Page 1 of 2 12 LastLast
Results 1 to 15 of 17
http://idgs.in/611689
  1. #1
    -Pierrot-'s Avatar
    Join Date
    Aug 2011
    Location
    CAGE
    Posts
    2,600
    Points
    15,814.97
    Thanks: 44 / 119 / 91

    Default [Fanfic] Rurouni Kenshin - Recollection of the Past

    Rurouni Kenshin
    [Recollection of the Past]



    Author : -Pierrot-

    Language : Indonesia

    Genre(s) : Historical, Action, Romance

    CopyRight ©2013 -Pierrot- All Right Reserved



    Spoiler untuk Prolog - Heart of Sword :
    ===========================
    Prologue : Heart of Sword
    ===========================


    JEPANG, 1858 Agustus

    Bulan purnama merah menggantung di langit tanpa awan, berbaur dengan warna hutan sehingga menciptakan suasana hijau biru disepanjang jalan tanah yang tak rata. Namun dibalik semua keindahan itu, siapa yang tahu apa saja yang sedang bersembunyi didalamnya. Sekelompok pedagang yang sedang menyusuri jalan dibawah pegunungan kota Kyoto, terus berjalan tanpa menyadari delapan pasang mata yang terkunci pada mereka. Masing-masing bilah pedang mereka memantulkan cahaya rembulan, namun tertutupi oleh lebatnya rerumputan panjang yang tumbuh tak jauh dari jalan tersebut.

    ***

    Beberapa ratus meter dari rombongan tersebut, Hiko Seijuro berjalan pelan sambil menatap merah bulan malam. Dia tidak pernah menyukai bulan merah. Kemunculannya selalu menjadi pertanda suatu hal besar akan terjadi, dan ia tidak pernah menginginkannya. Sebagai pewaris terakhir ilmu pedang Hiten mitsurugi-ryu, ia memiliki kekuatan yang cukup untuk mengambil peran kunci dalam kekacauan yang sedang melanda negara ini. Namun ia tahu, kekacauan tersebut sudah terlampau besar, dimana tak seorang pun dengan kekuatan sebesar apa pun dapat menghentikannya.

    Angin malam berhembus kencang menerbangkan rambut hitam panjang, serta jubah putih kebesarannya. Angin yang menembus kerah panjang jubahnya itu tidak hanya membawa dingin malam, namun juga aroma.. aroma yang tak asing baginya.

    Kakinya berhenti sesaat, dan indra penciumannya sekali lagi mencoba mem-verifikasi apa yang baru saja diterima olehnya. Tidak salah lagi, ini aroma darah manusia.

    ***

    Teriakan kematian, daging dan darah yang tercerai diudara, serta bilah pedang yang menusuk kasar kepala manusia bukanlah sesuatu yang menyenangkan untuk didengar. Anak lelaki berambut merah itu berlari ditengah kekacuan yang melanda rombongannya dengan kedua tangan menutup telinga.

    Sebilah katana milik pengawal rombongan mereka yang kini terkulai tanpa nyawa, menyandung kaki kecilnya hingga terjatuh. Seakan menerima dorongan dari dari dalam tubuhnya, tanpa ragu anak kecil tersebut memungut katana yang baru saja menyandungnya. Tangannya yang bergetar tidak sanggup menahan berat katana, sementara bilah yang berlumuran darah hanya terangkat beberapa belas senti dari tanah.

    Seorang bandit yang menyadari hal itu berbalik ke-arah si anak, namun anak lelaki berambut merah itu tidak bergeming. Ia balik menatap si bandit, sambil berusaha menahan berat pedang, nafasnya bertambah berat semakin dekat bandit itu melangkah.

    Tiba-tiba saja, sepasang tangan terbalut kimono merah memerangkap kedua wajah si anak lelaki, sambil dengan cepat menarik tubuhnya kedalam dekapan sang pemilik tangan. Katana yang terlalu berat untuknya itu jatuh seketika, bersamaan dengan tubuhnya yang tenggelam dalam pelukan seorang wanita yang familiar.

    Sementara wanita berkimono merah itu memeluknya, wanita lain dengan kimono biru berteriak sambil berdiri diantara wanita berkimono merah dan bandit tersebut.

    “Tolong, biarkan anak itu hidup.”, teriak wanita berkimono biru memelas.

    Tanpa sempat mengatakan apapun sebagai tambahan kalimatnya, Wanita berkimono biru itu terpental kesamping dengan leher memuntahkan darah ke udara.

    “Shizame!” teriak wanita berkimono merah histeris.

    Seorang wanita berkimono ungu kembali berlari diantara mereka. Wanita itu menahan tangan sang bandit yang baru saja menebas leher wanita berkimono biru, namun tanpa sanggup mengimbangi kekuatan seorang pria, giliran wanita berkimono ungu yang jatuh terkulai ditanah dengan pundak terbelah dua.

    Melihat dua orang temannya terbunuh begitu saja, wanita berkimono merah langsung berlutut memunggungi si badit, dengan anak lelaki berambut merah tersembunyi dibawah tubuhnya.

    “Shinta.. kau hanya anak kecil.. Tolong jangan lihat.. tidak sepatutnya kau mengalami semua ini,” bisik wanita berkimono merah dengan suara terisak.

    “Shinta, kau harus hidup. Kau belum memiliki kesempatan untuk memilih hidupmu seperti hal-nya kami. Karena itu, kau tidak boleh mati hari ini. Hiduplah, hiduplah demi semua orang yang mati hari ini.”

    Air mata wanita itu berjatuhan diatas wajah si anak lelaki. Sementara anak bernama Shinta itu hanya bisa diam dengan mata terbelalak. Pikirannya beku. Kata-kata dari wanita berkimono merah menggema dipikirannya yang kosong, dan ia terlalu takut untuk mencernanya. Ia bahkan tidak punya tenaga untuk gemetar atau berteriak ketika wanita berkimono merah yang sejak tadi mendekapnya ditarik menjauh.

    Rambut hitam panjang wanita itu dijambak dengan kasar, dan seketika itu juga bilah pedang bandit menembus leher jenjangnya. Secepat pedang itu ditusuk, secepat itu juga ditarik. Wanita berkimono merah terkulai ditanah dengan darah mengalir deras dari lubang di lehernya.

    “Teruslah hidup.. Shinta.”, masih dengan berlinang air mata, wanita berkimono merah membisikkan kata-kata terkahirnya di dunia ini.

    Bandit yang baru saja membantai tiga orang wanita itu, kini bediri tepat didepan matanya. Namun dirinya saat ini tidak jauh beda dengan mereka yang sedang terkulai ditanah. Mata tak bernyawanya menatap tanpa arah. Ia tidak peduli lagi jika harus mati saat ini.

    “Uaaaarrrghhh!”

    Baru saja bilah pedang bandit didepannya terangkat, terdengar rentetan erangan kematian tidak jauh dari mereka. Mengesampingkan anak berambut merah didepannya, bandit itu menoleh kebelakang dan mendapati seorang pria tinggi besar dengan jubah putih menjuntai panjang berdiri ditengah mayat rekan-rekannya.

    Tujuh orang, semuanya kecuali dirinya dibantai oleh pria berjubah putih itu dalam sekejap. Tidak mempercayai pemandangan didepannya, bandit tersebut berteriak marah.

    “S-Siapa kau!!”


    “Kau akan mati sebentar lagi, pertanyaan itu tidak penting untukmu.”

    Hiko Seijuro berkata singkat, sambil menghunuskan pedangnya kedepan.

    Dibutakan amarah, bandit itu menyerbu kedepan dengan katana terangkat ke udara, siap menebas targetnya. Yang mana, membawanya pada kematian singkat, dengan tubuh terbelah menjadi empat bagian.

    Usai mengeksekusi semua musuhnya, Hiko seijuro melangkah mendekati anak berambut merah itu. Ia menyadari kalau cuma anak itulah yang bertahan hidup dari penyerbuan para bandit gunung yang menyerang rombongannya.

    “Menyimpan dendam pada mereka yang sudah mati, atau pada dunia ini tidak akan mengembalikan orang-orang yang kau cintai. Bersyukurlah pada fakta bahwa kau masih bisa hidup hari ini," ujarnya sambil menyeka darah yang melekat pada bilah pedangnya.

    Setelah mengatakan itu, Hiko Seijuro menyarungkan kembali pedangnya dan berbalik pergi. Sempat sekali ia menoleh kebelakang, namun anak itu masih saja menatap kosong tanpa arah, tanpa sanggup berpijak selangkah pun.

    Hal ini terjadi dimana-mana, pikir Seijuro dalam hati.

    Di berbagai tempat di negara ini, manusia hidup dalam neraka yang berbeda. Anak itu baru saja lepas dari neraka yang menimpanya, namun neraka baru akan segera menghampiri tergantung bagaimana ia akan melangkah.

    “Aku memang.. benci bulan merah.”, Seijuro bergumam sambil menatap langit malam.

    Hiten mitsurugi diciptakan untuk melindungi manusia, namun hampir tidak pernah sekalipun ia mendapat kesempatan untuk melakukannya. Ketika ia menyelematkan nyawa manusia, pasti akan ada nyawa lain yang dikorbankan. Ia merasa kalau ilmu pedang sekuat apapun hanya akan menjadi minyak dalam api kekacauan yang menyelimuti negara ini.

    “Besok aku akan kembali dan mengubur mayat mereka, setidaknya hal itu cukup untuk saat ini.”

    ***

    Matahari yang mewarnai awan disekitarnya, tampak seperti terseret kedalam gunung. Garis-garis jingga yang tertoreh, terlihat semakin kontras dengan warna langit mulai berubah gelap. Hiko Seijuro berjalan diantara pepohonan dengan botol sake ditangan kanannya. Sebelum ia menunaikan janjinya untuk mengubur mereka yang terbunuh tadi malam, terlebih dahulu ia harus menemukan lahan yang cocok, dan seingatnya ada tanah kosong yang membentang ditengah hutan disekitar tempat pembantaian kemarin.

    Namun, betapa terkejutnya ia melihat pemandangan yang kini membentang didepan matanya. Belasan pasak kayu tertancap ditanah kosong, dan tepat ditengah belasan pasak kayu tersebut, berdiri seorang anak kecil berambut merah yang sedang tertunduk menatap tiga bongkah batu didepan tubuh pendeknya.



    Anak kecil itu..

    “Semua kuburan ini, untuk keluargamu dan juga para bandit itu?”, ujar Seijuro sambil berjalan mendekati anak berambut merah itu.

    “Mereka rombongan pedagang budak, bukan keluargaku. Aku dijual kepada mereka, setelah kedua orang tuaku meninggal karena kolera,” anak itu berkata tanpa menoleh pada lawan bicaranya.

    “Kenapa kau repot-repot melakukan semua ini, bocah. Bahkan untuk para bandit yang mencoba membunuhmu kemarin.”

    “Setelah mereka mati, tidak ada yang namanya bandit atau penjual budak. Hanya mayat tak bernyawa,” jawabnya dengan mata masih terpaku pada ketiga bongkah batu yang masing-masing ukurannya sedikit lebih besar dari kepala manusia itu.

    “Tiga bongkah batu yang sejak tadi kau tatap, untuk apa itu?”

    “Kasumi-san, Akane-san, Shizame-san. Mereka sama sepertiku, akan dijual untuk dijadikan budak,” anak itu berkata sambil menoleh pada masing-masing batu didepannya. “Aku belum lama mengenal mereka, tapi, kemarin malam mereka berusaha melindungiku.. mereka bilang, ‘tolong lepaskan anak itu’ tanpa mempedulikan nyawa mereka sendiri...”

    Anak berambut merah itu terdiam sejenak, kemudian melanjutkan perkataannya.

    “Aku ingin membuat kuburan tersendiri untuk mereka, karena itu aku menggunakan batu, dan meletakkannya tepat ditengah yang lain.”

    Hiko Seijuro hanya bisa terdiam mendengarnya. Pria besar berjubah putih itu pun melangkah kedepan, sejajar dengan anak rambut merah itu, kemudian membuka tutup sake miliknya, dan menyiramkan semua isinya pada ketiga bongkah batu itu.

    “Sayang sekali jika mereka harus pergi ke-surga tanpa sempat merasakan sake yang enak,” kata Seijuro sambil ikut menatap ketiga bongkah batu tersebut.

    “T-Terimakasih,” kata anak kecil itu sambil menoleh para pria besar disampingnya.

    Seijuro pun memperhatikan sejenak anak berambut merah disampingnya. Terdapat garis hitam disepanjang pipinya, ia pasti menangis semalaman kemarin. Lalu, lumpur yang menodai sekujur tubuhnya, juga tangan dipenuhi luka dan lecet itu, bukti bahwa memang dirinya lah yang mengubur belasan mayat tersebut di tanah lapang ini.

    Terlintas kembali bulan merah yang kemarin bersinar ditengah langit malam tak berawan.

    Bulan merah, selalu menjadi pertanda suatu hal yang besar.

    Hiko seijuro memejamkan matanya sesaat, kemudian mendesah perlahan.

    “Bocah, aku percaya takdir lah yang mempertemukan kita berdua,” Seijuro berkata sambil menatap lurus mata bocah berambut merah itu. “Namaku Hiko Seijuro.”

    “Hiko.. Seijuro?”

    Mengangguk singkat, Seijuro melanjutkan, “Kau sudah dipercayakan oleh tiga gadis ini untuk hidup demi diri mereka juga. Tangan kecilmu mungkin sudah mengingat betapa berat raga mereka, tapi setelah ini, kau akan mengemban beban yang jauh lebih berat dari itu. Beban jiwa yang mereka wariskan akan terus hidup dalam dirimu selamanya.”

    “Beban jiwa?” tampak tidak begitu mengerti, anak berambut merah itu hanya bisa mengulang kata-kata dari Seijuro.

    “Bocah, ikutlah denganku. Akan kulatih kau menjadi pendekar yang kuat. Cukup kuat untuk bisa terus hidup sambil mengemban beban jiwa ketiga gadis itu, sekaligus untuk melindungi mereka yang kau cintai,” Seijuro membiarkan jeda beberapa detik untuk membiarkan kata-katanya diresapi oleh anak disampingnya, kemudian melangkah menjauh.

    Tidak sanggup menjawab, anak berambut merah itu hanya bisa menatap punggung Hiko Seijuro dengan mata membuka.

    Teruslah hidup.. Shinta!

    Dapat terdengar dengan jelas suara itu dalam benaknya. Harapan mereka, yang tidak bisa melanjutkan hidup, namun mempercayakannya pada dirinya.

    Membulatkan tekad, Shinta kemudian berlari mengejar sosok Hiko Seijuro dan melangkah disampingnya.

    Menyadari kehadiran bocah berambut merah disampingnya, Seijuro tersenyum singkat.

    “Katakan bocah.. siapa namamu?”

    “Shinta..”

    “Shinta.. itu bukan nama yang pantas untuk seorang samurai..” Seijuro berhenti berjalan, kemudian menatap wajah murid barunya.

    “Mulai hari ini, namamu adalah-“




    Spoiler untuk Chapter 1 - The Birth of Hitokiri :
    JEPANG, 1864 Februari

    “Kiyosato, aku sudah dengar berita tentangmu. Akhirnya kau akan menikah dengan teman masa kecilmu itu, kan?”, kata seorang pria tua yang sedang berjalan bersama kedua pengawalnya di jalanan malam kota Kyoto.

    Seorang pengawal bernama Kiyosato, yang sedang berjalan didepan pria tua itu, sambil memegang lentera untuk menerangi suasana malam Kyoto yang gelap pun menjawab dengan agak tersipu.

    “Y-yah, begitulah.”

    “Berhasil menikah dengan cinta masa kecil, dan kudengar dia juga sangat cantik. Kau terlalu beruntung, Kiyosato.”, ujar pria dengan rambut dipenuhi uban itu, sambil meninju pelan punggung pemuda yang juga merupakan pengawal pribadinya.

    “Terimakasih.. meski, aku agak merasa tidak enak juga. Saat semua orang di negara ini sedang menderita, aku justru..”

    “Bicara apa kau bodoh, sekacau apapun keadaan negara saat ini, bukan alasan untuk seorang pria menemukan kebahagiaan dalam hidupnya. Kau harusnya berterimakasih.”

    “Anda benar.. karena itulah, aku berjanji akan terus berjuang sampai era baru terwujud. Dengan begitu, aku bisa dengan sepenuh hati hidup bahagia bersamanya.”

    “Itu baru semangat, hahaha..”, Orang tua itu tertawa lepas sambil menepuk pundak Kiyosato, “Teruslah hidup dan raih kebahagianmu Kiyosato. Pemuda sepertimu lah yang dibutuhkan era baru dimasa depan.”

    “Shigekura Jubei..”

    Suara dari seorang pemuda asing yang terdengar bagai pedang es di kegelapan malam, memecah kehangatan obrolan mereka. Dengan sebelah tangan terpaku pada sarung pedang, Pria tua yang dipanggil Shigekura Jubei beserta dua orang pengawalnya menoleh pada suara asing tersebut.

    Seorang pemuda diumur belasan, dengan rambut merah panjang diikat kebelakang berdiri diantara sisi gelap jalanan kota Kyoto. Pemuda itu mengenakan hakama berwarna biru, dengan dua bilah pedang yang tergantung diantara obi-nya.

    “Siapa kau!”

    Pengawal berbadan besar yang sejak tadi berjalan dibelakang, kini melangkah maju.

    “Kau akan mati sebentar lagi, pertanyaan itu tidak penting untukmu.”, pemuda itu menjawab datar.

    “K-Kurang ajaarrr!!”

    Pengawal berbadan besar menyerbu maju sambil menarik keluar katananya. Namun dalam sekejap mata, pemuda didepannya sudah menghilang dari pandangan.

    “ATAS!!”

    Kiyosato berteriak memperingatkan, namun sudah terlambat bagi pengawal berbadan besar itu.

    “Hiten Mitsurugi-Ryuu - Ryutsuisen . Zan”

    Bagai batu meteor yang jatuh vertikal dari angkasa, pemuda itu mendaratkan katananya tepat diatas kepala si pengawal berbadan besar. Bilah pedangnya menembus dari bagian atas kepala, sampai dagu sasaran malangnya. Pengawal itu pun jatuh seketika dengan kondisi wajah hampir terbelah dua.

    Sementara sang pemuda berambut merah, tanpa memberikan waktu untuk para penyaksi jurusnya tenggelam dalam keterkejutan, tanpa ampun menerjang dengan kecepatan yang mengerikan.

    “Pergi dari sini Kiyosato, kau tidak boleh mati sekarang,” Shigekura Jubei menarik keluar katana miliknya untuk menghadapi pemuda berambut merah yang baru saja membunuh salah seorang pengawalnya.

    “Shigekura-san!!”, Kiyosato berteriak histeris. Tidak pernah terbayangkan olehnya, orang yang seharusnya ia kawal, justru menyuruhnya pergi menyelamatkan diri.

    Namun hal itu sia-sia didepan pemuda gila ini. Gerakannya terlalu cepat, bahkan matanya kesulitan mengikuti. Hanya dalam satu tarikan nafas, wajah Shigekura Jubei sudah terbelah dua.

    Pemuda berambut merah itu pun menatap Kiyosato, dengan tatapan sama yang ia perlihatkan ketika berdiri disudut jalan gelap tadi. Ekspresinya bahkan tidak berubah setelah membunuh dua manusia.

    "Menyerahlah," kata pemuda itu sambil menghunus pedangnya kearah Kiyosato.

    Hanya kata sederhana seperti itu, namun Kiyosato seperti baru saja terserang gelombang intimidasi teramat pekat. Kakinya sontak bergetar, nafasnya pun terasa berat. Ia tahu kemampuan pedangnya tidak akan mampu mengimbangi pemuda tersebut, dan tidak diragukan dirinya akan mati sebentar lagi.

    Tidak! aku tidak boleh mati.. aku tidak boleh mati!

    Sambil menyemangati diri dari dalam hati, Kiyosato memperbaiki nafas dan kuda-kudanya.

    Mengetahui lawannya tidak memiliki niat untuk menyerah, pemuda berambut merah itu menerjang maju tanpa mengurangi sedikitpun kecepatannya. Refleks, Kiyosato menangkis sabetan katana dari pemuda berambut merah dengan sempurna, kemudian menyelinap maju sedetik setelah benturan.

    “Aku tidak boleh mati sekarang!!”

    Kini Kiyosato yang menerjang maju, tanpa mengetahui kalau itulah yang sejak tadi ditunggu oleh sang pemuda berambut merah.

    “Hiten Mitsurugi-Ryuu - Ryukansen”

    Dengan pivot kaki kiri, pemuda itu berputar maju menghindari lawan yang menyerang lurus kearahnya. Dalam momentum tersebut, sang pemuda memanfaatkan gaya sentrifugal dan menebas punggung Kiyosato yang terbuka lebar.

    “Uaakkhh!!”

    Terlalu cepat.. Kiyosato bahkan tidak mengerti apa yang baru saja menyerang punggungnya.

    Pemuda itu menghilang, lalu ia merasakan angin topan melewati sisi kanan tubuhnya, dan tiba-tiba saja punggungnya sudah tertebas. Kini ia jatuh mencium tanah. Mayat Shigekura Jubei menjadi pemandangan pertamanya ketika ia terjatuh, bertanya-tanya apakah nasibnya akan sama seperti orang tua itu sebentar lagi.

    Belum.. aku belum boleh mati!

    Dengan bertumpu pada katananya, Kiyosato berdiri perlahan. Kembali mengatur nafas dan kuda-kudanya, ia mengangkat bilah pedangnya, lalu menusuk maju sambil berteriak lantang.

    “AKU MENOLAK UNTUK MATI!!!”

    Menjawab tantangan tersebut, sang pemuda berlari maju menghampiri lawan yang sudah diambang kematian karena jurusnya. Pedang mereka sempat bertabrakan selama sepersekian detik, namun dengan keluwesan yang menakjubkan, katana pemuda berambut merah itu sukses membelah pundak lawannya.

    Duel sekejap mereka usai, dengan satu pihak terjatuh ke-tanah dengan kondisi pundak memuntahkan darah.

    “!”

    Perih.. rasa perih yang asing terasa menyengat. Perlahan pemuda itu pun menghampiri sumber rasa perih itu. Untuk pertama kalinya malam ini, ekspresi pemuda itu berubah. Tanpa ia sadari, sebuah goresan berhasil ditorehkan pada sisi kiri wajahnya.

    “Be.. lum..”

    Mendengar suara lawannya yang ternyata masih hidup, pemuda berambut merah itu secepat kilat menoleh kebelakang. Tidak hanya berhasil menorehkan luka pada pipi kirinya, orang itu bahkan berhasil bertahan hidup dari adu pedang tadi.

    “Aku.. akhirnya akan menikahi dia.. Aku.. akhirnya akan membahagiakan dia.. Aku.. Aku tidak boleh mati sekarang..”



    Tanpa memberikan waktu lebih lanjut, pemuda berambut merah itu menancapkan bilah pedangnya menembus jantung lawan yang sudah terkapar ditanah, kemudian memutar sembilan puluh derajat posisi pedangnya untuk memastikan jantung korban benar-benar hancur saat itu juga.


    “Himura, kau sudah selesai?”

    Sebuah suara memanggil namanya dari balik persimpangan. Suara itu berasal dari Iizuka, pengawas yang bertugas memeriksa korban, serta pengantar informasi terpercaya klan Chosuu, Ishin Shishi.

    “Ya,” Himura menjawab dingin, sambil membersihkan noda darah bekas pembunuhan barusan dari pedangnya.

    Pria berumur awal tiga puluhan itu pun keluar dari tempat persembunyiannya, untuk melihat keadaan.

    “O-oi, pipimu!” kata Iizuka setengah berteriak.

    “Tidak masalah,” saut Himura tidak peduli.

    “Kau ini.. masih saja bertingkah dingin seperti itu. Ah, tapi aku tidak menyangka ada samurai yang berhasil melukai wajahmu. Kemampuannya pasti sangat hebat,” Iizuka berjalan sambil mendekati mayat Kiyosato.

    “Tidak juga..” Himura menyarungkan kembali pedangnya, terdiam sejenak kemudian berkata, “Hanya.. tekadnya untuk terus hidup..”

    Menempatkan kembali pedang diantara obinya, Himura berjalan menjauh tanpa berkata lebih lanjut.

    “Tekad untuk hidup, huh..” Iizuka bergumam, sambil memeriksa kondisi ketiga mayat yang tergeletak bergelinang darah dijalanan malam. “Meski begitu kau bisa menebas mereka tanpa ragu sedikitpun. Benar-benar.. seorang Hitokiri.”



    Dibawah rezim Tokugawa, Jepang bisa dibilang terisolasi dari seluruh Negara di dunia. Namun, semuanya berubah ketika pada 1853, sepasukan kapal perang dari Amerika mengunjungi tanah matahari tersebut.

    Kekuatan yang dimiliki oleh berton-ton kapal perang, melahirkan keraguan dan rasa takut pada kenyataan bahwa kekuatan yang dimiliki Jepang saat itu, tidak ada apa-apanya dihadapan negara asing.

    Di picu oleh rasa takut tersebut, seluruh samurai di jepang terbagi menjadi dua kekuatan besar. Mereka yang memihak Bakufu, yang merupakan pemerintah di jepang saat itu. Dan juga, mereka yang memihak pada Ishin Shisi (Imperialis) yang menuntut perubahan pada pemerintahan.

    Demi mencapai era baru, selama 15 tahun kedua faksi itu terus bertikai dalam kekacauan yang perlahan menyelimuti Jepang dan seluruh penduduknya dalam kegelapan.

    Peristiwa bersejarah itu dikenal sebagai, ‘Bakumatsu’.




    ===========================
    Chapter 1 : The Birth of Hitokiri
    ===========================


    “Shishou!”

    “Tidak boleh!” tegas Seijuro pada anak berambut merah di belakangnya.

    “Tapi, sementara kita berdebat seperti sekarang. Ada ratusan orang yang menderita, bahkan terbunuh diluar sana!”

    Bahkan setelah mendengar semua perkataan itu dari muridnya, Seijuro tetap tidak bergeming.

    “Shishou!”

    “Berisik! Kau tidak perlu memikirkan masalah yang terjadi di luar sana. Yang harus kau lakukan sekarang adalah menyelesaikan latihanmu!”

    “Tapi, Shishou.. kau tidak mengerti. Jika kita tidak turun tangan sekarang, penderitaan mereka hanya akan terus bertambah.”

    Menghela nafas berat, Seijuro mulai menaikkan suaranya.

    “Yang sebenarnya tidak mengerti itu kau sendiri! Hiten mitsurugi, tidak diragukan lagi adalah aliran pedang terkuat. Menurutmu apa yang sebenarnya kau lakukan, jika kau menggunakannya di tengah kekacauan ini?”

    “Justru karena itu, kita harus meminjamkan kekuatan..”

    “Dasar murid bodoh!” Seijuro membentak. “Jika kau ingin bertempur, mau tidak mau kau harus bergabung pada salah satu pihak. Aku tidak melatihmu untuk menodai mitsurugi seperti itu.”

    “Aku tidak peduli, jika kekuatanku bisa digunakan untuk melahirkan era baru. Lebih baik daripada harus terus diam disini! Untuk melindungi mereka yang menderita, bukankah itu tujuan dari Hiten Mitsurugi?”, pemuda berambut merah bersikeras.

    Untuk pertama kalinya sejak perdebatan mereka, Seijuro berbalik untuk menatap wajah murid didepannya.

    “Ilmu pedang diciptakan untuk membunuh, tidak peduli bagaimanapun kau menghiasnya dengan kata-kata cantik, itu semua tidak akan berubah.”

    Pemuda berambut merah terbelalak mendengar pernyataan tak terduga itu.

    “Jika kau bersikeras ingin terjun dalam kekacuan ini, kau hanya akan berakhir menjadi pembunuh dibawah bimbingan orang yang bergerak atas dasar ideologinya sendiri,” Seijuro melanjutkan.

    Setiap kata Seijuro terasa bagai hujan es yang membekukan jiwa. Tubuh pemuda itu bergetar, ia tahu perkataan Shishou-nya tidak salah sama sekali, namun..

    “Aku sudah bertekad, untuk melindungi mereka yang menderita dengan tanganku sendiri. Untuk mewiujudkannya, aku tidak bisa terus diam disini.”

    Pemuda itu berkata tanpa setitik-pun keraguan di matanya.

    “Aku.. sudah membuang waktuku selama ini,” Seijuro berkata perlahan, kemudian melangkah pergi.

    “Shishou!”

    “Pergilah, lakukan sesukamu. Aku tidak peduli lagi,” kata Seijuro tanpa memandang pemuda itu.



    Seijuro tahu betul, sejak hari pertama ia mengajarkannya ilmu pedang. Satu-satunya yang diinginkan oleh hati pemuda itu, semata-mata adalah untuk menjadi lebih kuat, dan melindungi orang lain. Karena itulah Seijuro percaya, pemuda itu pasti bisa menjadi samurai yang lebih tangguh dari siapapun.

    Pemuda itu begitu murni.

    Namun karena kemurniannya lah, pemuda itu tidak punya pilihan selain mengikuti kata hatinya. Tanpa tahu, jalan berdarah yang sudah menanti dirinya di luar sana.




    Spoiler untuk Chapter 2 - A Meeting in the Rain of Blood :
    Bau darahnya.. tidak hilang.

    Berkali-kali himura membasuh kedua tangannya dengan air, namun bau darah tetap saja tercium olehnya.

    “Himura, disini kau rupanya,” Iizuka menghampiri. “Oi.. pipimu berdarah lagi ya.”

    “Ah..”

    Meletakkan jemarinya ke pipi kiri tempat luka itu bersemayam, ia memang merasakan darah mengalir perlahan. Apa bau darah yang tercium sejak tadi berasal dari sini?

    Luka gores di pipinya ditorehkan oleh samurai pengawal bernama Kiyosato, hampir setengah tahun yang lalu. Namun jangankan hilang, luka itu bahkan beberapa kali terbuka ketika ia sendiri tidak menyadarinya.

    “Sebaiknya kau cepat membersihkan wajahmu, Katsura-sensei memanggil.”

    Katsura-sensei, atau lebih tepatnya Katsura Kogoro adalah ketua klan Choshu, yang merupakan salah satu dari tiga klan besar pembentuk Ishin Shishi. Meski usianya baru menginjak awal tiga puluh, namun karismanya bisa dibilang menududuki peringkat teratas dari seluruh jendral, maupun pemimpin Ishin Shishi lainnya.

    Mengangguk singkat, Himura pun membasuh darah di pipinya.

    “... Bau darahnya tetap tidak hilang.”

    “Huh, kau bilang apa tadi?”

    “Tidak apa-apa..” Himura berkata pelan sambil mengikuti Iizuka dari belakang.

    ***

    “Ooohh! Ternyata ada juga samurai yang berhasil melukai mu, Himura-kun.”

    Sebuah suara yang terdengar akrab memanggil namanya. Satu-satunya orang yang bisa memanggil dirinya sesantai itu, tentu saja hanyalah Katsura Kogoro. Wajahnya tampak cerah, kontras dengan kegelapan malam yang mengelilingi mereka saat ini.

    “Anda punya tugas untukku?” tanya Himura tanpa mempedulikan perkataan pimpinannya.

    “Hmm.. sebenarnya ini bukan hal yang penting sampai harus dibilang tugas.”

    “Kalau begitu, tolong jangan memanggilku kalau bukan untuk hal penting,” saut Himura dingin.

    “Oi!!” Iizuka memotong.

    Katsura menaikkan telapak tangannya sambil tersenyum pada Iizuka. Semacam isyarat untuk mengekspresikan, ‘tidak apa-apa’.

    “Aku memanggilmu karena ingin memberitahu dua hal. Kuharap kau mau mendengarnya, Himura-kun.” ujar Katsura.

    Memejamkan mata sejenak sambil menghembuskan nafas ringan, Himura balik menatap Katsura tanpa berkata apa-apa.

    Menganggap hal itu sebagai isyarat ‘setuju’, Katsura pun memulai kalimatnya.

    “’Serigala Mibu’, mulai bergerak.”

    “Shinsen Gumi..” Himura segera berkata sambil memicingkan matanya.

    Shinsen Gumi, pasukan polisi khusus yang ditugaskan langsung oleh pemerintah untuk menjaga keamanan Kyoto. Meski baru dibentuk dua tahun yang lalu, dan sebagian besar anggotanya hanya berupa ronin dari berbagai penjuru daerah, namun tidak diragukan kalau di jepang saat ini mereka lah pasukan terkuat yang dimiliki oleh Bakufu.

    Mengangguk singkat, Katsura melanjutkan, “Kau sudah membunuh ratusan target selama setahun belakangan ini. Tidak aneh jika Bakufu mulai mengendus keberadaan Hitokiri sepertimu, tapi..”

    “Tapi, meski kita belum memulai pertikaian dengan mereka, aku akan mulai lebih berhati-hati mulai hari ini. Terimakasih atas peringatannya, Katsura-san,” Himura memotong.

    “Tidak-tidak, kau tidak perlu khawatir sama sekali. Identitasmu amat sangat dirahasiakan disini, bahkan kau bisa berjalan dengan bebas di tengah kota Kyoto,” ujar Katsura, sambil tersenyum lebar dan menepuk pundak pemuda berambut merah didepannya.

    “Serigala bisa mengendus bau darah dengan baik.. aku akan lebih berhati-hati mulai sekarang,” kata Himura, seolah ia tidak mendengar perkataan pimpinannya.

    Tampak menghayati pernyataan Himura, Katsura menghela nafas ringan kemudian menarik kembali tangannya dari pundak pemuda berambut merah itu.

    “Baiklah, hal kedua yang ingin kuberitahukan padamu, nanti malam Ishin-Shishi akan mengadakan pertemuan rahasia untuk mendiskusikan rencana kita selanjutnya. Miyabe-san dan Toshiwara-san akan datang juga.”

    “Ohhh, kesempatan bagus untukmu Himura. Tiga orang pemimpin Ishin-Shisi akan berkumpul malam ini, namamu mungkin bisa tercatat dalam sejarah.” Kata Iizuka sambil dengan bersemangat menepuk punggung Himura.

    “Kau membutuhkanku untuk mengawal?” tanya Himura tanpa mempedulikan Iizuka.

    “Tidak, menurutku akan menyenangkan kalau kau bergabung dan ikut minum bersamaku. Tidak ada orang atau serigala yang akan menyadari keberadaanmu disana, bagaimana?”

    “Maaf.. tapi aku harus menolak,” Himura menyaut dingin.

    “Begitu..” Katsura memejamkan matanya perlahan sambil tersenyum. “Toh, sejak awal aku sudah menebak kau akan menolak.”

    “Eh? eh?” Iizuka hanya bisa terdiam melongo, sambil melihat kearah mereka berdua bergantian.

    “Terimakasih atas keramahan anda, tapi akan lebih mudah untuk Hitokiri sepertiku bergerak sejauh mungkin dalam bayangan.” Himura berkata sambil berbalik pergi.


    Menunggu sampai pemuda berambut merah itu hilang dari pandangan, Katsura kembali membuka mulutnya.

    “Iizuka, bagaimana pekerjaan Himura sejak ia mendapat luka itu. Apa kemampuannya menurun?”

    Iizuka menggeleng pelan.

    “Sebaliknya, kemampuan pedangnya seperti meningkat drastis. Ia bahkan tidak pernah membiarkan setetes pun darah target menodai hakama-nya.”

    Mendengar laporan Iizuka, Katsura melipat tangan sambil memejamkan tangannya. Pemuda itu bertambah kuat, dengan tuntutan harus bermandikan darah korbannya. Sejenius apapun seorang Hitokiri, fakta bahwa pemuda itu tidak lebih dari anak laki-laki berumur 15 tahun tidaklah berubah. Katsura tahu betul bahwa sejak pertama kali ia membawa pemuda ini kedalam klan Chosu, ia sudah menghancurkan jiwanya. Pandangan mata tak berdosa yang dulu dimilikinya, selera humor, emosi, semuanya hilang bersama ratusan nyawa yang dibantainya.

    Satu hal yang tak akan pernah berubah adalah, tekadnya saat itu. Pemuda itu tidak peduli dengan sejarah, atau kehormatan. Namun tekad untuk mewujudkan era baru, perdamaian.. lebih dari siapapun di negara ini. Hanya dengan berpegang pada hal itu, ia dapat mengayunkan pedangnya meski harus terjatuh dalam kegelapan.

    “Maafkan aku, Himura-kun.”

    “Huh, anda mengatakan sesuatu, Katsura-sensei?” tanya Iizuka.

    “Tidak.. tidak apa-apa.”

    ***

    Matahari sudah hampir tenggelam, mewarnai langit kota Kyoto yang masih di ramaikan oleh para pejalan kaki dengan kesibukan masing-masing.

    Himura berjalan ditengah keramaian itu sambil sesekali menghindari beberapa kerumunan, dan anak-anak yang berlarian di jalan. Meski dirinya adalah Hitokiri yang sudah membantai ratusan nyawa, tidak ada satu pun orang di tengah keramaian ini yang mengetahui identitasnya. Namun ia tetap harus menjaga hubungannya dengan orang lain sampai batas seminim mungkin. Ia tidak pernah menyaut saat diajak bicara, tidak pernah menyebut nama, bahkan hampir tidak pernah bersuara. Begitu juga ketika ia pergi untuk minum di sebuah restoran kecil yang terletak di tengah kota Kyoto. Ia lebih memilih duduk disudut ruang sendirian, sambil dengan tenang menikmati sake usai melakukan tugas pembunuhannya.

    Mendadak, merasakan arus manusia yang mulai terbelah, Himura menyesuaikan diri untuk tenggelam perlahan dalam kerumunan. Penyebab terbelahnya keramaian yang tadi memenuhi jalan adalah, kemunculan sekolompok samurai berseragam biru itu.

    Shinsen Gumi.

    Dengan masing-masing mereka menunjukkan ekpresi garang, seakan ingin menebas setiap orang yang muncul didepannya. Berjalan dengan formasi yang jelas-jelas menunjukkan pangkat mereka, sekedar untuk pamer atau intimidasi? Himura tidak bisa memilih.

    Memandang satu persatu barisan depan anggota Shinsen Gumi dari balik lautan manusia, mungkin hanya perasaan namun ia merasa orang itu juga balik memandangnya. Pria yang tingginya dengan mudah melampau sebagian besar anggota Shinsen Gumi itu memiliki tatapan mata tidak beda dengan serigala pembunuh.

    “...”

    “Ada masalah, Saito-san?” kata seorang pemuda berseragam biru, yang berjalan disamping pria bernama Saito itu.

    “Tidak apa-apa. Aku hanya, mencium bau darah.”

    “Ahahahaha.. kurasa kau sudah terlalu banyak membunuh akhir-akhir ini, Saito-san,” saut pemuda disampingnya sambil tertawa.

    “Okita-kun.. kau harus bercemin terlebih dahulu sebelum mengatakan hal itu padaku.”

    Seperti rombongan binatang buas yang dengan tenang berjalan ditengah manusia, Shinsen Gumi membelah keramaian kota Kyoto dalam peringatannya, bahwa mereka sudah kembali dari dalam kabut desa mibu.

    ***

    “Lagi-lagi, rasa ini..” guman Himura setelah meneguk setengah isi dari cawan sake ditangannya.

    Sudah setengah tahun sejak ia mulai minum, waktu yang sama ketika ia mendapat luka goresan di pipinya. Ia memang tidak pernah menyukai rasa sake, dan hanya minum untuk sekedar menghabiskan waktu dalam ketenangan malam. Namun belakangan ini, yang bisa ia rasakan dimulutnya hanyalah darah.

    Seijuro mengajarkannya ilmu pedang, namun tidak pernah membiarkannya minum karena ia masih dibawah umur saat itu. Hampir setiap hari menemani Seijuro minum di tepi sungai pada malam hari.

    Pohon sakura pada musim semi, langit berbintang di musim panas, bulan purnama di musim gugur, salju di musim dingin, tidak ada alasan untuk tidak menikmati sake sepanjang tahun.

    Jika Sake terasa buruk, pasti ada yang salah denganmu.


    Ia ingat Seijuro pernah mengatakan hal itu beberapa tahun yang lalu.

    “Shisou... mungkin, memang ada yang salah denganku saat ini.”





    ===========================
    Chapter 2 : A Meeting in the Rain of Blood
    ===========================


    “Hoy, perempuan. Ayo temani kami minum!”

    Seorang pria besar berkata dari belakang, gelagatnya terdengar kasar. Meski Himura duduk membelakangi, mudah baginya mengetahui fitur tubuh seseorang hanya dari suaranya.

    “Akan lebih menyenangkan minum bersama kami dibandingkan duduk sendirian di sudut,” seorang lagi menambahkan.

    Namun tidak ada suara balasan dari si perempuan. Tampaknya dia tidak ingin berurusan dengan mereka.

    “Oi kau dengar tidak?” pria yang besar kini membentak sambil menapakkan kakinya keatas meja yang rendah dengan kasar.

    “Kami berjuang setiap hari mempertaruhkan nyawa memperjuangkan era baru untuk rakyat biasa, menemani kami minum itu hal terkecil yang bisa kau lakukan untuk membalas budi!” temannya yang lebih kurus kembali berbicara.

    Oke, cukup. Himura bergumam dalam hati.

    Sake terasa tidak enak dimulutnya, dan terimakasih karena dua orang ***** ini, suasana hatinya jadi tambah buruk. Tadinya Himura ingin menunggu sampai ada orang lain yang menghentikan mereka berdua, sayang sekali kesabarannya bisa terlanjur kadaluarsa. Apalagi semua kegaduhan ini hanya berjarak sekali balikan badan darinya.

    “Kalian berisik,” sembur Himura dingin.

    Kedua pria itu pun terdiam. Kini mereka berdua beralih ke meja Himura.

    “Hoi bocah, kau sudah bosan hidup hah?” tantang si pria besar.

    “Tadi kalian bilang, kalian samurai dari Ishin Shishi?” Himura berkata sambil berdiri perlahan. “Dari klan mana?”

    “K-klan? uhh, itu.. kami dari..” tampak kesulitan, pria besar menoleh kearah rekannya.

    “Aizu! Kami dari klan Aizu, ada masalah?” rekannya yang kurus menjawab dengan percaya diri.

    “Ya benar, kami dari Aizu, ishin Shishi. Kami sangat terkenal kau tahu, kau bisa saja terbunuh disini kalau berani menantang kami,” ujar si pria besar.

    “Aizu itu memihak Bakufu, *****!” seorang pria yang duduk di kejauhan berteriak.

    “Hoi, pintar sedikit kalau mau menipu orang, bodoh!” seorang lagi mengikuti.

    “Benar, benar! Pulang sana kepinggiran dasar tidak berotak!”

    Satu demi satu orang mulai menyoraki mereka ‘penipu’, atau ‘pulang sana’. Mereka pasti sudah menyadari kalau kedua samurai ini cuma ronin yang datang dari pedalaman, tanpa mengetahui apa pun tentang keadaan di Kyoto.

    “Kyoto bukan tempat untuk ****** pengais sampah seperti kalian,” Himura berkata sambil memandang kedua pria didepannya dengan tatapan setajam pisau. “Pergi.”

    “U-uhh..” tidak sanggup membalas lagi, pria besar itu refleks melangkah mundur.

    Tentu saja melihat goyahnya tekad mereka, seruan ejekan untuk dari ruangan ini pun semakin buas. Menerima terlalu banyak tekanan, kedua pria itu tidak punya pilihan selain angkat kaki.

    “Anu..”

    Perempuan yang sejak tadi keberadaannya seperti tidak ia hiraukan, berbicara padanya.

    “Aku.. tidak tahu harus berbuat apa tadi...”

    “Tidak masalah,” jawab Himura dingin tanpa membiarkan wanita itu menyelesaikan kalimatnya, kemudian beranjak pergi.

    ***

    Menyedihkan.. ejek Himura pada dirinya sendiri.

    Orang-orang seperti tadi biasanya tidak akan mengundang perhantiannya sama sekali.

    Mungkin karena terlalu kelelahan, emosinya naik? Dipikir lagi, ia memang merasa akhir-akhir ini pekerjaan untuknya bertambah banyak hampir dua kali lipat. Bukannya mengeluh karena tiba-tiba dibebankan jumlah target lebih besar dari biasanya, walau ia memang tidak pernah menikmati pekerjaannya— namun jika berpikir dengan peningkatan seperti ini era baru bisa lebih cepat terwujud, hal itu tidak masalah sama sekali.

    “!”

    Wakizashi.. itulah jenis pedang yang saat ini sedang menerjang lurus kearah Himura. Pedang pendek yang seakan tidak memiliki tuan itu mengais udara kosong, tepat dimana Himura berdiri satu detik yang lalu. Gagal mengenai sasarannya, wakizashi yang ternyata dihubungkan dengan rantai yang terkamuflase kegelapan malam itu ditarik kembali pada titik dimana benda itu diluncurkan.

    “Shinsen Gumi? Bukan.. kau bukan samurai sungguhan,” bergumam pelan, Himura menatap lurus pada bayangan yang merupakan tuan dari wakizashi barusan. “Pembunuh yang bekerja dari balik bayangan, seorang Hitokiri sama seperti ku.”

    Tanpa menghiraukan pernyataan pemuda berambut merah didepannya, sosok yang hampir seluruh tubuhnya diselimuti kostum hitam itu bersiap pada kuda-kudanya. Kedua tangannya masing-masing menggenggam sebilah Wakizashi yang dihubungkan dengan rantai.

    “Maaf, aku harus mengambil nyawamu malam ini,” kata pembunuh bayangan itu.

    Sedetik kemudian ia kembali melempar Wakizashi ditangan kanannya bagai anak panah yang membelah udara malam. Tentu saja dibanding serangan tiba-tiba tadi, kali ini Himura jauh lebih siap. Secepat kilat menarik katana dari obi-nya, Himura menebas rantai wakizashi yang meluncur dengan lintasan lurus sempurna itu.

    Seakan mampu membaca gerakan Himura, pembunuh bayangan yang berlari dibelakang lintasan serangannya, langsung membelokkan rantai ditangannya untuk menyesuaikan tebasan Himura. Alhasil, katana himura gagal membelah rantai, dengan wakizashi tersebut menancap pada tanah tidak jauh dari kaki Himura.

    Sementara keadaan pemuda berambut merah yang hilang keseimbangan sesaat karena gagal memotong target, dimanfaatkan dengan sempurna oleh pembunuh bayangan yang berlari lurus kearahnya untuk memperkecil jarak. Kini mereka berhadapan langsung. Kaki kanan Himura menapak keras ditanah untuk memperbaiki keseimbangan tubuhnya, sekaligus menjadi poros kekuatan untuk gerakan menusuk. Namun serangannya meleset, dengan lawannya hilang dari lintasan, digantikan rantai yang tiba-tiba menyelimuti dirinya dari..

    Atas!

    Pembunuh bayangan itu berguling diudara sambil memainkan rantai yang melilit udara sekitar tubuh pemuda merah dibawahnya. Seperti ular besi yang mampu berpikir sendiri, rantai hitam itu kini memerangkap tubuh Himura sebelum ia sempat menebasnya.

    Dia cepat.. himura berkata dalam hati, sambil menatap pembunuh bayangan yang kini berjongkok diatas dinding pembatas jalan.

    Ini pertama kalinya Himura berhadapan dengan orang yang mampu mengimbangi kecepatannya. Jurus dari Hiten Mitsurugi-Ryuu memanfaatkan kelincahan dan kecepatan yang jauh melebihi manusia biasa. Membayangkan bahwa orang pertama yang berhasil mengimbanginya adalah Hitokiri lain..

    “Bersiaplah,” pembunuh bayangan itu berkata sambil menerjang pada pemuda berambut merah yang sedang terikat tidak jauh dibawahnya.

    Tangan kanan yang memegang pedang sama sekali tidak bisa digerakkan, dan Himura hanya bisa menggerakan bagian bawah tangan kirinya. Namun, itu lebih dari cukup.

    Menarik wakizashi yang tertancap disamping tubuhnya dengan tangan kiri yang setengah bebas, Himura melompat keudara untuk menyambut lawannya, sambil berputar seperti angin puyuh.

    “Hiten Mitsurugi-ryuu – Ryukansen . Tsumuji”

    Duel ditengah udara. Gerakan memutar Himura berhasil menghindari tebasan pembunuh bayangan, sekaligus memberikan gaya sentrifugal untuk serangannya yang sukses membelah perut target.

    Himura mendarat ditanah, bersamaan dengan tubuh korbannya yang hampir terbelah dua. Saat itulah ia melihat sosok putih yang kontras. Sosok yang tak asing.. sosok yang seharusnya berada di restoran kecil tempatnya minum tadi... Kenapa ada disini?

    Apa konsentrasinya teralihkan begitu besar hingga ia tidak menyadari keberadaannya? Bagaimanapun, ia sudah dilihat. Keberadaan Hitokiri tidak seharusnya diketahui warga biasa. Tapi wanita ini.. wanita ini bahkan menyaksikan dua Hitokiri saling membunuh satu sama lain.

    Terjebak dalam dilema, Himura hanya bisa berdiri dibawah hujan darah yang diakibatkannya. Sambil menatap tanah, tanpa sadar kedua tangan yang masing-masing menggenggam sebuah katana dan wakizashi itu bergetar hebat.

    “Orang bilang, hujan darah turun dibawah peristiwa tragis...”

    Wanita itu berkata pelan. Wajah dan kimono yang dikenakannya ternoda oleh tetes-tetes darah yang seakan dimuntahkan langit itu sendiri.

    Begitu anggun... Begitu murni... Begitu.. cantik.. Tanpa keraguan sedikitpun, mata bagai permata hitam murni itu hanya menatap lurus tanpa ekspresi.

    Lorong sempit itu terasa seluas samudra bagi Himura. Terlalu luas, hingga pandangannya mengabur sesaat, dan seluruh tenaga untuk mengayunkan pedang seperti terhisap entah kemana. Wakizashi berlumuran darah ditangan kirinya pun terjatuh begitu saja.

    “Kau, benar-benar membuatnya turun... Hujan darah..”



    Spoiler untuk Chapter 3 - Sword Sheath :


    ===========================
    Chapter 3 : Sword Sheath
    ===========================



    Berdiri ditengah kegelapan dan embun merah darah. Sosok berkimono putih dengan selendang ungu yang melambai pelan dibawa angin malam. Menghias wajah seputih saljunya, mata bagai permata hitam yang seakan mampu menelan siapa pun kedalamnya, menatap lurus tanpa ekspresi.

    Sementara pemuda berambut merah itu hanya bisa berdiri tanpa kata.

    Hujan darah yang seakan menjadi saksi bisu pertemuan mereka, atas rantai bernama takdir yang mulai bergerak,

    Pelan.. dan pelan..






    Spoiler untuk Trivia :
    • Hitokiri (人斬) (a.k.a Manslayer), adalah pembunuh yang dikirim khusus untuk melakukan tugas-tugas pembunuhan dari balik layar.
    • Bakumatsu (幕末) (a.k.a Late Tokugawa Shogunate), merupakan periode terakhir era pemerintahan Tokugawa. Dalam periode ini, kekuatan/fraksi politik/ideologi jepang terbagi menjadi dua, yaitu fraksi Tokugawa (a.k.a Shogunate/Bakufu), dan Ishin Shishi (a.k.a Nationalist Partriost).
    • Bakufu (Shogunate Forces), Pemerintah di jepang saat itu.
    • Ishin Shishi (維新志士) (Nationalist Patriots) merupakan aktivis yang menentang rezim Tokugawa, atau bisa disebut juga anti-Shogun. Ishin Shisi terbagi menjadi beberapa klan besar seperti Satsuma, Chōshū, dan Tosa.
    • Shishou, panggilan untuk Master/Guru.
    • Ronin, samurai pengelana yang tidak memiliki majikan.
    Last edited by -Pierrot-; 24-02-13 at 10:47.

  2. Hot Ad
  3. #2
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    Horee~ si jagoan pedang~

    meskipun gue udah tau sebagian jalan ceritanya, tapi ini tetep seru buat dibaca. deskripsinya semua cukup buat gue ngebayangin scene dengan indah, berasa nonton anime. mantap!

    lanjutkan~

    FACEBOOK | TWITTER | Melon's Blog
    I am a melon - MelonMelon

  4. #3
    -Pierrot-'s Avatar
    Join Date
    Aug 2011
    Location
    CAGE
    Posts
    2,600
    Points
    15,814.97
    Thanks: 44 / 119 / 91

    Default

    Ini cuma bakal jadi miniseries doank kok

    tapi lumayan menantang juga ini nulis scene berantemnya, kalo di komik/anime kan cuma syaaattt syuutttt Jlebbb Crashhhhhh doank. Uda gitu jurusnya dia terbang2 sana-sini pula

  5. #4
    Izachan's Avatar
    Join Date
    Feb 2013
    Location
    Matsuoka Resident
    Posts
    4,900
    Points
    11.55
    Thanks: 9 / 35 / 33

    Default

    Rurouni Kenshin..

    Udah lama banget ga liat series anime yang satu ini, tapi kayanya emang enak dibaca kaya novel begini dibandingin liat dari manga ataupun animenya..

    Baru baca prorognya aja udah langsung tertarik..
    kata-katanya bikin gampang menvisualisasikan gimana keadaan pas saat itu.

    Keren deh

    btw, itu manga pas kenshin ketemu hiko pertama kali pas chapter berapa ya??
    udah lupa soalnya udah lama ga liat..

  6. #5
    -Pierrot-'s Avatar
    Join Date
    Aug 2011
    Location
    CAGE
    Posts
    2,600
    Points
    15,814.97
    Thanks: 44 / 119 / 91

    Default

    EDIT chapter 1

    ---

    Quote Originally Posted by Izachan View Post
    Rurouni Kenshin..

    Udah lama banget ga liat series anime yang satu ini, tapi kayanya emang enak dibaca kaya novel begini dibandingin liat dari manga ataupun animenya..

    Baru baca prorognya aja udah langsung tertarik..
    kata-katanya bikin gampang menvisualisasikan gimana keadaan pas saat itu.

    Keren deh

    btw, itu manga pas kenshin ketemu hiko pertama kali pas chapter berapa ya??
    udah lupa soalnya udah lama ga liat..
    Baguslah kalo keren

    Kenshin nyari Hiko kalo nggak salah di chapter 80-an.

  7. #6
    Izachan's Avatar
    Join Date
    Feb 2013
    Location
    Matsuoka Resident
    Posts
    4,900
    Points
    11.55
    Thanks: 9 / 35 / 33

    Default

    "Sword is a weapon, Kenjutsu its art of killing whatever pretty word you use, this is true nature"
    Hiko Seijirou
    ........

    no comment for chapter 1, sounds good to me ....

  8. #7
    MelonMelon's Avatar
    Join Date
    Dec 2011
    Location
    Melon's Farm
    Posts
    3,010
    Points
    27,268.78
    Thanks: 73 / 47 / 33

    Default

    oke baru baca editan chapter 1...
    yaaa... no komen~

    chapter 2 pls~~~

    FACEBOOK | TWITTER | Melon's Blog
    I am a melon - MelonMelon

  9. #8
    Izachan's Avatar
    Join Date
    Feb 2013
    Location
    Matsuoka Resident
    Posts
    4,900
    Points
    11.55
    Thanks: 9 / 35 / 33

    Default

    Yaaaahh..
    belum update ya untuk chapter 2, penasaran nih kelanjutannya.

  10. #9
    -Pierrot-'s Avatar
    Join Date
    Aug 2011
    Location
    CAGE
    Posts
    2,600
    Points
    15,814.97
    Thanks: 44 / 119 / 91

    Default

    Quote Originally Posted by MelonMelon View Post
    oke baru baca editan chapter 1...
    yaaa... no komen~

    chapter 2 pls~~~
    Quote Originally Posted by Izachan View Post
    Yaaaahh..
    belum update ya untuk chapter 2, penasaran nih kelanjutannya.
    Gua up setengah chapter 2 dah.
    BRB ke pusat kesehatan dulu, kayaknya ada yang salah sama badan gua hari ini

  11. #10
    Izachan's Avatar
    Join Date
    Feb 2013
    Location
    Matsuoka Resident
    Posts
    4,900
    Points
    11.55
    Thanks: 9 / 35 / 33

    Default

    Quote Originally Posted by -Pierrot- View Post
    Gua up setengah chapter 2 dah.
    BRB ke pusat kesehatan dulu, kayaknya ada yang salah sama badan gua hari ini
    Gws authorr...
    mudah-mudahan cepat sembuh dan bisa update lagi ceritanya..

  12. #11
    amber's Avatar
    Join Date
    Oct 2006
    Location
    earth..
    Posts
    3,212
    Points
    13,050.93
    Thanks: 81 / 52 / 47

    Default

    ini... bukannya emang ada ceritanya tentang masa lalu kenshin? kenapa dibilang fanfic?

    manga ada, anime ada, klo ini dalam bentuk tulisan gitu?
    Man, the power of MOE is frightening!



  13. #12
    -Pierrot-'s Avatar
    Join Date
    Aug 2011
    Location
    CAGE
    Posts
    2,600
    Points
    15,814.97
    Thanks: 44 / 119 / 91

    Default

    Correct, ini satu bentuk fanfic yang mengadaptasi manga/anime dalam bentuk tulisan. (tapi gua ubah & kasi tambahan sendiri)

    Tetep Fanfic karena Rurouni Kenshin bukan punya gua.

  14. #13
    Dlucario's Avatar
    Join Date
    Nov 2012
    Posts
    431
    Points
    19,914.57
    Thanks: 7 / 25 / 23

    Default

    jadi ini kebalikannya LN/Novel yang diadaptasi jadi film/komik ya

    Dibawah rezim Tokugawa, Jepang bisa dibilang terisolasi dari seluruh Negara di dunia. Namun, semuanya berubah ketika pada 1853, sepasukan kapal perang dari Amerika mengunjungi tanah matahari tersebut.

    ngebaca ini kok jadi keinget


  15. #14
    amber's Avatar
    Join Date
    Oct 2006
    Location
    earth..
    Posts
    3,212
    Points
    13,050.93
    Thanks: 81 / 52 / 47

    Default

    kayanya ada yang aneh dengan komposisi katanya...

    Dibawah rezim Tokugawa, Jepang bisa dibilang terisolasi dari seluruh Negara di dunia. Namun, semuanya berubah ketika pada 1853, sepasukan kapal perang dari Amerika mengunjungi tanah matahari tersebut.
    kayanya klo gw yang nulis seh jadi, "Namun semuanya berubah pada 1853, ketika sepasukan (...)"

    alasan gw seh 'ketika' dan 'pada' itu fungsinya ampir sama...
    yah itu style masing2 orang seh
    Man, the power of MOE is frightening!



  16. #15
    -Pierrot-'s Avatar
    Join Date
    Aug 2011
    Location
    CAGE
    Posts
    2,600
    Points
    15,814.97
    Thanks: 44 / 119 / 91

    Default

    nope itu bukan style, cuma kesalahan yang biasa dibuat pemula seperti daku.
    maklum buru2, jadi suka ada yang rancu ke gini nih :v

Page 1 of 2 12 LastLast

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •