PART 255
siasat. Biarpun penyeberangan itu amat sukar dan mereka berlima harus
membunuh banyak ular berbisa, saling bantu membantu ketika batang
bambu mereka itu menemui banyak halangan, akhirnya lima orang itu
berhasil juga melompat ke atas pulau dimana telah berdiri serombongan
orang yang ditugaskan menyambut mereka. Melihat dua puluh lebih orang
yang berdiri seperti pasukan menyambut mereka, Pat‐jiu Mo‐kai segera
tertawa bergelak dan berkata, "Ha‐ha‐ha, sungguh bagus sekali penyambutan
Rawa Bangkai terhadap utusan dari An Goan‐swe!" Seorang di antara
anggauta pasukan itu, yang berjenggot panjang dan bermata sipit, melangkah
maju dan memberi hormat. "Selamat datang di Rawa Bangkai! Karena kami
tidak tahu bahwa Cuwi yang terhormat datang berkunjung maka kami tidak
mengadakan penyambutan di luar rawa. Akan tetapi Cuwi telah
memperlihatkan kegagahan yang membuat kami tunduk dan kagum.
Sekarang, silahkan Cuwi semua ikut dengan kami menghadap Hong‐houw
(Ratu)." Diam‐diam lima orang itu terkejut juga sungguhpun mereka tahu
siapa yang dimaksudkan dengan sebutan ratu itu. Benar‐benar bekas ketua
Bu‐tong‐pai adalah seorang wanita yang angkuh dan hendak menerima
mereka sebagai seorang ratu! Akan tetapi karena mereka berada di sarang
yang berbahaya, mereka tidak banyak cakap melainkan mengikuti pasukan
itu menuju ke tengah pulau dimana terdapat bangunan‐ bangunan yang kuat
dan cukup indah. Lima orang utusan An Lu Shan itu diterima oleh The Kwat
Lin, Kiam‐mo Cai‐li Liok Shi, dan Han Bu Ong putra The Kwat Lin, di dalam
sebuah ruangan yang luas. Agak pucat muka Swi Nio dan otomatis dia
menyentuh tangan Liem Toan Ki yang membalas dengan genggaman seolah
olah hendak menghibur kegelisahan calon istrinya itu. Tentu saja Swi Nio
merasa takut karena dia sudah mengenal watak subonya yang keras dan
kejam, juga maklum betapa lihainya subonya itu. Dia tahu bahwa andai kata
subonya berniat buruk, mereka berlima tentu akan tewas semua di tempat
itu. "Ibu, itu Swi‐suci yang telah minggat datang kembali!" tiba tiba Han Bu
Ong berkata sambil menudingkan telunjuknya ke muka Swi Nio. Swi Nio
tidak dapat berdiam diri lebih lama lagi, dan dia maju menjatuhkan diri
berlutut sambil berkata, "Subo, teecu harap subo sudi mengampunkan teecu."
The Kwat Lin memandang tajam sejenak lalu menghela napas dan
menggerakkan tangannya. Dia cukup bermata tajam untuk dapat melihat
betapa empat orang laki laki yang datang bersama Swi Nio itu bersikap siap
siaga dan kalau dia menurutkan hati panas turun tangan mengganggu
muridnya itu, tentu empat orang utusan An Lu Shan itu akan membela Swi
Nio mati matian. Hal ini sama sekali tidak diharapkannya dan sudah
dibicarakannya tadi bersama Kiam‐mo Cai‐li, maka dia menekan
perasaannya dan berkata,"Bangkitlah, engkau pergi dan menjadi
kepercayaan An Goanswe, tidak terlalu mengecewakan." Lega bukan main
hati Swi Nio dan dia bangkit berdiri lalu berkata kepada Bu Ong, "Sute
engkau baik baik saja, bukan?" An Bu Ong yang biarpun masih kecil namun
sikapnya sudah seperti orang dewasa itu mencibirkan bibirnya, mendengus
seperti orang mengejek, lalu berkata, "Suci, baik sekali engkau, ya? Suheng
PART 256
dibunuh orang, dan ibu sampai lari ke sini, akan tetapi engkau malah minggat
dan enak enak saja!" "Bu Ong, diamlah engkau!" The Kwat Lin berkata, lalu
melanjutkan kepada Swi Nio, "Swi Nio, tahukah engkau bahwa kakakmu
telah tewas?" Swi Nio mengangguk dan air matanya bercucuran dan segera
diusapnya. "Teecu sudah mendengar akan hal itu, Subo." "Kalau begitu kita
sama‐sama mendendam kepada pemerintah. Kita lupakan saja semua urusan
lama, Swi Nio, dan baik sekali kalau kita dapat bekerja sama. Agaknya engkau
kini sudah dipercaya menjadi utusan An Goanswe, ya?" Swi Nio cepat
menjawab dan memperkenalkan teman‐temannya. "Teecu hanya menjadi
pembantu dan penunjuk jalan saja bersama....dia ini...." Swi Nio menunjuk
kepada Liem Toan Ki dan mukanya menjadi merah. "Siapa dia?" The Kwat Lin
memandang tajam kepada Liem Toan Ki yang cepat maju menjura dengan
hormat. "Maafkan, Pangcu...." "Aku bukan Ketua Bu‐tong‐pai lagi, aku adalah
bekas Ratu Pulau Es!"jawab Kwat Lin ketus. "Maaf, saya bernama Liem Toan
Ki dan Bu‐moi adalah calon istri saya." "Ibu, dia ini yang pernah menyerbu
Bu‐tong‐pai dan dialah tentunya yang membawa minggat Suci!" tibatiba Bu
Ong berkata. Toan Ki diam‐diam memuji kecerdikan anak laki‐laki itu dan dia
terkejut sekali. "Benar demikian, saya yang dahulu menjadi petugas An
Goanswe menyelidiki Bu‐tong‐pai dan kemudian mengajak pergi Bu‐moi
yang sekarang menjadi calon istri saya." The Kwat Lin mengerutkan alisnya.
Laki‐laki ini sebenarnya telah menghinanya sebagai bekas Ketua Bu‐tong‐pai
dan sebagai guru Swi Nio, akan tetapi diam‐diam dia menerima isyarat mata
Kiam‐mo Cai‐li, maka dia menoleh kepada Swi Nio sambil bertanya,
"Benarkah kau menjadi calon isterinya?" Muka Swi Nio menjadi merah sekali.
"Benar, Subo. Kami saling mencinta, akan tetapi teecu dan dia berjanji hanya
akan melangsungkan pernikahan setelah dendam saya terbalas, yaitu setelah
kerajaan sekarang jatuh dan dikuasai An Goanswe." "Hemm, sudahlah. Kalau
kau dan calon suamimu ini hanya membantu, siapa yang menjadi utusan An
Goanswe menghadap padaku?" "Mereka inilah," Swi Nio menunjuk kepada
tiga orang teman‐temannya. Dia adalah Pat‐jiu Mo‐kai, dan Totiang ini adalah
Siok Tojin, Lo‐enghiongitu adalah Tan Goan Kok. Mereka bertiga yang
menjadi utusan An Goanswe. The Kwat Lin memandang tajam kepada tiga
orang itu seolah‐olah hendak menimbang bobot mereka dengan matanya.
Pat‐jiu Mo‐kai yang tertua dan dianggap pemimpin rombongan apalagi
karena dia yang pandai bicara dibandingkan Tan Goan Kok yang kasar dan
jujur, apalagi dengan Siok Tojin yang jarang sekali membuka mulut, segera
tertawa. "Ha‐ha‐ha, kami bertiga pun hanyalah pembantu‐pembantu
rendahan saja dari An Goanswe, akan tetapi kami menerima kehormatan
untuk menjadi utusan Beliau menghadap Toannio The Kwat Lin yang
namanya terkenal sebagai Ratu Pulau Es dan Ketua Bu‐tong‐pai, juga
menghadap Kiam‐mo Cai‐li yang juga amat terkenal di dunia Kang‐ouw
sebagai seorang wanita yang amat lihai dan cerdas sekali. Kami merasa amat
terhormat dapat menjadi tamu‐tamu di Rawa Bangkai ini." Kiam‐mo Cai‐li
Liok Si yang memang amat cerdas, kini mendahului Kwat Lin dan berkata,
"Tidak tahu apakah kedatangan Cuwi ada hubungannya dengan pesan kami
PART 257
kepada An Goanswe" "Dugaan Cai‐li benar sekali. Kami berlima adalah
utusan An Goanswe untuk menghadap Jiwi dan untuk bicara dengan Jiwi. An
Goanswe telah menerima pesan Jiwi dan sebagai jawaban An Goanswe
mengutus kami untuk bicara." "Lalu bagaimana keputusan An Goanswe
tentang ajakan kami untuk bekerja sama?" The Kwat Lin bertanya. "An
Goanswe merasa amat senang menerima surat Jiwi dan tentu saja An
Goanswe menerima dengan kedua tangan terbuka uluran kerja sama Jiwi itu.
Sudah lama An Goanswe merasa kagum, terutama sekali melihat siasat
gemilang yang berhasil baik sehingga Jiwi sekalian dapat menyelundupkan
orang menjadi kepercayaan Yang Kui Hui. Hanya sayang, pada saat terakhir
siasat gemilang itu mengalami kegagalan karena orang kepercayaan Jiwi
tidak dapat menahan nafsu berahinya. Kami diutus oleh An Goanswe untuk
menyampaikan pesan bahwa jika Jiwi suka membantu dari dalam, yaitu
berusaha menanam tenaga‐tenaga bantuan di dalam kota raja dan kalau
mungkin di dalam istana agar kelak memudahkan penyerbuan ke kota raja
apabila saatnya yang tepat tiba, maka An Goanswe akan berterima kasih
sekali." Mendengar pesan An Lu Shan yang di sampaikan oleh Pat‐jiu Mo‐kai
ini, hati kedua orang wanita itu menjadi girang sekali sungguhpun
kegirangan itu tidak terbaca di wajah mereka. "Kami yang tidak mempunyai
pasukan besar memang tahu diri dan tentu saja hanya akan membantu dari
dalam seperti yang diusulkan An Goanswe. Kami dapat menerima usul itu
dan sebaiknya kita rencanakan siasat‐siasatnya bersama." The Kwat Lin
berkata. "Sebelum kita berunding dan mengatur siasat agar dapat kami
sampaikan kepada An Goanswe terlebih dahulu kami harus menyampaikan
semua pesan Beliau untuk Jiwi. Selain usul itu juga An goanswe mengatakan
bahwa pekerjaan membantu dari dalam itu merupakan pekerjaan yang amat
rumit, sulit, dan berbahaya. Hanyalah orang‐orang yang memiliki ilmu
kepandaian yang amat tinggi saja yang akan dapat berhasil dan An Goanswe
ingin memperoleh keyakinan bahwa para pembantunya tidak akan gagal."
Mendengar kata‐kata kakek berpakaian tambalan itu, merahlah wajah The
Kwat Lin dan hatinya menjadi panas. "Hemm, ucapanmu itu berarti bahwa
kalian hendak menguji kepandaian kami?" Sambil tertawa Kiam‐mo Cai‐li
yang melihat kemarahan kawannya itu bangkit berdiri dan meloncat ke
tengah ruangan yang luas itu sambil berkata, "Memang sudah seharusnya
demikian! An Goanswe adalah seorang Jenderal besar yang cerdik pandai,
tentu akan menguji setiap orang sekutu atau pembantunya. Nah, biarlah aku
yang lebih dulu memperlihatkan kepandaian. Siapakah di antara Cuwi
berlima yang hendak menguji?" Dengan lagak memandang rendah Kiam‐mo
Cai‐li berdiri dan memandang ke arah lima orang utusan itu. Tentu saja Bu
Swi Nio tidak berani bergerak, juga Liem Toan Ki yang sudah maklum akan
kehebatan ilmu kepandaian wanita Majikan Rawa Bangkai itu mengerti
bahwa dia bukanlah tandingannya. Melihat wanita yang usianya lima puluh
tahun itu masih cantik menarik dan memegang sebatang payung, berdiri
dengan sikap memandang rendah, Siok Tojin yang sejak tadi diam saja sudah
bangkit. Ilmu kepandaian tosu ini amat tinggi terutama ilmu pedangnya, dan
PART 258
di dalam rombongan itu dia merupakan orang ke dua yang terpandai.
"Biarlah pinto yang akan menguji," katanya. Pat‐jiu Mo‐kai mengangguk.
Memang yang akan menjadi tukang menguji kepandaian dua orang wanita itu
adalah mereka bertiga, dan dia mendengar bahwa kepandaian bekas Ratu
Pulau Es itu lebih hebat daripada kepandaian Kiam‐mo Cai‐li, maka memang
sebaiknya kalau Siok Tojin yang menghadapi Kiam‐mo Cai‐li sedangkan dia
nanti yang akan menghadapi The Kwat Lin. Kiam‐mo Cai‐li memandang tosu
itu penuh perhatian, kemudian sambil tersenyum dia berkata, "Kalau aku
hanya mampu menandingi Siok Tojin, agaknya belumlah patut aku menjadi
tangan kanan Ratu Pulau Es dan akan menjadi kepercayaan An Goanswe,
akan tetapi hendak kuperlihatkan bahwa aku akan dapat mengalahkan
totiang dalam sepuluh jurus. kalau sampai dalam sepuluh jurus aku tidak
mampu mengalahkan Totiang, anggap saja aku tidak becus dan aku akan
mengundurkan diri!" Ucapan ini mengejutkan semua utusan itu. Biarpun
mereka sudah lama mendengar nama besar datuk wanita yang merupakan
iblis betina ini, namun Siok Tojin bukan orang sembarangan. Ilmu pedangnya
amat tangkas, hebat dan kuat. Bagaimana wanita itu berani bersombong
mengatakan hendak mengalahkannya dalam sepuluh jurus? Namun The
Kwat Lin yang dengan pandang matanya yang tajam dapat menilai orang,
tenang‐tenang saja. Juga Kiam‐mo Cai‐li bukanlah menyobongkan diri secara
ngawur, melainkan dia pun sudah dapat menilai kepandaian tosu itu dari
gerakanya maka dia berani menantang akan mengalahkannya dalam sepuluh
jurus. Siok Tojin mengerutkan alisnya, perutnya terasa panas. Dia tidak
pandai bicara, maka dalam kemendongkolannya dia hanya berkata, "Hemm,
seekor kerbau diikat hidungnya, manusia diikat mulutnya!" Ucapan ini
mengandung maksud bahwa kalau Kiam‐mo Cai‐li tidak memenuhi janji yang
diucapkan dengan mulut, dia sama dengan seekor kerbau! Setelah berkata
demikian, tangan kananya bergerak dan tampaklah sinar berkilau dari
pedang yang telah dicabutnya. "Tentu saja mulutku dapat dipercaya, Siok
Tojin! Aku akan mengalahkanmu dalam waktu sembilan jurus! Kiam‐mo Caili
berkata sambil mengejek dan tangan kanannya memegang payung yang
segera terbuka dan dipakainya, sedangkan tangan kirinya diraba‐raba
sanggul rambutnya, seperti merapikan padahal diamdiam dia melepas tali
rambutnya yang panjang itu. JILID 16 "Ehhh.... celaka.....!!" Siok Tojin berseru,
akan tetapi bagaimana dia dapat menghindarkan diri dari serangan ke tiga
ini? Kedua tangannya telah menahan dua ancaman maut dan sama sekali
tidak bisa dilepaskan. "Plak‐plak....!!" Seperti ular hidup mematuk saja
layaknya, ujung rambut panjang itu menotok dua kali, membuat ke dua
lengan tangan Siok Tojin seketika lumpuh dan pedangnya telah dirampas
oleh ujung rambut yang terayun‐ayun dan berputar ke atas, membawa
pedang itu berputaran di atas kepala. "Bagaimana, Totiang?" Kiam‐mo Cai‐li
bertanya. Sambil menundukan kepalanya, Siok Tojin berkata lirih, "Pinto
mengaku kalah." Dan memang dia tahu akan kekeliruannya sekarang, akan
tetapi dia harus mengaku bahwa dia telah dikalahkan dalam lima enam jurus
saja! Dia tahu pula bahwa lawan tidak hendak mencelakakannya, kakau tidak,
PART 259
tentu ujung rambut itu dapat melakukan totokan maut yang akan
menewaskannya. Rambut itu membawa pedang meluncur ke bawah dan
melempar pedang menancap di depan kaki Siok Tojin, kemudian dua kali
rambut menyambar, dan menotok sehingga terbebaslah tosu itu dari totokan.
Siok tojin menghela napas, mengambil pedangnya, menjura lalu tanpa
berkata‐kata lagi dia menlangkah mundur ke tempat teman‐temannya. "Haha‐
ha, bukan main hebatnya Kiam‐mo Cai‐li. Pedang payung lihai, kukunya
berbahaya, rambutnya hebat, akan tetapi yang lebih hebat lagi adalah
kecerdikannya yang memancing kemarahan Siok Tojin! Memang kecerdikan
seperti itu amat dibutuhkan dalam tugas bekerja dari dalam yang
membutuhkan kecerdikan seperti yang dimiliki Kiam‐mo Cai‐li. (Kionghi
(Selamat)! An Goanswe tentu akan girang sekali mendengar laporan kami
tentang diri Kiam‐mo Cai‐lil!" Kiam‐mo Cai‐li yang sudah duduk kembali,
tersenyum girang. Aihh, Loenghiong Pat‐jiu Mo‐kai terlalu memuji! katanya
dengan bangga dan girang. "Sekarang untuk melengkapi tugas kami yang
diberikan oleh An Goanswe, kuharap The‐toanio suka memperlihatkan
kepandaian," kata pula Pat‐jiu Mo‐kai sambil melangkah maju menyeret
tongkat bututnya. "Dan agaknya terpaksa aku sendiri yang harus maju
melayani Toanio." The Kwat Lin masih tetap duduk dan memandang kakek
pengemis itu dengan sinar mata tajam penuh selidik, kemudian dengan suar
tenang dia berkata, "Siapa lagi yang diutus oleh An Goanswe untuk menguji
kami?" "Hanya kami bertiga, dan karena Siok Tojin sudah kalah....." "maka
tinggal engkau dan Tan Lo‐enghiong itu. Nah, kaulihat Tan Lo‐enghiong juga
telah membawa senjatanya, membawa sebatang toya, maka sebaiknya kalau
kalian berdua maju dan mengeroyokku!" Pat‐jiu Mo‐kai tertawa bergelak.
"Ha‐ha‐ha, The‐toannio, apakah Toanio juga hendak menggunakan siasat
seperti Kiam‐mo Cai‐li tadi? Ingat, tidaklah mudah untuk memancing
kemarahanku!" The Kwat Lin mengerutkan alisnya, lalu melangkah maju.
"Siapa yang menggunakan siasat? Tanpa siasat pun, menghadapi kalian
berdua aku masih sanggup." Tiba‐tiba terdengar suara Han Bu Ong, "Ibu,
berikan dia kepadaku! Biar aku yang menandingi pengemis tua itu!" Pat‐jiu
Mo‐kai diam‐diam terkejut. Kalau seorang anak belasan tahun berani
menghadapinya, tentu ibunya memiliki kepandaian yang hebat sekali. Akan
tetapi The Kwat Lin menoleh kepada puteranya dan berkata, "Bu Ong, kita
tidak sedang menghadapi musuh, dan pertandingan ini hanya untuk menguji
kepandaian saja. Jangan kau ikut‐ikut!" Han BU Ong cemberut lalu berkata,
"Apalagi hanya dikeroyok dua, biar kalian berlima maju semua, ibu akan
dapat mengalahkan kalian dengan satu tangan saja!" Kembali Pat‐jiu Mo‐kai
terkejut. Bocah itu, putera The Kwat Lin, tidak lebih dianggap seperti bocah
biasa, dan tentu telah memiliki kepandaian tinggi pula, maka kata‐katanya
tidak boleh dianggap kosong belaka. Lenyaplah keraguannya dan dia berkata
kepada The Kwat Lin, "Memang sesungguhnya aku sendiri dan Tan Goan Kok
merupakan orang‐orang yang diutus menguji kepandaian Toanio, apakah
kami boleh maju bersama menghadapi kelihaian Toanio?" Dengan sikap tak
acuh The Kwat Lin berkata sambil menggerakan tangan kirinya, "Majulah,
PART 260
jangan sungkan‐sungkan!" Tan Goan Kok yang berwatak kasar itu melompat
ke depan. "Hemm, tentu Nyonya rumah memiliki kelihaian yang luar biasa
maka menantang kita maju berdua, Pat‐jiu Mo‐kai!" Pat‐jiu Mo‐kai
mengangguk‐angguk. "Hati‐hatilah, Tan‐sicu." Mereka berdua lalu memasang
kuda‐kuda di sebelah kanan kiri The Kwat Lin. Pat‐jiu Mo‐kai memegang
tongkat butut dengan tangan kanan seperti memegang sebatang pedang,
tongkat itu menuding ke depan dari dadanya, lurus ke depan, sedangkan
tangan kirinya menjaga di depan pusar, kedua kaki ditekuk sedikit, agak
merapat di depan dan belakang. Tan Goan Kok memegang toyanya dengan
kedua tangan, kuda‐kudanya kuat sekali, kokoh seperti batu karang dan toya
di kedua tangannya itu sedikit pun tidak bergoyang. Melihat dua orang itu
sudah memasang kuda‐kuda, The Kwat Lin lalu mencabut pedangnya, yaitu
Angbwe‐ kiam dan melangkah maju sambil berkata, Nah silahkan kalian
mulai!" "Kami adalah tamu‐tamu dan kami maju berdua, tidak pantas kalau
kami mulai, silahkan Toanio mulai," kata Pat‐jiu Mo‐kai yang tidak mau
membuka serangan karena dia ingin lawan maju menyerang lebih dulu agar
dia atau temannya dapat mengacaukan pertahanan lawan dengan serangan
mendadak. The Kwat Lin tersenyum, maklum akan siasat kakek jembel itu.
"Nah, sambutlah!" teriaknya dan Pat‐jiu Mo‐kai kecele kalau hendak
melanjutkan siasatnya karena tiba‐tiba pedang itu lenyap bentuknya,
berubah menjadi sinar yang menyambar ke arah mereka seperti kilat
cepatnya sehingga sekali bergerak, pedang itu telah menyerang mereka
berdua dalam waktu yang hampir bersamaan! Tentu saja mereka terkejut
sekali dan cepat menggerakkan tongkat dan toya untuk menangkis. "Trang...!
Cringggg....!!" Pat‐jiu Mo‐kai dan Tan Goan Kok terhuyung ke belakang.
Tenaga yang keluar dari Ang‐bwe‐kiam sungguh dahsyat, membuat telapak
tangan mereka terasa panas dan hampir saja senjata mereka terlepas.
Terkejutlah kedua orang itu dan The Kwat Lin diam‐diam mentertawakan
mereka karena dia memang hendak mengukur lebih dulu kekuatan lawan.
Karena merasa penasaran, kini ke dua orang itu maju dari kanan kiri dan
mulailah mereka menyerang dengan ganas. Kwat Lin sudah dapat
mengetahui bahwa di antara kedua orang pengeroyoknya, tongkat kakek
jembel itulah yang lebih lihai maka dia selalu mendahulukan tangkisannya
terhadap tongkat itu, baru dia menangkis toya yang menyambar. Dia tahu
bahwa kakek Tan Goan Kok yang kasar itu hanyalah menggandalkan tenaga
gwakang yang besar, namun makin besar tenaga kasar lawan, makin mudah
dia menghadapinya karena sedikit getarkan pedang yang dilakukan dengan
pengerahan sinkang cukup membuat telapak tangan Tan Goan Kok terpukul
sendiri oleh tangannya. Lewat sepuluh jurus, setelah dia yakin akan ukuran
tenaga kedua orang lawannya, Tiba‐tiba The Kwat Lin menyarungkan
kembali pedangnya dan menghadapi kedua lawan itu dengan tangan kosong.
Tentu saja dua orang lawannya cepat menahan senjata dan pat‐jiu Mo‐kai
berseru, Heiii, The‐toanio. Kami belum kalah mengapa engkau mengakhiri
pertandingan?" "Siapa Mengakhiri? lanjutkanlah serangan kalian, aku
menyimpan pedang karena takut rusak." "Huhhh, dengan tangan kosong pun
PART 261
ibu akan mudah mengalahkan kalian!" Mendengar teriakan bocah itu, dua
orang kakek itu lalu maju lagi dan menggerakan senjata mereka untuk
menyerang. Tongkat pat‐jiu Mo‐kai melayang dari atas menghantam kepala,
sedangkan toya Tan Goan Kok menyambar dari samping menghantam
lambung! Mereka terkejut setengah mati melihat lawan itu sama sekali tidak
mengelak, hanya miringkan sedikit tubuhnya dan meloncat sedikit. "Bukkk!
Bukkkk!!" Tongkat itu dengan kerasnya menghantam leher dan toya itu
menghantam pangkal paha, akan tetapi tiba‐tiba dua orang kakek itu roboh
terguling dalam keadaan lemas tertotok! "Horeeee....!!" Han Bu Ong bersorak
melihat betapa dalam segebrakan saja setelah ibunya menyimpan pedang,
dua orang pengeroyok itu dapat dirobohkan. Sementara itu, The Kwat Lin
cepat membebaskan totokannya dan dua orang kakek itu dapat bangkit
sambil memungkut senjata mereka dan memandang dengan mata terbelalak
kagum kepada wanita itu. Hampir mereka tidak dapat percaya bahwa mereka
dapat dirobohkan hanya dalam segebrakan saja, namun kenyataannya
memang demikian dan mengingat akan siasat lawan ini, mereka bergidik dan
kagum sekali. Ternyata ketika tadi dia menggunakan pedang, The Kwat Lin
hanya ingin mengukur sampai di mana kekuatan dua orang lawannya.
Setelah yakin benar, dia menyimpan pedang dan sengaja menerima
hantaman yang sudah dia ukur akan dapat diterima oleh leher dan
pinggulnnya, kemudian pada saat kedua senjata itu tiba di tubuhnya,
menggunakan kesempatan selagi kedua orang kakek itu terkejut melihat
lawan tidak mengelak dan menerima pukulan, cepat seperti kilat kedua
tangan The Kwat Lin bergerak dan berhasil menotok roboh dua orang kakek
yang sama sekali tidak menduga bahwa lawan yang terkena hantaman dua
kali itu akan menotok mereka! "Bukan Main!!!" Tan Goan Kok berseru dan
menggeleng‐gelengkan kepalanya. Belum pernah selama hidupnya dia
bertemu tanding sehebat itu. "Kami mengaku kalah! Kiranya The toanio
memiliki kelihaian yang amat luar biasa dan kami akan melaporkan semua
ini kelak kepada An Goanswe," kata pat‐jiu Mo‐kai. The Kwat Lin dan Kiammo
Cai‐li girang sekali setelah dapat menundukan para utusan itu, maka
pesta lalu diadakan untuk menyambut utusan‐utusan An Lu Shan dan sambil
makan minum mereka lalu merundingkan dan merencanakan siasat untuk
bekerja sama. Dalam kesempatan ini, Pat‐jiu Mo‐kai mengeluarkan sebuah
peti hitam kecil dan menyerahkannya kepada The Kwat Lin sambil berkata,
"Harap Toanio suka menerima hadiah tanda persahabatan dari An Goanswe
ini." The Kwat Lin menyatakan terima kasih, lalu bersama Kiam‐mo Cai‐li
membuka peti yang terisi emas dan perak dalam jumlah yang cukup banyak.
The Kwat Lin lalu melepaskan rantai kalungnya dan menyerahkannya
kepada Pat‐jiu Mo‐kai sambil berkata, "kami tidak mempunyai apa‐apa untuk
dipersembahkan kepada An Goanswe sebagai tanda persahabatan ini, harap
Mo‐kai suka menerima dan menyampaikan kepada Beliau." Pat‐jiu Mo‐kai
menerima kalung itu dan mereka berlima terbelalak kagum melihat mata
kalung yang amat besar dan indah penuh batu permata yang amat luar biasa.
Biarpun mereka bukanlah ahli, namun pengalaman mereka membuat
PART 262
mereka, terutama tiga orang kakek itu dapat menduga bahwa harga kalung
ini tidak kalah mahalnya dengan peti dan isinya, hadiah dari An Lu Shan tadi!
"Hendaknya di antara pelaporan Cuwi, diberitahukan kepada An Goanswe
bahwa kami sama sekali tidak membutuhkan harta benda, melainkan
hendaknya An Goanswe mengingat bahwa saya adalah bekas Ratu Pulau Es
dan puteraku adalah seorang Pangeran, sedangkan Kiam‐mo Cai‐li adalah
majikan Rawa Bangkai sehingga kelak kalau perjuangan kita berhasil, sudah
sepatutnya kalau kami memperoleh kedudukan yang setingkat dengan
keadaan dan dengan bantuan kami." Mengertilah tiga orang kakek itu bahwa
wanita lihai bekas ratu ini ternyata memiliki ambisi untuk kedudukan tinggi
bagi puteranya. Sudah terlalu lama kita meninggalkan Lui Bwee, Ratu Pulau
Es yang bernasib sengsara, ibu dari Swat Hong itu. Seoerti telah diceritakan
di bagian depan, Liu Bwee meninggalkan Pulau Es, naik perahu dan mencari
atau menyusul puterinya, Han Swat Hong yang lebih dulu meninggalkan
Pulau Es menuju ke Pulau Neraka hendak menggantikan hukuman yang
dijatuhkan oleh Raja Pulau Es atau diri Liu Bwee. Sambil menahan tangisnya,
wanita yang menderita sengsara karena madunya ini mendayung perahu
secepatnya meninggalkan Pulau Es. Akan tetapi, biarpun semenjak kecil
berada di Pulau Es, namun dia belum pernah pergi Ke Pulau Neraka.
Siapakah orangnya yang berani pergi ke Pulau Neraka, kecuali mereka yang
memang dihukum buang ke pulau terkutuk itu? Karena tidak mengenal jalan,
Lui Bwee menjadi bingung, apalagi karena tidak lagi melihat bayangan
puterinya. Dia adalah puteri nelayan Pulau Es, tentu saja dia pandai
mengemudikan perahu, akan tetapi karena tidak tahu di mana letaknya Pulau
Neraka, dia menjadi bingung dan meluncurkan perahunya tanpa arah
tertentu, asal meninggalkan Pulau Es sejauh‐jauhnya saja. Dia ingin
menjauhkan diri dari suaminya yang amat tercinta, dan terutama dari The
Kwat Lin, madunya yang telah menghancurkan hidupnya. Setelah sehari
semalam berputaran tanpa tujuan dan sama sekali tidak melihat Pulau
Neraka atau puterinya, bahkan tidak melihat seorang pun manusia yang
dapat dia tanyai di antara gumpalan‐gumpalan es yang mengambang di laut
dan pulau‐pulau kosong yang banyak terdapat di situ, tanpa makan tanpa
tidur, akhirnya Liu Bwee terpaksa mendarat di sebuah pulau kosong yang
subur. Dia mencari makanan untuk memenuhi tuntutan perutnya yang lapar,
kemudian melihat bahwa pulau ini cukup subur dan baik hawanya, dia
mengambil keputusan untuk tinggal di pulau itu, betapa selama hidupnya
sampai hari akhir. Dia sudah merasa bosan dengan urusan dunia yang hanya
mendatangkan kesengsaraan batin belaka. Mulailah Liu Bwee, wanita cantik
yang usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun dan masih kelihatan muda
sekali itu mengasingkan diri dan bertapa di pulau kosong sampai hampir
enam bulan lamanya. Dia sudah menemukan ketentraman batin, melupakan
segala urusan duniawi. Namun ada saja sebabnya kalau memang belum
jodohnya menjadi pertapa. Pada suatu hari, badai yang amat hebat
mengamuk. Badai inilah yang membasahi Pulau Es dan badai ini mengamuk
juga di pulau kosong di mana Liu Bwee bertapa itu. Hebat bukan main dan
PRT 263
biarpun Liu Bwee tadinya sudah bersembunyi di dalam goa, dia diterjang air
laut yang naik ke atas pulau. Berkat ketangkasan dan kepandaiannya, Liu
Bwee berhasil menyambar ujung ranting pohon ketika tubuhnya diseret oleh
harus ombak laut yang amat kuat dan dia berhasil naik ke puncak pohon
kecil yang menyelamatkanya. Akan tetapi, air bergelombang dari arah laut
dan dia harus berpegang kepada batang pohon itu kuat‐kuat setiap kali air
menghantamnya dengan kekuatan yang amat dahsyat. Dan hal ini
berlangsung berjam‐jam. Betapapun kuatnya Liu Bwee, dia hanya seorang
manusia, maka makin lama makin lemaslah tubuhnya karena dia harus
berjuang melawan air laut yang dahsyat itu. Setiap kali ombak datang
bergulung, hampir menenggelamkan pohon itu dan selain dia harus
berpengang kuat‐kuat mengerahkan sinkangnya agar jangan sampai terseret
oleh air, juga dia harus menahan napas karena iar menghantam seluruh
tubuh dan mukanya. "Celaka...." pikirnya ketika untuk kesekian puluh kalinya
dia berhasil mempertahankan dirinya dari serangan air laut. "Kalau terus
begini, aku tidak akan kuat lagi bertahan...." Liu Bwee melihat ke kanan kiri.
Banyak pohon yang sudah tumbang dan dia merasa ngeri. Kalau pohon di
mana dia berlindung ini tumbang, dia tentu akan tewas. Sayang dia tidak
dapat pindah ke pohon yang tinggi di sana itu, tentu dia akan aman dan air
tidak dapat mencapai pohon itu. Kembali datang serangan air, Liu Bwee
memejamkan mata, menahan napas dan berpegang eraterat, maklum bahwa
yang datang ini adalah ombak yang amat ganas dan kuat. "Haiiii....! Yang di
sana itu.....! Berpeganglah kuat‐kuat....! Aku akan berusaha menolongmu....!!"
Teriakan suara laki‐laki ini datang dari arah pohon tinggi tadi. Liu Bwee
membuka matanya, melihgat sinar hitam kecil menyambar dari pohon besar
itu, akan tetapi pada saat itu, air pun datang menerjang dengan kekuatan
yang amat dahsyat. "Oughhh....!" Betapapun kuat kedua tangannya Liu Bwee
berpegang pada ranting pohon, namun kekuatan air itu lebih dahsyat lagi.
Terdengar batang itu patah dan tubuh Liu Bwee hanyut terseret ombak. Dia
sudah putus asa dan menyerahkan jiwa raganya kepada Tuhan. "Matilah
aku...." bisiknya. Akan tetapi tiba‐tiba tubuhnya terasa nyeri dan tertahan,
kemudian tubuhnya ditarik menuju ke pohon besar! Ketika dia
memperhatikan, kiranya tubunya telah terlibat sehelai tali hitam yang amat
kuat dan teringatlah dia akan sinar hitam yang tadi menyambar kepadanya
sebelum air menghantamnya. Dia maklum bahwa ada orang menolongnya
maka bangkit kembali semangatnya untuk melawan maut, mempertahankan
hidupnya. Lui Bwee mulai menggerakkan kaki tangannya, berenang agar
tidak sampai tengelam dan membiarkan dirinya diseret oleh tali itu ke arah
pohon besar yang lebih tinggi itu. Napasnya terengah‐engah hampir putus
karena tenaganya sudah habis dipergunakan untuk melawan hantamanhantaman
air yang bertubi‐tubi tadi. Kalau saja tidak ada tali hitam yang
melingkari pinggangnya dan selain menariknya ke arah pohon juga
menahannya dari seretan ombak, tentu dia tidak sanggup berenang ke pohon
itu. Dia berenang hanya untuk mencegah tubuhnya tenggelam saja. Tahulah
dia bahwa nyawanya diselamatkan oleh tali dan diam‐diam dia berterima
PART 264
kasih sekali kepada orang yang berada di pohon dan yang belum tampak
olehnya itu. Dengan seluruh tenaga yang masih bersisah padanya, Liu Bwee
berusaha keras agar dia tidak sampai tenggelam. "Pertahankanlah.... sebentar
lagi...." terdengar suara laki‐laki tadi dari pohon dan Liu Bwee merasa betapa
tubuhnya di tarik makin cepat ke arah pohon karena dari arah laut sudah
datang lagi gelombang yang amat dahsyat. Ngeri juga dia menyaksikan
gelombang sebesar gunung yang datang bergulung‐gulung dari depan seolaholah
seekor naga raksasa yang datang hendak menelannya. "Cepat....
cepatlah!" Dia merintih dan dalam keadaan setengah pingsan dia merasa
betapa tubuhnya ditarik atau lebih tepatnya diseret ke arah pohon itu.
Akhirnya dia tiba di pohon itu dan sebuah lengan yang kuat, menyambarnya,
tubuhnya diangkat ke atas pohon tepat pada saat gelombang itu datang
bergulung‐gulung. Liu Bwee mengeluh dan tak sadarkan diri! "Aneh....!"
Lapat‐lapat Liu Bwee mendengar kata‐kata "aneh" itu. Akan tetapi seluruh
tubuhnya sakit‐sakit, kepalanya pening dan tenaganya habis maka dia tidak
membuka mata dan membiarkan saja ketika measa betapa ada telapak
tangan hangat menyentuh tengkuknya dan dari telapak tangan itu keluar
hawa sinkang yang hangat dan yang membantu peredaran jalan darahnya,
memulihkan kembali tenaganya secara perlahan‐lahan. "Aneh sekali....!" Kini
Liu Bwee teringat semua dan mengenal suara itu sebagai suara laki‐laki yang
menolongnya. Cepat dia membuka matanya dan menggerakan tubuhnya
hendak bangkit duduk. Akan tetapi hampir dia menjerit karena tubuhnya
limbung dan kalau laki‐laki itu tidak cepat menyambar lengannya, tentu dia
sudah jatuh terguling dari atas batang pohon yang besar itu, jatuh ke bawah
yang masih direndam air laut yang masih berguncang. "Ahhhh....!" Dia
berkata lalu mengangkat muka memandang. Seorang laki‐laki, usianya tentu
sudah empat puluh tahun lebih duduk di atas dahan di depannya. Laki‐laki
itu berwajah gagah sekali, alisnya tebal matanya lebar dan air mukanya yang
penuh goresan tanda penderitaan batin itu kelihatan matang dan penuh
ketulusan hati, tubuhnya tegap dan pakaiannya bersih dan rapi, di
punggungnya tampak sebatang pedang. Laki‐laki itu memandang kepadanya
dengan air muka membayangkan keheranan, maka tentu laki‐laki ini yang
tadi berkali‐kali menyerukan kata‐kata"aneh" dan tentu laki‐laki ini pula
yang telah menolongnya karena di dalam pohon itu tidak ada orang lain
kecuali mereka berdua. "Engkaulah yang menyelamatkan nyawaku tadi? Aku
harus menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolonganmu." Liu
Bwee berkata sambil memandang wajah yang gagah dan sederhana itu. Lakilaki
itu mengelus jenggot yang hitam panjang, menatap wajah Liu Bwee
kemudian berkata, "Harap jangan berkata demikian. Dalam keadaan dunia
seolah‐olah kiamat ini, alam mengamuk dahsyat tak terlawan oleh tenaga
manusia manapun, sudah sepatutnya kalau di antara manusia saling bantumembantu.
Hemmm... sungguh aneh sekali....!" "In‐kong (Tuan Penolong),
mengapa berkali‐kali mengatakan aneh?" tanya Liu Bwee. Orang itu tidak
tertawa, hanya mengelus jenggotnya dan menatap wajah Liu Bwee tanpa
sungkan‐sungkan, seolah‐olah dia sedang memandang benda yang aneh dan
PART 265
belum pernah dilihatnya. "Siapa kira di pulau kosong ini, di mana laki‐laki
pun sukar untuk hidup, terdapat seorang wanita yang masih muda dan cantik
jelita." Liu Bwee merasa betapa mukanya menjadi panas dan dia tahu bahwa
tentu kulit mukanya menjadi merah sekali dan diam‐diam dia memaki
dirinya sendiri. Huh, apa artinya kau bertapa sampai berbulan‐bulan kalau
sekarang mendengar pujian dari mulut seorang laki‐laki kau merasa
berdebar dan girang, demikian dia memaki dalam hatinya. Untuk menutupi
perasaannya, dia pura‐pura tidak mendengar dan cepat bertanya,
"Bagaimana Inkong bisa tiba di temapt ini? Setahuku, di pulau ini tidak ada
orang lain kecuali aku seorang." "Memang aku tidak tinggal di pulau ini, Toanio...."
Kembali wajah Liu Bwee menjadi mereh mendengar sebutan nyonya
besar ini, laki‐laki itu terlalu merendahkan diri. "Aku adalah seorang
perantau di antara pulau‐pulau kosong di sekitar tempat ini, akan tetapi tidak
pernah mendarat di sini karena tidak menyangka bahwa di sini ada
orangnya. Sekali mendarat di sini, badai mengamuk dan kebetulan sekali aku
melihat engkau berjuang melawan maut di pohon kecil itu." "Untung bagiku.
engkau seolah‐olah diutus oleh Thian untuk datang menolongku." "Aku
girang berhasil menyelamatkanmu, dan aku kagum sekali. Belum tentu ada
satu di antara seribu orang yang akan dapat bertahan melawan hantaman
gelombang air laut sehebat itu berkali‐kali, dan kau malah masih kuat
berenang. Inilah yang mengherankan aku. Seorang wanita muda....." "Aku
tidak muda lagi, usiaku sudah tiga puluh lima tahun...." "Itu masih muda
namanya, setidaknya bagiku. Seorang wanita muda...." dan mata laki‐laki itu
bercahaya penuh tantangan sehingga Liu Bwee tidak membantah lagi, "cantik
dan berkepandaian tinggi, bukan orang sembarangan, ini sudah jelas sekali,
berada seorang diri di pulau kosong. Siapa tidak akan merasa heran?" "Aku
sedang mencari puteriku yang hilang...." "Ah...!" Laki‐laki itu terkejut dan
memandang penuh perhatian. "Berapakah usianya dan siapa namanya? Aku
akan membantumu mencarinya." Dia bicara dengan suara mengandung
keperihatinan dan perasaan iba yang jelas sekali nampak sehingga Liu Bwee
merasa makin tertarik dan berterima kasih. Jelas baginya bahwa
penolongnya adalah seorang laki‐laki yang baik hati, sungguhpun
kehadirannya di bagian dunia yang amat terasing ini bukanlah hal yang tidak
aneh. "Dia sudah dewasa, sekitar enam belas tahun, namanya Han Swat
Hong...." "Ahhhh??" Kembali laki‐laki itu memotong dengan seruan kaget dan
matanya terbelalak memandang Liu Bwee. "She Han....? Apa hubungannya
dengan Han Ti Ong?" "Dia anaknya...." Liu Bwee sendiri terkejut karena
merasa telah terlanjur bicara maka dia menahan katakatanya. Laki‐laki itu
terkejut dan jelas terbayang di mukanya betapa jawaban ini sama sekali tidak
disangkanya. Matanya memandang Liu Bwee dengan penuh perhatian dan
penuh selidik, dan sampai lama dia baru bertanya. "Kalau puterimu itu
adalah anak Han Ti Ong berarti bahwa... Paduka adalah Ratu Pulau Es...." Liu
Bwee menarik napas panjang. Dia tidak dapat bersembunyi lagi, dan pula,
orang yang telah menyelamatkan nyawanya ini memang berhak untuk
mengetahui semuanya. Apalagi karena memang penderitaan batinnya adalah
PART 266
karena terkumpulanya rasa penasaran di dalam hatinya yang membutuhkan
jalan keluar. Selain ini, sebutan "paduka" amat menyakitkan telinganya. Maka
dia kembali menarik napas panjang. "Itu sudah lalu.... sekarang aku bukanlah
ratu lagi, melainkan seorang buangan....." "Apa....? Seorang permaisuri
dibuang dari Pulau Es?" Liu Bwee lalu menceritakan riwayatnya,
menceritakan betapa suaminya, Raja Pulau Es telah mengambil seorang selir
bernama The Kwat Lin dan betapa akhirnya karena ulah selir itu, dia difitnah
dihukum buang Ke Pulau Neraka! "Puteriku Han Swat Hong, menjadi marah
dan lari minggat dari Pulau Es hendak mewakili aku menerima hukuman
buang di Pulau Neraka. Aku mengejarnya, akan tetapi tidak berhasil, bahkan
aku tersesat ke pulau ini dan karena merasa putus harapan, aku lalu bertapa
di sini sampai enam bulan lamanya. Hari ini semestinya penderitaanku
berakhir, akan tetapi agaknya Thian masih hendak memperpanjang
hukumanku makan aku dapat kauselamatkan...." Tak tertahankan lagi, Liu
Bwee menutupi mukanya dan menahan tangisnya, akan tetapi tetap saja dia
terisak‐isak. "Krekkk! Krekkk!" ranting kayu di depan laki‐laki itu telah
hancur berkeping‐keping karena diremasnya di tangan kanannya. "Kejam!
Jahat sekali! Orang yang merasa dirinya bersih adalah sekotor‐kotornya
orang! Seperti Han Ti Ong dan semua raja di Pulau Es! Menghukumi orangorang
dan membuang mereka ke Pulau Neraka, hidup di neraka yang amat
sengsara. Akan tetapi mereka sendiri, Si penghukum itu, melakukan kekejian
dan kejahatan bertumpuk‐tumpuk dan merasa dirinya benar! Betapa
menjemukan! Aku akan mempertaruhkan nyawa untuk menentang kejahatan
dan kepalsuan macam ini!" Liu Bwee mengangkat mukanya memandang.
Kedua pipinya masih basah oleh air matanya. "Inkong, engkau siapakah dan
mengapa seolah‐olah menaruh permusuhan dengan Pulau Es?" "Aku
bernama Ouw Sian Kok, aku putera tunggal dari ketua di Pulau Neraka."
"Ohhh....!!" Kini giliran Liu Bwee yang menjadi kaget setengah mati karena
tidak mengira bahwa penolongnya ternyata adalah musuh besar Pulau Es!
"Harap Paduka jangan khawatir...." "In‐kong, jangan kau menyebutku Paduka.
Aku bukanlah seorang permaisuri lagi melainkan seorang buangan seperti
engkau pula, kau tahu bahwa namaku Liu Bwee, orang biasa anak nelayan,
hanya bekas ratu sekarang menjadi orang buangan." "Hem, baiklah Liutoanio.
Dan akupun tidak suka disebut Inkong, aku lebih tua dari padamu,
sebut saja aku Twako. Sebutlah, aku bukanlah musuh langsung dari Pulau Es,
karena aku bukan seorang buangan, melainkan keturunan seorang buangan.
Akan tetapi aku pun hanya bekas putera Ketua Pulau Neraka, karena sudah
lima belas tahun lamanya aku meninggalkan Pulau Neraka, tidak pernah
menjenguknya lagi dan menjadi perantau di antara pulau‐pulau kosong ini...."
Tiba‐tiba wajah yang gagah itu kelihatan menyuram. "Eh, kenapakah Ouwtwako?
Apa yang terjadi denganmu maka engkau menjadi demikian?" Liu
Bwee bertanya, tertarik hatinya. Ouw Sian Kok menghela napas panjang,
agaknya tidak suka menceritakan peristiwa masa lalu yang telah merobah
jalan hidupnya sama sekali. "Aku memang sudah tidak senang tinggal di
Pulau Neraka. Keadaan pulau itu membuat orang yang tinggal di situ menjadi
PART 267
buas, liar dan kejam karena terpaksa oleh kekejaman di pulau itu. Akan tetapi
sebagai putera Ketua, aku menekan ketidak senanganku dan terutama
karena aku hidup penuh kasih sayang dengan isteriku. Kami mempunyai
seorang anak perempuan yang sudah lima belas tahun tidak pernah kulihat.
Tuhan menghukum aku. Isteriku yang tercinta itu meninggal dan aku.... aku
lalu pergi meninggalkan ayah , anakku, dan Pulau Neraka sampai sekarang."
Sehabis bercerita, Ouw Sian Kok menundukkan mukanya dan berkali‐kali
menghela napas panjang. Liu Bwee memandang dengan mata penuh belas
kasihan, bengong dan tidak dapat berkata‐kata. Betapa besar persamaan
penderitaan di antara mereka. Dia pun kehilangan suami, sunguhpun
suaminya masih hidup akan tetapi apa bedanya dengan mati kalau suaminya
sudah tidak mencintainya lagi? Dan dia kehilangan anaknya pula, sama benar
dengan nasib Ouw Sian Kok yang kehilangan isteri dan anaknya. Hanya
bedanya, kalau dia mencari‐cari Swat Hong, adalah laki‐laki ini sengaja
meninggalkan puterinya. "Kasihan engkau, Ouw‐twako," katanya sambil
menyentuh tangan laki‐laki yang telah menolongnya itu. Ouw Sian Kok
menghela napas, kemudian tiba‐tiba mengangkat mukanya dan tersenyum.
"Betapa aneh dan lucunya. Engkau yang bernasib malang ini menaruh
kasihan kepada aku! Hemm, isteriku dirampas oleh Tuhan, aku tidak
mungkin bisa mendendam. Sebaliknya, suamimu dirampas wanita lain, itu
merupakan hal yang lebih menyakitkan hati lagi. Sudahlah, lebih baik kita
melupakan semua itu dan yang terpenting kita memperhatikan keadaan kita
sendiri, berusaha menghindarkan bahaya. Lihat badai mulai berhenti dan air
yang merendam pulau sudah surut dan kembali ke laut, cuaca sudah terang
tidak segelap tadi!" Liu Bwee memandang ke bawah lalu ke kanan kiri benar
saja, badai telah berhenti. Seketika lupalah dia akan segala kedukaan dan
wajahnya berseri. Dia tidak tahu betapa Ouw Sin Kok memandangnya dengan
penuh kagum melihat wajah yang cantik itu, dengan air mata yang masih
menepel di pipi, kini terenyum dan berseri‐seri. "Mari kita turun!" kata Liu
Bwee setelah melihat bahwa dengan amat cepatnya air telah meninggalkan
pulau, seperti serombongan anak‐anak nakal yang pulang ke rumah dipanggil
ibunya. Mereka meloncat turun dan menuju ke tepi pantai di mana Ouw San
Kok menaruh perahunya. Girang hatinya bahwa sebelum meninggalkan
perahu ketika badai mulai mengamuk, dia telah mengikat perahunya dengan
kuat sekali pada batu karang sehingga kini perahunya itu masih berada di
situ.Akan tetapi perahu Liu Bwee lenyap tak meninggalkan bekas. "Liutoanio,
mari kita berangkat." "Eh, ke mana?" Liu Bwee memandang penuh
keheranan dan mengerutkan alisnya. "Ke Pulau Es." "Apa....? Apa
maksudmu?" Liu Bwee hampir menjerit. "Aku tidak sudi! Aku tidak mau
kembali hanya untuk menerima penghinaan saja." "liu‐toanio, seorang wanita
seperti Toanio tidak selayaknya hidup sengsara seperti ini. Han Ti Ong telah
berlaku sewenang‐wenang dan tersesat. Biarlah aku yang akan menegur dan
mengingatkannya akan kesesatannya itu, Toanio. Aku tidak rela melihat
Toanio diperlakukan dengan tidak adil, aku tidak rela melihat Toanio hidup
sengsara. Marilah dan jangan khawatir, aku sebagai seorang laki‐laki tentu
PART 268
akan lebih mudah menyadarkan suamimu yang sedang tergila‐gila kepada
wanita lain itu. Akulah yang bertanggung jawab, dan kupertaruhkan
nyawaku untuk itu." Liu Bwee memandang dengan kaget dan terheran‐heran,
bengong dan seperti terpesona sehingga dia menurut saja ketika diajak naik
ke perahu oleh Ouw Sian Kok. Setelah perahu meluncur, barulah dia dapat
berkata, "Ouw‐twako.... mengapa kau melakukan semua ini untukku?
Mengapa engkau menolongku, membelaku mati‐matian? Mengapa engkau
begini baik kepadaku?" Sambil mendayung perahunya dengan gerakan
tangkas dan kuat sekali sehingga perahu itu melucur amat cepatnya di
permukaan air laut yang kini amat tenang, setenang‐tenangnya seolah‐olah
raksasa yang habis mengamuk hebat itu kini kelelahan dan kehabisan tenaga,
Ouw Sian Kok menjawab tanpa menoleh kepada Liu Bwee, "Engkau begitu
sengsara, dan begitu tenang, mengingatkan aku kepada isteriku yang
tercinta. Engkau begitu membutuhkan perlindungan, begitu membutuhkan
bantuan.Siapa lagi kalau bukan aku yang membantumu, Toanio?" Liu Bwee
memandang laki‐laki itu dari samping, tak terasa lagi kedua matanya basah
dan beberapa butir air mata turun di sepanjang pipinya. Sejenak dia tidak
mampu menjawab. Memang dia sudah tidak mempunyai siapa‐siapa lagi di
dunia ini, hanya Swat Hong yang sekarang tidak diketahuinya berada di
mana. Tidak ada seorang pun yang menemaninya, apalagi membelanya. Maka
kemunculan laki‐laki gagah perkasa ini yang memperlihatkan sikap
membelanya mati‐matian itu menimbulkan sikap keharuan hatinya, apalagi
mendengar betapa laki‐laki itu ketika melihat dia teringat akan isterinya
tercinta yang telah meninggal dunia, hatinya menjadi terharu sekali dan dia
tidak tega untuk menolak lagi. Di samping itu, juga ada rasa sungkan dan
malu‐malu di dalam hati wanita ini karena dia seperti mendapat bisikan
hatinya bahwa laki‐laki penolongnya ini menaruh hati kepadanya dan rela
membelanya dengan taruhan nyawa! Hal ini bukan membuat dia merasa
bangga dan girang seperti yang mungkin akan dirasakannya jika dia masih
seorang gadis muda, melainkan mendatangkan rasa sungkan dan malu
sehingga pelayaran itu dilanjutkan dengan diam‐diam karena Liu Bwee
merasa sukar sekali untuk membuka mulut. Beberapa jam berlalu dengan
sunyi. Akhirnya Ouw Sian Kok yang merasa tidak tahan berkata, "Toanio, aku
mohon maaf sebanyaknya kalau semua ucapanku yang sudah‐sudah
menyinggung perasaanmu." Liu Bwee menggigit bibirnya. Laki‐laki ini, yang
gagah perkasa dan budiman harus diakuinya memiliki sifat jantan dan
rendah hati. "Tidak ada yang harus dimaafkan," katanya lirih. "Toanio marah
kepadaku?" sejenak kemudian Ouw Sian Kok bertanya lagi, sekali ini dia
tidak dapat menahan keinginan hatinya lagi untuk tidak menengok dan
menatap wajah wanita itu. Kebetulan sekali pada saat itu Liu Bwee juga
memandang kepadanya. Sedetik dua pasang mata itu bertemu bertemu, akan
tetapi Liu Bwee segera mengalihkan pandang matanya dan menjawab
dengan gerakan kepalanya menggeleng. Jawaban ini cukup bagi Ouw Sian
Kok. Dengan wajah berseri dan suara gembira dia berkata, "Aku girang
bahwa kau tidak marah kepadaku, Toanio." Perahu didayungnya kuat‐kuat
PART 269
dan perahu itu meluncur cepat sekali menuju ke tujuan, yaitu Pulau Es yang
biarpun tidak pernah didatanginya, namun sudah diketahui di mana
letaknya, karena sering kali dalam perantauannya dia memandang pulau itu
dari jauh. Kegembiraan besar seperti yang belum pernah dialaminya selama
lima belas tahun ini memenuhi hatinya. Kalau saja tidak ada Liu Bwee di situ,
kalau saja dia tidak merasa malu, tentu dia akan bernyanyi dengan riang
sebagai peluapan rasa gembiaranya. Dua hari dua malam meeka melakukan
pelayaran, kalau lapar mereka makan ikan panggang di atas perahu dan
minum air es yang mengambang di atas permukaan laut. Akhirnya tibalah
mereka di Pulau Es dan dari jauh saja sudah kelihatan perbedaan pulau itu
yang amat mengherankan Liu Bwee. "Mengapa begitu sunyi? dan begitu
bersih licin? Ouw‐twako, cepatlah mendarat, kurasa telah terjadi apaapa di
sana," katanya dengan jantung berdebar, tidak saja karena melihat pulau di
mana dia di besarkan sejak kecil itu akan tetapi juga tegang hatinya
membayangkan pertemuannya dengan suaminya dan dengan selir suaminya.
Setelah perahu menempel di pulau, Liu Bwee meloncat ke darat. Jantungnya
berdebar tegang, akan tetapi kini disertai rasa khawatir. Pulau Es berubah
bukan main. Mengapa tidak tampak seorang pun? Tak lama kemudian dia
berlari diikuti Ouw Sian Kok yang sudah mengikat perahunya. Pria ini pun
terheran‐heran mengapa pulau yang terkenal sekali di Pulau Neraka sebagai
kerajaan itu kelihatan begini sunyi senyap. Ketika mendekati sebuah
tanjakan dan tampak Istana Pulau Es, Liu Bwee mengeluarkan seruan
tertahan dan mukanya menjadi pucat sekali . "Apa.... apa yang terjadi.....? Dan
bangunan‐bangunan mereka..... mengapa lenyap? Hanya tinggal istana yang
kosong dan rusak..... ahhh..." Terhuyung‐huyung Liu Bwee berlari mendekati
istana, tetapi diikuti oleh Ouw Sian Kok yang merasa khawatir sekali. Seperti
seorang mabok, Liu Bwee berteriak‐teriak memanggil orang‐orang dan
berlari memasuki istana yang sudah kosong itu, diikuti oleh Ouw Sian Kok
yang juga merasa heran. Akan tetapi laki‐laki ini segera dapat menduga apa
yang telah terjadi. "Ke mana...? Mereka semua ke mana ....?" Liu Bwee berdiri
di tengah ruangan istana yang dahulu begitu megah dan kini kosong dan
sunyi itu. Melihat wajah yang pucat itu, mata yang terbelalak liar, Ouw Sian
Kok cepat meloncat dan memegang lengan Liu Bwee, ditariknya keluar dari
istana. Setelah tiba di luar istana, Ouw Sian Kok berkata suaranya tegas dan
penuh rasa iba, "Liu‐toanio, kuatkanlah hatimu. Ingatlah apa yang telah kita
alami di pulau kosong itu. Badai itu hebat bukan main, selama hidupku belum
pernah mengalami badai sehebat itu. Pulau Es ini tidak begitu jauh dan
melihat hebatnya badai, tidak salah lagi bahwa pulau ini pun dilanda badai."
Bagaikan kilat cepatnya gerakan Liu Bwee ketika dia membalikan tubuh
memandang pria itu, matanya terbelalak. "Ahhh....! Kau benar....! Badai itu!
Pulau Es diamuk badai dan disapu bersih oleh badai. Ya Tuhan....!" Liu Bwee
mendekap mukanya dengan kedua tangan, menjatuhkan diri berlutut di atas
es dan menangis sesenggukan. "Aku khawatir sekali, Tonio, bahwa tidak
hanya benda‐benda yang disapu bersih dari permukaan pulau ini, melainkan
juga para penghuninya. kalau ada penghuninya yang selamat, mustahil
Share This Thread