PART 390
mata pemberontak, sama sekali bukan! Bahkan kami adalah musuh‐musuh
pemberontak.
Kami berdua adalah sungguh‐sungguh hendak membantu gerakan Sri
Baginda Kaisar untuk menghalau pemberontak dari kota raja. Akan tetapi
celakanya, Nona Han Swat Hong yang beriktikad baik ini dicurangi oleh
Bouw‐ciangkun. Sukarelawati yang gagah perkasa ini, yang akan dapat
membantu banyak sekali kepada Sri Baginda, oleh Bouw‐ciangkun hendak
dikorbankan sebagai hadiah kepada panglima Arab, untuk diperkosa! Tentu
saja kami melawan kejahatan ini!" "Tangkap......!" "Bunuh.....! Dia telah
membunuh Bouw‐ciangkun......!" "Jangan percaya hasutan mulut mata‐mata
pemberontak!" Kini tempat itu penuh dengan perajurit, tidak hanya ratusan,
bahkan ribuan banyaknya. Mereka sudah marah semua karena biarpun di
antara mereka ada yang dapat memaklumi kebenaran ucapan Kwee Lun,
namun kenyataan dibunuhnya Bouw‐ciangkun tentu saja menggegerkan dan
mengacaukan mereka. Dengan senjata di tangan mereka sudah mengeroyok
dua orang itu. "Menyesal tidak berhasil, Nona." "Tidak apa, Toako. Mati di
sampingmu membesarkan hati." "Benarkah?" "Tentu saja, karena engkau
seorang yang baik sekali, Kwee‐toako." "Kalau begitu, marilah mati bersama!"
Pemuda itu dengan wajah berseri sudah siap dengan sepasang senjatanya,
mereka saling membelakangi dan saling melindungi. Para perajurit sudah
berdesak‐desakan hendak menyerbu. Tiba‐tiba terdengar suara yang halus
dan tenang, namun penuh wibawa, "Harap Cu‐wi sekalian tidak
menggerakkan senjata.......!" Sungguh ajaib sekali. Biarpun ada di antara
mereka yang tidak mempedulikan kata‐kata ini dan hendak tetap menyerang,
tiba‐tiba saja merasa bahwa tangan mereka tidak mampu bergerak!
Terdengar seruan‐seruan kaget dan heran, dan kini semua mata memandang
kepada seorang pemuda yang dengan tenangnya berjalan memasuki
kepungan itu, dengan membuka jalan di antara para perajurit. Juga Kwee Lun
dan Swat Hong mengeluarkan seruan tertahan. Mereka berdua pun merasa
betapa tangan mereka tidak dapat digerakkan! Otomatis mereka pun
menoleh dan melihat pula seorang pemuda yang memasuki kepungan itu
dengan sikap tenang sekali. Seorang pemuda yang berpakaiannya sederhana,
agak kurus, matanya memancarkan sinar yang luar biasa, pemuda yang
memandang kepada Swat Hong dengan senyum di bibir. "Su....
Suhenggggg.....!" Tiba‐tiba Swat Hong menjerit, pedangnya terlepas dari
pegangan dan sambil terisak dia lari menghampiri lalu menubruk pemuda itu
yang bukan lain adalah Kwa Sin Liong! "Suheng..... aihhh, Suheng...... Ibuku....."
"Tenanglah, Sumoi, tenanglah........" Suara Sin Liong mengandung wibawa
yang luar biasa sehingga Swat Hong yang dilanda kekagetan dan keharuan
hebat karena sama sekali tidak menyangka bahwa suhengnya masih hidup
itu, dapat menenangkan hatinya. "Suheng..... betapa bahagia rasa hatiku!
Suheng, jangan kautinggalkan aku lagi....." "Tidak, Sumoi. Tidak lagi." "Aku
cinta padamu, Suheng! Aku cinta padamu!" Tanpa malu‐malu Swat Hong
PART 391
meneriakkan suara hatinya ini di tengah‐tengah kepungan ratusan, bahkan
ribuan orang perajurit! Kwee Lun memandang semua itu dan dua titik air
mata membasahi bulu matanya. Dia merasa terharu, juga girang sekali,
girang melihat kebahagian Swat Hong dan sekaligus dia teringat kepada Soan
Cu. Dia pun sudah dapat bergerak, melangkah maju dan berkata, "Kwataihiap,
syukur bahwa engkau masih dalam keadaan selamat. Sungguh aku
ikut merasa girang...." Sin Liong tersenyum kepadanya. "Kwee‐toako, engkau
seorang sahabat yang baik. Simpanlah pedang dan kipasmu, tidak perlu
melanjutkan pembunuhan yang tidak ada gunanya ini." Kwee Lun menurut,
akan tetapi matanya memandang ragu dan sambil menyarungkan pedang
dan menyimpan kipasnya, dia bertanya, "Akan tetapi.... mereka itu....?"
Terdengar teriakan‐teriakan dari para pengepung. "Tangkap mata‐mata
musuh!" "Bunuh pemberontak!" "Tangkap pembunuh Bouw‐ciangkun!"
Ribuan orang perajurit sudah bergerak lagi. Swat Hong memegang lengan
suhengnya dan Kwee Lun juga mendekati Sin Liong. Betapapun juga, gentar
dia menghadapi ribuan orang yang berteriak itu, apalagi dia tidak boleh
melawan. Ketenangan Sin Liong membuat dia mencari perlindungan dekat
pemuda ini. Sin Liong memegang lengan sumoinya dan terdengarlah
suaranya penuh kesabaran dan ketenangan yang wajar, "Cu‐wi sekalian tahu
bahwa mereka berdua ini bukan mata‐mata, dan Cu‐wi tahu apa yang telah
terjadi. Maka harap Cu‐wi perkenankan kami pergi, kemudian sebaiknya
melaporkan kepada Sri Baginda apa yang telah terjadi sehingga dapat
diambil tidakan tepat, demi ketertiban." Suara ini demikian halus, akan tetapi
mengatasi semua teriakan dan anehnya orang‐orang itu tidak berteriakteriak
lagi. "Kami hendak pergi sekarang!" Sin Liong memegang lengan Swat
Hong dengan tangan kanannya, memegang lengan Kwee Lun dengan tangan
kiri, lalu menarik kedua orang itu keluar dari kepungan. Swat Hong dan Kwee
Lun melangkah dengan bengong, merasa seperti dalam mimpi saja karena
ketika mereka melangkah pergi melalui ribuan orang pasukan itu, tidak ada
seorang pun di antara para perajurit yang mencoba untuk menghalangi
mereka, bahkan ajaibnya, tidak ada seorang pun yang memandang mereka,
seolah‐olah para perajurit itu tidak melihat mereka! Dan memang begitulah.
Para perajurit itu pun bengong ketika secara tiba‐tiba setelah pemuda
tampan halus itu berpamit, tiga orang itu tiba‐tiba saja lenyap dari situ tanpa
meninggalkan bekas! Setelah Sin Liong dan dua orang temannya pergi jauh,
barulah gempar di tempat itu dan akhirnya Kaisar memperoleh laporan
tentang semua peristiwa yang terjadi. Panglima Hussin dikirim pulang dan
pimpinan pasukannya diserahkan kepada Ahmed! Sementara itu, Sin Liong,
Kwee Lun dan Swat Hong pergi meninggalkan Secuan. Ketika mereka tiba
jauh dari daerah itu, mereka berhenti dan Swat Hong berkata, "Suheng,
mengapa kita meninggalkan Secuan? Aku ingin sekali menjadi sukarelawati,
membantu Kaisar dan membasmi pemberontak yang telah mengakibatkan
kematian Ibu, kematian Soan Cu dan Ayahnya, bahkan kematian kakek
buyutku!" "Benar apa yang dikatakan Nona Swat Hong, Kwa‐taihiap.
Perjuangan menanti tenaga kita. Marilah kita bertiga membantu kerajaan
PART 392
membasmi pemberontak." Sin Liong menarik napas panjang, memegang
tangan sumoinya dan diajak duduk di atas rumput. Swat Hong duduk dekat
suhengnya dan memandang wajah suhengnya dengan penuh kagum dan
kasih sayang. "Kwee‐toako, benarkah engkau tertarik dengan perang, dengan
saling bunuh membunuh antara manusia, antara bangsa sendiri itu? Betapa
mengerikan, Toako. Menggunakan ilmu silat untuk membela yang lemah,
untuk menentang yang jahat masih dapat dimengerti dan masih mending.
Akan tetapi bunuh‐membunuh hanya untuk membela sekelompok manusia
lain saling memperebutkan kemuliaan duniawi, sungguh patut disesalkan.
Mereka itu hanya ingin mempergunakan orang lain demi mencapai cita‐cita
sendiri. "Aih, apa yang dikatakan Suheng memang tepat, Kwee‐toako. Ingat
saja pengalamanku. Aku jauh‐jauh datang untuk menjadi sukarelawati,
membantu mereka, akan tetapi belum apa‐apa aku sudah akan dikorbankan
demi untuk menyenangkan hati panglima asing itu." Swat Hong berkata
kemudian dia menceritakan pengalamannya kepada Sin Liong, semenjak
mereka berpisah dan dia ditolong oleh kakek buyutnya, sampai dia berpisah
dari Kwee Lun meninggalkan ibunya yang menghadapi maut. "Aku tidak
berhasil mencari Swi Nio dan Toan Ki yang kutitipi pusaka‐pusaka Pulau Es.
Maka aku berniat membantu Kaisar sekaligus mencari mereka yang kurasa
melarikan diri membawa pusaka‐pusaka itu untuk mereka sendiri. Sungguh
menggemaskan!" "Jangan tergesa‐gesa berperasangka buruk terhadap orang
lain, Sumoi. Kelak kita memang harus mencari mereka dan meminta kembali
pusaka‐pusaka itu untuk kita bawa kembali ke Pulau Es." Kwee Lun juga
menceritakan riwayatnya semenjak dia berpisah dari Swat Hong. Kemudian
mereka minta agar Sin Liong suka menceritakan riwayatnya. "Bagaimana
engkau yang menurut cerita Kakek buyut dilempar ke sumur ular dan
ditutup dengan reruntuhan guha, dapat menyelamatkan diri, Suheng?" dan
selama ini engkau kemana saja?" Sin Liong tersenyum. "Aku memang nyaris
tewas di sumur itu, akan tetapi memang agaknya belum tiba saatnya aku
mati, maka batu mustika hijau kepunyaanmu ini telah menolongku, Sumoi."
Sin Liong mengeluarkan mustika hijau itu. Swat Hong menerima batu itu dan
menciumnya. "Terima kasih, kau telah menyelamatkan Suheng!" katanya
girang. Sin Liong lalu menuturkan dengan singkat keadaannya selama dua
tahun di dalam sumur ular sampai dia berhasil keluar ketika sumur itu
dibongkar oleh Han Bu Ong dan orang‐orang kerdil. "Ahh, Ibunya yang
mencelakanmu, anaknya yang tanpa sengaja menolongmu!" Swat Hong
berseru heran. "Lalu bagaimana kau bisa datang ke Secuan dan
menyelamatkan aku dan Kwee‐toako?" "Mula‐mula aku pergi ke kota raja
dan mendengar betapa Ibumu, juga Soan Cu telah tewas di sana, akan tetapi
juga bahwa ibu tirimu The Kwat Lin juga tewas pula. Karena aku menduga
bahwa peristiwa itu tentu membuat engkau dimusuhi oleh para
pemberontak, maka aku yakin bahwa kau tentu membantu Kaisar di Secuan,
maka aku segera menyusul ke sini dan kebetulan sekali melihat engkau dan
Kwee‐toako dikeroyok para perajurit." Sin Liong tidak memberitahukan
bahwa sesungguhnya telah terjadi keajaiban pada dirinya sehingga seolah
PART 393
olah dia tahu bahwa sumoinya berada di Secuan. Seolah‐olah apa yang terjadi
bukan merupakan rahasia lagi baginya! Tiba‐tiba Kwee Lun bertanya nada
suaranya hati‐hati dan penuh sungkan, "Kwa‐taihiap, sejak dulu saya tahu
bahwa Taihiap memiliki kepandaian luar biasa. Akan tetapi..... tadi di sana
seruan taihiap membuat ribuan orang berhenti bergerak, bahkan aku pun.....
tidak mampu bergerak. Kemudian....... ketika kita pergi, terjadi keajaiban,
seolah‐olah mereka itu sama sekali tidak melihat kita pergi....." Sin Ling hanya
tersenyum dan mengangkat pundak tanpa menjawab. "Benar! Apa yang telah
kau lakukan tadi, Suheng?" Swat Hong juga bertanya. "Tidak apa‐apa, Sumoi.
Engkau pun melihat sendiri. Kita pergi dari mereka, dan karena tidak ada
permusuhan atau kebencian di hatiku, tentu saja mereka pun tidak
melakukan apa‐apa." Swat Hong memang sejak dahulu sudah tahu akan
keanehan watak Suhengnya dan kadang‐kadang ucapan suhengnya tidak
dimengerti sama sekali, maka jawaban sederhana ini cukup baginya. Tidak
demikian dengan Kwee Lun. Pemuda ini menduga bahwa Pemuda Pulau Es
itu bukanlah manusia biasa, maka cepat dia berkata, "Kwa‐taihaip, jika
Taihiap berkenan, saya....... saya mohon petunjuk......" Sin Liong menoleh,
memandang. Mereka bertemu pandang dan Sin Liong tersenyum lagi. "Kau
sebaiknya pulang saja ke Pulau Kura‐kura, Kwee‐toako. Dan mengingat
engkau suka sekali akan ilmu silat dan aku yakin bahwa engkau tidak akan
menggunakan ilmu itu untuk berbuat jahat, maka mungkin aku dapat
menambahkan sedikit tingkat ilmumu itu. Harap kau coba‐coba mainkan
pedang dan kipasmu itu sebaik mungkin." Bukan main girangnya hati Kwee
Lun. Dia menjura dengan hormat sambil mengucapkan terima kasih,
kemudian dia mencabut pedang dan kipasnya lalu bermain silat di depan Sin
Ling dan Swat Hong. Seperti kita ketahui, dari kitab kuno Sin Liong
memperoleh ilmu luar biasa, yaitu mengenal semua inti ilmu silat dari
gerakan pertama saja. Maka setelah Kwee Lun mainkan jurus‐jurus simpanan
yang paling lihai dan menghentikan permainan silatnya, Swat Hong bertepuk
tangan memuji, sedangkan Sin Liong berkata, "Ada kelemahan‐kelemahan di
dalam beberapa jurusmu, Toako." Pemuda luar biasa ini lalu memberi
petunjuk kepada Kwee Lun yang menjadi terheran‐heran, kagum dan girang
sekali. Petunjuk‐petunjuk itu merupakan penyempurnaan dari semua ilmu
silatnya. Dia menerima dan melatih petunjuk‐petunjuk ini dan demikianlah,
sampai hampir sebulan lamanya, tiga orang ini melakukan perjalanan ke
timur dan disepanjang perjalanan, Kwee Lun menerima petunjuk‐petunjuk
dari Sin Liong, bahkan Kwee Lun menerima pelajaran latihan untuk
menghimpun tenaga sinkang. Selama sebulan itu, Kwee Lun memperoleh
keyakinan bahwa pemuda Pulau Es ini benar‐benar bukan seorang manusia
biasa. Tidak tanduknya, bicaranya, pandang matanya, dan betapa pemuda itu
dapat mengerti ilmu silatnya lebih sempurna daripada dia sendiri! Maka
ketika tiba saatnya berpisah, dia tanpa ragu‐ragu menjatuhkan diri berlutut
di depan Sin Liong! "Harap jangan berlebihan, Kwee‐toako," kata Sin Liong.
"Wah, Toako. Apa‐apaan ini?" Swat Hong juga mencela. "Kwa‐taihiap, saya
boleh dibilang adalah murid Taihiap. Dan Han‐lihiap, agaknya belum tentu
PART 394
selama hidupku akan dapat bertemu lagi dengan Ji‐wi (Kalian). Perkenankan
saya, Kwee Lun, menghaturkan terima kasih dan selama hidup saya tidak
akan melupakan Ji‐wi!" "Hushhhh..... sudahlah, Toako. Kita berpisah di sini.
Engkau ke selatan dan kami akan terus ke timur. Mari, Sumoi, kita lanjutkan
perjalanan," kata Sin Long dengan suara tenang dan biasa saja, lalu mengajak
sumoinya pergi dari situ. Swat Hong beberapa kali menengok dan melihat
Kwee Lun masih berlutut dengan mata basah air mata! Dia pun terharu, akan
tetapi tidak lagi merasa sengsara seperti ketika dia berpisah dari Kwee Lun
hampir dua tahun yang lalu. Kini Sin Liong, suhengnya, pria yang dicintainya,
berada di sampingnya. Tidak ada lagi perkara apa pun di dunia ini yang dapat
menyusahkan hatinya lagi! Sudah terlalu lama kita meninggalkan Bu Swi Nio
dan Lie Toan Ki, dua orang muda yang dipercaya oleh Swat Hong untuk
menyelamatkan pusaka‐pusaka Pulau Es. Benarkah dugaan Swat Hong
bahwa mereka itu bertindak curang, mengangkangi sendiri pusaka‐pusaka
yang secara kebetulan terjatuh ketangan mereka itu? Sama sekali tidak
demikian dan mari kita mengikuti perjalanan mereka semenjak mereka
meninggalkan kota raja. Malam hari itu, mereka berhasil lolos keluar dari
kota raja dan semalam suntuk terus melarikan diri ke barat. Pada keesokan
harinya, dengan tubuh lesu dan lelah, mereka sudah tiba jauh dari kota raja
dan selagi mereka hendak mengaso, tiba‐tiba terdengar derap kaki kuda dari
belakang. Mereka terkejut dan cepat menyelinap ke dalam semak‐semak
untuk bersembunyi. Akan tetapi, empat orang yang menunggu kuda itu
sudah melihat mereka dan begitu tiba di tempat itu, mereka meloncat turun,
mencabut senjata dan seorang di antara mereka berseru, "Dua orang
pengkhianat rendah, keluarlah!" Dari tempat persembunyian mereka, Swi
Nio dan Toan Ki mengenal empat orang itu. Mereka adalah bekas‐bekas
teman mereka ketika masih membantu An Lu Shan dahulu di masa
"perjuangan". Karena mengenal mereka dan tahu bahwa mereka itu adalah
orang‐orang kang‐ouw yang dahulu juga membantu pemberontakan karena
sakit hati kepada kelaliman Kaisar, Swi Nio dan Toan Ki meloncat keluar.
Liem Toan Ki tersenyum memandang kepada kakek berusia lima puluh tahun
yang memimpin rombongan empat orang itu. Kakek ini bernama Thio Sek Bi,
murid dari seorang tokoh kang‐ouw kenamaan, yaitu Thian‐tok Bhong Sek
Bin! Adapun tiga orang yang lain adalah orang‐orang kang‐ouw yang agaknya
tunduk kepada Thio Sek Bi ini, namun menurut pengetahuan Toan Ki,
kepandaian mereka tidaklah perlu dikhawatirkan. Hanya orang she Thio ini
lihai. "Thio‐twako, kita sama mengerti bahwa perjuangan kita hanya untuk
menghalau Kaisar lalim. Urusan kami di istana The Kwat Lin sama sekali
tidak ada hubungannya dengan urusan perjuangan. Harap Toako tidak
mencampuri urusan pribadi dan suka mengalah, membiarkan kami pergi
dengan aman." "ha‐ha‐ha‐ha! Liem Toan Ki, enak saja kau bicara! Setelah
berhasil memperoleh pusaka‐pusaka keramat, mau lolos begitu saja dan
melupakan teman! Kami berempat tentu akan menerima uluran tanganmu
yang bersahabat kalau saja persahabatan itu kau buktikan dengan
membagikan sebagian pusaka itu. Demikian banyaknya, buat apa bagi kalian?
PART 395
Membagi sedikit kepada kawan, sudah sepatutnya, ha‐ha!" Thio Sek Bi
berkata sambil menudingkan senjata toya ditangannya ke arah punggung
Toan Ki, di mana terdapat buntalan pusaka yang dititipkan kepadanya oleh
Swat Hong. "Ya, sebaiknnya bagi rata, bagi rata antara teman sendiri, Saudara
Liem Toan Ki dan Nona Bu Swi Nio!" kata orang ke dua sedangkan temantemannya
juga mengangguk setuju. Toan Ki terkejut. Mengertilah dia bahwa
tentu empat ini malam tadi ikut mengepung dan mereka mendengar
penitipan pusaka itu oleh Swat Hong , maka mereka lalu diam‐diam mengejar
sampai di hutan ini. "Hem, saudara‐saudara. Kalau kalian tahu bahwa ini
adalah pusaka tentu kalian tahu pula bahwa ini bukanlah milikku, dan aku
hanya dititipi saja dan tidak berhak membagi‐bagikan kepada siapapun juga."
Ha‐ha‐ha! Lagaknya! Siapa mau percaya omonganmu? Pusaka‐pusaka dari
Pulau Es yang hanya dikenal di dunia kang‐ouw sebagai dalam dongeng telah
berada di tangan kalian dan kalian benar‐benar tidak menghendakinya?
Bohong!" kata Thio Sek Bi sambil tertawa mengejek. Bohong atau tidak, apa
yang dikatakan oleh Ki‐koko adalah tepat! kami tidak kan membagi pusaka
kepada kalian atau siapapun juga. Habis kalian mau apa?" Bu Swi Nio
membentak sambil mencabut pedangnya. "Ha‐ha, wah lagaknya! Kalau
begitu, pusaka itu akan kami rampas dan kalian berdua, mati atau hidup,
akan kami seret kembali ke kota raja!" kata Thio Sek Bi sambil memutar
toyanya, diikuti oleh tiga orang kawannya. Swi Nio dan Toan Ki menggerakan
senjata dan melawan dengan mati‐matian. Ilmu toya yang dimainkan oleh
Thio Sek Bi amat hebat dan aneh karena dia adalah murid dari Thian‐tok.
Thian‐tok (Racun langit) terkenal sebagai seorang ahli racun dan sebagai
pemuja tokoh dongeng Kauw‐cee‐thian Si Raja ******, maka yang paling
hebat di antara ilmu silatnya adalah ilmu silat toya panjang yang disebut
Kim‐kauw‐pang seperti senjata tokoh dongeng Kau‐cee‐thian sendiri!
Muridnya ini, biarpun senjatanya toya, namun dimainkan dengan gerakan
yang amat aneh dan sebentar saja Toan Ki sudah terdesak olehnya. Namun,
Liem Toan Ki adalah seorang murid Hoa‐san‐pai yang memiliki dasar ilmu
yang bersih dan kuat. Selain itu, dia sudah mempunyai banyak pengalaman,
bahkan tidak ada yang tahu bahwa dia adalah murid Hoa‐san‐pai karena
selain dia tidak pernah mengaku karena takut membawa‐bawa nama
Hoasan‐ pai dengan pemberontakan, juga ilmu silatnya sudah dia campur
dengan ilmu silat lain sehingga tidak kentara benar. Dengan gerakan pedang
yang indah dan cepat, dia dapat menjaga diri dari desakan toya di tangan
Thio Sek Bi. Di lain pihak, Swi Nio yang menghadapi pengeroyokan tiga orang
itu, tidak mengalami banyak kesulitan. Wanita muda ini pernah digembleng
oleh The Kwat Lin, sedikit banyaknya telah mewarisi ilmu yang dahsyat dari
wanita itu, maka kini dikeroyok oleh tiga orang lawan yang tingkatnya
dibawah dia, tentu saja dia dengan mudah dapat mempermainkan mereka.
Terdengar Swi Nio mengeluarkan suara melengking berturut‐turut seperti
yang biasa dikeluarkan oleh The Kwat Lin, dan tiga orang lawannya roboh
berturut‐turut dan terluka parah, tidak mampu melawan lagi. Sambil
melengking keras, Swi Nio meloncat dan membantu kekasihnya yang
PART 396
terdesak oleh toya Thio Sek Bi. "Cring! Tranggggg......!" Swi Nio terhuyung,
akan tetapi Thio Sek Bi merasa betapa telapak tangannya panas. Liem Toan
Ki tidak menyia‐nyiakan kesempatan itu, menubruk maju dan memutar
pedangnya kemudian dibantu oleh kekasihnya dia terus mendesak sehingga
permainan toya dari murid Thian‐tok itu menjadi kacau. Akhirnya, tiga puluh
jurus kemudian, robohlah Thio Sek Bi, lengan kanannya terbacok dan terluka
parah, juga pundak kirinya terobek ujung pedang Swi Nio.
"Lekas.....! Kita pakai kuda mereka!" Liem Toan Ki berkata kepada
kekasihnya. Swi Nio menyambar kendali dua ekor kuda terbaik, sedangkan
Toan Ki lalu mencambuk dua ekor kuda yang lain sehingga binatang‐binatang
itu kabur ketakutan. Kemudian mereka meloncat ke atas punggung kuda
rampasan itu dan membalapkan kuda meninggalkan tempat itu. "Mestinya
mereka itu dibunuh, akan tetapi aku tidak tega melakukannya," kata Toan Ki.
"Benar, belum tentu mereka itu jahat." "Moi‐moi, berhenti dulu," tiba‐tiba
Toan Ki berkata. Swi Nio menahan kudanya dan melihat kekasihnya seperti
orang bingung. "Ada apakah?" "Tidak baik kalau kita menuruti permintaan
Nona Han Swat Hong pergi ke Awan Merah." Bu Swi Nio mengerutkan alisnya
dan memandang kepada kekasihnya dengan penuh selidik. Selama ini, dia
selain mencinta, juga kagum dan percaya penuh kepada kekasihnya yang
dianggapnya seorang pria yang gagah perkasa dan patut dibanggakan. Akan
tetapi sekarang dia memandang penuh curiga. Jangan‐jangan kekasihnya juga
ketularan penyakit seperti empat orang tadi, menginginkan pusaka Pulau Es!
Biarpun dia sendiri belum pernah membuka‐buka pusaka‐pusaka itu, namun
dia maklum bahwa pusaka‐pusaka Pulau Es yang berada di tangan gurunya
adalah pusaka yang tak ternilai harganya, benda keramat yang tentu
mengandung ilmu‐ilmu mujijat! "Kok, apa..... apa maksudmu?" Mendengar
nada suara kekasihnya, Toan Ki mengangkat muka memandang. Mereka
bertemu pandang dan Toan Ki tersenyum, memegang tangan kekasihnya dan
mencium tangan itu. "Ihhhh! kau berdosa padaku, memandang penuh curiga
seperti itu!" katanya tertawa. "Tidak, Moi‐moi, tidak ada pikiran yang bukanbukan
di dalam hatiku. Aku hanya teringat akan bahaya besar kalau kita ke
Awan Merah. Thio Sek Bi tadi adalah murid Thian‐kok, sedangkan Thian‐kok
adalah suheng dari Puncak Awan Merah di ***‐Hang‐san! Kalau murid dari
Sang Suheng seperti Thio Sek Bi tadi, apakah kita dapat mengharapkan sute
akan lebih baik? Jangan‐jangan kita seperti ular‐ular menghampiri
penggebuk!" "Sialan! Kausamakan aku dengan ular? Koko, kalau begitu,
bagaimana baiknya sekarang?" Swi Nio menghentikan kelakarnya karena
menjadi khawatir juga. "Swi‐moi, tugas yang kita pikul bukanlah ringan.
Apalagi karena agaknya sudah banyak yang tahu bahwa kita berdualah yang
memegang pusaka‐pusaka Pulau Es, maka kurasa langkah‐langkah kita tentu
akan dibayangi orang‐orang kang‐ouw yang ingin merampas Pusaka Pulau
PART 397
Es. Ke mana pun kita pergi, kita tentu akan dicari oleh mereka." Swi Nio
menjadi pucat. Baru dia sadar betapa berat dan berbahaya tugas mereka.
"Aihh, kalau begitu bagaimana baiknya?' "Tidak ada jalan lain kecuali
berlindung ke Hoa‐san. Aku akan minta bantuan Hoa‐san‐pai agar suka
menerima kita bersembunyi di sana dan menyembunyikan pusaka di sana.
Hanya Hoa‐san‐pai saja yang dapat kupercaya dan kiranya tidak
sembarangan orang berani main gila di Hoa‐san‐pai." "Engkau benar, Koko
dan aku setuju sekali. Akan tetapi, bagaimana nanti kalau yang mempunyai
pusaka ini menyusul kita ke Puncak Awan Merah dan tidak mendapatkan kita
di sana?" "Lebih baik begitu daripada mendapatkan kita di sana tanpa pusaka
lagi, atau mendengar bahwa kita tewas dan pusaka dirampas orang! Sebagai
orang‐orang yang sakti, tentu mereka akan dapat mencari kita atau menduga
bahwa aku berlindung ke Hoa‐san‐pai. Mari kita berangkat, Moi‐moi, hatiku
tidak enak sebelum kita tiba di Hoa‐san." Demikianlah, dua orang itu lalu
bergegas melanjutkan perjalanan ke Hoa‐san. Setelah tanpa halangan mereka
tiba di bukit itu, Toan Ki mengajak kekasihnya langsung menghadap ketua
Hoa‐san‐pai yang terhitung twa‐supeknya (uwak guru pertama) sendiri yang
tidak pernah dijumpainya. Setelah bertemu dengan Kong Thian Cu, ketua
Hoa‐san‐pai pada waktu itu, seorang kakek tinggi kurus yang bersikap lemah
lembut dan rambutnya sudah putih semua, serta merta kedua orang muda itu
menjatuhkan diri berlutut. "Teecu Liem Toan Ki menghaturkan hormat
kepada Twa‐supek," kata Toan Ki. "Teecu Bu Swi Nio menghaturkan hormat
kepada Locianpwe," kata Swi Nio penuh hormat. Kakek itu menganggukangguk.
"Duduklah dan bagaimana engkau dapat menyebut pinto sebagai
Twasupek, orang muda?" "Teecu adalah murid dari Suhu Tan Kiat yang
membuka perguruan silat di Kun‐min dan menurut Suhu, katanya beliau
adalah sute dari Twa‐supek yang menjadi ketua di Hoa‐san‐pai, sungguhpun
Suhu berpesan agar teecu tidak menyebut‐nyebut nama Hoa‐san‐pai kepada
siapapun juga." Kakek itu kelihatan terkejut, lalu menarik napas panjang,
mengelus jenggotnya dan kembali mengangguk‐angguk. "Tan‐sute memang
murid Suhu, akan tetapi sayang, pernah dia membuat mendiang Suhu marah
dan mengusirnya. Padahal bakatnya baik sekalli. Kiranya dia membuka
perguruan silat? Dan dia pesan agar muridnya tidak membawa nama Hoasan‐
pai? Bagus, ternyata dia jantan juga. Di manakah dia sekarang dan
bagaimana keadaannya?" "Suhu telah tewas dalam keadaan penasaran,
difitnah pembesar sebagai pemberontak dan dijatuhi hukuman mati."
"Ahhh....!" "Karena itulah maka teecu sebagai muridnya yang juga menderita
karena orang tua teecu juga menjadi korban keganasan pembesar
pemerintah, lalu ikut berjuang bersama An Lu Shan, kemudian setelah
berhasil tecu mengundurkan diri karena teecu tidak menghendaki
kedudukan apa‐apa. Apalagi melihat betapa Angoanswe menerima bantuan
orang‐orang dari kaum sesat, maka teecu mengundurkan diri." "Bagus, baik
sekali engkau mengambil keputusan itu, karena biarpun engkau tidak
menyebut nama Hoasan‐ pai, namun pinto akan ikut merasa menyesal kalau
ada orang yang mewarisi kepandain Hoa‐san‐pai mempergunakan
PART 398
kepandaian itu untuk urusan pemberontak. Sekarang engkau bersama Nona
ini datang menghadap pinto ada keperluan apakah?" "Teecu datang untuk
mohon pertolongan Twa‐supek. Nona ini adalah tunangan teecu, dia puteri
dari mendiang Lu‐san Lojin." "Siancai....! Lu‐san Lojin sudah meninggal? Pinto
pernah bertemu satu kali dengan ayahmu, Nona. Seorang yang gagah
perkasa!" Kemudian kakek ini menoleh kepada Liem Toan Ki dan bertanya,
"Pertolongan apakah yang kalian harapkan dari pinto?" Dengan terus terang
tanpa menyembunyikan sesuatu Liem Toan Ki lalu menceritakan tentang
penyerbuannya bersama para penghuni Pulau Es, betapa kemudian puteri
Pulau Es telah menitipkan Pusaka Pulau Es kepada mereka berdua, kemudian
betapa mereka dihadang orang jahat yang hendak merampas pusaka dan
mereka mengambil keputusan untuk bersembunyi di Hoa‐san‐pai. Kakek itu
menjadi bengong mendengar penuturan panjang lebar itu, beberapa kali
memandang ke arah buntalan di punggung Toan Ki dan memandang wajah
mereka berdua seperti orang yang kurang percaya. "Siancai.... kalau tidak
melihat wajah kalian berdua yang agaknya bukan orang gila dan bukan
pembohong, pinto sukar untuk percaya bahwa kalian telah bertemu bahkan
bertanding bahu‐membahu dengan orang‐orang Pulau Es! Pinto kira bahwa
nama Pulau Es hanya terdapat dalam dongeng belaka." "Karena teecu yakin
bahwa tentu orang‐orang di dunia kang‐ouw akan saling berebut untuk
merampas pusaka‐pusaka ini, maka teecu berdua mengambil keputusan
untuk berlindung di Hoa‐san‐pai sampai yang berhak atas pusaka‐pusaka itu
datang mengambilnya." Sampai lama kakek itu termenung dan menundukan
kepalanya, dipandang dengan hati gelisah dan tegang oleh Toan Ki dan Swi
Nio. Akhirnya kakek itu mengangkat mukanya memandang dan berkata,
suaranya bersungguh‐sungguh. "Selamanya Hoa‐san‐pai menjaga nama dan
kehormatan sebagai partai orang‐orang gagah. Entah berapa banyak anak
murid Hoa‐san‐pai tewas dalam mempertahankan kebenaran dan keadilan,
bahkan ada pula yang tewas tanpa pinto ketahui apa sebabnya dan di mana
tewasnya seperti Keesan Ngo‐han, lima orang murid pinto yang dahulu
bertugas melindungi Sin‐tong....." "Aihhhh....!!" Tiba‐tiba Swi Nio
mengeluarkan teriakan tertahan dan ketika kakek itu memandang
kepadanya, dia cepat berkata, "Mendiang Subo adalah bekas ratu Pulau Es
yang menyeleweng dan bersekutu dengan Kiam‐mo Cai‐li Liok Si
memberontak kepada pemerintah. Pernah teecu mendengar penuturan Subo
ketika menceritakan kelihaian Kiam‐mo Cai‐li bahwa Kee‐san Ngo‐hohan
terbunuh oleh Kiam‐mo Cai‐li itu." Ketua Hoa‐san‐pai itu kelihatan terkejut
dan sinar matanya menjadi keras, "Hemm, kiranya iblis betina itu yang
membunuh murid‐murid pinto....! "Akan tetapi iblis itu telah tewas di tangan
Nona Han Swat Hong puteri Pulau Es yang menitipkan pusaka kepada teecu
berdua, Twa‐supek," Toan Ki berkata. Kakek itu mengangguk‐angguk dan
mendengarkan penuturan mereka berdua tentang penyerbuan hebat di kota
raja, di dalam istana dari The Kwat Lin, bekas Ratu Pulau Es yang minggat
dan melarikan Pusaka‐pusaka Pulau Es itu. "Kalau begitu, sudah sepatutnya
kalau Hoa‐san‐pai membantu para penghuni Pulau Es. Kalian boleh tinggal di
PART 399
sini dan biarlah Hoa‐san‐pai yang melindungi kalian dan pusaka‐pusaka itu
sampai yang berhak datang mengambilnya." "Sebelumnya teecu berdua
menghaturkan banyak terima kasih atas kebijaksanan dan kemuliaan hati
Twasupek. dan teecu ingin mengajukan permohonan ke dua......" Kakek itu
tersenyum. "Permohonanmu yang paling hebat, menegangkan dan berbahaya
telah pinto terima dan urusan pusaka ini hanya kita bertiga saja yang
mengetahuinya, tidak boleh kalian bocorkan keluar agar tidak menimbulkan
keributan. Sekarang, ada permohonan apa lagi yang hendak kaukemukakan?"
"Teecu...... mohon .....karena teecu berdua sudah tidak mempunyai keluarga
lagi, dan teecu berdua sudah cukup lama bertunangan, maka.... teecu mohon
berkah dan doa restu Twa‐supek untuk menikah di sini." Toan Ki yang
hidupnya sudah penuh dengan segala macam pengalaman hebat itu, tidak
urung tergagap ketika mengucapkan permintaan ini, sedangkan Bu Swi Nio
menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali. Kong Thian‐cu tertawa
bergelak, lalu berkata, "Pernikahan adalah peristiwa amat menggembirakan.
Tentu saja pinto suka sekali memenuhi permintaan ini. Liem Toan Ki, engkau
adalah murid Hoa‐san‐pai pula, tentu saja engkau berhak untuk menikah di
sini, disaksikan oleh semua murid Hoa‐san‐pai yang berada di sini."
Demikianlah, Pusaka‐pusaka Pulau Es yang di rahasiakan itu disimpan oleh
Kong Thian‐cu sendiri di dalam kamar pusaka yang tersembunyi, tidak ada
anggauta Hoa‐san‐pai lain yang mengetahuinya dan sebulan kemudian
diadakanlah perayaan sederhana namun khidmat untuk melangsungkan
upacara pernikahan antara Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio. Pada malam
pertama pernikahan itu Bu Swi Nio menangis di atas dada suaminya,
menangis dengan penuh keharuan, kedukaan yang bercampur dengan
kegembiraan mengenangkan semua pengalamannya, kematian ayahnya dan
kakaknya, malapetaka yang menimpa dirinya ketika dalam keadaan mabok
dan tidak ingin diri dia diperkosa oleh Pangeran Tan Sin Ong. Dia memeluk
suaminya dan berterima kasih sekali karena dia dapat membayangkan
bahwa kalau tidak ada pria yang kini menjadi suaminya dengan syah dan
terhormat ini tentu dia sudah membunuh diri dan andai kata dalam keadaan
hidup pun ia akan menderita aib dan terhina. Sampai dua tahun suami isteri
yang saling mencinta dan berbahagia ini hidup di Hoa‐san‐pai, menjadi
anggota‐anggota dan anak murid Hoa‐san‐pai yang tekun berlatih dan rajin
bekerja. Akan tetapi mereka gelisah sekalli karena sampai selama ini, Han
Swat Hong atau lain tokoh Pulau Es tidak ada yang muncul bahkan gadis luar
biasa dari Pulau Neraka, Ouw Soan Cu, juga tidak muncul. Tentu saja hati
mereka akan menjadi lebih lega dan bebas dari kekhawatiran kalau saja
pusaka‐pusaka Pulau Es itu sudah diambil oleh yang berhak dan tidak
menjadi tanggung jawab mereka.. Lebih hebat lagi kegelisahan hati mereka
ketika pada suatu hari Ketua Hoa‐san‐pai, Kong Thian‐cu yang sudah tua itu,
meninggal dunia karena sakit. Sebelum meninggal dunia, Kong Thian‐cu
memberitahukan di mana dia menyembunyikan pusaka‐pusaka itu yang
tidak diketahui orang lain. Setelah Kong Thian‐cu meninggal dunia,
kedudukan Ketua Hoa‐san‐pai digantikan oleh seorang tokoh Hoa‐san‐pai
PART 400
lain, terhitung sute dari Kong Thian‐cu yang telah menjadi seorang tosu yang
saleh, berjuluk Pek Sim Tojin. Ketua yang baru ini pun tidak tahu akan
rahasia Pusaka Pulau Es, sehingga kini rahasia pusaka itu seluruhnya
menjadi tangung jawab Liem Toan Ki dan isterinya. Biarpun selama dua
tahun itu tidak terjadi sesuatu, namun hati suami isteri ini selalu merasa
tidak tenteram. Bahkan mereka berdua seringkali merundingkan bagaimana
baiknya. Hendak meninggalkan Hoa‐san‐pai dan mencari Swat Hong, mereka
tidak berani meninggalkan Hoa‐san‐pai di mana pusaka itu disimpan, juga
mereka tidak tahu ke mana harus mencari Han Swat Hong. Tinggal diam saja
di Hoa‐san mereka merasa makin lama makin gelisah. Selama itu, tidak ada
satu kali pun mereka berani memeriksa pusaka yang disimpan di tempat
yang amat rapat di kamar pusaka oleh mendiang Kong Thian‐cu. Akhirnya
mereka terpaksa menahan diri, dan saling berjanji bahwa kalau setahun lagi
pemilik pusaka yang sah tidak muncul, mereka akan menghadap Pek Sim
Tojin, menceritakan dengan terus terang dan menyerahkan pusaka itu untuk
dipelajari bersama sehingga dengan demikian pusaka itu ada manfaatnya
demi kemajuan dan kebaikan Hoa‐san‐pai sendiri. "Suheng, kita berhenti
istirahat dulu di sini!"
Swat Hong berkata. Sin Liong menoleh kepada dara itu, tersenyum dan
berkata, "Engkau lelah, Sumoi?" Swat Hong mengangguk dan Sin Liong
menghentikan langkahnya, lalu keduanya duduk dibawah sebatang pohon
besar di lereng bukit itu. Tempat perhentian mereka itu ditepi jalan yang
merupakan lorong setapak, di sebelah kiri terdapat dinding bukit, di sebelah
kanan jurang yang amat curam. Pemandangan di seberang jurang amatlah
indahnya, tamasya alam yang tergelar di bawah kaki mereka, sehelai
permadani hidup yang permai dengan segala macam warna berselang‐seling,
kelihatan kacau namun menyedapkan pandangan karena di dalam kekacauan
itu terdapat keselarasan yang wajar. Sawah ladang bekas hasil tangan
manusia berpetak‐petak, digaris oleh sebatang sungai yang berbelok‐belok,
dengan rumpun di sana‐sini diseling pohon‐pohon besar yang masih
bertahan di antara perobahan yang dilakukan oleh tangan‐tangan manusia.
Sebatang pohon yang daun‐daunnyatelah menguning dan banyak yang
rontok, kelihatan menyendiri dan menonjol di antara segala tumbuhtumbuhan
menghijau, dan seolah‐olah segala keindahan berpusak kepada
pohon menguning hampir mati itu. Matahari yang berada di atas kepala tidak
menimbulkan bayangan‐bayangan sehingga hari tampak cerah sekali. Sinar
matahari dengan langsung dan bebas menyinari bumi dan segala yang berada
di atasnya, terang menderang tidak ada gangguan awan. Di dalam
keheningan itu, Swat Hong dapat melihat ini semua. Ketika tanpa disengaja
tangannya yang digerakkan untuk menyeka keringat bertemu dengan lengan
Sin Liong, barulah dia sadar akan dirinya dan sekelilingnya. Dan dia terheran.
Semenjak dia bertemu dengan suhengnya dan melakukan perjalanan ini,
seringkali dia tenggelam ke dalam keindahan yang amat luar bias, yang sukar
dia ceritakan dengan kata‐kata. Dia merasa tenteram, tenang dan penuh
damai sungguhpun suhengnya jarang mengeluarkan kata‐kata. Dia seperti
PART 401
merasa betapa diri pribadi suhengnya bersinar cahaya yang hangat dan aneh,
terasa ada getaran yang ajaib keluar dari pribadi suhengnya yang
mempengaruhinya dan mendatangkan suatu perasaan yang menakjubkan,
yang mengusir segala kekesalan, segala kerisauan, dan segala kedukaan.
Sudah beberapa kali dia ingin mengutarakan ini kepada suhengnya, namun
setiap kali dia hendak bicara, mulutnya seperti dibungkamnya sendiri oleh
keseganan yang timbul dari perasaan halus dan lembut terhadap suhengnya
itu, sesuatu yang belum pernah dirasakannya semula. Dia mencinta
suhengnya, ini sudah jelas. Namun sekarang timbul perasaan lain yang lebih
agung daripada sekedar cinta biasa, perasaan yang membuat dia penuh
damai. "Suheng......." Dia memberanikan hatinya berkata. "Ya......?" Sin Liong
mengangkat muka memandangnya sambil tersenyum. Senyumnya begitu
lembut penuh kasih, pandang matanya begitu bersinar penuh pengertian
sehingga Swat Hong merasa betapa seolah‐olah sebelum dia bicara,
suhengnya itu telah tahu apa yang terkandung di dalam hatinya! Inilah yang
biasanya membuat membungkam dan tidak dapat melanjutkan kata‐katanya.
Kini dia mengeraskan hati dan berkata dengan suara lirih, "Suheng, kita akan
ke manakah?" "Ke Hoa‐san, sudah kuberitahukan kepadamu," jawabnya
sederhana. "Bagaimana kau bisa tahu bahwa mereka berada di Hoa‐san?" Sin
Liong tersenyum, senyum cerah, secerah sinar matahari di saat itu, senyum
yang bebas dan wajar tidak menyembunyikan sesuatu tidak membawa arti
sesuatu. "Sumoi, pusaka itu kau berikan kepada Liem Toan Ki dan
tunangannya, dan karena Liem Toan Ki adalah murid Hoa‐san‐pai, maka
tentu saja mereka berada di Hoa‐san." Swat Hong mengangguk‐angguk,
memang dia tahu bahwa Toan Ki adalah murid Hoa‐san, akan tetapi dia lupa
bahwa dia tidak pernah menceritakan hal ini kepada suhenngya! "Bagaimana
kalau mereka tidak berada si sana, Suheng?" Kembali senyum itu. Senyum
seorang yang begitu pasti akan segala sesuatu, senyum penuh pengertian,
seperti senyum seorang tua yang melihat kenakalan anak‐anak dan maklum
pengapa anak itu nakal! "Sumoi, apakah gunanya memikirkan hal‐hal yang
belum terjadi? Membayangkan hal‐hal yang belum terjadi adalah permainan
buruk dari pikiran, karena hal itu hanya akan menghasilkan kecemasan dan
kekhawatiran belaka. Apa yang akan terjadi kelak kita hadapi sebagaimana
mestinya kalau sudah terjadi di depan kita." Swat Hong tertarik sekali.
"Apakah rasa cemas itu timbul dari pikiran yang membayangkan masa
depan, Suheng?" "Agaknya jelas demikian, bukan? Yang takut akan sakit
tentulah dia yang belum terkena penyakit itu, kalau sudah sakit, dia tidak
takut lagi kepada sakit, melainkan takut kepada kematian yang belum tiba.
Perlukah hidup dicekam rasa takut dan rasa kekhawatiran? Pikiran yang
bertanggung jawab atas timbulnya rasa takut. Pikiran mengingat‐ingat
kesenangan di masa lalu, dan mengharapkan terulangnya kesenangan itu di
masa depan, maka timbullah kekhawatiran kalau‐kalau kesenangan itu tidak
akan terulang. Pikiran mengenang penderitaan masa lalu dan ingin
menjauhinya, ingin agar di masa depan hal itu tidak terulang kembali maka
timbulah kekhawatiran kalau‐kalau dia tertimpa penderitaan itu lagi!" "Habis
PART 402
bagaimana, Suheng?" "Hiduplah saat ini, curahkan seluruh perhatian, seluruh
hati dan pikiran, untuk menghadapi saat ini, apa yang terjadi kepadamu di
saat ini, bukan apa yang boleh terjadi di masa depan, bukan pula mengenang
apa yang telah terjadi di masa lalu." "Kalau begitu kita menjadi tidak acuh
dan bersikap masa bodoh....." "Justru biasanya kita bersikap masa bodoh dan
tidak acuh, tidak menaruh perhatian yang mendalam terhadap saat ini,
karena seluruh perhatian kita sudah dihabiskan untuk mengingat‐ingat masa
lalu dan untuk membayang‐bayangkan masa depan dengan seluruh
pengharapannya, seluruh cita‐citanya, seluruh nafsu keinginannya, seluruh
kesenangan dan kekecewaannya. Justeru kalau bebas dari masa lalu tidak
lagi ada bayangan masa depan dan kita hidup saat demi saat penuh
perhatian, dan ini barulah di namakan hidup sepenuhnya, hidup sempurna
dan lengkap karena kita menghayati hidup dengan penuh kewajaran, tidak
terbuai dalam aalam kenangan dan harapan yang muluk‐muluk namun
sesungguhnya kosong belaka." Sampai lama hening di situ. Pengertian yang
mendalam meresap di hati sanubari Swat Hong dan di dalam keheningan itu
tercakup seluruh alam mayapada. "Suheng, telah dua tahun pusaka itu
berada di tangan mereka. Aku telah mencari ke mana‐mana, hanya ke Hoasan‐
pai yang belum. Kurasa mereka itu tidak jujur, dan agaknya tentu mereka
telah menyembunyikan pusaka itu. Kalau tidak demikian mengapa mereka
tidak pergi menanti aku di Puncak Awan Merah seperti yang kupesankan?
Memang hati manusia tidak atau jarang sekali ada yang jujur. Sekali saja
melihat sesuatu yang dapat menguntungkan diri pribadi, maka terlupalah
semua pelajaran tentang kegagahan dan kebaikan. Aku ingin mencari dan
menghajar mereka itu!" "Sumoi, prasangka adalah satu di antara racun‐racun
yang merusak kehidupan kita. Prasangka di lahirkan oleh pikiran yang
mengada‐ada, yang membayangkan sesuatu yang direka‐reka, yang timbul
karena kekhawatiran. Prasangka adalah suatu kebodohan yang menyiksa diri
sendiri. Kalau kita sudah bertemu dengan mereka dan sudah melihat
keadaan yang sesungguhnya, apakah kegunaannya prasangka? Prasangka
dan sebagainnya lenyap setelah kita membuka mata melihat kenyataan apa
adanya, dan sebelum itu, berprasangka berarti membiarkan pikiran
mempermainkan diri. Apakah kegunaannya bagi kehidupan kita?" Kembali
hening. Swat Hong tak mampu menjawab karena dia dihadapkan dengan
keadaan yang nyata. Memang, dia memikirkan hal‐hal yang belum terjadi,
maka timbullah kekhawatiran, dan dari kekhawatiran ini timbulah prasangka
yang bukan‐bukan. Yang salah dalam semua itu adalah pikiran! Setelah tubuh
mereka beristirahat dengan cukup, keduanya lalu melanjutkan perjalanan
menuju ke Hoasan. Makin lama Swat Hong makin mendapat kesan bahwa
suhengnya benar‐benar telah berubah, jahu bedanya dengan dahulu. Pada
suatu hari, ketika mereka tiba di kaki Pegunungan Hoa‐san dan beristirahat,
Swat Hong tidak dapat menahan rasa keinginan tahunya dan dia berkata,
"Suheng, setelah dua tahun berpisah denganmu dan berjumpa kembali, aku
memperoleh kenyataan bahwa engkau telah berubah sekali!" "Begitukah,
Sumoi?" "Aku tidak tahu apanya yang berubah, memang kelihatannya engkau
PART 403
masih biasa sepeti dulu, Suhengku yang sabar, tenang dan bijaksana. Akan
tetapi entahlah, engkau berubah benar, sungguhpun aku sendiri tidak dapat
mengatakan apanya yang berubah." Sin Liong tersenyum dan sinar matanya
berseri. "Memang setiap manusia seyogianya mengalami perubahan, Sumoi.
Kita masing‐masing haruslah berubah, tidak terikat dengan masa lalu,
dengan segala macam kebiasaan masa lalu, setiap hari, setiap detik kita
haruslah baru! Kalau demikian, barulah hidup ada artinya!" Swat Hong
hendak berkata lagi, akan tetapi tiba‐tiba Sin Liong memegang tangannya dan
mengajaknya bangkit berdiri lalu berlahan‐lahan melanjukan perjalanan
mulai mendaki bukit pertama. Ketika Swat Hong hendak menanyakan sikap
yang tiba‐tiba ini dari suhengnya, dia mendengar suara orang dan tampaklah
olehnya banyak orang berbondong‐bondong naik ke pegunungan Hoa‐san,
datangnya dari berbagai penjuru. Mereka itu terdiri dari bermacam orang,
dengan pakaian yang bermacam‐macam pula, namun jelas bahwa rata‐rata
memiliki gerakan yang ringan dan tangkas dan mudah bagi Swat Hong untuk
mengetahui bahwa mereka adalah orang‐orang kang‐ouw! Melihat kenyataan
bahwa tidak ada di antara mereka yang memperhatikan Sin Liong dan Swat
Hong, hanya memandang sepintas lalu saja seperti mereka itu saling
memandang, tahulah Swat Hong bahwa mereka itu bukan merupakan satu
rombongan, melainkan terdiri dari banyak rombongan sehingga tentu saja
mereka mengira bahwa dia dan suhengnya adalah anggauta rombongan lain.
Hati Swat Hong diliputi penuh pertanyaan. Siapakah mereka dan apa
kehendak mereka itu? Apakah di Puncak Hoa‐san terdapat perayaan dan
mereka ini adalah para tamu yang berkujung ke Hoa‐san‐pai"Akan tetapi
melihat sikap suhengnya diam dan tenang saja, Swat Hong merasa malu
untuk bertanya dan teringatlah dia akan kata‐kata suhengnya tentang
permainan pikiran yang membayangkan masa depan yang menimbulkan
kekhawatiran belaka. Mau tidak mau dia harus membenarkan karena kini dia
merasakan sendiri. Biarlah dia hadapi apa yang sedang terjadi sebagaimana
mestinya dan sebagai apa adanya tanpa merisaukan hal‐hal yang belum
terjadi! Ketia akhirnya mereka tiba di Puncak Hoa‐san, di depan markas
perkumpulan Hoa‐san‐pai yang besar, Swat Hong menjadi terkejut. Di tempat
itu ternyata tidak terdapat perayaan apa‐apa dan kini banyak tosu dan
anggauta Hoa‐san‐pai berkumpul dan berdiri di ruangan depan yang tinggi,
sedangkan di bawah anak tangga, di halaman depan penuh dengan orangorang
kang‐ouw yang bersikap menantang! Ketika dia melirik ke arah
suhengnya, dia melihat Sin Liong bersikap masih biasa dan tenang, dan
suhengnya ini pun memandang ke depan dengan perhatian sepenuhnya.
Maka dia pun lalu memandang lagi dan dia melihat seorang tosu berambut
putih dengan tenang berdiri menghadapi para orang‐orang kang‐ouw itu
sambil menjura dengan sikap hormat lalu berkata dengan suara halus namun
cukup nyaring, "Harap Cu‐wi sekalian sudi memaafkan kami yang tidak tahu
akan kedatangan Cu‐wi maka tidak mengadakan penyambutan sebagaimana
mestinya. Pinto melihat bahwa Cu‐wi adalah tokoh‐tokoh kangouw dari
bermacam golongan dan tingkat, dan pada hari ini berbondong datang
PART 404
mengunjungi Hoa‐san‐pai, tidak tahu ada keperluan apakah?" Swat Hong
memandang para orang kang‐ouw itu dan diantaranya banyak tokoh aneh
yang tidak dikenalnya itu, dengan heran dia melihat adanya Siang‐koan
Houw Tee Tok, tokoh yang tinggal di Puncak Awan Merah di ***‐hang‐san itu!
"Suheng, itu Tee Tok berada pula di sini," bisikannya sambil menyentuh
lengan suhengnya. "Aku sudah melihatnya," kata Sin Liong perlahan, "dan
yang di sebelah sana itu adalah Bhong Sek Bin yang berjuluk Thian‐tok
(Racun Langit). Bekas suheng dari Tee Tok, dan itu adalah Thian‐he Tee‐it
Ciang Ham Ketua kang‐jiu‐pang di Secuan. yang di sana itu adalah Lam‐hai
Seng‐jin, tosu majikan Pulau Kura‐kura di Lamhai....." "Guru Kwee‐toako?" Sin
Liong mengangguk. Swat Hong memandang penuh perhatian dan terheranheran
melihat suhengnya mengenal orang‐orang yang memiliki julukan
aneh‐aneh itu. Thian‐he Tee‐it berarti Di Kolong Langit Nomer Satu! Dan
Lam‐hai Seng‐jin berarti Manusia dari laut Selatan! "Dan itu adalah Gin‐siauw
Siucai (Pelajar Bersuling Perak), seorang bertapa di Bukit Bengsan dan yang
di ujung itu adalah seorang yang pernah menyerang Pulau Neraka seperti
yang pernah kuceritakan kepadamu, Sumoi. Dialah Tok‐gan Hai‐liong (Naga
Laut Mata Satu) Koan Sek, seorang bekas bajak laut." "Wah, begitu banyak
orang pandai mendatangi Hoa‐san‐pai, ada apakah, Suheng?" "Kita melihat
dan mendengarkan saja." Sementara itu, ucapan dan pertanyaan Ketua Hoasan‐
pai tadi mendatangkan suasana berisik ketika para pendatang yang
jumlahnya ada lima puluhan orang itu saling bicara sendiri tanpa ada yang
menjawab langsung pertanyaan Ketua Hoa‐san‐pai. Agaknya mereka itu
merasa sungkan dan saling menanti, menyerahkan jawaban kepada orang
lain yang hadir di situ. Betapapun juga, para tokoh kang‐ouw itu merasa
segan juga karena Hoa‐san‐pai terkenal sebagai sebuah perkumpulan atau
partai persilatan yang besar, yang selama ini tidak pernah mencampuri
urusan perebutan kekuasaan atau tidak pernah pula mencampuri urusan
kang‐ouw yang tidak ada hubungannya dengan mereka. Orang‐orang Hoasan‐
pai terkenal sebagai orang‐orang gagah yang disegani di dunia
persilatan, maka tentu saja mereka itu diliputi perasaan sungkan. Pek Sim
Tojin yang berambut putih dan bersikap tenang itu melihat seorang kakek
tinggi besar bermuka tengkorak yang menyeramkan maju ke depan, maka
melihat bahwa belum juga ada yang mau menjawab, dia lalu berkata
ditujukan kepada kakek tinggi besar bermuka tengkorak itu. "Kalau pinto
tidak salah mengenal orang, Sicu adalah Thian‐tok Bhong Sek Bin. Sicu adalah
seorang yang amat terkenal di dunia kang‐ouw dan mengingat bahwa
kedatangan Sicu pasti mempunyai kepentingan besar, maka pinti harap Sicu
suka berterus terang mengatakan apa keperluan itu." Thian‐tok Bhong Sek
Bin menyeringai penuh ejekan. "Ha‐ha‐ha, engkau benar, Totiang! Aku adalah
Bhong Sek Bin dan memang bukan percuma jauh‐jauh aku datang
mengunjungi Hoa‐san‐pai. Tentang mereka semua ini aku tidak tahu, akan
tetapi kedatanganku adalah untuk bicara dengan dua orang yang bernama
Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio. Suruh mereka berdua keluara bicara dengan
aku dan aku tidak akan membawa‐bawa Hoa‐san‐pai!" Ucapan ini disambut
Share This Thread