pengerjaannya memberlakukan urutan panggilan tulang atau hula-hula ke tingkatan yang lebih tinggi (biasanya pada tingkatan marga tulang dari nenek (marga dari saudara laki-laki nenek) dalam hal pemberian ulos kepada keturunan yang ditinggalkan pada saat manortor di depan peti jenazah yang masih terbuka.

    Mate Saur Matua

    Mate Saur Matua berarti meninggal dalam keadaan anak-anaknya sudah menikah semua dan sudah memiliki anak (cucu dari orang yang meninggal tersebut).

    Mate Saur Matua Bulung

    Mate Saur Matua Bulung berarti meninggal dengan meninggalkan anak-anaknya yang telah menikah dan memiliki cucu, bahkan cucunya sudah pula berketurunan (cicit dari orang yang meninggal tersebut)

    Dalam budaya Batak, Mate Saur Matua dan Mate Saur Matua Bulung merupakan tingkatan prosesi atau upacara adat yang tertinggi. Hal ini disebabkan dengan asumsi bahwa orang yang meninggal tersebut berstatus tidak memiliki tanggungan lagi. Tingkatan marga tulang atau hula-hula biasanya telah mencapai tingkatan marga tulang atau saudara laki-laki ibu dari kakek orang yang meninggal tersebut (bona ni ari).

    Sebagai informasi untuk mengilustrasikan tingkatan-tingkatan tersebut, yang disebut atau dipanggil untuk memberikan ulos kepada keturunan dari yang meninggal tersebut adalah urutan tulang atau hula-hula si laki-laki. Jadi ketika peranan hula-hula dan tulang sudah berlaku pada Sari Matua, Saur Matua dan Saur Matua Bulung, meskipun yang meninggal adalah si perempuan meskipun suaminya masih hidup maupun sudah mati, pada saat manortor atau ketika bunyi musik sudah terdengar sebagai prosesi pemberian ulos (mangulosi) tetaplah dari urutan tulang atau hula-hula si laki-laki (naik ke atas) sedangkan urutan tertinggi dari si perempuan adalah tulang (marga saudara laki-laki ibunya).

  2. Hot Ad
  3. #2

    Join Date
    Nov 2013
    Location
    Bandung-Medan
    Posts
    13,615
    Points
    50.80
    Thanks: 262 / 270 / 198

    Default ADAT UPACARA KEMATIAN DAN FUNGSI ULOS DALAM BUDAYA BATAK


    Adat upacara kematian dan fungsi ulos dalam budaya Batak memiliki peranan penting dan saling berkaitan erat. Ulos merupakan simbol budaya Batak, dan setiap adat pernikahan maupun kematian melibatkan ulos dalam prosesinya. Ulos diberikan oleh tulang (kerabat dari ibu) atau hula-hula (kerabat dari istri), dan biasanya dalam melakukannya selalu dimulai dengan musyawarah terlebih dahulu.

    Adat upacara pemakaman dalam budaya Batak memberlakukan pemberian ulos dengan prosesi dan kronologi yang lebih rumit dan lengkap untuk melibatkan tulang/hula-hula, dongan tubu dan boru (fungsi dalihan na tolu) bila terjadi kematian pada orang yang sudah berumah tangga atau berkeluarga. Untuk menentukan siapa saja yang berhak memberikan ulos kepada yang meninggal dan kepada keturunan yang ditinggalkan haruslah melalui musyawarah (pangarapoton) atau rapat untuk membahas status meninggal orang tersebut dan prosesi apa yang tepat (partuatna) agar jenazah bisa dikuburkan semestinya.

    Pangarapotan, adalah suatu penghormatan kepada yang meninggal yang statusnya telah memiliki keturunan yang telah berumah tanggasebelum acara besarnya dan penguburannya atau di halaman (bilamana memungkinkan). Dalam hal ini suhut dapat meminta tumpak (bantuan) secara resmi dari keluarga yang tergabung dalam Dalihan Natolu disebut Tumpak di Alaman.

    Partuatna, yaitu hari yang dianggap menyelesaikan Adat kepada seluruh halayat Dalihan Natolu yang mempunyai hubungan berdasarkan adat. Pada waktu pelaksanaan ini pula Suhut akan memberikan Piso-piso/situak Natonggi kepada kelompok Hula-hula/Tulang yang mana memberikan Ulos tersebut diatas kepada yang meninggal dan keluarga dan pemberian uang ini oleh keluarga tanda kasihnya.. Juga pada waktu bersamaan ini pula dibagikan jambar-jambar sesuai dengan fungsinya masing-masing dengan azas musyawarah sebelumnya, setelah itu dilaksanakanlah upacara adat mandokon hata dari masing-masing pihak sesuai dengan urutan-urutan secara tertulis. Setelah selesai, bagi orang Kristen diserahkan kepada Gereja (Huria) untuk seterusnya dikuburkan.

    Peranan dan Fungsi Dalihan Na Tolu Dalam Penyerahan Ulos (Mangulosi)

    Pemberian Ulos Saput, diberikan kepada yang meninggal dunia sebagai tanda perpisahan. Siapakah yang berhak memberikan SAPUT tersebut, dalam hal ini perlu kita mempunyai satu persepsi untuk masa yang akan datang karena hal ini banyak berbeda pendapat menurut lingkungannya masing-masing, misalnya HULA-HULA/TULANG.

    Pemberian Ulos Tujung, Dalam hal ini semua dapat menyetujui dari pihak HULA-HULA

    Pemberian Ulos Holong, Dari semua pihak Hula-hula , Tulang , Tulang Rerobot , Bona Tulang bahkan Bona ni Ari termasuk dari Hula-hula ni na Marhaha Maranggi , Hula-hula ni Anak Manjae , berhak memberikan kepada keluarga yang meninggal.

    Bagaimanakah hubungannya dengan Adat Dalihan Natolu diluar ulos tersebut yang mempunyai harga diri (dalam Pesta Adat), terjadilah beberapa pelaksanaan setelah adanya musyawarah atau lazim disebut Tonggo Raja atau Ria Raja oleh beberapa Dalihan Na Tolu disebut Boanna. Boan ini (yang dipotong pada hari H-nya) terdiri dari beberapa macam:
    ****/Kambing, disebut Siparmiak-miak
    Sapi, disebut Lombu Sitio-tio
    Kerbau, disebut Gajah Toba
    Sesuai dengan Adat Dalihan Natolu tingkatan daripada Boan tersebut disesuaikan dengan Parjambaron.

    Dari informasi di atas, dapat diilustrasikan bahwa adat prosesi kematian dan pemakaman laki-laki atau perempuan yang meninggalkan keturunannya, baik bila masih ada yang belum menikah (Sari Matua), sudah menikah semua dan punya keturunan lagi/cucu (Saur Matua), maupun telah bercicit (Saur Matua Bulung), peranan tulang dan hula-hula sangat besar.

    Ilustrasi dan Kronologi Prosesi Adat Dan Pemakaman Jenazah

    Namun sebelum perlakuan terhadap hula-hula tersebut dilakukan terlebih dahulu ada rapat (pangarapotan) mengenai waktu dan adat semestinya (partuatna) oleh keluarga dan kerabat yang meninggal sesuai marganya (hasuhutan) untuk meminta kelayakan prosesi berdasarkan status yang meninggal kepada masyarakat adat setempat (dongan sahuta). Kesepakatan ini lalu akan berlanjut pada proses Tonggo Raja atau Ria Raja, di mana berdasarkan hasil rapat keluarga sebelumnya sudah jelas rencana prosesi yang diinginkan, akan mengundang tulang (saudara ibu dari pihak laki-laki), tulang rorobot (saudara ibu dari pihak perempuan), bona tulang (saudara nenek dari pihak laki-laki), bona ni ari (saudara ibu dari kakek pihak laki-laki) dan seterusnya ke atas (bila memungkinkan tergantung status umur maupun keturunan yang meninggal), hula-hula (saudara dari pihak istri), hula-hula na marhamaranggi (saudara dari ipar perempuan) dan hula-hula na poso (saudara dari menantu perempuan/parumaen).

    Tujuan dari Tonggo Raja atau Ria Raja ini adalah memohon kepada tulang dan hula-hula tersebut agar bersedia kiranya untuk menutupkan ulos saput pada jenazah dan memberikan ulos kepada keluarga yang ditinggalkan. Pada saat memohon ini juga dilakukan pembagian jambar (hak atas statusnya dalam Dalihan Na Tolu di acara tersebut) sebagai syarat permohonan yang telah disetujui. Bila yang meninggal adalah laki-laki, yang menutupkan ulos ke jenazah adalah saudara atau marga pihak ibu dari orang yang meninggal (tulang dari laki-laki meninggal tersebut). Bila yang meninggal adalah perempuan, yang menutupkan ulos adalah saudara atau marga dari perempuan tersebut (hula-hulanya atau ibotonya, tulang dari anak-anaknya).

    Bila telah sepakat, maka prosesi menjelang pemakaman akan berlanjut di halaman tempat peti jenazah di letakkan. Kesepakatan di Tonggo Raja atau Ria Raja tersebut direalisasikan diiringi dengan musik atau gondang (sesuai permintaan dan kesepakatan di pangarapoton) seiring dengan pemberian ulos oleh tulang dan hula-hula kepada kelurga yang ditinggalkan (pemberian ini telah dicatat urutannya). Sebagai ganti pemberian tersebut pihak keluarga yang diulosi akan membalasnya dalam bentuk piso-piso/pasituak na tonggi sebagai tanda terima kasih dan selamat jalan kepada pemberi ulos. Perlu dicatat pula, bahwa agama juga memiliki peranan dalam prosesi ini. Bila dia seorang Kristen, pada saat penutupan peti jenazah dan memasukkan ke liang lahat, prosesi dipimpin oleh pemuka gereja (pendeta).


    Hal yang perlu diperhatikan adalah, ketika malam sebelumnya di Tonggo Raja saat pembagian jambar, jambar yang diserahkan sesuai kedudukannya harus demikian pula jambar yang diserahkan ketika prosesi adat di halaman menjelang pemakamannya esok harinya.



  4. #3

    Join Date
    Nov 2013
    Location
    Bandung-Medan
    Posts
    13,615
    Points
    50.80
    Thanks: 262 / 270 / 198

    Default KONSEP ”KEMATIAN IDEAL” PADA MASYARAKAT BATAK

    KONSEP ”KEMATIAN IDEAL” PADA MASYARAKAT BATAK


    Abstract

    Saur Matua is a funeral rites in Batak tradition for old man / woman who died, leaved children who all of them have been married, and have given grandchilds. It’s very interesting that saur matua make a controversy, because some batak people communities have said that it’s not important to save this cultural product. So this writing want to observate how useful saur matua based on its local genius since the past untill now.


    Kata Kunci:
    Saur matua, Batak Toba, upacara kematian



    I. Pendahuluan

    Kehidupan terdiri dari dua kutub pertentangan, antara “hidup” dan “mati”, yang menjadi paham dasar manusia sejak masa purba sebagai bentuk dualisme keberadaan hidup hingga masa kini (Sumardjo,2002:107). Kematian merupakan akhir dari perjalanan hidup manusia. Maka kematian pada dasarnya adalah hal yang biasa, yang semestinya tidak perlu ditakuti, karena cepat atau lambat akan menjemput kehidupan dari masing-masing manusia.
    Namun wajar bila kematian bukan menjadi keinginan utama manusia. Berbagai usaha akan selalu ditempuh manusia untuk menghindari kematian, paling tidak memperlambat kematian itu datang. Idealnya kematian itu datang pada usia yang sudah sangat tua.

    Pada masyarakat Batak, kematian (mate) di usia yang sudah sangat tua, merupakan kematian yang paling diinginkan. Terutama bila orang yang mati telah menikahkan semua anaknya dan telah memiliki cucu dari anak-anaknya. Dalam tradisi budaya masyarakat Batak (khususnya Batak Toba), kematian seperti ini disebut sebagai mate saur matua. Tulisan ini membahas mate saur matua sebagai sebuah upacara kematian warisan produk kebudayaan masa lampau melalui tinjauan etnoarkeologi. Kiranya tulisan ini mampu memberikan tinjauan kritis dan arif, terutama melalui konteks sistem (hubungan masyarakat Batak Kristen dengan upacara saur matua dari waktu terdahulu hingga terkini). Apalagi dimasa terkini, upacara ini sering memunculkan kontroversi seputar ketidaksetujuan dari sebagian masyarakat Batak Kristen untuk melestarikannya. Upacara saur matua dianggap bertentangan dengan ajaran agama baru (Kristen) yang mereka anut.

    Etnoarkeologi merupakan ilmu arkeologi yang menggunakan data etnografi sebagai analogi untuk membantu memecahkan masalah-masalah arkeologi (Puslitarkenas,1999:188-190). Dalam tulisan ini, data etnografi berupa upacara saur matua di kalangan masyarakat Batak Kristen (pada masa terkini) dijadikan sebagai salah satu bahan analogi dalam usaha merekonstruksi kebudayaan religi masyarakat Batak pada masa lampau yang berkaitan dengan konsep kematian. Hasil dari penelitian etnoarkeologi ini hanya sekedar memberi gambaran kemungkinan adanya persamaan antara gejala budaya masa lampau dengan budaya masa kini, atau sebagai argumentasi penghubung dalam rangka uji hipotesis, model, dan teori tentang terjadinya transformasi budaya pada upacara saur matua dari masa pra-Kristen hingga sampai masa terkini sesudah masuknya pengaruh agama Kristen.

    II. Klasifikasi upacara adat kematian dalam tradisi masyarakat Batak

    Dalam tradisi Batak, orang yang mati akan mengalami perlakuan khusus, terangkum dalam sebuah upacara adat kematian. Upacara adat kematian tersebut diklasifikasi berdasar usia dan status si mati. Untuk yang mati ketika masih dalam kandungan (mate di bortian) belum mendapatkan perlakuan adat (langsung dikubur tanpa peti mati). Tetapi bila mati ketika masih bayi (mate poso-poso), mati saat anak-anak (mate dakdanak), mati saat remaja (mate bulung), dan mati saat sudah dewasa tapi belum menikah (mate ponggol), keseluruhan kematian tersebut mendapat perlakuan adat : mayatnya ditutupi selembar ulos (kain tenunan khas masyarakat Batak) sebelum dikuburkan. Ulos penutup mayat untuk mate poso-poso berasal dari orang tuanya, sedangkan untuk mate dakdanak dan mate bulung, ulos dari tulang (saudara laki-laki ibu) si orang mati. Upacara adat kematian semakin sarat mendapat perlakuan adat apabila orang yang mati: 1. Telah berumah tangga namun belum mempunyai anak (mate di paralang-alangan / mate punu), 2. Telah berumah tangga dengan meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil (mate mangkar), 3. Telah memiliki anak-anak yang sudah dewasa, bahkan sudah ada yang kawin, namun belum bercucu (mate hatungganeon), 4. Telah memiliki cucu, namun masih ada anaknya yang belum menikah (mate sari matua), dan 5. Telah bercucu tidak harus dari semua anak-anaknya (mate saur matua). Mate Saurmatua menjadi tingkat tertinggi dari klasifikasi upacara, karena mati saat semua anaknya telah berumah tangga. Memang masih ada tingkat kematian tertinggi diatasnya, yaitu mate saur matua bulung (mati ketika semua anak-anaknya telah berumah tangga, dan telah memberikan tidak hanya cucu, bahkan cicit dari anaknya laki-laki dan dari anaknya perempuan) (Sinaga,1999:37–42). Namun keduanya
    dianggap sama sebagai konsep kematian ideal (meninggal dengan tidak memiliki tanggungan anak lagi).

    II.1. Upacara Saur Matua di kalangan masyarakat Batak Kristen

    II.1.1. Persiapan


    Ketika seseorang masyarakat Batak mati saur matua, maka sewajarnya pihak-pihak kerabat sesegera mungkin mengadakan musyawarah keluarga (martonggo raja), membahas persiapan pengadaan upacara saur matua. Pihak-pihak kerabat terdiri dari unsur-unsur dalihan natolu. Dalihan natolu adalah sistem hubungan sosial masyarakat Batak, terdiri dari tiga kelompok unsur kekerabatan, yaitu : pihak hula-hula (kelompok orang keluarga marga pihak istri), pihak dongan tubu (kelompok orang-orang yaitu : teman atau saudara semarga), dan pihak boru (kelompok orang-orang dari pihak marga suami dari masing-masing saudara perempuan kita, keluarga perempuan pihak ayah). Martonggo raja dilaksanakan oleh seluruh pihak di halaman luar rumah duka, pada sore hari sampai selesai. Pihak masyarakat setempat (dongan sahuta) turut hadir sebagai pendengar dalam rapat (biasanya akan turut membantu dalam penyelenggaraan upacara). Rapat membahas penentuan waktu pelaksanaan upacara, lokasi pemakaman, acara adat sesudah penguburan, dan keperluan teknis upacara dengan pembagian tugas masing-masing. Keperluan teknis menyangkut penyediaan peralatan upacara seperti: pengadaan peti mati, penyewaan alat musik beserta pemain musik, alat-alat makan beserta hidangan buat yang menghadiri upacara, dsb.

    II.2. Pelaksanaan Upacara

    Pelaksanaan upacara bergantung pada lamanya mayat disemayamkan. Idealnya diadakan ketika seluruh putra-putri orang yang mati saur matua dan pihak hula-hula telah hadir. Namun karena telah banyak masyarakat Batak merantau, sering terpaksa berhari-hari menunda pelaksanaan upacara (sebelum dikuburkan), demi menunggu kedatangan anak-anaknya yang telah berdomisili jauh. Hal seperti itu dalam martonggo raja dapat dijadikan pertimbangan untuk memutuskan kapan pelaksanaan puncak upacara saur matua sebelum dikuburkan. Sambil menunggu kedatangan semua anggota keluarga, dapat dibarengi dengan acara non adat yaitu menerima kedatangan para pelayat (seperti masyarakat non-Batak). Pada hari yang sudah ditentukan, upacara saur matua dilaksanakan pada siang hari, di ruangan terbuka yang cukup luas (idealnya dihalaman rumah duka).

    Jenazah yang telah dimasukkan kedalam peti mati diletakkan ditengah-tengah seluruh anak dan cucu, dengan posisi peti bagian kaki mengarah ke pintu keluar rumah. Disebelah kanan peti jenazah adalah anak-anak lelaki dengan para istri dan anaknya masing-masing, dan disebelah kiri adalah anak-anak perempuan dengan para suami dan anaknya masing-masing. Disinilah dimulai rangkaian upacara saur matua. Ketika seluruh pelayat dari kalangan masyarakat adat telah datang (idealnya sebelum jamuan makan siang). Jamuan makan merupakan kesempatan pihak penyelenggara upacara menyediakan hidangan kepada para pelayat berupa nasi dengan lauk berupa hewan kurban (sapi atau ****) yang sebelumnya telah dipersiapkan oleh para parhobas (orang-orang yang ditugaskan memasak segala makanan selama pesta). Setelah jamuan makan, dilakukan ritual pembagian jambar (hak bagian atau hak perolehan dari milik bersama). Jambar terdiri dari empat jenis berupa : juhut (daging), hepeng (uang), tor-tor (tari), dan hata (berbicara) (Marbun&Hutapea,1987:66–67). Masing-masing pihak dari dalihan natolu mendapatkan hak dari jambar sesuai ketentuan adat. Pembagian jambar hepeng tidak wajib, karena pembagian jambar juhut dianggap menggantikan jambar hepeng. Namun bagi keluarga status sosial terpandang, jambar hepeng biasanya ada.

    Urutan pembagian jambar diawali pembagian jambar juhut. Daging yang dijadikan sebagai jambar juhut adalah kerbau atau kuda. Pemotongan daging juga dilakukan oleh pihak parhobas. Daging yang sudah dipotong, dibagi-bagi dalam keadaan mentah. Secara universal, pembagian jambar juhut itu adalah: 1.Kepala (ulu) untuk raja adat (pada masa sekarang adalah pembawa acara selama upacara), 2.Leher (rungkung atau tanggalan) untuk pihak boru, 3.Paha dan kaki (soit) untuk dongan sabutuha, 4.Punggung dan rusuk (somba-somba) untuk hula-hula, 5.Bagian belakang (ihur-ihur) untuk hasuhuton. Adapun dongan sahuta (teman sekampung), pariban (kakak dan adik istri kita) dan ale-ale (kawan karib), dihitung sama sebagai pihak dongan sabutuha (Sihombing,1986:34).




    Gbr.1

    Bagian-bagian dari kerbau yang dijadikan sebagai jambar juhut (kiri), jambar hepeng (tengah), sketsa ulos ragi idup sebagai ulos saput (kanan)


    Selepas ritus pembagian jambar juhut, dilanjutkan ritual pelaksanaan jambar hata berupa kesempatan masing-masing pihak memberikan kata penghiburan kepada anak-anak orang yang mati saur matua (pihak hasuhuton). Urutan kata dimulai dari hula-hula, dilanjutkan dengan dongan sahuta, kemudian boru / bere, dan terakhir dongan sabutuha. Setiap pergantian kata penghiburan, diselingi ritual jambar tor-tor, yaitu ritus manortor (menarikan tarian tor-tor). Tor-tor adalah tarian tradisional khas Batak. Tarian tor-tor biasanya diiringi musik dari gondang sabangunan (alat musik tradisional khas Batak). Gondang sabangunan adalah orkes musik tradisional Batak, terdiri dari seperangkat instrumen yakni : 4 ogung, 1 hesek , 5 taganing, 1 odap, 1 gondang, 1 sarune. Adapun urutan gondang dalam upacara saurmatua seperti terangkum dalam tabel dibawah ini.




    Gbr.2

    Tabel urutan musik gondang yang dimainkan dalam upacara saur matua (kiri), pemain musik gondang sabangunan (kanan) (sumber :sinaga,1999, 1981)


    Pada kesempatan manortor pihak tulang (saudara laki-laki ibu almarhum), menyelimutkan ulos ragi idup langsung ke badan mayat. Selain itu bona tulang (hula-hula dari pihak marga saudara laki-laki nenek almarhum) dan bona ni ari (hula-hula dari pihak marga ibu kakek almarhum) juga memberikan ulos (biasanya ulos sibolang). Ulos dikembangkan di atas peti mayat, sebagai tanda kasih sayang yang terakhir. Kemudian pihak hula-hula secara khusus mangulosi (menyematkan ulos) kepada pihak boru dan hela (menantu) sebagai simbol pasu-pasu (berkat) yang diucapkannya. Pihak hula-hula memberikan ulos sibolang sebagai ulos sampetua kepada istri / suami yang ditinggalkan, dengan meletakkan di atas bahu. Apabila orang yang mati telah lebih dahulu ditinggalkan istri / suaminya, tentunya ulos tidak perlu lagi diberikan). Kemudian hula-hula memberikan ulos panggabei kepada semua keturunan, dengan menyampirkan ulos (sesaat secara bergantian) di bahu masing-masing anak laki-laki yang tertua sampai yang paling bungsu (terakhir diberikan kembali ke anak lelaki tertua di sertai kata-kata berkat). Sama halnya yang dilakukan oleh pihak hula-hula, pihak tulang dari setiap hasuhuton juga melakukan ritus tersebut. Kemudian masing-masing wanita dari rombongan tulang
    manortor sambil menjunjung boras
    sipiritondi (beras tepung tawar yang bermakna pemberian berkat dan memperkuat tondi), untuk kemudian diserahkan kepada pihak hasuhuton. Sedangkan rombongan undangan lainnya (dongan sabutuha, boru, bere, pariban, teman-teman dari pihak hasuhuton) secara bergilir diundang untuk manortor (lihat pada tabel). Namun mereka tidak melakukan ritus pemberian pasu-pasu.

    Setelah jambar tor-tor dari semua pelayat selesai, selanjutnya adalah kata-kata ungkapan sebagai balasan pihak hasuhuton kepada masing-masing pihak yang memberikan jambar hata dan jambar tor-tor tadi. Selanjutnya, salah seorang suhut mengucapkan jambar hata balasan (mangampu) sekaligus mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya upacara. Setiap peralihan mangampu dari satu pihak ke pihak lain, diselingi ritus manortor. Manortor dilakukan dengan sambil menghampiri dari tiap pihak yang telah menghadiri upacara tersebut, sebagai tanda penghormatan sekaligus meminta doa restu.

    Setelah semua ritus tersebut selesai dilaksanakan, upacara adat diakhiri dengan menyerahkan ritual terakhir (acara penguburan berupa ibadah singkat) kepada pihak gereja. Ibadah bisa dilakukan di tempat itu juga, atau ketika jenazah sampai di lokasi perkuburan. Hal ini menyesuaikan kondisi, namun prinsipnya sama saja. Maka sebelum peti dimasukkan kedalam lobang tanah (yang sudah digali sebelumnya), ibadah singkat dipimpin oleh pihak gereja. Dapat dimulai dari nyanyian rohani pembuka, kotbah, nyanyian rohani penutup, dan doa penutup dari pihak gereja. Kemudian jenazah yang sudah di dalam peti yang tertutup dikuburkan.

    Sepulang dari pekuburan, dilakukan ritual adat ungkap hombung. Adat ungkap hombung adalah ritus memberikan sebagian harta yang ditinggalkan si mendiang (berbagi harta warisan) untuk diberikan kepada pihak hula-hula. Namun mengenai adat ungkap hombung ini, telah memiliki variasi pengertian pada masa kini. Idealnya tanpa diingatkan oleh pihak hula-hula, ungkap hombung dapat dibicarakan atau beberapa hari sesudahnya. Apapun yang akan diberikan untuk ungkap hombung, keluarga yang kematian orang tua yang tergolong saur matua hendaklah membawa rasa senang pada pihak hula-hula.




    Jenazah didalam peti dikelilingi oleh para keturunannya (kiri), salah satu gerak tor-tor tengah), prosesi penguburan diserahkan kepada pihak gereja (kanan)

    (sumber : sinaga, 1999)


    III. Pembahasan

    Semua manusia cepat atau lambat pasti mati. Kematian datang kapan saja, bisa di usia bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, dan tua. Seandainya manusia memiliki hak mutlak menentukan kapan dia harus mati, pasti akan lebih banyak memilih mati di masa ketika sudah sangat tua. Alasannya karena pada masa itu, segala pencapaian target hidup mungkin semuanya telah dipenuhi. Pada masa megalitik, kematian seseorang pada usia tua yang telah memiliki keturunan, akan mengalami ritual penguburan dengan tidak sembarangan karena kedudukannya kelak adalah sebagai leluhur yang disembah. Hal itu terindikasi dari banyaknya temuan kubur-kubur megalitik dengan patung-patung leluhur sebagai objek pemujaan (Soejono,1984:24). Dalam masyarakat Batak Kristen terkini, model kematian seperti itu dinamakan dengan kematian saur matua. Namun apakah sudah sejak masa lampau, masyarakat Batak menganggap kematian saur matua sebagai sebuah kematian yang paling diinginkan? Hal ini menyangkut pendalaman terhadap rekonstruksi kebudayan religi masyarakat Batak sebelum masuknya agama Kristen.

    Masyarakat Batak pra Kristen percaya bahwa kematian merupakan masa transisi perpindahan kehidupan alam nyata menuju kehidupan alam orang mati. Mereka percaya orang yang mati hanya raga, sedangkan jiwanya berjalan terus menempuh perjalanan ke alam lain (Siahaan,1964:45). Campur tangan orang yang masih hidup dibutuhkan dalam membantu orang mati, saat terjadinya perpindahan alam kehidupan tersebut. Konsep kepercayaan ini memunculkan daya cipta pengekspresian tingkah laku orang yang ditinggalkan si mati saat hendak mengantarkan si mati ke alam lain. Hal ini berkembang menjadi sebuah upacara kematian. Setelah lama dikubur, keluarga yang ditinggalkan ternyata masih merasa perlu mengekspresikan konsep kepercayaannya itu lagi. Konsep kepercayaan awal dari hanya untuk mengantarkan si mati ke alam barunya, berkembang menjadi keinginan untuk tetap dapat berinteraksi dengannya melalui ritual pemanggilan, penghormatan, hingga pada akhirnya pemujaan. Terbukti, masyarakat Batak masih mengekspresikannya dalam sebuah upacara penguburan sekunder mangongkal holi. Istilah sekunder dipakai karena sebelumnya telah dilakukan upacara penguburan (primer) pada saat kematiannya. Oleh karena itu, ketika diupacarakan lagi melalui aktivitas penggalian tulang-belulang si mati dari kubur primer, untuk dikuburkan kembali ke dalam kubur sekunder, dapatlah disebut sebagai upacara penguburan sekunder (Simatupang,2005:5–6).

    Pemujaan hanya dilakukan bagi arwah leluhur yang dianggap memiliki kuasa-pengaruh yang istimewa, berdasarkan kekayaan / kedudukan mereka sewaktu hidup (Schreiner,1978:167-168). Maka orang yang mati saur matua umumnya akan disembah dalam upacara saur matua, sedikit-dikitnya dari semua anaknya. Terjadi hubungan mutualisme (saling menguntungkan), karena penyembahan yang diterima arwah orang tua melalui upacara saur matua dan upacara mangongkal holi dari para keturunannya akan menambah kekuatan sahala leluhur di alam lain, sedangkan keturunannya mendapatkan berkat sahala dari orang tua yang mati tersebut. (Vergouwen,2004:77–78).

    Semenjak masuknya agama Kristen hingga awal berdirinya gereja ditanah Batak (1824-1861), kebudayaan religi masyarakat Batak mengalami transformasi. Pada masa itu, para misionaris silih berganti masuk menyiarkan ajaran agama Kristen. Misionaris yang paling terkenal akan kesuksesan misinya adalah Dr. I. L. Nommensen (memulai tugas misinya pada tahun 1862 di Barus, lalu pindah ke daerah Silindung). Dalam waktu kira-kira lima puluh tahun sesudah kedatangan Nommensen misi Kristenisasi telah maju pesat. Ketika Nommensen meninggal pada tahun 1918, lebih dari 180.000 orang Batak telah dibabtis menjadi orang Kristen dengan 34 orang Batak menjadi pendeta (Lehman dalam Pedersen,1975:64). Berdirinya gereja HKBP pada tahun 1890 selanjutnya semakin menguatkan pengaruh Kristen pada masyarakat Batak. Tahun 1897 sampai 1952 merupakan masa dimana segala ritual upacara religi pra-Kristen dilarang untuk dipraktekkan dalam adat Batak. Momentum tahun 1952 dapat dijadikan sebagai event sosial transformasi, karena sejak tahun 1952 gereja HKBP melalui berbagai kebijakan yang pada akhirnya memperbolehkan kembali praktek upacara adat dengan berbagai perubahan sesuai dengan amanat gereja.

    Gereja HKBP telah melakukan usaha-usaha kontekstualisasi dengan mengubah ritual upacara religi pra-Kristen dari orientasi religius pra-Kristen ke orientasi sosial-budaya masa kini yang tidak bertentangan dengan ajaran Kristen. Motivasi awal upacara saur matua di masa pra-Kristen adalah agar kekuatan sahala arwah orang tua kedudukannya bisa naik terus hingga setingkat dengan para dewa. Maka fungsi itu telah diubahkan. Upacara saur matua kembali eksis, asal tidak mempraktekkan ritual penyembahan terhadap orang yang mati tersebut (wawancara dengan Pdt. B. Tampubolon). Maka prosesi penguburan sebagai akhir upacara, diserahkan kepada perwakilan gereja. Sedangkan di masa pra-Kristen, yang memimpin upacara merupakan seorang tokoh dari pihak yang dikenal memiliki tingkatan sahala diatas rata-rata. Kemungkinan berasal dari kalangan raja adat atau kalangan datu. Raja adat adalah pimpinan dari sebuah bius (daerah teritorial sebuah marga) yang dipilih secara demokratis melalui penerapan konsep primus interpares. Sedangkan datu adalah seorang yang sakti seperti ahli pengobatan, ahli ramal, dan terutama ahli dalam ilmu agama (Marbun & Hutapea,1987:38).

    Pada masa terkini, semakin tidak jelas apa yang diwajibkan sebagai perlengkapan yang harus disediakan dalam upacara saur matua. Sedangkan pada tahun 1980an, bila yang meninggal saur matua harus lengkap “marsanggul marata” (sijagaron) yang ditaruh dalam ampang (bakul) terdiri dari: 1. boni sitamba tua (menandakan sudah banyak turunan), 2. miak-miak (kemiri yang menunjukkan semangat dari nenek moyang), 3. gantang (menandakan sudah bercicit), 4. baringin (menandakan punya anak perempuan dan cucu), 5. pira ni manuk (telur ayam yang menandakan hidup baik), 6. sanggar (menandakan segala pencaharian almarhum selama ini diperoleh dengan cara baik-baik), 7. ampang menandakan bahwa yang meninggal adalah saur matua, ampang diletakkan didekat kepala almarhum, 8.suhut (pihak keluarga yang kemalangan memberikan adat penghormatan berupa makanan yang terdiri dari : tandok (sumpit) berisi kemiri 3 buah, telor satu buah, sirih lengkap dan uang dalam jumlah bilangan genap kepada pargonsi, diterima oleh parsarune (peniup sarune) sebagai pimpinan rombongan. Kemiri melambangkan semangat roh nenek moyang, telor melambangkan kesatuan dan hidup baik, uang dan sirih sebagai (wawancara dengan M. br Sipayung).

    Kini masyarakat Batak Kristen memahami upacara saur matua bukan untuk menyembah si orang tua agar kekuatan sahala diberikan kepada anak-cucunya, tetapi sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan atas anugerah umur panjang kepada orang yang mati saur matua. Sedangkan konsep religi mati saur matua sebagai “kematian ideal” tetap dipertahankan, karena orientasi sosial budaya masa kini juga menganggap mati di usia yang sangat tua adalah kematian yang paling baik. Selain itu, motivasi pengadaan upacara saur matua pada masa kini diarahkan sebagai pendewasaan rohani secara adat maupun agama baru mereka (Kristen). Hal itu terwujud karena dalam upacara saur matua, masyarakat Batak dapat berkumpul dengan seluruh keluarga besar. Gagasan pendewasaan rohani tersebut mereka dapatkan setelah merefleksikan upacara saur matua menjadi sebuah bentuk ucapan syukur dari seluruh anak-cucu orang yang mati kepada Tuhan, bukan lagi kepada arwah leluhur (wawancara dengan Pastor Thomas Saragih, OFM. Cap).

    Ada juga masyarakat Batak Kristen yang tidak setuju terkait kewajiban pelaksanaan upacara saur matua, karena kurang masuk akal dan tidak jelas tujuannya. Upacara saur matua sebagai “kematian ideal” menjadi kurang tepat dengan pemahaman iman Kristiani kalau didominasi oleh keinginan “pamer”. Apalagi sering terjadi, keluarga sudah “habis-habisan” membiayai perawatan orang tuanya dari mulai sakit-sakitan hingga meninggal, tapi masih harus “habis-habisan” membiayai upacara saur matua demi memenuhi tuntutan adat. Seharusnya adat tidak harus dijadikan beban. Pada masa terkini, berkembang pula pemikiran teologis dari denominasi Kristen yang berbeda dari HKBP, menyatakan upacara saur matua tidak penting untuk dilestarikan. Orang yang mati harus segera dikuburkan, tidak menunggu berhari-hari, apalagi manortor di depan peti terbuka berisi jenazah yang sudah sembab dan berair. Hal ini dapat merusak kesehatan meskipun jenazah telah disuntik formalin untuk memperlambat terjadinya pembusukan mayat.


    IV. Penutup

    Upacara saur matua merupakan warisan kebudayaan religi masyarakat batak sejak masa megaltik pra-Kristen. Upacara ini diyakini telah beberapa kali mengalami transformasi sejalan dengan perubahan yang terjadi pada kebutuhan dan problematika kehidupan dari waktu ke waktu. Menurut hemat penulis, upacara saur matua hendaknya tetap dilestarikan terkait dengan konsep “kematian ideal”. Namun hal itu menjadi sulit, apabila masyarakat Batak Kristen tidak merasakan pengalaman yang menyenangkan dan bermanfat dari upacara tersebut. Upacara saur matua harusnya dilakukan dengan tidak membebani secara berlebihan perekonomian anak-anaknya. Dilakukan dalam ungkapan syukur kepada Tuhan atas berkat umur yang panjang, hingga saat ajal menjemputnya, masih sempat melihat seluruh anak-anaknya telah berkelurga (bahkan telah memiliki cucu). Orang yang mati saur matua adalah sebuah “kebanggaan tersendiri” dalam pencapaian keinginan terakhir hidup manusia sebagai mahluk individu maupun sebagai mahluk sosial. Perlu ditumbuhkan sikap kritis, peka, dan arif agar upacara saur matua terus mengalami transformasi menuju arah yang lebih baik, agar dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat Batak (bahkan tidak hanya bagi yang beragama Kristen).

    Kepustakaan


    Spoiler untuk Kepustakaan :


    Marbun & Hutapea, 1987. Kamus Budaya Batak Toba. Balai Pustaka. Jakarta.

    Pedersen, Paul, 1975. Darah Batak dan Jiwa Protestan. BPK Gunung Mulia. Jakarta..

    Pritchard, E. E. Evans, 1984. Teori-teori Tentang Agama Primitif. Jakarta: PLP2M press.

    Schreiner, Lothar, 1978.Telah Kudengar dari Ayahku-Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak. BPK Gunung Mulia- Jakarta.

    Soejono, R. P., 1984. Jaman Prasejarah di Indonesia, SNI I. Depdikbud. Jakarta.

    Siahaan, N., 1964. Sedjarah Kebudajaan Batak. C.V. Napitupulu. Medan.

    Sihombing, T.M., 1986. Filasafat Batak Tentang Kebiasaan-kebiasaan Adat Istiadat. Balai Pustaka. Jakarta.

    Sumardjo, Jakob, 2002. Arkeologi Budaya Indonesia, Pelacakan Hermeneutis – Historis Terhadap Artefak-Artefak Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta: CV.Qalam

    Simatupang, Defri. 2005. Upacara Mangongkal Holi di Pulau Samosir, Studi Etnoarkeologi Transformasi Kebudayaan Religi, dalam Skripsi untuk gelar Sarjana dalam Ilmu Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

    Sinaga, Richard, 1999. Meninggal Adat Dalihan Natolu. Dian Utama. Jakarta.

    Sinaga, Anicetus, 1981. The Toba-Batak High God-Transcendence and Immanence, West Germany.

    Harkantiningsih, Naniek, ed., 1999. Metode penelitian Arkeologi, Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

    Vergouwen, J.C. 2004. Masyarakat dan hukum adat Batak Toba. LKIS. Yogyakarta.


    Informan

    M. br. Sipayung (70thn), pedagang ulos di pasar horas P.Siantar

    Pdt. B. Tampubolon (52 Thn), seorang pendeta di gereja HKBP Tomuan, P.Siantar. Wawancara dilakukan pada hari Sabtu 11 Juni 2005 di kediaman beliau.

    Pastor Thomas Saragih, OFM.Cap.(75 tahun), seorang biarawan di Gereja Katolik ST.Laurentius, P.Siantar. Wawancara dilakukan di kediaman beliau pada hari minggu tanggal 16 juli 2005 jam 12 siang.

  5. #4

    Join Date
    Nov 2013
    Location
    Bandung-Medan
    Posts
    13,615
    Points
    50.80
    Thanks: 262 / 270 / 198

    Default Makna yang Terdapat pada Sistem Peralatan Gondang dan Fase-fase dalam Upacara Kematian pada Batak Toba


    A. Pengertian Gondang

    Pada tradisi musik Toba, kata gondang (Secara harfiah) memiliki banyak pengertian. Antara lain mengandung arti sebagai : (1) seperangkat alat musik, (2) ensambel musik, (3) komposisi lagu (kumpulan dari beberapa lagu), (pasaribu 1987). Makna lain dari kata ini, berarti juga sebagai (1) menunjukkan satu bagian dari kelompok kekerabatan, tingkat usia; atau orang-orang dalam tingkatan status sosial tertentu yang sedang menari (manortor) pada saat upacara berlangsung (Irwansyah,1990).

    Pengertian gondang sebagai perangkat alat musik, yakni gondang Batak.
    Gondang Batak sering diidentikkan dengan gondang sabangunan atau ogling sabangunan dan kadang-kadang juga diidentikkan dengan taganing (salah satu alat musik yang terdapat di dalam gondang sabangunan). Hal ini berarti memberi kesan kepada kita seolah-olah yang termasuk ke dalam Gondang Batak itu hanyalah gondang sabangunan, sedangkan perangkat alat musik Batak yang lain, yaitu :
    gondang hasapi tidak termasuk gondang Batak. Padahal sebenarnya gondang hasapi juga adalah gondang Batak, akan tetapi istilah gondang hasapi lebih dikenal dengan istilah uning-uningan daripada gondang Batak.

    Gondang dalam pengertian ensambel musik terbagi atas dua bagian, yakni gondang sabangunan (gondang bolon) dan gondang hasapi (uning-uningan). Gondang sabangunan dan gondang hasapi adalah dua jenis ensambel musik yang terdapat pada tradisi musik Batak Toba. Secara umum fungsi kedua jenis ensambel ini hampir tidak memiliki perbedaan keduanya selalu digunakan di dalam upacara yang berkaitan dengan religi, adat maupun upacara-upacara seremonial lainnya. Namun demikian kalau diteliti lebih lanjut, kita akan menemukan perbedaan yang cukup mendasar dari kedua ensambel ini.

    Sebutan gondang dalam pengertian komposisi menunjukkan arti sebagai sebuah komposisi dari lagu (judul lagu secara individu) atau menunjukkan kumpulan dari beberapa lagu/repertoar, yang masing-masing ini bisa dimainkan pada upacara yang berbeda tergantung permintaan kelompok orang yang terlibat dalam upacara untuk menari, termasuk di dalam upacara kematian saur matua. Misalnya : gondang si Bunga Jambu, gondang si Boru Mauliate dan sebagainya. Kata si bunga jambu, si boru mauliate dan malim menunjukkan sebuah komposisis lagu, sekaligus juga merupakan judul dari lagu (komposisi) itu sendiri.
    Berbeda dengan gondang samba, samba Didang-Didang dan gondang elekelek (lae-lae). Meskipun kata gondang di sini juga memiliki pengertian komposisi, namun kata sombai;didang-didangi dan elek-elek memiliki pengertian yang menunjukkan sifat dari gondang tersebut, yang artinya ada beberapa komposisi
    yang bisa dikategorikan di dalam gondang-gondang yang disebut di atas, yang merupakan “satu keluarga gondang”. Komposisi dalam “satu keluarga gondang,” memberi pengertian ada beberapa komposisi yang memiliki sifat dan fungsi yang sama, yang dalam pelaksanaannya tergantung kepada jenis upacara dan permintaan kelompok orang yang terlibat dalam upacara. Misalnya: gondang Debata (termasuk
    di dalamnya komposisi gondang Debata Guru, Debata sari, Bana Bulan, dan Mulajadi); gondang Sahalai dan gondang Habonaran.

    Gondang dalam pengertian repertoar contohnya si pitu Gondang. si pitu Gondang atau kadang-kadang disebut juga gondang parngosi (baca pargocci) atau panjujuran Gondang adalah sebuah repertoar adalah reportoar/kumpulan lagu yang dimainkan pada bagian awal dari semua jenis upacara yang melibatkan aktivitas musik sebagai salah satu sarana dari upacara masyarakat Batak Toba. Semua jenis lagu yang terdapat pada si pitu Gondang merupakan “inti” dari keseluruhan gondang yang ada. Namun, untuk dapat mengetahui lebih lanjut jenis bagian apa saja yang terdapat pada si pitu Gondang tampaknya cukup rumit juga umumnya hanya diketahui oleh pargonsi saja. Lagu-lagu yang terdapat pada si pitu Gondang dapat
    dimainkan secara menyeluruh tanpa berhenti, atau dimainkan secara terpisah (berhenti pada saat pergantian gondang). Repertoar ini tidak boleh ditarikan. Jumlah gondang (komposisi lagu yang dimainkan harus di dalam jumlah bilangan ganjil, misalnya : satu, tiga, lima, tujuh).

    Kata gondang dapat dipakai dalam pengertian suatu upacara misalnya gondang Mandudu (”upacara memanggil roh”) dan upacara Saem (”upacara ritual”). Gondang dapat juga menunjukkan satu bagian dari upacara di mana kelompok kekerabatan atau satu kelompok dari tingkatan usia dan status sosial tertentu yang sedang menari, pada saat upacara tertentu misalnya : gondang Suhut, gondang Boru, gondang datu, gondang Naposo dan sebagainya. Jika dikatakan gondang Suhut, artinya pada saat itu Suhut yang mengambil bagian untuk meminta gondang dan menyampaikan setiap keinginannya untuk dapat menari bersama kelompok kekerabatan lain yang didinginkannya. Demikian juga Boru, artinya yang mendapat kesempatan untuk menari; gondang datu, artinya yang meminta gondang dan menari; dan gondang naposo, artinya muda-mudi yang mendapat kesempatan untuk menari.

    Selain kelima pengertian kata gondang tersebut, ada juga pengertian yang lain yaitu yang dipakai untuk pembagian waktu dalam upacara, misalnya gondang Sadari Saboringin yaitu upacara yang didalamnya menyertakan aktivitas margondang dan dilaksanakan selama satu hari satu malam. Dengan demikian, pengertian gondang secara keseluruhan dalam satu upacara dapat meliputi beberapa pengertian seperti yang tertera di atas. pengertian gondang sebagai suatu ensambel musik tradisional khususnya, maksudnya untuk mengiring jalannya upacara kematian saur matua.

    B. Istilah Gondang Sabangunan

    Banyak istilah yang diberikan para ahli kebudayaan ataupun istilah dari masyarakat Batak itu sendiri terhadap gondang Sabangunan, antara lain: agung, agung sabangunan, gordang parhohas na ualu (perkakas nan delapan) dan sebagainya. Tetapi semua ini merupakan istilah saja, karena masing-masing pada umumnya mempunyai pengertian yang sama.

    Diantara istilah-istilah tersebut di atas, istilah yang paling menarik perhatian adalah parhohas na ualu yang mempunyai pengertian perkakas nan delapan. Istilah ini umumnya dipakai oleh tokoh-tokoh tua saja, dan biasanya disambung lagi dengan kalimat “simaningguak di langit natondol di tano” (artinya berpijak di atas
    tanah sampai juga ke langit). Menurut keyakinan suku bangsa Batak Toba dahulu, apabila gondang sabangunan tersebut dimainkan, maka suaranya akan kedengaran sampai ke langit dan semua penari mengikuti gondang itu akan melompat-lompat seperti kesurupan di atas tanah (na tondol di tano). Biasanya semua pendengar mengakui adanya sesuatu kekuatan di dalam “gondang” itu yang dapat membuat orang bersuka cita, sedih, dan merasa bersatu di dalam suasana kekeluargaan.

    Gondang sabangunan disebut “parhohas na ualu, karena terdiri dari delapan jenis instrumen tradisional Batak Toba, yaitu taganing, sarune, gordang, ogling ihutan, ogling oloan, ogling panggora, ogung doal dan hesek tanpa odap. Kedelapan intrumen itu merupakan lambang dari kedelapan mata angin, yang disebut “desa na ualu” dan merupakan dasar yang dipakai untuk sebutan Raja Na Ualu (Raja Nan Delapan) bagi komunitas musik gondang sabangunan. Pada masa awal perkembangan musik gondang Batak, instrumen-instrumen ini masing-masing dimainkan oleh satu orang saja. Tetapi sejalan dengan perubahan
    jaman, ogling oloan dan ogling ihutan telah dapat dimainkan hanya oleh satu orang saja. Sedangkan odap sudah tidak dipakai lagi. Kadang-kadang peran hesek juga dirangkap oleh pemain taganing, sehingga jumlah pemain ensambel itu bervariasi. Keseluruhan pemain yang memainkan instrumen-instrumen dalam gondang sabangunan ini disebut pargonsi dan kegiatan yang menggunakan perangkatperangkat
    musik tradisional ini disebut margondang (memainkan gondang).

    C. Jenis Dan Fungsi Instrumen Gondang Sabangunan

    Gondang sabangunan sebagai kumpulan alat-alat musik tradiosional Batak Toba, terdiri dari : taganing, gordang, sarune, ogling oloan, ogling ihutan, ogling panggora, ogling doal dan hesek. Dalam uraian berikut ini akan dijelaskan masingmasing instrumen yakni fungsinya.

    1. Taganing
    Dari segi teknis, instrumen taganing memiliki tanggung jawab dalam penguasaan repertoar dan memainkan melodi bersama-sama dengan sarune. Walaupun tidak seluruh repetoar berfungsi sebagai pembawa melodi, namun pada setiap penyajian gondang, taganing berfungsi sebagai “pengaba” atau “dirigen” (pemain group gondang) dengan isyarat- isyarat ritme yang harus dipatuhi oleh seluruh anggota ensambel dan pemberi semangat kepada pemain lainnya.

    2. Gordang
    Gordang ini berfungsi sebagai instrumen ritme variabel, yaitu memainkan iringan musik lagu yang bervariasi.

    3. Sarune
    Sarune berfungsi sebagai alat untuk memainkan melodi lagu yang dibawakan oleh taganing.

    4. Ogung Oloan (pemiapin atau Yang Harus Dituruti)
    Agung Oloan mempunyai fungsi sebagai instrumen ritme konstan, yaitu memainkan iringan irama lagu dengan model yang tetap. Fungsi agung oloan ini umumnya sama dengan fungsi agung ihutan, agung panggora dan agung doal dan sedikit sekali perbedaannya. agung doal memperdengarkan bunyinya tepat
    di tengah-tengah dari dua pukulan hesek dan menimbulkan suatu efek synkopis nampaknya merupakan suatu ciri khas dari gondang sabangunan.
    Fungsi dari agung panggora ditujukan pada dua bagian. Di satu bagian, ia berbunyi berbarengan dengan tiap pukulan yang kedua, sedang di bagian lain sekali ia berbunyi berbarengan dengan agung ihutan dan sekali lagi berbarengan dengan agung oloan.

    Oleh karena musik dari gondang sabangunan ini pada umumnya dimainkan dalam tempo yang cepat, maka para penari maupun pendengar hanya berpegang pada bunyi agung oloan dan ihutan saja. Berdasarkan hal ini, maka ogling oloan yang berbunyi lebih rendah itu berarti “pemimpin” atau “Yang harus di turuti” , sedang ogling ihutan yang berbunyi lebih tinggi, itu “Yang menjawab” atau “Yang menuruti”. Maka dapat disimpulkan bahwa peranan dan fungsi yang berlangsung antara ogling dan ihutan dianggap oleh orang Batak Toba sebagai suatu permainan “tanya jawab”

    5. Ogung Ihutan atau Ogung pangalusi (Yang menjawab atau yang menuruti).

    6. Ogung panggora atau Ogung Panonggahi (Yang berseru atau yang membuat orang terkejut).

    7. Ogung Doal (Tidak mempunyai arti tertentu)

    8. Hesek
    Hesek ini berfungsi menuntun instrumen lain secara bersama-sama dimainkan. Tanpa hesek, permainan musik instrumen akan terasa kurang lengkap. Walaupun alat dan suaranya sederhana saja, namun peranannya penting dan menentukan.

    D. Susunan Gondang Sabangunan

    Menurut falasafah hidup orang Batak Toba, “bilangan” mempunyai makna dan pengaruh dalam kehidupan sehari-hari dan aktivitas adat. “Bilangan genap” dianggap bilangan sial, karena membawa kematian atau berakhir pada kematian. Ini terlihat dari anggota tubuh dan binatang yang selalu genap. menurut Sutan Muda Pakpahan, hal itu semuanya berakhir pada kematian, dukacita dan penderitaan (Nainggolan, 1979).
    Maka di dalam segala aspek kehidupan diusahakan selalu “bilangan ganjil” yang disebut bilangan na pisik yang dianggap membawa berkat dan kehidupan.

    Dengan kata lain “bilangan genap” adalah lambang segala ciptaan didunia ini yang dapat dilihat dan hakekatnya akan berlalu, sedang “bilangan ganjil” adalah lambang kehidupan dan Pencipta yang tiada terlihat yang hakekatnya kekal. Itulah sebabnya susunan acara gondang sabangunan selalu dalam bilangan
    ganjil. Nama tiap acara, disebut “gondang” yang dapat diartikan jenis lagu untuk nomor sesuatu acara. Susunan nomor acara juga harus menunjukkan pada bilangan ganjil seperti Satu, tiga, atau lima dan sebanyak-banyaknya tujuh nomor acara. Sedangkan jumlah acara juga boleh menggunakan acara bilangan genap, misalnya :
    dua nomor acara, empat atau enam.

    Selanjutnya susunan acara itu hendaknya memenuhi tiga bagian, yang merupakan bentuk upacara secara umum, yaitu pendahuluan yang disebut gondang mula-mula, pemberkatan yang disebut gondang pasu-pasu, dan penutup yang disebut gondang hasatan. Ketiga bagian gondang inilah yang disebut si pitu Gondang (Si Tujuh Gondang). Walaupun dapat dilakukan satu, tiga, lima, dan sebanyakbanyaknya tujuh nomor acara atau jenis gondang yang diminta. “Gondang mulamula i ma tardok patujulona na marpardomuan tu par Tuhanon, tu sabala ni angka Raja dohot situan na torop”. Artinya Gondang mula-mula merupakan pendahuluan atau pembukaan yang berhubungan dengan Ketuhanan, kuasa roh raja-raja dan khalayak ramai.

    Bentuk upacara yang termasuk gondang mula-mula antara lain:
    1. Gondang alu-alu, untuk mengadukan segala keluhan kepada yang tiada terlihat yaitu Tuhan Yang Maha Pencipta, biasanya dilakukan tanpa tarian.
    2. Gondang Samba-Samba, sebagai persembahan kepada Yang Maha Pencipta. Semua penari berputar di tempat masing-masing dengan kedua tanganbersikap menyembah.

    Yang termasuk gondang pasu-pasuan :
    1. Gondang Sampur Marmere, menggambarkan permohonan agar dianugrahi dengan keturunan banyak.
    2. Gondang Marorot, menggambarkan permohonan kelahiran anak yang dapat diasuh.
    3. Gondang Saudara, menggambarkan permohonan tegaknya keadilan dan kemakmuran.
    4. Gondang Sibane-bane, menggambarkan permohonan adanya kedamaian dan kesejahteraan.
    5. Gondang Simonang-monang, menggambarkan permohonan agar selalu memperoleh kemenangan.
    6. Gondang Didang-didang, menggambarkan permohonan datangnya sukacita yang selalu didambakan manusia.
    7. Gondang Malim, menggambarkan kesalehan dan kemuliaan seorang imam yang tidak mau ternoda.
    8. Gondang Mulajadi, menggambarkan penyampaian segala permohonan kepada Yang Maha pencipta sumber segala anugerah.

    Angerah pasu-pasuan i ma tardok gondang sinta-sinta pangidoan hombar tusintuhu ni na ginondangkan dohot barita ngolu. Artinya gondang pasu-pasuanmerupakan penggambaran cita-cita dan pernohonan sesuai dengan acara pokok dan kisah hidup.

    Sedangkan yang termasuk gondang penutup (gondang hasatan):
    Gondang Sitio-tio, menggambarkan kecerahan hidup masa depan sebagai jawabanterhadap upacara adat yang telah dilaksanakan.
    Gondang Hasatan, menggambarkan penghargaan yang pasti tentang segala yang dipinta akan diperoleh dalam waktu yang tidak lama.
    Gondang hasatan i ma pas ni roha na ingkon sabat saut sude na pinarsinta.
    Artinya : Gondang hasatan ialah : suatu keyakinan yang pasti bahwa semua cita-cita akan tercapai. Lagu-lagu untuk ini biasanya pendek-pendek saja. Dari ketiga bagian gondang tersebut di atas, maka para peminta gondang menentukan beberapa nomor acara gondang dan nama gondang yang akan ditarikan. Masing- masing gondang ditarikan satu nilai satu kali saja. Contohnya:

    Sebagai pendahuluan : Gondang Alu-alu (tidak ditarikan).
    I. Gondang Mula-mula (1x). Biasanya gondang ini disatukan dengan Gondang
    Samba-samba. Di Gondang Mula-mula = menari dengan tidak membuka tangan dan hanya
    sebentar.
    Di Gondang Samba-mamba = menari sambil membuka tangan
    II. Gondang Pasu-pasuan (3x) atau (5x).
    III. Gondang Sahatan (1x) atau (2x).

    Yang umum dilaksanakan terdiri dari tujuh nomor acara (Si pitu Gondang)
    dengan susunan :
    1. Gondang Mula-mula : 1x = Gondang Mula-mula.
    2. Gondang Samba-samba : 1x = Idem
    3. Gondang Sampur Marmere : 1x = Gondang Pasu-pasuan
    4. Gondang Marorot : 1x = Idem
    5. Gondang Saudara : 1x = Idem
    6. Gondang sitio-tio : 1x = Idem
    7. Gondang Hasatan : 1x = Idem
    ————————————————————————————–
    Jumlah : 7x (2 G. Mula-mula + 3 G. Pasu-pasuan+ 2 G Hasahatan)
    Jika diadakan dalam lima nomor acara (Silima Gondang), susunannya adalah sebagai berikut :
    Gondang Mula-mula
    dengan Samba-samba : 1x Gondang Mula-mula.
    Gondang Sibane-bane : 1x Gondang Pasu-pasuan
    Gondang Simonang-monang : 1x Idem
    Gondang Didang-didang : 1x Idem
    Gondang Hasatan sitio-tio : 1x Gondang Hasahatan
    ————————————————————————————–
    Jumlah : 5x (1. G Mula-mula + 3 G Pasu-pasuan + 1 G Hasatan).

    Sedangkan dalam tlga nomor acara (Sitolu Gondang), susunannya ialah :
    Gondang Mula-mula dengan Samba-samba : 1x = Gondang Mula-mula
    Gondang Sibane-bane disatukan dengan Gondang Simonang-monang : 1x =
    Gondang Pasu-pasuan
    Gondang Hasahatan sitio-tio : 1x = Gondang Hasahatan
    ———————————————————————————————–
    Jumlah : 3x (1 G Mula-mula + 1 G Pasu-pasuan + 1 G = Hasahatan).

    Jika hanya nomor acara (Sisada Gondang) , maka di dalamnya sekaligus
    dimainkan Gondang Mula-mula, Gondang Pasu-pasuan, Gondang Hasahatan.

    E. syarat-Syarat pemain Gondang Sabangunan

    Para pemain instrumen-instrumen yang tergabung dalam komunitas gondang,disebut pargonsi. Biasanya, sebagian besar warga masyarakat Batak Toba tertarik mendengar alunan suara yang dikeluarkan oleh gondang sabangunan tersebut, tetapi tidak semuanya mampu memainkan alat-alat tersebut apalagi mencapai tahap pargonsi. Hal ini disebabkan karena adanya syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi seseorang untuk dapat menjadi seorang pargonsi. Syarat-syarat tersebut seperti yang dikemukakan seorang ahlinya, antara lain:
    1. Harus mendapat sahala dari Mulajadi Na Bolon (Sang Pencipta).
    Sahala ini merupakan berkat kepintaran khusus dalam memainkan alat musik yang diberikan kepada seseorang sejak dalam kandungan. Dengan kata lain orang tersebut sudah dipersiapkan untuk menjadi seorang pargonsi sebagai permintaan Mula Jadi Na Bolon.
    2. Melalui proses belajar
    Seseorang dapat menjadi pargonsi, dengan adanya berkat khusus yang diberikan Mulajadi Na Bolon sekaligus dipadukan dengan proses belajar. Sehingga itu seseorang memiliki ketrampilan khusus untuk dapat menjadi pargonsi. Walaupun melalui proses belajar, tetapi jika tidak diberikan sahala kepada orang tersebut, maka ia tidak berarti apa-apa atau tidak menjadi pargonsi yang pandai.
    3. Mempunyai pengetahuan mengenai ruhut-ruhut ni adat (aturan-aturan dalam adat)
    Maksudnya mengetahui struktur masyarakat Batak Toba yaitu Dalihan Na Tolu dan penerapannya dalam masyarakat.
    4. Umumnya yang diberkati Mulajadi Na Bolon untuk menjadi seorang pargonsi adalah laki-laki,
    Dengan alasan : Laki-laki merupakan basil ciptaan dan pilihan pertama Mulajadi Na Bolon. Laki-laki lebih banyak memiliki kebebasan daripada perempuan, karena para pargonsi sering diundang memainkan ke berbagai daerah untuk memainkan gondang sabangunan dalam suatu upacara adat.
    5. Seseorang yang menjadi pargonsi harus sudah dewasa tetapi bukan berarti harus sudah menikah.

    F. Pemain Musik Gondang Sabangunan

    Seperti yang telah diuraikan pada sub-bab sebelumnya, bahwa keseluruhan pemain yang menggunakan instrumen- instrumen dalam gondang sabangunan disebut pargonsi. Dahulu, istilah pargonsi ini hanya diberikan kepada pemain taganing saja, sedangkan kepada pemain instrumen lainnya hanya diberikan nama
    sesuai dengan nama instrumen yang dimainkannya, yaitu pemain ogling (parogung), pemain hesek dan pemain sarune (parsarune).

    Dalam konteks sosial, pargonsi ini mendapat perlakuan yang khusus. Hal inididukung oleh adanya prinsip stratifikasi yang berhubungan dengan kedudukan pargonsi berdasarkan pangkat dan jabatan. Sikap khusus yang diberikan masyarakat kepada pargonsi itu disebabkan karena seorang pargonsi selain memiliki ketrampilan teknis, mendapat sabala dari Mulajadi Na Bolon, juga mempunyai pengetahuan tentang ruhut-ruhut ni adat (aturan-aturan adat/sendi-sendi peradaban). Sehingga untuk itu, pargonsi mendapat
    sebutan Batara Guru Hundul ( artinya : Dewa Batara Guru yang duduk) untuk pemain taganing dan Batara Guru Manguntar untuk pemain sarune. Mereka berdua dianggap sejajar dengan Dewa dan mendapat perlakuan istimewa, baik dari pihak yang mengundang pargonsi maupun dari pihak yang terlibat dalam upacara tersebut. Dengan perantaraan merekalah, melalui suara gondang (keseluruhan instrumen), dapat disampaikan segala permohonan dan puji-pujian kepada Mulajadi Na Bolon (Yang Maha Esa) dan dewa-dewa bawahannya yang mempunyai hak otonomi

    Posisi pargonsi tampak pada saat hendak diadakannya horja (upacara pesta) yang menyertakan gondang sabangunan untuk mengiringi jalannya upacara. Pihak yang berkepentingan dalam upacara akan mengundang pargonsi dan menemui mereka dengan permohonan penuh hormat, yang disertai napuran tiar (sirih) diletakkan di atas piring.

    Pada saat upacara berlangsung, pargonsi akan dilayani dengan hormat, seperti ketika suatu kelompok orang yang terlibat dalam Dalihan Na Tolu ingin menari, maka mereka akan meminta gondang kepada pargonsi dengan menyerukan sebutan yang menyanjung dan terhormat, yaitu : “Ale Amang panggual pargonsi, Batara Guru Humundul, Batar Guru Manguntar, Na sinungkun botari na ni alapan arian, Parindahan na suksuk, parlompaan na tabo, Paraluaon na tingkos, paratarias na malo”.
    Artinya
    “Yang terhormat para pemain musik, Batara Guru Humundul, Batara Guru Manguntar. Yang ditanya sore hari dan dijemput sore hari penikmat nasi yang empuk, penikmat lauk yang lezat. Penyampai pesan yang jujur, pemikir yang cerdas. Untaian kalimat di atas menunjukkan makna dari suatu sikap yang menganggap bahwa pargonsi itu setaraf dengan Dewa. Mereka harus selalu disuguhi dengan makanan yang empuk dan lezat, harus dijemput dan diantar kembali bila pergi ke suatu tempat dan mereka itu dianggap mempunyai fikiran yang jujur dan cerdas sehingga dapat menjadi perantara untuk menghubungkan dengan Mulajadi
    Nabolon.

    Akan tetapi sejalan dengan perkembangan zaman, penghargaan kepada pargonsi sudah berubah. Hal ini disebabkan kehadiran musik (suatu sebutan dari masyarakat Batak Toba untuk kelompok brass band) yang menggantikan kedudukan gondang sabangunan sebagai pengiring upacara. Apabila pihak yang terlibat dalam upacara meminta sebuah repertoar, mereka akan menyebut pargonsi kepada dirigen atau pimpinan kelompok musik tersebut. Walaupun kedudukan kelompok musik sama dengan gondang sabangunan dengan menyebut “pargonsi” kepada pemain musik, namun musisi tersebut tidak dapat dianggap sebagai Batara Guru Humundul ataupun Batara Guru Manguntar.

    Sikap hormat yang diberikan masyarakat kepada pargonsi bukanlah suatu sikap yang permanen (tetap), tetapi hanya dalam konteks upacara. Di luar konteks upacara, sebutan dan sikap hormat tersebut akan hilang dan pargonsi akan mempunyai kedudukan seperti anggota masyarakat lainnya, ada yang hidup sebagai petani, pedagang, nelayan dan sebagainya.

    Sejalan dengan uraian di atas, ada beberapa penulis Batak Toba yang menerangkan sebutan untuk masing-masing instrumen dalam gondang sabangunan. Seperti pasariboe (1938) menuliskan sebagai berikut : oloan bernama simaremare, pangalusi bernama situri-turi, panonggahi bernama situhur tolong, doal bernama sisunggul madam, taganing bernama silima hapusan, gordang bernama sialton sijarungjung dan odap bernama siambaroba. Penulis Batak Toba lainnya, pasaribu (1967) menuliskan taganing bernama pisoridandan, gordang bernama sialtong na begu, odap bernama siambaroba, oloan bernama si aek mual, pangalusi bernama sitapi sindar mataniari, panggora bernama situhur, doal bernama diri mengambat
    dan hesek bernama sigaruan nalomlom.

    Nama-nama di atas nama yang diberikan oleh pemilik instrumen musik atau pimpinan komunitas musik yang sulit sekali dicari padanannya dalam bahasa Indonesia dan bukan menunjukkan gambaran mengenai superioritas instrumen tersebut. Nama-nama tersebut biasa saja berbeda pada tiap-tiap daerah. Khusus untuk instrumen sarune tidak ditemukan adanya sebutan terhadap instrumen itu.
    Last edited by Ellectric~; 03-10-14 at 10:42.

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •