Page 27 of 28 FirstFirst ... 17232425262728 LastLast
Results 391 to 405 of 417
http://idgs.in/730445
  1. #391

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 390
    mata pemberontak, sama sekali bukan! Bahkan kami adalah musuh‐musuh
    pemberontak.
    Kami berdua adalah sungguh‐sungguh hendak membantu gerakan Sri
    Baginda Kaisar untuk menghalau pemberontak dari kota raja. Akan tetapi
    celakanya, Nona Han Swat Hong yang beriktikad baik ini dicurangi oleh
    Bouw‐ciangkun. Sukarelawati yang gagah perkasa ini, yang akan dapat
    membantu banyak sekali kepada Sri Baginda, oleh Bouw‐ciangkun hendak
    dikorbankan sebagai hadiah kepada panglima Arab, untuk diperkosa! Tentu
    saja kami melawan kejahatan ini!" "Tangkap......!" "Bunuh.....! Dia telah
    membunuh Bouw‐ciangkun......!" "Jangan percaya hasutan mulut mata‐mata
    pemberontak!" Kini tempat itu penuh dengan perajurit, tidak hanya ratusan,
    bahkan ribuan banyaknya. Mereka sudah marah semua karena biarpun di
    antara mereka ada yang dapat memaklumi kebenaran ucapan Kwee Lun,
    namun kenyataan dibunuhnya Bouw‐ciangkun tentu saja menggegerkan dan
    mengacaukan mereka. Dengan senjata di tangan mereka sudah mengeroyok
    dua orang itu. "Menyesal tidak berhasil, Nona." "Tidak apa, Toako. Mati di
    sampingmu membesarkan hati." "Benarkah?" "Tentu saja, karena engkau
    seorang yang baik sekali, Kwee‐toako." "Kalau begitu, marilah mati bersama!"
    Pemuda itu dengan wajah berseri sudah siap dengan sepasang senjatanya,
    mereka saling membelakangi dan saling melindungi. Para perajurit sudah
    berdesak‐desakan hendak menyerbu. Tiba‐tiba terdengar suara yang halus
    dan tenang, namun penuh wibawa, "Harap Cu‐wi sekalian tidak
    menggerakkan senjata.......!" Sungguh ajaib sekali. Biarpun ada di antara
    mereka yang tidak mempedulikan kata‐kata ini dan hendak tetap menyerang,
    tiba‐tiba saja merasa bahwa tangan mereka tidak mampu bergerak!
    Terdengar seruan‐seruan kaget dan heran, dan kini semua mata memandang
    kepada seorang pemuda yang dengan tenangnya berjalan memasuki
    kepungan itu, dengan membuka jalan di antara para perajurit. Juga Kwee Lun
    dan Swat Hong mengeluarkan seruan tertahan. Mereka berdua pun merasa
    betapa tangan mereka tidak dapat digerakkan! Otomatis mereka pun
    menoleh dan melihat pula seorang pemuda yang memasuki kepungan itu
    dengan sikap tenang sekali. Seorang pemuda yang berpakaiannya sederhana,
    agak kurus, matanya memancarkan sinar yang luar biasa, pemuda yang
    memandang kepada Swat Hong dengan senyum di bibir. "Su....
    Suhenggggg.....!" Tiba‐tiba Swat Hong menjerit, pedangnya terlepas dari
    pegangan dan sambil terisak dia lari menghampiri lalu menubruk pemuda itu
    yang bukan lain adalah Kwa Sin Liong! "Suheng..... aihhh, Suheng...... Ibuku....."
    "Tenanglah, Sumoi, tenanglah........" Suara Sin Liong mengandung wibawa
    yang luar biasa sehingga Swat Hong yang dilanda kekagetan dan keharuan
    hebat karena sama sekali tidak menyangka bahwa suhengnya masih hidup
    itu, dapat menenangkan hatinya. "Suheng..... betapa bahagia rasa hatiku!
    Suheng, jangan kautinggalkan aku lagi....." "Tidak, Sumoi. Tidak lagi." "Aku
    cinta padamu, Suheng! Aku cinta padamu!" Tanpa malu‐malu Swat Hong

  2. Hot Ad
  3. #392

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 391
    meneriakkan suara hatinya ini di tengah‐tengah kepungan ratusan, bahkan
    ribuan orang perajurit! Kwee Lun memandang semua itu dan dua titik air
    mata membasahi bulu matanya. Dia merasa terharu, juga girang sekali,
    girang melihat kebahagian Swat Hong dan sekaligus dia teringat kepada Soan
    Cu. Dia pun sudah dapat bergerak, melangkah maju dan berkata, "Kwataihiap,
    syukur bahwa engkau masih dalam keadaan selamat. Sungguh aku
    ikut merasa girang...." Sin Liong tersenyum kepadanya. "Kwee‐toako, engkau
    seorang sahabat yang baik. Simpanlah pedang dan kipasmu, tidak perlu
    melanjutkan pembunuhan yang tidak ada gunanya ini." Kwee Lun menurut,
    akan tetapi matanya memandang ragu dan sambil menyarungkan pedang
    dan menyimpan kipasnya, dia bertanya, "Akan tetapi.... mereka itu....?"
    Terdengar teriakan‐teriakan dari para pengepung. "Tangkap mata‐mata
    musuh!" "Bunuh pemberontak!" "Tangkap pembunuh Bouw‐ciangkun!"
    Ribuan orang perajurit sudah bergerak lagi. Swat Hong memegang lengan
    suhengnya dan Kwee Lun juga mendekati Sin Liong. Betapapun juga, gentar
    dia menghadapi ribuan orang yang berteriak itu, apalagi dia tidak boleh
    melawan. Ketenangan Sin Liong membuat dia mencari perlindungan dekat
    pemuda ini. Sin Liong memegang lengan sumoinya dan terdengarlah
    suaranya penuh kesabaran dan ketenangan yang wajar, "Cu‐wi sekalian tahu
    bahwa mereka berdua ini bukan mata‐mata, dan Cu‐wi tahu apa yang telah
    terjadi. Maka harap Cu‐wi perkenankan kami pergi, kemudian sebaiknya
    melaporkan kepada Sri Baginda apa yang telah terjadi sehingga dapat
    diambil tidakan tepat, demi ketertiban." Suara ini demikian halus, akan tetapi
    mengatasi semua teriakan dan anehnya orang‐orang itu tidak berteriakteriak
    lagi. "Kami hendak pergi sekarang!" Sin Liong memegang lengan Swat
    Hong dengan tangan kanannya, memegang lengan Kwee Lun dengan tangan
    kiri, lalu menarik kedua orang itu keluar dari kepungan. Swat Hong dan Kwee
    Lun melangkah dengan bengong, merasa seperti dalam mimpi saja karena
    ketika mereka melangkah pergi melalui ribuan orang pasukan itu, tidak ada
    seorang pun di antara para perajurit yang mencoba untuk menghalangi
    mereka, bahkan ajaibnya, tidak ada seorang pun yang memandang mereka,
    seolah‐olah para perajurit itu tidak melihat mereka! Dan memang begitulah.
    Para perajurit itu pun bengong ketika secara tiba‐tiba setelah pemuda
    tampan halus itu berpamit, tiga orang itu tiba‐tiba saja lenyap dari situ tanpa
    meninggalkan bekas! Setelah Sin Liong dan dua orang temannya pergi jauh,
    barulah gempar di tempat itu dan akhirnya Kaisar memperoleh laporan
    tentang semua peristiwa yang terjadi. Panglima Hussin dikirim pulang dan
    pimpinan pasukannya diserahkan kepada Ahmed! Sementara itu, Sin Liong,
    Kwee Lun dan Swat Hong pergi meninggalkan Secuan. Ketika mereka tiba
    jauh dari daerah itu, mereka berhenti dan Swat Hong berkata, "Suheng,
    mengapa kita meninggalkan Secuan? Aku ingin sekali menjadi sukarelawati,
    membantu Kaisar dan membasmi pemberontak yang telah mengakibatkan
    kematian Ibu, kematian Soan Cu dan Ayahnya, bahkan kematian kakek
    buyutku!" "Benar apa yang dikatakan Nona Swat Hong, Kwa‐taihiap.
    Perjuangan menanti tenaga kita. Marilah kita bertiga membantu kerajaan

  4. #393

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 392
    membasmi pemberontak." Sin Liong menarik napas panjang, memegang
    tangan sumoinya dan diajak duduk di atas rumput. Swat Hong duduk dekat
    suhengnya dan memandang wajah suhengnya dengan penuh kagum dan
    kasih sayang. "Kwee‐toako, benarkah engkau tertarik dengan perang, dengan
    saling bunuh membunuh antara manusia, antara bangsa sendiri itu? Betapa
    mengerikan, Toako. Menggunakan ilmu silat untuk membela yang lemah,
    untuk menentang yang jahat masih dapat dimengerti dan masih mending.
    Akan tetapi bunuh‐membunuh hanya untuk membela sekelompok manusia
    lain saling memperebutkan kemuliaan duniawi, sungguh patut disesalkan.
    Mereka itu hanya ingin mempergunakan orang lain demi mencapai cita‐cita
    sendiri. "Aih, apa yang dikatakan Suheng memang tepat, Kwee‐toako. Ingat
    saja pengalamanku. Aku jauh‐jauh datang untuk menjadi sukarelawati,
    membantu mereka, akan tetapi belum apa‐apa aku sudah akan dikorbankan
    demi untuk menyenangkan hati panglima asing itu." Swat Hong berkata
    kemudian dia menceritakan pengalamannya kepada Sin Liong, semenjak
    mereka berpisah dan dia ditolong oleh kakek buyutnya, sampai dia berpisah
    dari Kwee Lun meninggalkan ibunya yang menghadapi maut. "Aku tidak
    berhasil mencari Swi Nio dan Toan Ki yang kutitipi pusaka‐pusaka Pulau Es.
    Maka aku berniat membantu Kaisar sekaligus mencari mereka yang kurasa
    melarikan diri membawa pusaka‐pusaka itu untuk mereka sendiri. Sungguh
    menggemaskan!" "Jangan tergesa‐gesa berperasangka buruk terhadap orang
    lain, Sumoi. Kelak kita memang harus mencari mereka dan meminta kembali
    pusaka‐pusaka itu untuk kita bawa kembali ke Pulau Es." Kwee Lun juga
    menceritakan riwayatnya semenjak dia berpisah dari Swat Hong. Kemudian
    mereka minta agar Sin Liong suka menceritakan riwayatnya. "Bagaimana
    engkau yang menurut cerita Kakek buyut dilempar ke sumur ular dan
    ditutup dengan reruntuhan guha, dapat menyelamatkan diri, Suheng?" dan
    selama ini engkau kemana saja?" Sin Liong tersenyum. "Aku memang nyaris
    tewas di sumur itu, akan tetapi memang agaknya belum tiba saatnya aku
    mati, maka batu mustika hijau kepunyaanmu ini telah menolongku, Sumoi."
    Sin Liong mengeluarkan mustika hijau itu. Swat Hong menerima batu itu dan
    menciumnya. "Terima kasih, kau telah menyelamatkan Suheng!" katanya
    girang. Sin Liong lalu menuturkan dengan singkat keadaannya selama dua
    tahun di dalam sumur ular sampai dia berhasil keluar ketika sumur itu
    dibongkar oleh Han Bu Ong dan orang‐orang kerdil. "Ahh, Ibunya yang
    mencelakanmu, anaknya yang tanpa sengaja menolongmu!" Swat Hong
    berseru heran. "Lalu bagaimana kau bisa datang ke Secuan dan
    menyelamatkan aku dan Kwee‐toako?" "Mula‐mula aku pergi ke kota raja
    dan mendengar betapa Ibumu, juga Soan Cu telah tewas di sana, akan tetapi
    juga bahwa ibu tirimu The Kwat Lin juga tewas pula. Karena aku menduga
    bahwa peristiwa itu tentu membuat engkau dimusuhi oleh para
    pemberontak, maka aku yakin bahwa kau tentu membantu Kaisar di Secuan,
    maka aku segera menyusul ke sini dan kebetulan sekali melihat engkau dan
    Kwee‐toako dikeroyok para perajurit." Sin Liong tidak memberitahukan
    bahwa sesungguhnya telah terjadi keajaiban pada dirinya sehingga seolah

  5. #394

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 393
    olah dia tahu bahwa sumoinya berada di Secuan. Seolah‐olah apa yang terjadi
    bukan merupakan rahasia lagi baginya! Tiba‐tiba Kwee Lun bertanya nada
    suaranya hati‐hati dan penuh sungkan, "Kwa‐taihiap, sejak dulu saya tahu
    bahwa Taihiap memiliki kepandaian luar biasa. Akan tetapi..... tadi di sana
    seruan taihiap membuat ribuan orang berhenti bergerak, bahkan aku pun.....
    tidak mampu bergerak. Kemudian....... ketika kita pergi, terjadi keajaiban,
    seolah‐olah mereka itu sama sekali tidak melihat kita pergi....." Sin Ling hanya
    tersenyum dan mengangkat pundak tanpa menjawab. "Benar! Apa yang telah
    kau lakukan tadi, Suheng?" Swat Hong juga bertanya. "Tidak apa‐apa, Sumoi.
    Engkau pun melihat sendiri. Kita pergi dari mereka, dan karena tidak ada
    permusuhan atau kebencian di hatiku, tentu saja mereka pun tidak
    melakukan apa‐apa." Swat Hong memang sejak dahulu sudah tahu akan
    keanehan watak Suhengnya dan kadang‐kadang ucapan suhengnya tidak
    dimengerti sama sekali, maka jawaban sederhana ini cukup baginya. Tidak
    demikian dengan Kwee Lun. Pemuda ini menduga bahwa Pemuda Pulau Es
    itu bukanlah manusia biasa, maka cepat dia berkata, "Kwa‐taihaip, jika
    Taihiap berkenan, saya....... saya mohon petunjuk......" Sin Liong menoleh,
    memandang. Mereka bertemu pandang dan Sin Liong tersenyum lagi. "Kau
    sebaiknya pulang saja ke Pulau Kura‐kura, Kwee‐toako. Dan mengingat
    engkau suka sekali akan ilmu silat dan aku yakin bahwa engkau tidak akan
    menggunakan ilmu itu untuk berbuat jahat, maka mungkin aku dapat
    menambahkan sedikit tingkat ilmumu itu. Harap kau coba‐coba mainkan
    pedang dan kipasmu itu sebaik mungkin." Bukan main girangnya hati Kwee
    Lun. Dia menjura dengan hormat sambil mengucapkan terima kasih,
    kemudian dia mencabut pedang dan kipasnya lalu bermain silat di depan Sin
    Ling dan Swat Hong. Seperti kita ketahui, dari kitab kuno Sin Liong
    memperoleh ilmu luar biasa, yaitu mengenal semua inti ilmu silat dari
    gerakan pertama saja. Maka setelah Kwee Lun mainkan jurus‐jurus simpanan
    yang paling lihai dan menghentikan permainan silatnya, Swat Hong bertepuk
    tangan memuji, sedangkan Sin Liong berkata, "Ada kelemahan‐kelemahan di
    dalam beberapa jurusmu, Toako." Pemuda luar biasa ini lalu memberi
    petunjuk kepada Kwee Lun yang menjadi terheran‐heran, kagum dan girang
    sekali. Petunjuk‐petunjuk itu merupakan penyempurnaan dari semua ilmu
    silatnya. Dia menerima dan melatih petunjuk‐petunjuk ini dan demikianlah,
    sampai hampir sebulan lamanya, tiga orang ini melakukan perjalanan ke
    timur dan disepanjang perjalanan, Kwee Lun menerima petunjuk‐petunjuk
    dari Sin Liong, bahkan Kwee Lun menerima pelajaran latihan untuk
    menghimpun tenaga sinkang. Selama sebulan itu, Kwee Lun memperoleh
    keyakinan bahwa pemuda Pulau Es ini benar‐benar bukan seorang manusia
    biasa. Tidak tanduknya, bicaranya, pandang matanya, dan betapa pemuda itu
    dapat mengerti ilmu silatnya lebih sempurna daripada dia sendiri! Maka
    ketika tiba saatnya berpisah, dia tanpa ragu‐ragu menjatuhkan diri berlutut
    di depan Sin Liong! "Harap jangan berlebihan, Kwee‐toako," kata Sin Liong.
    "Wah, Toako. Apa‐apaan ini?" Swat Hong juga mencela. "Kwa‐taihiap, saya
    boleh dibilang adalah murid Taihiap. Dan Han‐lihiap, agaknya belum tentu

  6. #395

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 394
    selama hidupku akan dapat bertemu lagi dengan Ji‐wi (Kalian). Perkenankan
    saya, Kwee Lun, menghaturkan terima kasih dan selama hidup saya tidak
    akan melupakan Ji‐wi!" "Hushhhh..... sudahlah, Toako. Kita berpisah di sini.
    Engkau ke selatan dan kami akan terus ke timur. Mari, Sumoi, kita lanjutkan
    perjalanan," kata Sin Long dengan suara tenang dan biasa saja, lalu mengajak
    sumoinya pergi dari situ. Swat Hong beberapa kali menengok dan melihat
    Kwee Lun masih berlutut dengan mata basah air mata! Dia pun terharu, akan
    tetapi tidak lagi merasa sengsara seperti ketika dia berpisah dari Kwee Lun
    hampir dua tahun yang lalu. Kini Sin Liong, suhengnya, pria yang dicintainya,
    berada di sampingnya. Tidak ada lagi perkara apa pun di dunia ini yang dapat
    menyusahkan hatinya lagi! Sudah terlalu lama kita meninggalkan Bu Swi Nio
    dan Lie Toan Ki, dua orang muda yang dipercaya oleh Swat Hong untuk
    menyelamatkan pusaka‐pusaka Pulau Es. Benarkah dugaan Swat Hong
    bahwa mereka itu bertindak curang, mengangkangi sendiri pusaka‐pusaka
    yang secara kebetulan terjatuh ketangan mereka itu? Sama sekali tidak
    demikian dan mari kita mengikuti perjalanan mereka semenjak mereka
    meninggalkan kota raja. Malam hari itu, mereka berhasil lolos keluar dari
    kota raja dan semalam suntuk terus melarikan diri ke barat. Pada keesokan
    harinya, dengan tubuh lesu dan lelah, mereka sudah tiba jauh dari kota raja
    dan selagi mereka hendak mengaso, tiba‐tiba terdengar derap kaki kuda dari
    belakang. Mereka terkejut dan cepat menyelinap ke dalam semak‐semak
    untuk bersembunyi. Akan tetapi, empat orang yang menunggu kuda itu
    sudah melihat mereka dan begitu tiba di tempat itu, mereka meloncat turun,
    mencabut senjata dan seorang di antara mereka berseru, "Dua orang
    pengkhianat rendah, keluarlah!" Dari tempat persembunyian mereka, Swi
    Nio dan Toan Ki mengenal empat orang itu. Mereka adalah bekas‐bekas
    teman mereka ketika masih membantu An Lu Shan dahulu di masa
    "perjuangan". Karena mengenal mereka dan tahu bahwa mereka itu adalah
    orang‐orang kang‐ouw yang dahulu juga membantu pemberontakan karena
    sakit hati kepada kelaliman Kaisar, Swi Nio dan Toan Ki meloncat keluar.
    Liem Toan Ki tersenyum memandang kepada kakek berusia lima puluh tahun
    yang memimpin rombongan empat orang itu. Kakek ini bernama Thio Sek Bi,
    murid dari seorang tokoh kang‐ouw kenamaan, yaitu Thian‐tok Bhong Sek
    Bin! Adapun tiga orang yang lain adalah orang‐orang kang‐ouw yang agaknya
    tunduk kepada Thio Sek Bi ini, namun menurut pengetahuan Toan Ki,
    kepandaian mereka tidaklah perlu dikhawatirkan. Hanya orang she Thio ini
    lihai. "Thio‐twako, kita sama mengerti bahwa perjuangan kita hanya untuk
    menghalau Kaisar lalim. Urusan kami di istana The Kwat Lin sama sekali
    tidak ada hubungannya dengan urusan perjuangan. Harap Toako tidak
    mencampuri urusan pribadi dan suka mengalah, membiarkan kami pergi
    dengan aman." "ha‐ha‐ha‐ha! Liem Toan Ki, enak saja kau bicara! Setelah
    berhasil memperoleh pusaka‐pusaka keramat, mau lolos begitu saja dan
    melupakan teman! Kami berempat tentu akan menerima uluran tanganmu
    yang bersahabat kalau saja persahabatan itu kau buktikan dengan
    membagikan sebagian pusaka itu. Demikian banyaknya, buat apa bagi kalian?

  7. #396

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 395
    Membagi sedikit kepada kawan, sudah sepatutnya, ha‐ha!" Thio Sek Bi
    berkata sambil menudingkan senjata toya ditangannya ke arah punggung
    Toan Ki, di mana terdapat buntalan pusaka yang dititipkan kepadanya oleh
    Swat Hong. "Ya, sebaiknnya bagi rata, bagi rata antara teman sendiri, Saudara
    Liem Toan Ki dan Nona Bu Swi Nio!" kata orang ke dua sedangkan temantemannya
    juga mengangguk setuju. Toan Ki terkejut. Mengertilah dia bahwa
    tentu empat ini malam tadi ikut mengepung dan mereka mendengar
    penitipan pusaka itu oleh Swat Hong , maka mereka lalu diam‐diam mengejar
    sampai di hutan ini. "Hem, saudara‐saudara. Kalau kalian tahu bahwa ini
    adalah pusaka tentu kalian tahu pula bahwa ini bukanlah milikku, dan aku
    hanya dititipi saja dan tidak berhak membagi‐bagikan kepada siapapun juga."
    Ha‐ha‐ha! Lagaknya! Siapa mau percaya omonganmu? Pusaka‐pusaka dari
    Pulau Es yang hanya dikenal di dunia kang‐ouw sebagai dalam dongeng telah
    berada di tangan kalian dan kalian benar‐benar tidak menghendakinya?
    Bohong!" kata Thio Sek Bi sambil tertawa mengejek. Bohong atau tidak, apa
    yang dikatakan oleh Ki‐koko adalah tepat! kami tidak kan membagi pusaka
    kepada kalian atau siapapun juga. Habis kalian mau apa?" Bu Swi Nio
    membentak sambil mencabut pedangnya. "Ha‐ha, wah lagaknya! Kalau
    begitu, pusaka itu akan kami rampas dan kalian berdua, mati atau hidup,
    akan kami seret kembali ke kota raja!" kata Thio Sek Bi sambil memutar
    toyanya, diikuti oleh tiga orang kawannya. Swi Nio dan Toan Ki menggerakan
    senjata dan melawan dengan mati‐matian. Ilmu toya yang dimainkan oleh
    Thio Sek Bi amat hebat dan aneh karena dia adalah murid dari Thian‐tok.
    Thian‐tok (Racun langit) terkenal sebagai seorang ahli racun dan sebagai
    pemuja tokoh dongeng Kauw‐cee‐thian Si Raja ******, maka yang paling
    hebat di antara ilmu silatnya adalah ilmu silat toya panjang yang disebut
    Kim‐kauw‐pang seperti senjata tokoh dongeng Kau‐cee‐thian sendiri!
    Muridnya ini, biarpun senjatanya toya, namun dimainkan dengan gerakan
    yang amat aneh dan sebentar saja Toan Ki sudah terdesak olehnya. Namun,
    Liem Toan Ki adalah seorang murid Hoa‐san‐pai yang memiliki dasar ilmu
    yang bersih dan kuat. Selain itu, dia sudah mempunyai banyak pengalaman,
    bahkan tidak ada yang tahu bahwa dia adalah murid Hoa‐san‐pai karena
    selain dia tidak pernah mengaku karena takut membawa‐bawa nama
    Hoasan‐ pai dengan pemberontakan, juga ilmu silatnya sudah dia campur
    dengan ilmu silat lain sehingga tidak kentara benar. Dengan gerakan pedang
    yang indah dan cepat, dia dapat menjaga diri dari desakan toya di tangan
    Thio Sek Bi. Di lain pihak, Swi Nio yang menghadapi pengeroyokan tiga orang
    itu, tidak mengalami banyak kesulitan. Wanita muda ini pernah digembleng
    oleh The Kwat Lin, sedikit banyaknya telah mewarisi ilmu yang dahsyat dari
    wanita itu, maka kini dikeroyok oleh tiga orang lawan yang tingkatnya
    dibawah dia, tentu saja dia dengan mudah dapat mempermainkan mereka.
    Terdengar Swi Nio mengeluarkan suara melengking berturut‐turut seperti
    yang biasa dikeluarkan oleh The Kwat Lin, dan tiga orang lawannya roboh
    berturut‐turut dan terluka parah, tidak mampu melawan lagi. Sambil
    melengking keras, Swi Nio meloncat dan membantu kekasihnya yang

  8. #397

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 396
    terdesak oleh toya Thio Sek Bi. "Cring! Tranggggg......!" Swi Nio terhuyung,
    akan tetapi Thio Sek Bi merasa betapa telapak tangannya panas. Liem Toan
    Ki tidak menyia‐nyiakan kesempatan itu, menubruk maju dan memutar
    pedangnya kemudian dibantu oleh kekasihnya dia terus mendesak sehingga
    permainan toya dari murid Thian‐tok itu menjadi kacau. Akhirnya, tiga puluh
    jurus kemudian, robohlah Thio Sek Bi, lengan kanannya terbacok dan terluka
    parah, juga pundak kirinya terobek ujung pedang Swi Nio.
    "Lekas.....! Kita pakai kuda mereka!" Liem Toan Ki berkata kepada
    kekasihnya. Swi Nio menyambar kendali dua ekor kuda terbaik, sedangkan
    Toan Ki lalu mencambuk dua ekor kuda yang lain sehingga binatang‐binatang
    itu kabur ketakutan. Kemudian mereka meloncat ke atas punggung kuda
    rampasan itu dan membalapkan kuda meninggalkan tempat itu. "Mestinya
    mereka itu dibunuh, akan tetapi aku tidak tega melakukannya," kata Toan Ki.
    "Benar, belum tentu mereka itu jahat." "Moi‐moi, berhenti dulu," tiba‐tiba
    Toan Ki berkata. Swi Nio menahan kudanya dan melihat kekasihnya seperti
    orang bingung. "Ada apakah?" "Tidak baik kalau kita menuruti permintaan
    Nona Han Swat Hong pergi ke Awan Merah." Bu Swi Nio mengerutkan alisnya
    dan memandang kepada kekasihnya dengan penuh selidik. Selama ini, dia
    selain mencinta, juga kagum dan percaya penuh kepada kekasihnya yang
    dianggapnya seorang pria yang gagah perkasa dan patut dibanggakan. Akan
    tetapi sekarang dia memandang penuh curiga. Jangan‐jangan kekasihnya juga
    ketularan penyakit seperti empat orang tadi, menginginkan pusaka Pulau Es!
    Biarpun dia sendiri belum pernah membuka‐buka pusaka‐pusaka itu, namun
    dia maklum bahwa pusaka‐pusaka Pulau Es yang berada di tangan gurunya
    adalah pusaka yang tak ternilai harganya, benda keramat yang tentu
    mengandung ilmu‐ilmu mujijat! "Kok, apa..... apa maksudmu?" Mendengar
    nada suara kekasihnya, Toan Ki mengangkat muka memandang. Mereka
    bertemu pandang dan Toan Ki tersenyum, memegang tangan kekasihnya dan
    mencium tangan itu. "Ihhhh! kau berdosa padaku, memandang penuh curiga
    seperti itu!" katanya tertawa. "Tidak, Moi‐moi, tidak ada pikiran yang bukanbukan
    di dalam hatiku. Aku hanya teringat akan bahaya besar kalau kita ke
    Awan Merah. Thio Sek Bi tadi adalah murid Thian‐kok, sedangkan Thian‐kok
    adalah suheng dari Puncak Awan Merah di ***‐Hang‐san! Kalau murid dari
    Sang Suheng seperti Thio Sek Bi tadi, apakah kita dapat mengharapkan sute
    akan lebih baik? Jangan‐jangan kita seperti ular‐ular menghampiri
    penggebuk!" "Sialan! Kausamakan aku dengan ular? Koko, kalau begitu,
    bagaimana baiknya sekarang?" Swi Nio menghentikan kelakarnya karena
    menjadi khawatir juga. "Swi‐moi, tugas yang kita pikul bukanlah ringan.
    Apalagi karena agaknya sudah banyak yang tahu bahwa kita berdualah yang
    memegang pusaka‐pusaka Pulau Es, maka kurasa langkah‐langkah kita tentu
    akan dibayangi orang‐orang kang‐ouw yang ingin merampas Pusaka Pulau

  9. #398

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 397
    Es. Ke mana pun kita pergi, kita tentu akan dicari oleh mereka." Swi Nio
    menjadi pucat. Baru dia sadar betapa berat dan berbahaya tugas mereka.
    "Aihh, kalau begitu bagaimana baiknya?' "Tidak ada jalan lain kecuali
    berlindung ke Hoa‐san. Aku akan minta bantuan Hoa‐san‐pai agar suka
    menerima kita bersembunyi di sana dan menyembunyikan pusaka di sana.
    Hanya Hoa‐san‐pai saja yang dapat kupercaya dan kiranya tidak
    sembarangan orang berani main gila di Hoa‐san‐pai." "Engkau benar, Koko
    dan aku setuju sekali. Akan tetapi, bagaimana nanti kalau yang mempunyai
    pusaka ini menyusul kita ke Puncak Awan Merah dan tidak mendapatkan kita
    di sana?" "Lebih baik begitu daripada mendapatkan kita di sana tanpa pusaka
    lagi, atau mendengar bahwa kita tewas dan pusaka dirampas orang! Sebagai
    orang‐orang yang sakti, tentu mereka akan dapat mencari kita atau menduga
    bahwa aku berlindung ke Hoa‐san‐pai. Mari kita berangkat, Moi‐moi, hatiku
    tidak enak sebelum kita tiba di Hoa‐san." Demikianlah, dua orang itu lalu
    bergegas melanjutkan perjalanan ke Hoa‐san. Setelah tanpa halangan mereka
    tiba di bukit itu, Toan Ki mengajak kekasihnya langsung menghadap ketua
    Hoa‐san‐pai yang terhitung twa‐supeknya (uwak guru pertama) sendiri yang
    tidak pernah dijumpainya. Setelah bertemu dengan Kong Thian Cu, ketua
    Hoa‐san‐pai pada waktu itu, seorang kakek tinggi kurus yang bersikap lemah
    lembut dan rambutnya sudah putih semua, serta merta kedua orang muda itu
    menjatuhkan diri berlutut. "Teecu Liem Toan Ki menghaturkan hormat
    kepada Twa‐supek," kata Toan Ki. "Teecu Bu Swi Nio menghaturkan hormat
    kepada Locianpwe," kata Swi Nio penuh hormat. Kakek itu menganggukangguk.
    "Duduklah dan bagaimana engkau dapat menyebut pinto sebagai
    Twasupek, orang muda?" "Teecu adalah murid dari Suhu Tan Kiat yang
    membuka perguruan silat di Kun‐min dan menurut Suhu, katanya beliau
    adalah sute dari Twa‐supek yang menjadi ketua di Hoa‐san‐pai, sungguhpun
    Suhu berpesan agar teecu tidak menyebut‐nyebut nama Hoa‐san‐pai kepada
    siapapun juga." Kakek itu kelihatan terkejut, lalu menarik napas panjang,
    mengelus jenggotnya dan kembali mengangguk‐angguk. "Tan‐sute memang
    murid Suhu, akan tetapi sayang, pernah dia membuat mendiang Suhu marah
    dan mengusirnya. Padahal bakatnya baik sekalli. Kiranya dia membuka
    perguruan silat? Dan dia pesan agar muridnya tidak membawa nama Hoasan‐
    pai? Bagus, ternyata dia jantan juga. Di manakah dia sekarang dan
    bagaimana keadaannya?" "Suhu telah tewas dalam keadaan penasaran,
    difitnah pembesar sebagai pemberontak dan dijatuhi hukuman mati."
    "Ahhh....!" "Karena itulah maka teecu sebagai muridnya yang juga menderita
    karena orang tua teecu juga menjadi korban keganasan pembesar
    pemerintah, lalu ikut berjuang bersama An Lu Shan, kemudian setelah
    berhasil tecu mengundurkan diri karena teecu tidak menghendaki
    kedudukan apa‐apa. Apalagi melihat betapa Angoanswe menerima bantuan
    orang‐orang dari kaum sesat, maka teecu mengundurkan diri." "Bagus, baik
    sekali engkau mengambil keputusan itu, karena biarpun engkau tidak
    menyebut nama Hoasan‐ pai, namun pinto akan ikut merasa menyesal kalau
    ada orang yang mewarisi kepandain Hoa‐san‐pai mempergunakan

  10. #399

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 398
    kepandaian itu untuk urusan pemberontak. Sekarang engkau bersama Nona
    ini datang menghadap pinto ada keperluan apakah?" "Teecu datang untuk
    mohon pertolongan Twa‐supek. Nona ini adalah tunangan teecu, dia puteri
    dari mendiang Lu‐san Lojin." "Siancai....! Lu‐san Lojin sudah meninggal? Pinto
    pernah bertemu satu kali dengan ayahmu, Nona. Seorang yang gagah
    perkasa!" Kemudian kakek ini menoleh kepada Liem Toan Ki dan bertanya,
    "Pertolongan apakah yang kalian harapkan dari pinto?" Dengan terus terang
    tanpa menyembunyikan sesuatu Liem Toan Ki lalu menceritakan tentang
    penyerbuannya bersama para penghuni Pulau Es, betapa kemudian puteri
    Pulau Es telah menitipkan Pusaka Pulau Es kepada mereka berdua, kemudian
    betapa mereka dihadang orang jahat yang hendak merampas pusaka dan
    mereka mengambil keputusan untuk bersembunyi di Hoa‐san‐pai. Kakek itu
    menjadi bengong mendengar penuturan panjang lebar itu, beberapa kali
    memandang ke arah buntalan di punggung Toan Ki dan memandang wajah
    mereka berdua seperti orang yang kurang percaya. "Siancai.... kalau tidak
    melihat wajah kalian berdua yang agaknya bukan orang gila dan bukan
    pembohong, pinto sukar untuk percaya bahwa kalian telah bertemu bahkan
    bertanding bahu‐membahu dengan orang‐orang Pulau Es! Pinto kira bahwa
    nama Pulau Es hanya terdapat dalam dongeng belaka." "Karena teecu yakin
    bahwa tentu orang‐orang di dunia kang‐ouw akan saling berebut untuk
    merampas pusaka‐pusaka ini, maka teecu berdua mengambil keputusan
    untuk berlindung di Hoa‐san‐pai sampai yang berhak atas pusaka‐pusaka itu
    datang mengambilnya." Sampai lama kakek itu termenung dan menundukan
    kepalanya, dipandang dengan hati gelisah dan tegang oleh Toan Ki dan Swi
    Nio. Akhirnya kakek itu mengangkat mukanya memandang dan berkata,
    suaranya bersungguh‐sungguh. "Selamanya Hoa‐san‐pai menjaga nama dan
    kehormatan sebagai partai orang‐orang gagah. Entah berapa banyak anak
    murid Hoa‐san‐pai tewas dalam mempertahankan kebenaran dan keadilan,
    bahkan ada pula yang tewas tanpa pinto ketahui apa sebabnya dan di mana
    tewasnya seperti Keesan Ngo‐han, lima orang murid pinto yang dahulu
    bertugas melindungi Sin‐tong....." "Aihhhh....!!" Tiba‐tiba Swi Nio
    mengeluarkan teriakan tertahan dan ketika kakek itu memandang
    kepadanya, dia cepat berkata, "Mendiang Subo adalah bekas ratu Pulau Es
    yang menyeleweng dan bersekutu dengan Kiam‐mo Cai‐li Liok Si
    memberontak kepada pemerintah. Pernah teecu mendengar penuturan Subo
    ketika menceritakan kelihaian Kiam‐mo Cai‐li bahwa Kee‐san Ngo‐hohan
    terbunuh oleh Kiam‐mo Cai‐li itu." Ketua Hoa‐san‐pai itu kelihatan terkejut
    dan sinar matanya menjadi keras, "Hemm, kiranya iblis betina itu yang
    membunuh murid‐murid pinto....! "Akan tetapi iblis itu telah tewas di tangan
    Nona Han Swat Hong puteri Pulau Es yang menitipkan pusaka kepada teecu
    berdua, Twa‐supek," Toan Ki berkata. Kakek itu mengangguk‐angguk dan
    mendengarkan penuturan mereka berdua tentang penyerbuan hebat di kota
    raja, di dalam istana dari The Kwat Lin, bekas Ratu Pulau Es yang minggat
    dan melarikan Pusaka‐pusaka Pulau Es itu. "Kalau begitu, sudah sepatutnya
    kalau Hoa‐san‐pai membantu para penghuni Pulau Es. Kalian boleh tinggal di

  11. #400

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 399
    sini dan biarlah Hoa‐san‐pai yang melindungi kalian dan pusaka‐pusaka itu
    sampai yang berhak datang mengambilnya." "Sebelumnya teecu berdua
    menghaturkan banyak terima kasih atas kebijaksanan dan kemuliaan hati
    Twasupek. dan teecu ingin mengajukan permohonan ke dua......" Kakek itu
    tersenyum. "Permohonanmu yang paling hebat, menegangkan dan berbahaya
    telah pinto terima dan urusan pusaka ini hanya kita bertiga saja yang
    mengetahuinya, tidak boleh kalian bocorkan keluar agar tidak menimbulkan
    keributan. Sekarang, ada permohonan apa lagi yang hendak kaukemukakan?"
    "Teecu...... mohon .....karena teecu berdua sudah tidak mempunyai keluarga
    lagi, dan teecu berdua sudah cukup lama bertunangan, maka.... teecu mohon
    berkah dan doa restu Twa‐supek untuk menikah di sini." Toan Ki yang
    hidupnya sudah penuh dengan segala macam pengalaman hebat itu, tidak
    urung tergagap ketika mengucapkan permintaan ini, sedangkan Bu Swi Nio
    menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali. Kong Thian‐cu tertawa
    bergelak, lalu berkata, "Pernikahan adalah peristiwa amat menggembirakan.
    Tentu saja pinto suka sekali memenuhi permintaan ini. Liem Toan Ki, engkau
    adalah murid Hoa‐san‐pai pula, tentu saja engkau berhak untuk menikah di
    sini, disaksikan oleh semua murid Hoa‐san‐pai yang berada di sini."
    Demikianlah, Pusaka‐pusaka Pulau Es yang di rahasiakan itu disimpan oleh
    Kong Thian‐cu sendiri di dalam kamar pusaka yang tersembunyi, tidak ada
    anggauta Hoa‐san‐pai lain yang mengetahuinya dan sebulan kemudian
    diadakanlah perayaan sederhana namun khidmat untuk melangsungkan
    upacara pernikahan antara Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio. Pada malam
    pertama pernikahan itu Bu Swi Nio menangis di atas dada suaminya,
    menangis dengan penuh keharuan, kedukaan yang bercampur dengan
    kegembiraan mengenangkan semua pengalamannya, kematian ayahnya dan
    kakaknya, malapetaka yang menimpa dirinya ketika dalam keadaan mabok
    dan tidak ingin diri dia diperkosa oleh Pangeran Tan Sin Ong. Dia memeluk
    suaminya dan berterima kasih sekali karena dia dapat membayangkan
    bahwa kalau tidak ada pria yang kini menjadi suaminya dengan syah dan
    terhormat ini tentu dia sudah membunuh diri dan andai kata dalam keadaan
    hidup pun ia akan menderita aib dan terhina. Sampai dua tahun suami isteri
    yang saling mencinta dan berbahagia ini hidup di Hoa‐san‐pai, menjadi
    anggota‐anggota dan anak murid Hoa‐san‐pai yang tekun berlatih dan rajin
    bekerja. Akan tetapi mereka gelisah sekalli karena sampai selama ini, Han
    Swat Hong atau lain tokoh Pulau Es tidak ada yang muncul bahkan gadis luar
    biasa dari Pulau Neraka, Ouw Soan Cu, juga tidak muncul. Tentu saja hati
    mereka akan menjadi lebih lega dan bebas dari kekhawatiran kalau saja
    pusaka‐pusaka Pulau Es itu sudah diambil oleh yang berhak dan tidak
    menjadi tanggung jawab mereka.. Lebih hebat lagi kegelisahan hati mereka
    ketika pada suatu hari Ketua Hoa‐san‐pai, Kong Thian‐cu yang sudah tua itu,
    meninggal dunia karena sakit. Sebelum meninggal dunia, Kong Thian‐cu
    memberitahukan di mana dia menyembunyikan pusaka‐pusaka itu yang
    tidak diketahui orang lain. Setelah Kong Thian‐cu meninggal dunia,
    kedudukan Ketua Hoa‐san‐pai digantikan oleh seorang tokoh Hoa‐san‐pai

  12. #401

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 400
    lain, terhitung sute dari Kong Thian‐cu yang telah menjadi seorang tosu yang
    saleh, berjuluk Pek Sim Tojin. Ketua yang baru ini pun tidak tahu akan
    rahasia Pusaka Pulau Es, sehingga kini rahasia pusaka itu seluruhnya
    menjadi tangung jawab Liem Toan Ki dan isterinya. Biarpun selama dua
    tahun itu tidak terjadi sesuatu, namun hati suami isteri ini selalu merasa
    tidak tenteram. Bahkan mereka berdua seringkali merundingkan bagaimana
    baiknya. Hendak meninggalkan Hoa‐san‐pai dan mencari Swat Hong, mereka
    tidak berani meninggalkan Hoa‐san‐pai di mana pusaka itu disimpan, juga
    mereka tidak tahu ke mana harus mencari Han Swat Hong. Tinggal diam saja
    di Hoa‐san mereka merasa makin lama makin gelisah. Selama itu, tidak ada
    satu kali pun mereka berani memeriksa pusaka yang disimpan di tempat
    yang amat rapat di kamar pusaka oleh mendiang Kong Thian‐cu. Akhirnya
    mereka terpaksa menahan diri, dan saling berjanji bahwa kalau setahun lagi
    pemilik pusaka yang sah tidak muncul, mereka akan menghadap Pek Sim
    Tojin, menceritakan dengan terus terang dan menyerahkan pusaka itu untuk
    dipelajari bersama sehingga dengan demikian pusaka itu ada manfaatnya
    demi kemajuan dan kebaikan Hoa‐san‐pai sendiri. "Suheng, kita berhenti
    istirahat dulu di sini!"
    Swat Hong berkata. Sin Liong menoleh kepada dara itu, tersenyum dan
    berkata, "Engkau lelah, Sumoi?" Swat Hong mengangguk dan Sin Liong
    menghentikan langkahnya, lalu keduanya duduk dibawah sebatang pohon
    besar di lereng bukit itu. Tempat perhentian mereka itu ditepi jalan yang
    merupakan lorong setapak, di sebelah kiri terdapat dinding bukit, di sebelah
    kanan jurang yang amat curam. Pemandangan di seberang jurang amatlah
    indahnya, tamasya alam yang tergelar di bawah kaki mereka, sehelai
    permadani hidup yang permai dengan segala macam warna berselang‐seling,
    kelihatan kacau namun menyedapkan pandangan karena di dalam kekacauan
    itu terdapat keselarasan yang wajar. Sawah ladang bekas hasil tangan
    manusia berpetak‐petak, digaris oleh sebatang sungai yang berbelok‐belok,
    dengan rumpun di sana‐sini diseling pohon‐pohon besar yang masih
    bertahan di antara perobahan yang dilakukan oleh tangan‐tangan manusia.
    Sebatang pohon yang daun‐daunnyatelah menguning dan banyak yang
    rontok, kelihatan menyendiri dan menonjol di antara segala tumbuhtumbuhan
    menghijau, dan seolah‐olah segala keindahan berpusak kepada
    pohon menguning hampir mati itu. Matahari yang berada di atas kepala tidak
    menimbulkan bayangan‐bayangan sehingga hari tampak cerah sekali. Sinar
    matahari dengan langsung dan bebas menyinari bumi dan segala yang berada
    di atasnya, terang menderang tidak ada gangguan awan. Di dalam
    keheningan itu, Swat Hong dapat melihat ini semua. Ketika tanpa disengaja
    tangannya yang digerakkan untuk menyeka keringat bertemu dengan lengan
    Sin Liong, barulah dia sadar akan dirinya dan sekelilingnya. Dan dia terheran.
    Semenjak dia bertemu dengan suhengnya dan melakukan perjalanan ini,
    seringkali dia tenggelam ke dalam keindahan yang amat luar bias, yang sukar
    dia ceritakan dengan kata‐kata. Dia merasa tenteram, tenang dan penuh
    damai sungguhpun suhengnya jarang mengeluarkan kata‐kata. Dia seperti

  13. #402

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 401
    merasa betapa diri pribadi suhengnya bersinar cahaya yang hangat dan aneh,
    terasa ada getaran yang ajaib keluar dari pribadi suhengnya yang
    mempengaruhinya dan mendatangkan suatu perasaan yang menakjubkan,
    yang mengusir segala kekesalan, segala kerisauan, dan segala kedukaan.
    Sudah beberapa kali dia ingin mengutarakan ini kepada suhengnya, namun
    setiap kali dia hendak bicara, mulutnya seperti dibungkamnya sendiri oleh
    keseganan yang timbul dari perasaan halus dan lembut terhadap suhengnya
    itu, sesuatu yang belum pernah dirasakannya semula. Dia mencinta
    suhengnya, ini sudah jelas. Namun sekarang timbul perasaan lain yang lebih
    agung daripada sekedar cinta biasa, perasaan yang membuat dia penuh
    damai. "Suheng......." Dia memberanikan hatinya berkata. "Ya......?" Sin Liong
    mengangkat muka memandangnya sambil tersenyum. Senyumnya begitu
    lembut penuh kasih, pandang matanya begitu bersinar penuh pengertian
    sehingga Swat Hong merasa betapa seolah‐olah sebelum dia bicara,
    suhengnya itu telah tahu apa yang terkandung di dalam hatinya! Inilah yang
    biasanya membuat membungkam dan tidak dapat melanjutkan kata‐katanya.
    Kini dia mengeraskan hati dan berkata dengan suara lirih, "Suheng, kita akan
    ke manakah?" "Ke Hoa‐san, sudah kuberitahukan kepadamu," jawabnya
    sederhana. "Bagaimana kau bisa tahu bahwa mereka berada di Hoa‐san?" Sin
    Liong tersenyum, senyum cerah, secerah sinar matahari di saat itu, senyum
    yang bebas dan wajar tidak menyembunyikan sesuatu tidak membawa arti
    sesuatu. "Sumoi, pusaka itu kau berikan kepada Liem Toan Ki dan
    tunangannya, dan karena Liem Toan Ki adalah murid Hoa‐san‐pai, maka
    tentu saja mereka berada di Hoa‐san." Swat Hong mengangguk‐angguk,
    memang dia tahu bahwa Toan Ki adalah murid Hoa‐san, akan tetapi dia lupa
    bahwa dia tidak pernah menceritakan hal ini kepada suhenngya! "Bagaimana
    kalau mereka tidak berada si sana, Suheng?" Kembali senyum itu. Senyum
    seorang yang begitu pasti akan segala sesuatu, senyum penuh pengertian,
    seperti senyum seorang tua yang melihat kenakalan anak‐anak dan maklum
    pengapa anak itu nakal! "Sumoi, apakah gunanya memikirkan hal‐hal yang
    belum terjadi? Membayangkan hal‐hal yang belum terjadi adalah permainan
    buruk dari pikiran, karena hal itu hanya akan menghasilkan kecemasan dan
    kekhawatiran belaka. Apa yang akan terjadi kelak kita hadapi sebagaimana
    mestinya kalau sudah terjadi di depan kita." Swat Hong tertarik sekali.
    "Apakah rasa cemas itu timbul dari pikiran yang membayangkan masa
    depan, Suheng?" "Agaknya jelas demikian, bukan? Yang takut akan sakit
    tentulah dia yang belum terkena penyakit itu, kalau sudah sakit, dia tidak
    takut lagi kepada sakit, melainkan takut kepada kematian yang belum tiba.
    Perlukah hidup dicekam rasa takut dan rasa kekhawatiran? Pikiran yang
    bertanggung jawab atas timbulnya rasa takut. Pikiran mengingat‐ingat
    kesenangan di masa lalu, dan mengharapkan terulangnya kesenangan itu di
    masa depan, maka timbullah kekhawatiran kalau‐kalau kesenangan itu tidak
    akan terulang. Pikiran mengenang penderitaan masa lalu dan ingin
    menjauhinya, ingin agar di masa depan hal itu tidak terulang kembali maka
    timbulah kekhawatiran kalau‐kalau dia tertimpa penderitaan itu lagi!" "Habis

  14. #403

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 402
    bagaimana, Suheng?" "Hiduplah saat ini, curahkan seluruh perhatian, seluruh
    hati dan pikiran, untuk menghadapi saat ini, apa yang terjadi kepadamu di
    saat ini, bukan apa yang boleh terjadi di masa depan, bukan pula mengenang
    apa yang telah terjadi di masa lalu." "Kalau begitu kita menjadi tidak acuh
    dan bersikap masa bodoh....." "Justru biasanya kita bersikap masa bodoh dan
    tidak acuh, tidak menaruh perhatian yang mendalam terhadap saat ini,
    karena seluruh perhatian kita sudah dihabiskan untuk mengingat‐ingat masa
    lalu dan untuk membayang‐bayangkan masa depan dengan seluruh
    pengharapannya, seluruh cita‐citanya, seluruh nafsu keinginannya, seluruh
    kesenangan dan kekecewaannya. Justeru kalau bebas dari masa lalu tidak
    lagi ada bayangan masa depan dan kita hidup saat demi saat penuh
    perhatian, dan ini barulah di namakan hidup sepenuhnya, hidup sempurna
    dan lengkap karena kita menghayati hidup dengan penuh kewajaran, tidak
    terbuai dalam aalam kenangan dan harapan yang muluk‐muluk namun
    sesungguhnya kosong belaka." Sampai lama hening di situ. Pengertian yang
    mendalam meresap di hati sanubari Swat Hong dan di dalam keheningan itu
    tercakup seluruh alam mayapada. "Suheng, telah dua tahun pusaka itu
    berada di tangan mereka. Aku telah mencari ke mana‐mana, hanya ke Hoasan‐
    pai yang belum. Kurasa mereka itu tidak jujur, dan agaknya tentu mereka
    telah menyembunyikan pusaka itu. Kalau tidak demikian mengapa mereka
    tidak pergi menanti aku di Puncak Awan Merah seperti yang kupesankan?
    Memang hati manusia tidak atau jarang sekali ada yang jujur. Sekali saja
    melihat sesuatu yang dapat menguntungkan diri pribadi, maka terlupalah
    semua pelajaran tentang kegagahan dan kebaikan. Aku ingin mencari dan
    menghajar mereka itu!" "Sumoi, prasangka adalah satu di antara racun‐racun
    yang merusak kehidupan kita. Prasangka di lahirkan oleh pikiran yang
    mengada‐ada, yang membayangkan sesuatu yang direka‐reka, yang timbul
    karena kekhawatiran. Prasangka adalah suatu kebodohan yang menyiksa diri
    sendiri. Kalau kita sudah bertemu dengan mereka dan sudah melihat
    keadaan yang sesungguhnya, apakah kegunaannya prasangka? Prasangka
    dan sebagainnya lenyap setelah kita membuka mata melihat kenyataan apa
    adanya, dan sebelum itu, berprasangka berarti membiarkan pikiran
    mempermainkan diri. Apakah kegunaannya bagi kehidupan kita?" Kembali
    hening. Swat Hong tak mampu menjawab karena dia dihadapkan dengan
    keadaan yang nyata. Memang, dia memikirkan hal‐hal yang belum terjadi,
    maka timbullah kekhawatiran, dan dari kekhawatiran ini timbulah prasangka
    yang bukan‐bukan. Yang salah dalam semua itu adalah pikiran! Setelah tubuh
    mereka beristirahat dengan cukup, keduanya lalu melanjutkan perjalanan
    menuju ke Hoasan. Makin lama Swat Hong makin mendapat kesan bahwa
    suhengnya benar‐benar telah berubah, jahu bedanya dengan dahulu. Pada
    suatu hari, ketika mereka tiba di kaki Pegunungan Hoa‐san dan beristirahat,
    Swat Hong tidak dapat menahan rasa keinginan tahunya dan dia berkata,
    "Suheng, setelah dua tahun berpisah denganmu dan berjumpa kembali, aku
    memperoleh kenyataan bahwa engkau telah berubah sekali!" "Begitukah,
    Sumoi?" "Aku tidak tahu apanya yang berubah, memang kelihatannya engkau

  15. #404

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 403
    masih biasa sepeti dulu, Suhengku yang sabar, tenang dan bijaksana. Akan
    tetapi entahlah, engkau berubah benar, sungguhpun aku sendiri tidak dapat
    mengatakan apanya yang berubah." Sin Liong tersenyum dan sinar matanya
    berseri. "Memang setiap manusia seyogianya mengalami perubahan, Sumoi.
    Kita masing‐masing haruslah berubah, tidak terikat dengan masa lalu,
    dengan segala macam kebiasaan masa lalu, setiap hari, setiap detik kita
    haruslah baru! Kalau demikian, barulah hidup ada artinya!" Swat Hong
    hendak berkata lagi, akan tetapi tiba‐tiba Sin Liong memegang tangannya dan
    mengajaknya bangkit berdiri lalu berlahan‐lahan melanjukan perjalanan
    mulai mendaki bukit pertama. Ketika Swat Hong hendak menanyakan sikap
    yang tiba‐tiba ini dari suhengnya, dia mendengar suara orang dan tampaklah
    olehnya banyak orang berbondong‐bondong naik ke pegunungan Hoa‐san,
    datangnya dari berbagai penjuru. Mereka itu terdiri dari bermacam orang,
    dengan pakaian yang bermacam‐macam pula, namun jelas bahwa rata‐rata
    memiliki gerakan yang ringan dan tangkas dan mudah bagi Swat Hong untuk
    mengetahui bahwa mereka adalah orang‐orang kang‐ouw! Melihat kenyataan
    bahwa tidak ada di antara mereka yang memperhatikan Sin Liong dan Swat
    Hong, hanya memandang sepintas lalu saja seperti mereka itu saling
    memandang, tahulah Swat Hong bahwa mereka itu bukan merupakan satu
    rombongan, melainkan terdiri dari banyak rombongan sehingga tentu saja
    mereka mengira bahwa dia dan suhengnya adalah anggauta rombongan lain.
    Hati Swat Hong diliputi penuh pertanyaan. Siapakah mereka dan apa
    kehendak mereka itu? Apakah di Puncak Hoa‐san terdapat perayaan dan
    mereka ini adalah para tamu yang berkujung ke Hoa‐san‐pai"Akan tetapi
    melihat sikap suhengnya diam dan tenang saja, Swat Hong merasa malu
    untuk bertanya dan teringatlah dia akan kata‐kata suhengnya tentang
    permainan pikiran yang membayangkan masa depan yang menimbulkan
    kekhawatiran belaka. Mau tidak mau dia harus membenarkan karena kini dia
    merasakan sendiri. Biarlah dia hadapi apa yang sedang terjadi sebagaimana
    mestinya dan sebagai apa adanya tanpa merisaukan hal‐hal yang belum
    terjadi! Ketia akhirnya mereka tiba di Puncak Hoa‐san, di depan markas
    perkumpulan Hoa‐san‐pai yang besar, Swat Hong menjadi terkejut. Di tempat
    itu ternyata tidak terdapat perayaan apa‐apa dan kini banyak tosu dan
    anggauta Hoa‐san‐pai berkumpul dan berdiri di ruangan depan yang tinggi,
    sedangkan di bawah anak tangga, di halaman depan penuh dengan orangorang
    kang‐ouw yang bersikap menantang! Ketika dia melirik ke arah
    suhengnya, dia melihat Sin Liong bersikap masih biasa dan tenang, dan
    suhengnya ini pun memandang ke depan dengan perhatian sepenuhnya.
    Maka dia pun lalu memandang lagi dan dia melihat seorang tosu berambut
    putih dengan tenang berdiri menghadapi para orang‐orang kang‐ouw itu
    sambil menjura dengan sikap hormat lalu berkata dengan suara halus namun
    cukup nyaring, "Harap Cu‐wi sekalian sudi memaafkan kami yang tidak tahu
    akan kedatangan Cu‐wi maka tidak mengadakan penyambutan sebagaimana
    mestinya. Pinto melihat bahwa Cu‐wi adalah tokoh‐tokoh kangouw dari
    bermacam golongan dan tingkat, dan pada hari ini berbondong datang

  16. #405

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 404
    mengunjungi Hoa‐san‐pai, tidak tahu ada keperluan apakah?" Swat Hong
    memandang para orang kang‐ouw itu dan diantaranya banyak tokoh aneh
    yang tidak dikenalnya itu, dengan heran dia melihat adanya Siang‐koan
    Houw Tee Tok, tokoh yang tinggal di Puncak Awan Merah di ***‐hang‐san itu!
    "Suheng, itu Tee Tok berada pula di sini," bisikannya sambil menyentuh
    lengan suhengnya. "Aku sudah melihatnya," kata Sin Liong perlahan, "dan
    yang di sebelah sana itu adalah Bhong Sek Bin yang berjuluk Thian‐tok
    (Racun Langit). Bekas suheng dari Tee Tok, dan itu adalah Thian‐he Tee‐it
    Ciang Ham Ketua kang‐jiu‐pang di Secuan. yang di sana itu adalah Lam‐hai
    Seng‐jin, tosu majikan Pulau Kura‐kura di Lamhai....." "Guru Kwee‐toako?" Sin
    Liong mengangguk. Swat Hong memandang penuh perhatian dan terheranheran
    melihat suhengnya mengenal orang‐orang yang memiliki julukan
    aneh‐aneh itu. Thian‐he Tee‐it berarti Di Kolong Langit Nomer Satu! Dan
    Lam‐hai Seng‐jin berarti Manusia dari laut Selatan! "Dan itu adalah Gin‐siauw
    Siucai (Pelajar Bersuling Perak), seorang bertapa di Bukit Bengsan dan yang
    di ujung itu adalah seorang yang pernah menyerang Pulau Neraka seperti
    yang pernah kuceritakan kepadamu, Sumoi. Dialah Tok‐gan Hai‐liong (Naga
    Laut Mata Satu) Koan Sek, seorang bekas bajak laut." "Wah, begitu banyak
    orang pandai mendatangi Hoa‐san‐pai, ada apakah, Suheng?" "Kita melihat
    dan mendengarkan saja." Sementara itu, ucapan dan pertanyaan Ketua Hoasan‐
    pai tadi mendatangkan suasana berisik ketika para pendatang yang
    jumlahnya ada lima puluhan orang itu saling bicara sendiri tanpa ada yang
    menjawab langsung pertanyaan Ketua Hoa‐san‐pai. Agaknya mereka itu
    merasa sungkan dan saling menanti, menyerahkan jawaban kepada orang
    lain yang hadir di situ. Betapapun juga, para tokoh kang‐ouw itu merasa
    segan juga karena Hoa‐san‐pai terkenal sebagai sebuah perkumpulan atau
    partai persilatan yang besar, yang selama ini tidak pernah mencampuri
    urusan perebutan kekuasaan atau tidak pernah pula mencampuri urusan
    kang‐ouw yang tidak ada hubungannya dengan mereka. Orang‐orang Hoasan‐
    pai terkenal sebagai orang‐orang gagah yang disegani di dunia
    persilatan, maka tentu saja mereka itu diliputi perasaan sungkan. Pek Sim
    Tojin yang berambut putih dan bersikap tenang itu melihat seorang kakek
    tinggi besar bermuka tengkorak yang menyeramkan maju ke depan, maka
    melihat bahwa belum juga ada yang mau menjawab, dia lalu berkata
    ditujukan kepada kakek tinggi besar bermuka tengkorak itu. "Kalau pinto
    tidak salah mengenal orang, Sicu adalah Thian‐tok Bhong Sek Bin. Sicu adalah
    seorang yang amat terkenal di dunia kang‐ouw dan mengingat bahwa
    kedatangan Sicu pasti mempunyai kepentingan besar, maka pinti harap Sicu
    suka berterus terang mengatakan apa keperluan itu." Thian‐tok Bhong Sek
    Bin menyeringai penuh ejekan. "Ha‐ha‐ha, engkau benar, Totiang! Aku adalah
    Bhong Sek Bin dan memang bukan percuma jauh‐jauh aku datang
    mengunjungi Hoa‐san‐pai. Tentang mereka semua ini aku tidak tahu, akan
    tetapi kedatanganku adalah untuk bicara dengan dua orang yang bernama
    Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio. Suruh mereka berdua keluara bicara dengan
    aku dan aku tidak akan membawa‐bawa Hoa‐san‐pai!" Ucapan ini disambut

Page 27 of 28 FirstFirst ... 17232425262728 LastLast

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •