Page 18 of 28 FirstFirst ... 8141516171819202122 ... LastLast
Results 256 to 270 of 417
http://idgs.in/730445
  1. #256

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 255
    siasat. Biarpun penyeberangan itu amat sukar dan mereka berlima harus
    membunuh banyak ular berbisa, saling bantu membantu ketika batang
    bambu mereka itu menemui banyak halangan, akhirnya lima orang itu
    berhasil juga melompat ke atas pulau dimana telah berdiri serombongan
    orang yang ditugaskan menyambut mereka. Melihat dua puluh lebih orang
    yang berdiri seperti pasukan menyambut mereka, Pat‐jiu Mo‐kai segera
    tertawa bergelak dan berkata, "Ha‐ha‐ha, sungguh bagus sekali penyambutan
    Rawa Bangkai terhadap utusan dari An Goan‐swe!" Seorang di antara
    anggauta pasukan itu, yang berjenggot panjang dan bermata sipit, melangkah
    maju dan memberi hormat. "Selamat datang di Rawa Bangkai! Karena kami
    tidak tahu bahwa Cuwi yang terhormat datang berkunjung maka kami tidak
    mengadakan penyambutan di luar rawa. Akan tetapi Cuwi telah
    memperlihatkan kegagahan yang membuat kami tunduk dan kagum.
    Sekarang, silahkan Cuwi semua ikut dengan kami menghadap Hong‐houw
    (Ratu)." Diam‐diam lima orang itu terkejut juga sungguhpun mereka tahu
    siapa yang dimaksudkan dengan sebutan ratu itu. Benar‐benar bekas ketua
    Bu‐tong‐pai adalah seorang wanita yang angkuh dan hendak menerima
    mereka sebagai seorang ratu! Akan tetapi karena mereka berada di sarang
    yang berbahaya, mereka tidak banyak cakap melainkan mengikuti pasukan
    itu menuju ke tengah pulau dimana terdapat bangunan‐ bangunan yang kuat
    dan cukup indah. Lima orang utusan An Lu Shan itu diterima oleh The Kwat
    Lin, Kiam‐mo Cai‐li Liok Shi, dan Han Bu Ong putra The Kwat Lin, di dalam
    sebuah ruangan yang luas. Agak pucat muka Swi Nio dan otomatis dia
    menyentuh tangan Liem Toan Ki yang membalas dengan genggaman seolah
    olah hendak menghibur kegelisahan calon istrinya itu. Tentu saja Swi Nio
    merasa takut karena dia sudah mengenal watak subonya yang keras dan
    kejam, juga maklum betapa lihainya subonya itu. Dia tahu bahwa andai kata
    subonya berniat buruk, mereka berlima tentu akan tewas semua di tempat
    itu. "Ibu, itu Swi‐suci yang telah minggat datang kembali!" tiba tiba Han Bu
    Ong berkata sambil menudingkan telunjuknya ke muka Swi Nio. Swi Nio
    tidak dapat berdiam diri lebih lama lagi, dan dia maju menjatuhkan diri
    berlutut sambil berkata, "Subo, teecu harap subo sudi mengampunkan teecu."
    The Kwat Lin memandang tajam sejenak lalu menghela napas dan
    menggerakkan tangannya. Dia cukup bermata tajam untuk dapat melihat
    betapa empat orang laki laki yang datang bersama Swi Nio itu bersikap siap
    siaga dan kalau dia menurutkan hati panas turun tangan mengganggu
    muridnya itu, tentu empat orang utusan An Lu Shan itu akan membela Swi
    Nio mati matian. Hal ini sama sekali tidak diharapkannya dan sudah
    dibicarakannya tadi bersama Kiam‐mo Cai‐li, maka dia menekan
    perasaannya dan berkata,"Bangkitlah, engkau pergi dan menjadi
    kepercayaan An Goanswe, tidak terlalu mengecewakan." Lega bukan main
    hati Swi Nio dan dia bangkit berdiri lalu berkata kepada Bu Ong, "Sute
    engkau baik baik saja, bukan?" An Bu Ong yang biarpun masih kecil namun
    sikapnya sudah seperti orang dewasa itu mencibirkan bibirnya, mendengus
    seperti orang mengejek, lalu berkata, "Suci, baik sekali engkau, ya? Suheng

  2. Hot Ad
  3. #257

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 256
    dibunuh orang, dan ibu sampai lari ke sini, akan tetapi engkau malah minggat
    dan enak enak saja!" "Bu Ong, diamlah engkau!" The Kwat Lin berkata, lalu
    melanjutkan kepada Swi Nio, "Swi Nio, tahukah engkau bahwa kakakmu
    telah tewas?" Swi Nio mengangguk dan air matanya bercucuran dan segera
    diusapnya. "Teecu sudah mendengar akan hal itu, Subo." "Kalau begitu kita
    sama‐sama mendendam kepada pemerintah. Kita lupakan saja semua urusan
    lama, Swi Nio, dan baik sekali kalau kita dapat bekerja sama. Agaknya engkau
    kini sudah dipercaya menjadi utusan An Goanswe, ya?" Swi Nio cepat
    menjawab dan memperkenalkan teman‐temannya. "Teecu hanya menjadi
    pembantu dan penunjuk jalan saja bersama....dia ini...." Swi Nio menunjuk
    kepada Liem Toan Ki dan mukanya menjadi merah. "Siapa dia?" The Kwat Lin
    memandang tajam kepada Liem Toan Ki yang cepat maju menjura dengan
    hormat. "Maafkan, Pangcu...." "Aku bukan Ketua Bu‐tong‐pai lagi, aku adalah
    bekas Ratu Pulau Es!"jawab Kwat Lin ketus. "Maaf, saya bernama Liem Toan
    Ki dan Bu‐moi adalah calon istri saya." "Ibu, dia ini yang pernah menyerbu
    Bu‐tong‐pai dan dialah tentunya yang membawa minggat Suci!" tibatiba Bu
    Ong berkata. Toan Ki diam‐diam memuji kecerdikan anak laki‐laki itu dan dia
    terkejut sekali. "Benar demikian, saya yang dahulu menjadi petugas An
    Goanswe menyelidiki Bu‐tong‐pai dan kemudian mengajak pergi Bu‐moi
    yang sekarang menjadi calon istri saya." The Kwat Lin mengerutkan alisnya.
    Laki‐laki ini sebenarnya telah menghinanya sebagai bekas Ketua Bu‐tong‐pai
    dan sebagai guru Swi Nio, akan tetapi diam‐diam dia menerima isyarat mata
    Kiam‐mo Cai‐li, maka dia menoleh kepada Swi Nio sambil bertanya,
    "Benarkah kau menjadi calon isterinya?" Muka Swi Nio menjadi merah sekali.
    "Benar, Subo. Kami saling mencinta, akan tetapi teecu dan dia berjanji hanya
    akan melangsungkan pernikahan setelah dendam saya terbalas, yaitu setelah
    kerajaan sekarang jatuh dan dikuasai An Goanswe." "Hemm, sudahlah. Kalau
    kau dan calon suamimu ini hanya membantu, siapa yang menjadi utusan An
    Goanswe menghadap padaku?" "Mereka inilah," Swi Nio menunjuk kepada
    tiga orang teman‐temannya. Dia adalah Pat‐jiu Mo‐kai, dan Totiang ini adalah
    Siok Tojin, Lo‐enghiongitu adalah Tan Goan Kok. Mereka bertiga yang
    menjadi utusan An Goanswe. The Kwat Lin memandang tajam kepada tiga
    orang itu seolah‐olah hendak menimbang bobot mereka dengan matanya.
    Pat‐jiu Mo‐kai yang tertua dan dianggap pemimpin rombongan apalagi
    karena dia yang pandai bicara dibandingkan Tan Goan Kok yang kasar dan
    jujur, apalagi dengan Siok Tojin yang jarang sekali membuka mulut, segera
    tertawa. "Ha‐ha‐ha, kami bertiga pun hanyalah pembantu‐pembantu
    rendahan saja dari An Goanswe, akan tetapi kami menerima kehormatan
    untuk menjadi utusan Beliau menghadap Toannio The Kwat Lin yang
    namanya terkenal sebagai Ratu Pulau Es dan Ketua Bu‐tong‐pai, juga
    menghadap Kiam‐mo Cai‐li yang juga amat terkenal di dunia Kang‐ouw
    sebagai seorang wanita yang amat lihai dan cerdas sekali. Kami merasa amat
    terhormat dapat menjadi tamu‐tamu di Rawa Bangkai ini." Kiam‐mo Cai‐li
    Liok Si yang memang amat cerdas, kini mendahului Kwat Lin dan berkata,
    "Tidak tahu apakah kedatangan Cuwi ada hubungannya dengan pesan kami

  4. #258

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 257
    kepada An Goanswe" "Dugaan Cai‐li benar sekali. Kami berlima adalah
    utusan An Goanswe untuk menghadap Jiwi dan untuk bicara dengan Jiwi. An
    Goanswe telah menerima pesan Jiwi dan sebagai jawaban An Goanswe
    mengutus kami untuk bicara." "Lalu bagaimana keputusan An Goanswe
    tentang ajakan kami untuk bekerja sama?" The Kwat Lin bertanya. "An
    Goanswe merasa amat senang menerima surat Jiwi dan tentu saja An
    Goanswe menerima dengan kedua tangan terbuka uluran kerja sama Jiwi itu.
    Sudah lama An Goanswe merasa kagum, terutama sekali melihat siasat
    gemilang yang berhasil baik sehingga Jiwi sekalian dapat menyelundupkan
    orang menjadi kepercayaan Yang Kui Hui. Hanya sayang, pada saat terakhir
    siasat gemilang itu mengalami kegagalan karena orang kepercayaan Jiwi
    tidak dapat menahan nafsu berahinya. Kami diutus oleh An Goanswe untuk
    menyampaikan pesan bahwa jika Jiwi suka membantu dari dalam, yaitu
    berusaha menanam tenaga‐tenaga bantuan di dalam kota raja dan kalau
    mungkin di dalam istana agar kelak memudahkan penyerbuan ke kota raja
    apabila saatnya yang tepat tiba, maka An Goanswe akan berterima kasih
    sekali." Mendengar pesan An Lu Shan yang di sampaikan oleh Pat‐jiu Mo‐kai
    ini, hati kedua orang wanita itu menjadi girang sekali sungguhpun
    kegirangan itu tidak terbaca di wajah mereka. "Kami yang tidak mempunyai
    pasukan besar memang tahu diri dan tentu saja hanya akan membantu dari
    dalam seperti yang diusulkan An Goanswe. Kami dapat menerima usul itu
    dan sebaiknya kita rencanakan siasat‐siasatnya bersama." The Kwat Lin
    berkata. "Sebelum kita berunding dan mengatur siasat agar dapat kami
    sampaikan kepada An Goanswe terlebih dahulu kami harus menyampaikan
    semua pesan Beliau untuk Jiwi. Selain usul itu juga An goanswe mengatakan
    bahwa pekerjaan membantu dari dalam itu merupakan pekerjaan yang amat
    rumit, sulit, dan berbahaya. Hanyalah orang‐orang yang memiliki ilmu
    kepandaian yang amat tinggi saja yang akan dapat berhasil dan An Goanswe
    ingin memperoleh keyakinan bahwa para pembantunya tidak akan gagal."
    Mendengar kata‐kata kakek berpakaian tambalan itu, merahlah wajah The
    Kwat Lin dan hatinya menjadi panas. "Hemm, ucapanmu itu berarti bahwa
    kalian hendak menguji kepandaian kami?" Sambil tertawa Kiam‐mo Cai‐li
    yang melihat kemarahan kawannya itu bangkit berdiri dan meloncat ke
    tengah ruangan yang luas itu sambil berkata, "Memang sudah seharusnya
    demikian! An Goanswe adalah seorang Jenderal besar yang cerdik pandai,
    tentu akan menguji setiap orang sekutu atau pembantunya. Nah, biarlah aku
    yang lebih dulu memperlihatkan kepandaian. Siapakah di antara Cuwi
    berlima yang hendak menguji?" Dengan lagak memandang rendah Kiam‐mo
    Cai‐li berdiri dan memandang ke arah lima orang utusan itu. Tentu saja Bu
    Swi Nio tidak berani bergerak, juga Liem Toan Ki yang sudah maklum akan
    kehebatan ilmu kepandaian wanita Majikan Rawa Bangkai itu mengerti
    bahwa dia bukanlah tandingannya. Melihat wanita yang usianya lima puluh
    tahun itu masih cantik menarik dan memegang sebatang payung, berdiri
    dengan sikap memandang rendah, Siok Tojin yang sejak tadi diam saja sudah
    bangkit. Ilmu kepandaian tosu ini amat tinggi terutama ilmu pedangnya, dan

  5. #259

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 258
    di dalam rombongan itu dia merupakan orang ke dua yang terpandai.
    "Biarlah pinto yang akan menguji," katanya. Pat‐jiu Mo‐kai mengangguk.
    Memang yang akan menjadi tukang menguji kepandaian dua orang wanita itu
    adalah mereka bertiga, dan dia mendengar bahwa kepandaian bekas Ratu
    Pulau Es itu lebih hebat daripada kepandaian Kiam‐mo Cai‐li, maka memang
    sebaiknya kalau Siok Tojin yang menghadapi Kiam‐mo Cai‐li sedangkan dia
    nanti yang akan menghadapi The Kwat Lin. Kiam‐mo Cai‐li memandang tosu
    itu penuh perhatian, kemudian sambil tersenyum dia berkata, "Kalau aku
    hanya mampu menandingi Siok Tojin, agaknya belumlah patut aku menjadi
    tangan kanan Ratu Pulau Es dan akan menjadi kepercayaan An Goanswe,
    akan tetapi hendak kuperlihatkan bahwa aku akan dapat mengalahkan
    totiang dalam sepuluh jurus. kalau sampai dalam sepuluh jurus aku tidak
    mampu mengalahkan Totiang, anggap saja aku tidak becus dan aku akan
    mengundurkan diri!" Ucapan ini mengejutkan semua utusan itu. Biarpun
    mereka sudah lama mendengar nama besar datuk wanita yang merupakan
    iblis betina ini, namun Siok Tojin bukan orang sembarangan. Ilmu pedangnya
    amat tangkas, hebat dan kuat. Bagaimana wanita itu berani bersombong
    mengatakan hendak mengalahkannya dalam sepuluh jurus? Namun The
    Kwat Lin yang dengan pandang matanya yang tajam dapat menilai orang,
    tenang‐tenang saja. Juga Kiam‐mo Cai‐li bukanlah menyobongkan diri secara
    ngawur, melainkan dia pun sudah dapat menilai kepandaian tosu itu dari
    gerakanya maka dia berani menantang akan mengalahkannya dalam sepuluh
    jurus. Siok Tojin mengerutkan alisnya, perutnya terasa panas. Dia tidak
    pandai bicara, maka dalam kemendongkolannya dia hanya berkata, "Hemm,
    seekor kerbau diikat hidungnya, manusia diikat mulutnya!" Ucapan ini
    mengandung maksud bahwa kalau Kiam‐mo Cai‐li tidak memenuhi janji yang
    diucapkan dengan mulut, dia sama dengan seekor kerbau! Setelah berkata
    demikian, tangan kananya bergerak dan tampaklah sinar berkilau dari
    pedang yang telah dicabutnya. "Tentu saja mulutku dapat dipercaya, Siok
    Tojin! Aku akan mengalahkanmu dalam waktu sembilan jurus! Kiam‐mo Caili
    berkata sambil mengejek dan tangan kanannya memegang payung yang
    segera terbuka dan dipakainya, sedangkan tangan kirinya diraba‐raba
    sanggul rambutnya, seperti merapikan padahal diamdiam dia melepas tali
    rambutnya yang panjang itu. JILID 16 "Ehhh.... celaka.....!!" Siok Tojin berseru,
    akan tetapi bagaimana dia dapat menghindarkan diri dari serangan ke tiga
    ini? Kedua tangannya telah menahan dua ancaman maut dan sama sekali
    tidak bisa dilepaskan. "Plak‐plak....!!" Seperti ular hidup mematuk saja
    layaknya, ujung rambut panjang itu menotok dua kali, membuat ke dua
    lengan tangan Siok Tojin seketika lumpuh dan pedangnya telah dirampas
    oleh ujung rambut yang terayun‐ayun dan berputar ke atas, membawa
    pedang itu berputaran di atas kepala. "Bagaimana, Totiang?" Kiam‐mo Cai‐li
    bertanya. Sambil menundukan kepalanya, Siok Tojin berkata lirih, "Pinto
    mengaku kalah." Dan memang dia tahu akan kekeliruannya sekarang, akan
    tetapi dia harus mengaku bahwa dia telah dikalahkan dalam lima enam jurus
    saja! Dia tahu pula bahwa lawan tidak hendak mencelakakannya, kakau tidak,

  6. #260

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 259
    tentu ujung rambut itu dapat melakukan totokan maut yang akan
    menewaskannya. Rambut itu membawa pedang meluncur ke bawah dan
    melempar pedang menancap di depan kaki Siok Tojin, kemudian dua kali
    rambut menyambar, dan menotok sehingga terbebaslah tosu itu dari totokan.
    Siok tojin menghela napas, mengambil pedangnya, menjura lalu tanpa
    berkata‐kata lagi dia menlangkah mundur ke tempat teman‐temannya. "Haha‐
    ha, bukan main hebatnya Kiam‐mo Cai‐li. Pedang payung lihai, kukunya
    berbahaya, rambutnya hebat, akan tetapi yang lebih hebat lagi adalah
    kecerdikannya yang memancing kemarahan Siok Tojin! Memang kecerdikan
    seperti itu amat dibutuhkan dalam tugas bekerja dari dalam yang
    membutuhkan kecerdikan seperti yang dimiliki Kiam‐mo Cai‐li. (Kionghi
    (Selamat)! An Goanswe tentu akan girang sekali mendengar laporan kami
    tentang diri Kiam‐mo Cai‐lil!" Kiam‐mo Cai‐li yang sudah duduk kembali,
    tersenyum girang. Aihh, Loenghiong Pat‐jiu Mo‐kai terlalu memuji! katanya
    dengan bangga dan girang. "Sekarang untuk melengkapi tugas kami yang
    diberikan oleh An Goanswe, kuharap The‐toanio suka memperlihatkan
    kepandaian," kata pula Pat‐jiu Mo‐kai sambil melangkah maju menyeret
    tongkat bututnya. "Dan agaknya terpaksa aku sendiri yang harus maju
    melayani Toanio." The Kwat Lin masih tetap duduk dan memandang kakek
    pengemis itu dengan sinar mata tajam penuh selidik, kemudian dengan suar
    tenang dia berkata, "Siapa lagi yang diutus oleh An Goanswe untuk menguji
    kami?" "Hanya kami bertiga, dan karena Siok Tojin sudah kalah....." "maka
    tinggal engkau dan Tan Lo‐enghiong itu. Nah, kaulihat Tan Lo‐enghiong juga
    telah membawa senjatanya, membawa sebatang toya, maka sebaiknya kalau
    kalian berdua maju dan mengeroyokku!" Pat‐jiu Mo‐kai tertawa bergelak.
    "Ha‐ha‐ha, The‐toannio, apakah Toanio juga hendak menggunakan siasat
    seperti Kiam‐mo Cai‐li tadi? Ingat, tidaklah mudah untuk memancing
    kemarahanku!" The Kwat Lin mengerutkan alisnya, lalu melangkah maju.
    "Siapa yang menggunakan siasat? Tanpa siasat pun, menghadapi kalian
    berdua aku masih sanggup." Tiba‐tiba terdengar suara Han Bu Ong, "Ibu,
    berikan dia kepadaku! Biar aku yang menandingi pengemis tua itu!" Pat‐jiu
    Mo‐kai diam‐diam terkejut. Kalau seorang anak belasan tahun berani
    menghadapinya, tentu ibunya memiliki kepandaian yang hebat sekali. Akan
    tetapi The Kwat Lin menoleh kepada puteranya dan berkata, "Bu Ong, kita
    tidak sedang menghadapi musuh, dan pertandingan ini hanya untuk menguji
    kepandaian saja. Jangan kau ikut‐ikut!" Han BU Ong cemberut lalu berkata,
    "Apalagi hanya dikeroyok dua, biar kalian berlima maju semua, ibu akan
    dapat mengalahkan kalian dengan satu tangan saja!" Kembali Pat‐jiu Mo‐kai
    terkejut. Bocah itu, putera The Kwat Lin, tidak lebih dianggap seperti bocah
    biasa, dan tentu telah memiliki kepandaian tinggi pula, maka kata‐katanya
    tidak boleh dianggap kosong belaka. Lenyaplah keraguannya dan dia berkata
    kepada The Kwat Lin, "Memang sesungguhnya aku sendiri dan Tan Goan Kok
    merupakan orang‐orang yang diutus menguji kepandaian Toanio, apakah
    kami boleh maju bersama menghadapi kelihaian Toanio?" Dengan sikap tak
    acuh The Kwat Lin berkata sambil menggerakan tangan kirinya, "Majulah,

  7. #261

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 260
    jangan sungkan‐sungkan!" Tan Goan Kok yang berwatak kasar itu melompat
    ke depan. "Hemm, tentu Nyonya rumah memiliki kelihaian yang luar biasa
    maka menantang kita maju berdua, Pat‐jiu Mo‐kai!" Pat‐jiu Mo‐kai
    mengangguk‐angguk. "Hati‐hatilah, Tan‐sicu." Mereka berdua lalu memasang
    kuda‐kuda di sebelah kanan kiri The Kwat Lin. Pat‐jiu Mo‐kai memegang
    tongkat butut dengan tangan kanan seperti memegang sebatang pedang,
    tongkat itu menuding ke depan dari dadanya, lurus ke depan, sedangkan
    tangan kirinya menjaga di depan pusar, kedua kaki ditekuk sedikit, agak
    merapat di depan dan belakang. Tan Goan Kok memegang toyanya dengan
    kedua tangan, kuda‐kudanya kuat sekali, kokoh seperti batu karang dan toya
    di kedua tangannya itu sedikit pun tidak bergoyang. Melihat dua orang itu
    sudah memasang kuda‐kuda, The Kwat Lin lalu mencabut pedangnya, yaitu
    Angbwe‐ kiam dan melangkah maju sambil berkata, Nah silahkan kalian
    mulai!" "Kami adalah tamu‐tamu dan kami maju berdua, tidak pantas kalau
    kami mulai, silahkan Toanio mulai," kata Pat‐jiu Mo‐kai yang tidak mau
    membuka serangan karena dia ingin lawan maju menyerang lebih dulu agar
    dia atau temannya dapat mengacaukan pertahanan lawan dengan serangan
    mendadak. The Kwat Lin tersenyum, maklum akan siasat kakek jembel itu.
    "Nah, sambutlah!" teriaknya dan Pat‐jiu Mo‐kai kecele kalau hendak
    melanjutkan siasatnya karena tiba‐tiba pedang itu lenyap bentuknya,
    berubah menjadi sinar yang menyambar ke arah mereka seperti kilat
    cepatnya sehingga sekali bergerak, pedang itu telah menyerang mereka
    berdua dalam waktu yang hampir bersamaan! Tentu saja mereka terkejut
    sekali dan cepat menggerakkan tongkat dan toya untuk menangkis. "Trang...!
    Cringggg....!!" Pat‐jiu Mo‐kai dan Tan Goan Kok terhuyung ke belakang.
    Tenaga yang keluar dari Ang‐bwe‐kiam sungguh dahsyat, membuat telapak
    tangan mereka terasa panas dan hampir saja senjata mereka terlepas.
    Terkejutlah kedua orang itu dan The Kwat Lin diam‐diam mentertawakan
    mereka karena dia memang hendak mengukur lebih dulu kekuatan lawan.
    Karena merasa penasaran, kini ke dua orang itu maju dari kanan kiri dan
    mulailah mereka menyerang dengan ganas. Kwat Lin sudah dapat
    mengetahui bahwa di antara kedua orang pengeroyoknya, tongkat kakek
    jembel itulah yang lebih lihai maka dia selalu mendahulukan tangkisannya
    terhadap tongkat itu, baru dia menangkis toya yang menyambar. Dia tahu
    bahwa kakek Tan Goan Kok yang kasar itu hanyalah menggandalkan tenaga
    gwakang yang besar, namun makin besar tenaga kasar lawan, makin mudah
    dia menghadapinya karena sedikit getarkan pedang yang dilakukan dengan
    pengerahan sinkang cukup membuat telapak tangan Tan Goan Kok terpukul
    sendiri oleh tangannya. Lewat sepuluh jurus, setelah dia yakin akan ukuran
    tenaga kedua orang lawannya, Tiba‐tiba The Kwat Lin menyarungkan
    kembali pedangnya dan menghadapi kedua lawan itu dengan tangan kosong.
    Tentu saja dua orang lawannya cepat menahan senjata dan pat‐jiu Mo‐kai
    berseru, Heiii, The‐toanio. Kami belum kalah mengapa engkau mengakhiri
    pertandingan?" "Siapa Mengakhiri? lanjutkanlah serangan kalian, aku
    menyimpan pedang karena takut rusak." "Huhhh, dengan tangan kosong pun

  8. #262

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 261
    ibu akan mudah mengalahkan kalian!" Mendengar teriakan bocah itu, dua
    orang kakek itu lalu maju lagi dan menggerakan senjata mereka untuk
    menyerang. Tongkat pat‐jiu Mo‐kai melayang dari atas menghantam kepala,
    sedangkan toya Tan Goan Kok menyambar dari samping menghantam
    lambung! Mereka terkejut setengah mati melihat lawan itu sama sekali tidak
    mengelak, hanya miringkan sedikit tubuhnya dan meloncat sedikit. "Bukkk!
    Bukkkk!!" Tongkat itu dengan kerasnya menghantam leher dan toya itu
    menghantam pangkal paha, akan tetapi tiba‐tiba dua orang kakek itu roboh
    terguling dalam keadaan lemas tertotok! "Horeeee....!!" Han Bu Ong bersorak
    melihat betapa dalam segebrakan saja setelah ibunya menyimpan pedang,
    dua orang pengeroyok itu dapat dirobohkan. Sementara itu, The Kwat Lin
    cepat membebaskan totokannya dan dua orang kakek itu dapat bangkit
    sambil memungkut senjata mereka dan memandang dengan mata terbelalak
    kagum kepada wanita itu. Hampir mereka tidak dapat percaya bahwa mereka
    dapat dirobohkan hanya dalam segebrakan saja, namun kenyataannya
    memang demikian dan mengingat akan siasat lawan ini, mereka bergidik dan
    kagum sekali. Ternyata ketika tadi dia menggunakan pedang, The Kwat Lin
    hanya ingin mengukur sampai di mana kekuatan dua orang lawannya.
    Setelah yakin benar, dia menyimpan pedang dan sengaja menerima
    hantaman yang sudah dia ukur akan dapat diterima oleh leher dan
    pinggulnnya, kemudian pada saat kedua senjata itu tiba di tubuhnya,
    menggunakan kesempatan selagi kedua orang kakek itu terkejut melihat
    lawan tidak mengelak dan menerima pukulan, cepat seperti kilat kedua
    tangan The Kwat Lin bergerak dan berhasil menotok roboh dua orang kakek
    yang sama sekali tidak menduga bahwa lawan yang terkena hantaman dua
    kali itu akan menotok mereka! "Bukan Main!!!" Tan Goan Kok berseru dan
    menggeleng‐gelengkan kepalanya. Belum pernah selama hidupnya dia
    bertemu tanding sehebat itu. "Kami mengaku kalah! Kiranya The toanio
    memiliki kelihaian yang amat luar biasa dan kami akan melaporkan semua
    ini kelak kepada An Goanswe," kata pat‐jiu Mo‐kai. The Kwat Lin dan Kiammo
    Cai‐li girang sekali setelah dapat menundukan para utusan itu, maka
    pesta lalu diadakan untuk menyambut utusan‐utusan An Lu Shan dan sambil
    makan minum mereka lalu merundingkan dan merencanakan siasat untuk
    bekerja sama. Dalam kesempatan ini, Pat‐jiu Mo‐kai mengeluarkan sebuah
    peti hitam kecil dan menyerahkannya kepada The Kwat Lin sambil berkata,
    "Harap Toanio suka menerima hadiah tanda persahabatan dari An Goanswe
    ini." The Kwat Lin menyatakan terima kasih, lalu bersama Kiam‐mo Cai‐li
    membuka peti yang terisi emas dan perak dalam jumlah yang cukup banyak.
    The Kwat Lin lalu melepaskan rantai kalungnya dan menyerahkannya
    kepada Pat‐jiu Mo‐kai sambil berkata, "kami tidak mempunyai apa‐apa untuk
    dipersembahkan kepada An Goanswe sebagai tanda persahabatan ini, harap
    Mo‐kai suka menerima dan menyampaikan kepada Beliau." Pat‐jiu Mo‐kai
    menerima kalung itu dan mereka berlima terbelalak kagum melihat mata
    kalung yang amat besar dan indah penuh batu permata yang amat luar biasa.
    Biarpun mereka bukanlah ahli, namun pengalaman mereka membuat

  9. #263

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 262
    mereka, terutama tiga orang kakek itu dapat menduga bahwa harga kalung
    ini tidak kalah mahalnya dengan peti dan isinya, hadiah dari An Lu Shan tadi!
    "Hendaknya di antara pelaporan Cuwi, diberitahukan kepada An Goanswe
    bahwa kami sama sekali tidak membutuhkan harta benda, melainkan
    hendaknya An Goanswe mengingat bahwa saya adalah bekas Ratu Pulau Es
    dan puteraku adalah seorang Pangeran, sedangkan Kiam‐mo Cai‐li adalah
    majikan Rawa Bangkai sehingga kelak kalau perjuangan kita berhasil, sudah
    sepatutnya kalau kami memperoleh kedudukan yang setingkat dengan
    keadaan dan dengan bantuan kami." Mengertilah tiga orang kakek itu bahwa
    wanita lihai bekas ratu ini ternyata memiliki ambisi untuk kedudukan tinggi
    bagi puteranya. Sudah terlalu lama kita meninggalkan Lui Bwee, Ratu Pulau
    Es yang bernasib sengsara, ibu dari Swat Hong itu. Seoerti telah diceritakan
    di bagian depan, Liu Bwee meninggalkan Pulau Es, naik perahu dan mencari
    atau menyusul puterinya, Han Swat Hong yang lebih dulu meninggalkan
    Pulau Es menuju ke Pulau Neraka hendak menggantikan hukuman yang
    dijatuhkan oleh Raja Pulau Es atau diri Liu Bwee. Sambil menahan tangisnya,
    wanita yang menderita sengsara karena madunya ini mendayung perahu
    secepatnya meninggalkan Pulau Es. Akan tetapi, biarpun semenjak kecil
    berada di Pulau Es, namun dia belum pernah pergi Ke Pulau Neraka.
    Siapakah orangnya yang berani pergi ke Pulau Neraka, kecuali mereka yang
    memang dihukum buang ke pulau terkutuk itu? Karena tidak mengenal jalan,
    Lui Bwee menjadi bingung, apalagi karena tidak lagi melihat bayangan
    puterinya. Dia adalah puteri nelayan Pulau Es, tentu saja dia pandai
    mengemudikan perahu, akan tetapi karena tidak tahu di mana letaknya Pulau
    Neraka, dia menjadi bingung dan meluncurkan perahunya tanpa arah
    tertentu, asal meninggalkan Pulau Es sejauh‐jauhnya saja. Dia ingin
    menjauhkan diri dari suaminya yang amat tercinta, dan terutama dari The
    Kwat Lin, madunya yang telah menghancurkan hidupnya. Setelah sehari
    semalam berputaran tanpa tujuan dan sama sekali tidak melihat Pulau
    Neraka atau puterinya, bahkan tidak melihat seorang pun manusia yang
    dapat dia tanyai di antara gumpalan‐gumpalan es yang mengambang di laut
    dan pulau‐pulau kosong yang banyak terdapat di situ, tanpa makan tanpa
    tidur, akhirnya Liu Bwee terpaksa mendarat di sebuah pulau kosong yang
    subur. Dia mencari makanan untuk memenuhi tuntutan perutnya yang lapar,
    kemudian melihat bahwa pulau ini cukup subur dan baik hawanya, dia
    mengambil keputusan untuk tinggal di pulau itu, betapa selama hidupnya
    sampai hari akhir. Dia sudah merasa bosan dengan urusan dunia yang hanya
    mendatangkan kesengsaraan batin belaka. Mulailah Liu Bwee, wanita cantik
    yang usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun dan masih kelihatan muda
    sekali itu mengasingkan diri dan bertapa di pulau kosong sampai hampir
    enam bulan lamanya. Dia sudah menemukan ketentraman batin, melupakan
    segala urusan duniawi. Namun ada saja sebabnya kalau memang belum
    jodohnya menjadi pertapa. Pada suatu hari, badai yang amat hebat
    mengamuk. Badai inilah yang membasahi Pulau Es dan badai ini mengamuk
    juga di pulau kosong di mana Liu Bwee bertapa itu. Hebat bukan main dan

  10. #264

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PRT 263
    biarpun Liu Bwee tadinya sudah bersembunyi di dalam goa, dia diterjang air
    laut yang naik ke atas pulau. Berkat ketangkasan dan kepandaiannya, Liu
    Bwee berhasil menyambar ujung ranting pohon ketika tubuhnya diseret oleh
    harus ombak laut yang amat kuat dan dia berhasil naik ke puncak pohon
    kecil yang menyelamatkanya. Akan tetapi, air bergelombang dari arah laut
    dan dia harus berpegang kepada batang pohon itu kuat‐kuat setiap kali air
    menghantamnya dengan kekuatan yang amat dahsyat. Dan hal ini
    berlangsung berjam‐jam. Betapapun kuatnya Liu Bwee, dia hanya seorang
    manusia, maka makin lama makin lemaslah tubuhnya karena dia harus
    berjuang melawan air laut yang dahsyat itu. Setiap kali ombak datang
    bergulung, hampir menenggelamkan pohon itu dan selain dia harus
    berpengang kuat‐kuat mengerahkan sinkangnya agar jangan sampai terseret
    oleh air, juga dia harus menahan napas karena iar menghantam seluruh
    tubuh dan mukanya. "Celaka...." pikirnya ketika untuk kesekian puluh kalinya
    dia berhasil mempertahankan dirinya dari serangan air laut. "Kalau terus
    begini, aku tidak akan kuat lagi bertahan...." Liu Bwee melihat ke kanan kiri.
    Banyak pohon yang sudah tumbang dan dia merasa ngeri. Kalau pohon di
    mana dia berlindung ini tumbang, dia tentu akan tewas. Sayang dia tidak
    dapat pindah ke pohon yang tinggi di sana itu, tentu dia akan aman dan air
    tidak dapat mencapai pohon itu. Kembali datang serangan air, Liu Bwee
    memejamkan mata, menahan napas dan berpegang eraterat, maklum bahwa
    yang datang ini adalah ombak yang amat ganas dan kuat. "Haiiii....! Yang di
    sana itu.....! Berpeganglah kuat‐kuat....! Aku akan berusaha menolongmu....!!"
    Teriakan suara laki‐laki ini datang dari arah pohon tinggi tadi. Liu Bwee
    membuka matanya, melihgat sinar hitam kecil menyambar dari pohon besar
    itu, akan tetapi pada saat itu, air pun datang menerjang dengan kekuatan
    yang amat dahsyat. "Oughhh....!" Betapapun kuat kedua tangannya Liu Bwee
    berpegang pada ranting pohon, namun kekuatan air itu lebih dahsyat lagi.
    Terdengar batang itu patah dan tubuh Liu Bwee hanyut terseret ombak. Dia
    sudah putus asa dan menyerahkan jiwa raganya kepada Tuhan. "Matilah
    aku...." bisiknya. Akan tetapi tiba‐tiba tubuhnya terasa nyeri dan tertahan,
    kemudian tubuhnya ditarik menuju ke pohon besar! Ketika dia
    memperhatikan, kiranya tubunya telah terlibat sehelai tali hitam yang amat
    kuat dan teringatlah dia akan sinar hitam yang tadi menyambar kepadanya
    sebelum air menghantamnya. Dia maklum bahwa ada orang menolongnya
    maka bangkit kembali semangatnya untuk melawan maut, mempertahankan
    hidupnya. Lui Bwee mulai menggerakkan kaki tangannya, berenang agar
    tidak sampai tengelam dan membiarkan dirinya diseret oleh tali itu ke arah
    pohon besar yang lebih tinggi itu. Napasnya terengah‐engah hampir putus
    karena tenaganya sudah habis dipergunakan untuk melawan hantamanhantaman
    air yang bertubi‐tubi tadi. Kalau saja tidak ada tali hitam yang
    melingkari pinggangnya dan selain menariknya ke arah pohon juga
    menahannya dari seretan ombak, tentu dia tidak sanggup berenang ke pohon
    itu. Dia berenang hanya untuk mencegah tubuhnya tenggelam saja. Tahulah
    dia bahwa nyawanya diselamatkan oleh tali dan diam‐diam dia berterima

  11. #265

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 264
    kasih sekali kepada orang yang berada di pohon dan yang belum tampak
    olehnya itu. Dengan seluruh tenaga yang masih bersisah padanya, Liu Bwee
    berusaha keras agar dia tidak sampai tenggelam. "Pertahankanlah.... sebentar
    lagi...." terdengar suara laki‐laki tadi dari pohon dan Liu Bwee merasa betapa
    tubuhnya di tarik makin cepat ke arah pohon karena dari arah laut sudah
    datang lagi gelombang yang amat dahsyat. Ngeri juga dia menyaksikan
    gelombang sebesar gunung yang datang bergulung‐gulung dari depan seolaholah
    seekor naga raksasa yang datang hendak menelannya. "Cepat....
    cepatlah!" Dia merintih dan dalam keadaan setengah pingsan dia merasa
    betapa tubuhnya ditarik atau lebih tepatnya diseret ke arah pohon itu.
    Akhirnya dia tiba di pohon itu dan sebuah lengan yang kuat, menyambarnya,
    tubuhnya diangkat ke atas pohon tepat pada saat gelombang itu datang
    bergulung‐gulung. Liu Bwee mengeluh dan tak sadarkan diri! "Aneh....!"
    Lapat‐lapat Liu Bwee mendengar kata‐kata "aneh" itu. Akan tetapi seluruh
    tubuhnya sakit‐sakit, kepalanya pening dan tenaganya habis maka dia tidak
    membuka mata dan membiarkan saja ketika measa betapa ada telapak
    tangan hangat menyentuh tengkuknya dan dari telapak tangan itu keluar
    hawa sinkang yang hangat dan yang membantu peredaran jalan darahnya,
    memulihkan kembali tenaganya secara perlahan‐lahan. "Aneh sekali....!" Kini
    Liu Bwee teringat semua dan mengenal suara itu sebagai suara laki‐laki yang
    menolongnya. Cepat dia membuka matanya dan menggerakan tubuhnya
    hendak bangkit duduk. Akan tetapi hampir dia menjerit karena tubuhnya
    limbung dan kalau laki‐laki itu tidak cepat menyambar lengannya, tentu dia
    sudah jatuh terguling dari atas batang pohon yang besar itu, jatuh ke bawah
    yang masih direndam air laut yang masih berguncang. "Ahhhh....!" Dia
    berkata lalu mengangkat muka memandang. Seorang laki‐laki, usianya tentu
    sudah empat puluh tahun lebih duduk di atas dahan di depannya. Laki‐laki
    itu berwajah gagah sekali, alisnya tebal matanya lebar dan air mukanya yang
    penuh goresan tanda penderitaan batin itu kelihatan matang dan penuh
    ketulusan hati, tubuhnya tegap dan pakaiannya bersih dan rapi, di
    punggungnya tampak sebatang pedang. Laki‐laki itu memandang kepadanya
    dengan air muka membayangkan keheranan, maka tentu laki‐laki ini yang
    tadi berkali‐kali menyerukan kata‐kata"aneh" dan tentu laki‐laki ini pula
    yang telah menolongnya karena di dalam pohon itu tidak ada orang lain
    kecuali mereka berdua. "Engkaulah yang menyelamatkan nyawaku tadi? Aku
    harus menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolonganmu." Liu
    Bwee berkata sambil memandang wajah yang gagah dan sederhana itu. Lakilaki
    itu mengelus jenggot yang hitam panjang, menatap wajah Liu Bwee
    kemudian berkata, "Harap jangan berkata demikian. Dalam keadaan dunia
    seolah‐olah kiamat ini, alam mengamuk dahsyat tak terlawan oleh tenaga
    manusia manapun, sudah sepatutnya kalau di antara manusia saling bantumembantu.
    Hemmm... sungguh aneh sekali....!" "In‐kong (Tuan Penolong),
    mengapa berkali‐kali mengatakan aneh?" tanya Liu Bwee. Orang itu tidak
    tertawa, hanya mengelus jenggotnya dan menatap wajah Liu Bwee tanpa
    sungkan‐sungkan, seolah‐olah dia sedang memandang benda yang aneh dan

  12. #266

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 265
    belum pernah dilihatnya. "Siapa kira di pulau kosong ini, di mana laki‐laki
    pun sukar untuk hidup, terdapat seorang wanita yang masih muda dan cantik
    jelita." Liu Bwee merasa betapa mukanya menjadi panas dan dia tahu bahwa
    tentu kulit mukanya menjadi merah sekali dan diam‐diam dia memaki
    dirinya sendiri. Huh, apa artinya kau bertapa sampai berbulan‐bulan kalau
    sekarang mendengar pujian dari mulut seorang laki‐laki kau merasa
    berdebar dan girang, demikian dia memaki dalam hatinya. Untuk menutupi
    perasaannya, dia pura‐pura tidak mendengar dan cepat bertanya,
    "Bagaimana Inkong bisa tiba di temapt ini? Setahuku, di pulau ini tidak ada
    orang lain kecuali aku seorang." "Memang aku tidak tinggal di pulau ini, Toanio...."
    Kembali wajah Liu Bwee menjadi mereh mendengar sebutan nyonya
    besar ini, laki‐laki itu terlalu merendahkan diri. "Aku adalah seorang
    perantau di antara pulau‐pulau kosong di sekitar tempat ini, akan tetapi tidak
    pernah mendarat di sini karena tidak menyangka bahwa di sini ada
    orangnya. Sekali mendarat di sini, badai mengamuk dan kebetulan sekali aku
    melihat engkau berjuang melawan maut di pohon kecil itu." "Untung bagiku.
    engkau seolah‐olah diutus oleh Thian untuk datang menolongku." "Aku
    girang berhasil menyelamatkanmu, dan aku kagum sekali. Belum tentu ada
    satu di antara seribu orang yang akan dapat bertahan melawan hantaman
    gelombang air laut sehebat itu berkali‐kali, dan kau malah masih kuat
    berenang. Inilah yang mengherankan aku. Seorang wanita muda....." "Aku
    tidak muda lagi, usiaku sudah tiga puluh lima tahun...." "Itu masih muda
    namanya, setidaknya bagiku. Seorang wanita muda...." dan mata laki‐laki itu
    bercahaya penuh tantangan sehingga Liu Bwee tidak membantah lagi, "cantik
    dan berkepandaian tinggi, bukan orang sembarangan, ini sudah jelas sekali,
    berada seorang diri di pulau kosong. Siapa tidak akan merasa heran?" "Aku
    sedang mencari puteriku yang hilang...." "Ah...!" Laki‐laki itu terkejut dan
    memandang penuh perhatian. "Berapakah usianya dan siapa namanya? Aku
    akan membantumu mencarinya." Dia bicara dengan suara mengandung
    keperihatinan dan perasaan iba yang jelas sekali nampak sehingga Liu Bwee
    merasa makin tertarik dan berterima kasih. Jelas baginya bahwa
    penolongnya adalah seorang laki‐laki yang baik hati, sungguhpun
    kehadirannya di bagian dunia yang amat terasing ini bukanlah hal yang tidak
    aneh. "Dia sudah dewasa, sekitar enam belas tahun, namanya Han Swat
    Hong...." "Ahhhh??" Kembali laki‐laki itu memotong dengan seruan kaget dan
    matanya terbelalak memandang Liu Bwee. "She Han....? Apa hubungannya
    dengan Han Ti Ong?" "Dia anaknya...." Liu Bwee sendiri terkejut karena
    merasa telah terlanjur bicara maka dia menahan katakatanya. Laki‐laki itu
    terkejut dan jelas terbayang di mukanya betapa jawaban ini sama sekali tidak
    disangkanya. Matanya memandang Liu Bwee dengan penuh perhatian dan
    penuh selidik, dan sampai lama dia baru bertanya. "Kalau puterimu itu
    adalah anak Han Ti Ong berarti bahwa... Paduka adalah Ratu Pulau Es...." Liu
    Bwee menarik napas panjang. Dia tidak dapat bersembunyi lagi, dan pula,
    orang yang telah menyelamatkan nyawanya ini memang berhak untuk
    mengetahui semuanya. Apalagi karena memang penderitaan batinnya adalah

  13. #267

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 266
    karena terkumpulanya rasa penasaran di dalam hatinya yang membutuhkan
    jalan keluar. Selain ini, sebutan "paduka" amat menyakitkan telinganya. Maka
    dia kembali menarik napas panjang. "Itu sudah lalu.... sekarang aku bukanlah
    ratu lagi, melainkan seorang buangan....." "Apa....? Seorang permaisuri
    dibuang dari Pulau Es?" Liu Bwee lalu menceritakan riwayatnya,
    menceritakan betapa suaminya, Raja Pulau Es telah mengambil seorang selir
    bernama The Kwat Lin dan betapa akhirnya karena ulah selir itu, dia difitnah
    dihukum buang Ke Pulau Neraka! "Puteriku Han Swat Hong, menjadi marah
    dan lari minggat dari Pulau Es hendak mewakili aku menerima hukuman
    buang di Pulau Neraka. Aku mengejarnya, akan tetapi tidak berhasil, bahkan
    aku tersesat ke pulau ini dan karena merasa putus harapan, aku lalu bertapa
    di sini sampai enam bulan lamanya. Hari ini semestinya penderitaanku
    berakhir, akan tetapi agaknya Thian masih hendak memperpanjang
    hukumanku makan aku dapat kauselamatkan...." Tak tertahankan lagi, Liu
    Bwee menutupi mukanya dan menahan tangisnya, akan tetapi tetap saja dia
    terisak‐isak. "Krekkk! Krekkk!" ranting kayu di depan laki‐laki itu telah
    hancur berkeping‐keping karena diremasnya di tangan kanannya. "Kejam!
    Jahat sekali! Orang yang merasa dirinya bersih adalah sekotor‐kotornya
    orang! Seperti Han Ti Ong dan semua raja di Pulau Es! Menghukumi orangorang
    dan membuang mereka ke Pulau Neraka, hidup di neraka yang amat
    sengsara. Akan tetapi mereka sendiri, Si penghukum itu, melakukan kekejian
    dan kejahatan bertumpuk‐tumpuk dan merasa dirinya benar! Betapa
    menjemukan! Aku akan mempertaruhkan nyawa untuk menentang kejahatan
    dan kepalsuan macam ini!" Liu Bwee mengangkat mukanya memandang.
    Kedua pipinya masih basah oleh air matanya. "Inkong, engkau siapakah dan
    mengapa seolah‐olah menaruh permusuhan dengan Pulau Es?" "Aku
    bernama Ouw Sian Kok, aku putera tunggal dari ketua di Pulau Neraka."
    "Ohhh....!!" Kini giliran Liu Bwee yang menjadi kaget setengah mati karena
    tidak mengira bahwa penolongnya ternyata adalah musuh besar Pulau Es!
    "Harap Paduka jangan khawatir...." "In‐kong, jangan kau menyebutku Paduka.
    Aku bukanlah seorang permaisuri lagi melainkan seorang buangan seperti
    engkau pula, kau tahu bahwa namaku Liu Bwee, orang biasa anak nelayan,
    hanya bekas ratu sekarang menjadi orang buangan." "Hem, baiklah Liutoanio.
    Dan akupun tidak suka disebut Inkong, aku lebih tua dari padamu,
    sebut saja aku Twako. Sebutlah, aku bukanlah musuh langsung dari Pulau Es,
    karena aku bukan seorang buangan, melainkan keturunan seorang buangan.
    Akan tetapi aku pun hanya bekas putera Ketua Pulau Neraka, karena sudah
    lima belas tahun lamanya aku meninggalkan Pulau Neraka, tidak pernah
    menjenguknya lagi dan menjadi perantau di antara pulau‐pulau kosong ini...."
    Tiba‐tiba wajah yang gagah itu kelihatan menyuram. "Eh, kenapakah Ouwtwako?
    Apa yang terjadi denganmu maka engkau menjadi demikian?" Liu
    Bwee bertanya, tertarik hatinya. Ouw Sian Kok menghela napas panjang,
    agaknya tidak suka menceritakan peristiwa masa lalu yang telah merobah
    jalan hidupnya sama sekali. "Aku memang sudah tidak senang tinggal di
    Pulau Neraka. Keadaan pulau itu membuat orang yang tinggal di situ menjadi

  14. #268

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 267
    buas, liar dan kejam karena terpaksa oleh kekejaman di pulau itu. Akan tetapi
    sebagai putera Ketua, aku menekan ketidak senanganku dan terutama
    karena aku hidup penuh kasih sayang dengan isteriku. Kami mempunyai
    seorang anak perempuan yang sudah lima belas tahun tidak pernah kulihat.
    Tuhan menghukum aku. Isteriku yang tercinta itu meninggal dan aku.... aku
    lalu pergi meninggalkan ayah , anakku, dan Pulau Neraka sampai sekarang."
    Sehabis bercerita, Ouw Sian Kok menundukkan mukanya dan berkali‐kali
    menghela napas panjang. Liu Bwee memandang dengan mata penuh belas
    kasihan, bengong dan tidak dapat berkata‐kata. Betapa besar persamaan
    penderitaan di antara mereka. Dia pun kehilangan suami, sunguhpun
    suaminya masih hidup akan tetapi apa bedanya dengan mati kalau suaminya
    sudah tidak mencintainya lagi? Dan dia kehilangan anaknya pula, sama benar
    dengan nasib Ouw Sian Kok yang kehilangan isteri dan anaknya. Hanya
    bedanya, kalau dia mencari‐cari Swat Hong, adalah laki‐laki ini sengaja
    meninggalkan puterinya. "Kasihan engkau, Ouw‐twako," katanya sambil
    menyentuh tangan laki‐laki yang telah menolongnya itu. Ouw Sian Kok
    menghela napas, kemudian tiba‐tiba mengangkat mukanya dan tersenyum.
    "Betapa aneh dan lucunya. Engkau yang bernasib malang ini menaruh
    kasihan kepada aku! Hemm, isteriku dirampas oleh Tuhan, aku tidak
    mungkin bisa mendendam. Sebaliknya, suamimu dirampas wanita lain, itu
    merupakan hal yang lebih menyakitkan hati lagi. Sudahlah, lebih baik kita
    melupakan semua itu dan yang terpenting kita memperhatikan keadaan kita
    sendiri, berusaha menghindarkan bahaya. Lihat badai mulai berhenti dan air
    yang merendam pulau sudah surut dan kembali ke laut, cuaca sudah terang
    tidak segelap tadi!" Liu Bwee memandang ke bawah lalu ke kanan kiri benar
    saja, badai telah berhenti. Seketika lupalah dia akan segala kedukaan dan
    wajahnya berseri. Dia tidak tahu betapa Ouw Sin Kok memandangnya dengan
    penuh kagum melihat wajah yang cantik itu, dengan air mata yang masih
    menepel di pipi, kini terenyum dan berseri‐seri. "Mari kita turun!" kata Liu
    Bwee setelah melihat bahwa dengan amat cepatnya air telah meninggalkan
    pulau, seperti serombongan anak‐anak nakal yang pulang ke rumah dipanggil
    ibunya. Mereka meloncat turun dan menuju ke tepi pantai di mana Ouw San
    Kok menaruh perahunya. Girang hatinya bahwa sebelum meninggalkan
    perahu ketika badai mulai mengamuk, dia telah mengikat perahunya dengan
    kuat sekali pada batu karang sehingga kini perahunya itu masih berada di
    situ.Akan tetapi perahu Liu Bwee lenyap tak meninggalkan bekas. "Liutoanio,
    mari kita berangkat." "Eh, ke mana?" Liu Bwee memandang penuh
    keheranan dan mengerutkan alisnya. "Ke Pulau Es." "Apa....? Apa
    maksudmu?" Liu Bwee hampir menjerit. "Aku tidak sudi! Aku tidak mau
    kembali hanya untuk menerima penghinaan saja." "liu‐toanio, seorang wanita
    seperti Toanio tidak selayaknya hidup sengsara seperti ini. Han Ti Ong telah
    berlaku sewenang‐wenang dan tersesat. Biarlah aku yang akan menegur dan
    mengingatkannya akan kesesatannya itu, Toanio. Aku tidak rela melihat
    Toanio diperlakukan dengan tidak adil, aku tidak rela melihat Toanio hidup
    sengsara. Marilah dan jangan khawatir, aku sebagai seorang laki‐laki tentu

  15. #269

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 268
    akan lebih mudah menyadarkan suamimu yang sedang tergila‐gila kepada
    wanita lain itu. Akulah yang bertanggung jawab, dan kupertaruhkan
    nyawaku untuk itu." Liu Bwee memandang dengan kaget dan terheran‐heran,
    bengong dan seperti terpesona sehingga dia menurut saja ketika diajak naik
    ke perahu oleh Ouw Sian Kok. Setelah perahu meluncur, barulah dia dapat
    berkata, "Ouw‐twako.... mengapa kau melakukan semua ini untukku?
    Mengapa engkau menolongku, membelaku mati‐matian? Mengapa engkau
    begini baik kepadaku?" Sambil mendayung perahunya dengan gerakan
    tangkas dan kuat sekali sehingga perahu itu melucur amat cepatnya di
    permukaan air laut yang kini amat tenang, setenang‐tenangnya seolah‐olah
    raksasa yang habis mengamuk hebat itu kini kelelahan dan kehabisan tenaga,
    Ouw Sian Kok menjawab tanpa menoleh kepada Liu Bwee, "Engkau begitu
    sengsara, dan begitu tenang, mengingatkan aku kepada isteriku yang
    tercinta. Engkau begitu membutuhkan perlindungan, begitu membutuhkan
    bantuan.Siapa lagi kalau bukan aku yang membantumu, Toanio?" Liu Bwee
    memandang laki‐laki itu dari samping, tak terasa lagi kedua matanya basah
    dan beberapa butir air mata turun di sepanjang pipinya. Sejenak dia tidak
    mampu menjawab. Memang dia sudah tidak mempunyai siapa‐siapa lagi di
    dunia ini, hanya Swat Hong yang sekarang tidak diketahuinya berada di
    mana. Tidak ada seorang pun yang menemaninya, apalagi membelanya. Maka
    kemunculan laki‐laki gagah perkasa ini yang memperlihatkan sikap
    membelanya mati‐matian itu menimbulkan sikap keharuan hatinya, apalagi
    mendengar betapa laki‐laki itu ketika melihat dia teringat akan isterinya
    tercinta yang telah meninggal dunia, hatinya menjadi terharu sekali dan dia
    tidak tega untuk menolak lagi. Di samping itu, juga ada rasa sungkan dan
    malu‐malu di dalam hati wanita ini karena dia seperti mendapat bisikan
    hatinya bahwa laki‐laki penolongnya ini menaruh hati kepadanya dan rela
    membelanya dengan taruhan nyawa! Hal ini bukan membuat dia merasa
    bangga dan girang seperti yang mungkin akan dirasakannya jika dia masih
    seorang gadis muda, melainkan mendatangkan rasa sungkan dan malu
    sehingga pelayaran itu dilanjutkan dengan diam‐diam karena Liu Bwee
    merasa sukar sekali untuk membuka mulut. Beberapa jam berlalu dengan
    sunyi. Akhirnya Ouw Sian Kok yang merasa tidak tahan berkata, "Toanio, aku
    mohon maaf sebanyaknya kalau semua ucapanku yang sudah‐sudah
    menyinggung perasaanmu." Liu Bwee menggigit bibirnya. Laki‐laki ini, yang
    gagah perkasa dan budiman harus diakuinya memiliki sifat jantan dan
    rendah hati. "Tidak ada yang harus dimaafkan," katanya lirih. "Toanio marah
    kepadaku?" sejenak kemudian Ouw Sian Kok bertanya lagi, sekali ini dia
    tidak dapat menahan keinginan hatinya lagi untuk tidak menengok dan
    menatap wajah wanita itu. Kebetulan sekali pada saat itu Liu Bwee juga
    memandang kepadanya. Sedetik dua pasang mata itu bertemu bertemu, akan
    tetapi Liu Bwee segera mengalihkan pandang matanya dan menjawab
    dengan gerakan kepalanya menggeleng. Jawaban ini cukup bagi Ouw Sian
    Kok. Dengan wajah berseri dan suara gembira dia berkata, "Aku girang
    bahwa kau tidak marah kepadaku, Toanio." Perahu didayungnya kuat‐kuat

  16. #270

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 269
    dan perahu itu meluncur cepat sekali menuju ke tujuan, yaitu Pulau Es yang
    biarpun tidak pernah didatanginya, namun sudah diketahui di mana
    letaknya, karena sering kali dalam perantauannya dia memandang pulau itu
    dari jauh. Kegembiraan besar seperti yang belum pernah dialaminya selama
    lima belas tahun ini memenuhi hatinya. Kalau saja tidak ada Liu Bwee di situ,
    kalau saja dia tidak merasa malu, tentu dia akan bernyanyi dengan riang
    sebagai peluapan rasa gembiaranya. Dua hari dua malam meeka melakukan
    pelayaran, kalau lapar mereka makan ikan panggang di atas perahu dan
    minum air es yang mengambang di atas permukaan laut. Akhirnya tibalah
    mereka di Pulau Es dan dari jauh saja sudah kelihatan perbedaan pulau itu
    yang amat mengherankan Liu Bwee. "Mengapa begitu sunyi? dan begitu
    bersih licin? Ouw‐twako, cepatlah mendarat, kurasa telah terjadi apaapa di
    sana," katanya dengan jantung berdebar, tidak saja karena melihat pulau di
    mana dia di besarkan sejak kecil itu akan tetapi juga tegang hatinya
    membayangkan pertemuannya dengan suaminya dan dengan selir suaminya.
    Setelah perahu menempel di pulau, Liu Bwee meloncat ke darat. Jantungnya
    berdebar tegang, akan tetapi kini disertai rasa khawatir. Pulau Es berubah
    bukan main. Mengapa tidak tampak seorang pun? Tak lama kemudian dia
    berlari diikuti Ouw Sian Kok yang sudah mengikat perahunya. Pria ini pun
    terheran‐heran mengapa pulau yang terkenal sekali di Pulau Neraka sebagai
    kerajaan itu kelihatan begini sunyi senyap. Ketika mendekati sebuah
    tanjakan dan tampak Istana Pulau Es, Liu Bwee mengeluarkan seruan
    tertahan dan mukanya menjadi pucat sekali . "Apa.... apa yang terjadi.....? Dan
    bangunan‐bangunan mereka..... mengapa lenyap? Hanya tinggal istana yang
    kosong dan rusak..... ahhh..." Terhuyung‐huyung Liu Bwee berlari mendekati
    istana, tetapi diikuti oleh Ouw Sian Kok yang merasa khawatir sekali. Seperti
    seorang mabok, Liu Bwee berteriak‐teriak memanggil orang‐orang dan
    berlari memasuki istana yang sudah kosong itu, diikuti oleh Ouw Sian Kok
    yang juga merasa heran. Akan tetapi laki‐laki ini segera dapat menduga apa
    yang telah terjadi. "Ke mana...? Mereka semua ke mana ....?" Liu Bwee berdiri
    di tengah ruangan istana yang dahulu begitu megah dan kini kosong dan
    sunyi itu. Melihat wajah yang pucat itu, mata yang terbelalak liar, Ouw Sian
    Kok cepat meloncat dan memegang lengan Liu Bwee, ditariknya keluar dari
    istana. Setelah tiba di luar istana, Ouw Sian Kok berkata suaranya tegas dan
    penuh rasa iba, "Liu‐toanio, kuatkanlah hatimu. Ingatlah apa yang telah kita
    alami di pulau kosong itu. Badai itu hebat bukan main, selama hidupku belum
    pernah mengalami badai sehebat itu. Pulau Es ini tidak begitu jauh dan
    melihat hebatnya badai, tidak salah lagi bahwa pulau ini pun dilanda badai."
    Bagaikan kilat cepatnya gerakan Liu Bwee ketika dia membalikan tubuh
    memandang pria itu, matanya terbelalak. "Ahhh....! Kau benar....! Badai itu!
    Pulau Es diamuk badai dan disapu bersih oleh badai. Ya Tuhan....!" Liu Bwee
    mendekap mukanya dengan kedua tangan, menjatuhkan diri berlutut di atas
    es dan menangis sesenggukan. "Aku khawatir sekali, Tonio, bahwa tidak
    hanya benda‐benda yang disapu bersih dari permukaan pulau ini, melainkan
    juga para penghuninya. kalau ada penghuninya yang selamat, mustahil

Page 18 of 28 FirstFirst ... 8141516171819202122 ... LastLast

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •