PART 1
Pada jaman lima wangsa (th.907‐ 960), kerajaan Nan‐Cao merupakan negara
kecil di propinsi Yu‐Nan sebelah selatan. Mungkin karena kecilnya kerajaan
ini tidak dipandang mata oleh kerajaan lain, juga oleh kerajaan Sung yang
kemudian di bangun.
Akan tetapi, pada pagi hari di pertengahan musim chun (semi) itu, banyak
sekali tokoh‐tokoh terkenal di dunia kang‐ouw termasuk ketua‐ketua
perkumpulan dari pelbagai aliran, orang‐orang muda yang patut di sebut
pendekar silat, dan orang‐orang aneh yang memiliki kesaktian, Datang
membanjiri Nan‐cao. Apakah gerangan yang menarik para kelana dan pe
tualangan itu mendatangi Nan‐cao? Ada pula hal yang menarik mereka
berdatangan dari tempat‐tempat yang amat jauh.
Pertama adalah pengangkatan Beng‐kauw (Ketua Agama Beng‐kauw)
sebagai Koksu (Guru Negara) Kerajaan Nan Cao. Mereka berdatangan untuk
memberi selamat kepada Ketua Beng‐kauw yang sudah amat terkenal di
dunia kang‐ouw. Siapakah tidak mengenal Ketua Agama Beng‐kauw yang
bernama Liu Gan dan berju‐luk Pat‐jiu Sin‐ong (Raja Sakti Berlengan
Delapan) Itu ? Pada masa itu, Pat‐jiu Sin‐ong Liu gan merupakan tokoh
gemblengan yang jarang ditemukan keduanya, jarang menemukan tanding.
Selain memiliki kesaktian hebat, Pat‐jiu Sin‐ong Liu Gan juga merupakan
pendiri Agama Beng‐kauw atau pembawa agama itu dari barat. Tidaklah
mengherankan kalau apabila kini tokah‐tokoh dari partai persilatan besar
seperti Siauw lim‐pai, Kun‐lun‐pai, Hoa‐san‐pai, dan lain‐lain mengirim
utusan untuk menghaturkan selamat atas pengangkatan tokoh sakti ini
sebagai Koksu Kerajaan Nan‐cao.
Adapun hal kedua yang meyebabkan terutama kaum muda, para pendekar
perkasa dari pelbagai penjuru dunia ikut pula berdatangan, adalah tersiarnya
berita bahwa puteri tunggal Pat‐jiu Sin‐ong hendak mempergunakan
kesempatan berkumpulnya para tokoh persilatan itu untuk mencari jodoh !
Tentu saja hal ini menggegerkan dunia kaum muda, menggerakan hati
mereka untuk ikut datang mempergunakan kesempatan baik mengadu
untung. Siapa tahu ! Nama Liu Lu Sian, puteri Ketua Beng Kauw itu sudah
terkenal di mana‐mana. Terkenal sebagai seorang gadis yang selain tinggi
ilmu silatnya, juga memiliki kecantikan seperti dewi khayangan. Terkenal
pula betapa gadis jelita ini telah berani menolak pinangan‐pinangan yang
PART 2
datangnya dari orang‐orang besar, dari putera‐putera para ketua
perkumpulan, bahkan menolak pula pinangan dari istana beberapa kerajaan !
Tentu saja para pemuda inipun sebagian besar hanya ingin menyaksikan
sendiri bagaimana ujud rupa dan bentuk dara yang terkenal itu, karena
jarang diantara mereka yang pernah melihat Liu Lu Sian. Yang pernah
bertemu dengan gadis ini memuji‐muji setinggi langit, terutma sekali tentang
kecantikannya, yang menjadi buah bibir para muda, bahkan entah siapa
orangnya yang membuat, telah ada sajak pujian bagi Liu Lu Sian.
"Rambutnya Halus licin laksana sutera harum melambai, meraih cinta
asmara! Mata indah, kerling tajam menggunting jantung, bulu mata lentik
berkedip mesra membuat bingung ! Hidung mungil, halus laksana lilin diraut,
cuping tipis bergerak mesra menambah patut ! Hangat lembut, merah basah
juwita Gendewa terpentang berisi sari madu Puspita !"
Banyak lagi puji‐puji yang mesra bagi kejelitaan dara ayu Liu Lu Sian, yang
dikagumi siapa yang pernah melihatnya, dipuji dari ujung rambut sampai ke
telapak kakinya ! Memang sesungguhnyalah, Liu Lu Sian seorang dara jelita.
Usianya baru enam belas tahun (pada jaman itu sudah dewasa dan masak)
Namun ilmu silatnya amat tinggi. Hal ini tidak mengherankan karena
semenjak kecilnya ia digembleng oleh ayahnya sendiri. Hanya sayang bahwa
sejak berusia dua tahun, Liu Lu Sian telah ditinggal mati ibunya. Ia tidak
pernah merasa kasih sayang ibu kandung dan mungkin hal ini yang membuat
ia menjadi seorang gadis yang berwatak aneh, riang gembira, lucu jenaka,
akan tetapi juga liar bebas, tak terkekang ingin menang dan berkuasa saja,
tidak mau tunduk kepada siapapun juga.
Para muda yang mendatangi Nan‐Cao semua tahu belaka betapa sukarnya
memperoleh gadis puteri ketua Beng‐kauw itu. Bagaikan setangkai bunga, Lu
Sian adalah bunga dewata yang tumbuh di puncak gunung yang amat tinggi
dan sukar didapatkan.
Dara itu puteri tunggal Pat‐Jiu Sin‐ong yang sakti, yang tentu saja
menghendaki seorang mantu pilihan, baik dipandang dari sudut keturunan,
keadaan, maupun tingkat kepandainnya. Bahkan kabarnya dara itu hanya
PART 3
mau menjadi isteri seorang pendekar muda yang mampu mengalahkan
dirinya ! Namun, para muda yang sudah dimabok asmara, bagaikan
serombongan semut yang tertarik oleh harum dan manisnya madu, tidak
takut bahaya, berusaha mendapatkannya biarpun bahaya mengancam
nyawa.
Tiada hentinya para muda itu mempercakapkan tentang Lu Sian, memujimuji
kecantikannya, menyatakan harapan‐harapan muluk ketika mereka
bermalam dirumah‐rumah penginapan di kota raja sambil menanti saat
dibukanya kesempatan bagi mereka untuk memasuki halaman gedung Patjiu
Sin‐ong beberapa hari lagi, dimana selain hendak ikut memberi selamat,
merekapun berharap akan dapat menyaksikan kehebatan dara yang mereka
percakapkan dan yang kembang mimpi mereka setiap malam.
Liu Lu Sian bukan tidak tahu akan hal ini. Gadis yang manja ini maklum
sepenuhnya bahwa ia menjadi bahan percakapan dan pujian. Maka pada pagi
hari itu, dua hari sebelum ayahnya menerima para tamu, ia sengaja
mengenakan pakaian indah, menunggang seekor kuda putih, lalu melarikan
kudanya mengelilingi kota raja ! Memang hebat dara ini. Wajahnya
kemerahan, berseri‐seri dan pada kedua pipinya yang bagaikan pauh
dilayang (merah jambu) itu, nampak lesung pipit menghias senyum dikulum.
Rambutnya yang hitam gemuk digelung keatas, diikat rantai mutiara dan
ujungnya bergantung dibelakang punggung, halus melambai tertiup angin.
Tubuhnya amat ramping, pinggangnya kecil sekali dapat dilingkari jari‐jari
tangan agaknya, terbungkus pakaian sutera merah muda bergaris pinggir
biru dan kuning emas, ketat mancetak bentuk tubuh yang padat berisi karena
terpelihara dan terlatih semenjak kecil.
Pengait baju terbuat daripada benang emas yang gemilang, ikat pinggangnya
dari sutera biru yang bergerak‐gerak bagaikan sepasang ular hidup.
Celananya sutera putih yang seakan membayangkan sepasang kaki indah,
padat berisi dan sempurna lekuk‐lekungnya, diakhiri dengan sepasang
sepatu hitam yang berlapis perak. Cantik tak terlukiskan ! Menyaingi bidadari
sorga dengan gerak tubuh yang lemah gemulai dan elok, akan tetapi rangka
pedang yang tergantung dipinggangnya membuat ia lebih patut menjadi
seorang Dewi Kwan Im Pouwsat !
Kuda putih tunggangannya berlari congklang dan Lu Sian memandang lurus
ke depan namun ujung matanya menyambarkan kerling tajam kesana‐sini,
terutama diwaktu kudanya lewat depan rumah‐rumah penginapan dimana
PART 4
para tamu muda berjajar depan pintu dengan mata jalang dan mulut
ternganga, terpesona mengagumi dewi yang baru lewat.
Setelah dara ayu itu lenyap bayangannya, ributlah para muda teruna itu.
Makin parah penyakit asmara menggerogoti jantung. Makin ramai
percakapan mereka tentang Si Cantik manis. Rindu dendam dan harapan
mereka yang terbawa dari rumah ratusan bahkan ribuan li jauhnya terpenuhi
sudah. Mereka dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri dewi pujaan
hati mereka. Dan betapa tidak mengecewakan pemandangan itu. Bahkan
melebihi semua dugaan dan mimpi. Tergila‐gila belaka mereka setelah Lu
Sian Lewat di atas kudanya.
"Aduh ..., mati aku ...! Kalau aku tidak berhasil menggandengnya pulang,
percuma aku hidup lebih lama lagi...!" Seorang pemuda tampan tanpa ia
sadari mengucapkan kata‐kata ini sambil menarik napas panjang.
"Lebih baik mati di bawah kaki si jelita dari pada pulang bertangan hampa !"
sambung pemuda ke dua.
"Siapa tahu, rejekiku besar tahun ini menurut perhitungan peramal ! Jodohku
seorang gadis bermata bintang. Dan matanya...! Ah , matanya..., Kalah bintang
kejora !" kata pemuda lain.
"Mulutnya yang hebat ! Amboooiii mulutnya...ah, ingin aku menjadi buah apel
agar dimakannya dan berkenalan dengan bibir itu. Aduhhh...!"
Bermacam‐macam seruan para muda itu yang seakan lupa diri, menyatakan
perasaan hati masing‐masing yang menggelora. Sudah lajim kalau
sekumpulan orang muda bercakap‐cakap, mereka lebih berani manyatakan
perasaan hati masing‐masing sehingga percakapan itu menjadi hangat dan
kadang‐kadang terdengar kata‐kata yang kurang sopan.
Apalagi para muda yang tergila‐gila pada seorang gadis jelita ini adalah
orang‐orang kang‐ouw, pemuda‐pemuda kelana kelana dan petualang.
Banyak sudah tempat mereka jelajahi, cukup sudah dara‐dara jelita mereka
PART 5
saksikan, namun baru sekali ini mereka menjumpai dara secanti k Lu Sian.
Melampaui semua kembang mimpi.
Tujuh orang pemuda yang berkumpul dalam sebuah rumah penginapan itu
adalah pendekar‐pendekar muda dari beberapa partai. Seperti biasa, karena
merasa segolongan dan setujuan, mereka lekas bersahabat dan selain
menuturkan pengalaman masing‐masing yang biasanya mereka lebihi, juga
mereka tiada habisnya memuji‐muji dan membicarakan diri Liu Lu Sian yang
diam‐diam mereka perebutkan. Setelah Lu Sian yang lewat di depan rumah
penginapan itu, sampai jauh malam para pemuda ini bicara tentang Lu Sian
dan masing‐masing menyatakan harapan menjadi orang yang terpilih dengan
mengemukakan dan menonjolkan keistimewaan masing‐masing.
"Sebagai puteri Beng‐kauw, tentu kepandaiannya amat tinggi dan belum
tentu aku mampu menandinginya. Akan tetapi, ilmu golokku yang terkenal
dan nama Ilmu Golok Pelangi di Awan Biru memiliki keindahan yang
melebihi keindahan seni tari manapun juga. Siapa tahu, keindahan seni
permainan golokku akan menawan hatinya !" kata pemuda muka putih
dengan pandang mata merenung penuh harapan dan di depan matanya
terbayanglah mulut manis Lu Sian, karena dialah yang jadi tergila‐gila oleh
mulut manis itu dan ingin menjadi buah apel !
"Aku tidak punya kedudukan, orang tuaku miskin dan akupun tidak
berpendidikan, tidak pandai tulis baca. Akan tetapi, biarpun ilmu silatku
mungkin tidak setinggi dia, aku memiliki tenaga besar yang boleh diukur
dengan tenaga siapapun juga." kata pemuda tinggi besar yang matanya lebar.
"Mudah‐mudahan nona Lu Sian sudi memandang nama besar Kun‐lun‐pai
sehinga aku sebagai murid kecil Kun‐lun‐pai akan menarik perhatiannya."
kata pemuda ke tiga yang tampan juga. Demikianlah, tujuh orang pemuda itu
menonjolkan keistimewaan masing‐masing dengan harapan dialah yang akan
terpilih.
Lewat tengah malam barulah mereka memasuki kamar masing‐masing,
namun tentu saja mereka tak dapat tidur, karena di depan mata mereka
selalu terbayang wajah Liu Lu Sian. Maka ketika terdengar ada tamu baru
datang dan disambut oleh pengurus rumah penginapan, mereka bertujuh
PART 6
semua keluar dan melihat tamu seorang pemuda berpakaian indah, berwajah
tampan sekali dan bersikap tenang memasuki ruang dalam.
"Maaf, Kongcu (tuan muda), bukan kami kurang hormat terhadap tamu. Akan
tetapi, kamar yang patut untuk Kongcu sudah penuh semua. Kecuali kalau
diantara para Enghiong (Pendekar) yang terhormat membagi kamarnya..."
Dengan ragu‐ragu dan penuh harap pengurus penginapan itu memandang ke
arah tujuh pemuda yang sudah keluar dari kamar masing‐masing
Tujuh orang muda itu memandang Si Pendatang baru penuh perhatian.
Pemuda ini berpakaian seperti orang terpelajar, gerak‐geriknya halus, sama
sekali tidak membayangkan gerak seorang ahli silat. Otomatis orang
pendekar muda itu memandang rendah.
Mana ada seorang pendekar suka membagi kamar dengan kutu buku yang
tentu akan menjemukan dan bicaranya tentu soal kitab‐kitab dan sajak
belaka ? Pemuda itu agaknya maklum akan pandang mata mereka, maka
cepat‐cepat ia mengangkat kedua tangan ke depan dada, dan memberi
hormat berkata dengan penuh kesopanan.
"Harap Cu‐wi Enghiong (Tuan‐tuan Pendekar Sekalian) sudi memberi maaf
kepada siawte (aku yang muda). Tentu saja siawte tidak berani menggangu
para Enghiong, akan tetapi barangkali ada diantara para Cu‐wi yang sudi
membagi kamar..." Ia berhenti bicara melihat mereka mengerutkan kening,
dan menanti jawaban. Ketika tidak ada jawaban datang, ia tersenyum.
"Saudara siapakah dan dari golongan mana ? Apakah tamu dari Beng‐kauwcu
Liu‐locianpwe (Orang Tua Gagah she Ketua Beng‐kauw) ?" tanya pemuda
tinggi besar yang bertenaga gajah.
"Siauwte she Kwee bernama Seng, orang lemah seperti siauwte yang setiap
hari menekuni huruf‐huruf kuno, tidak dari golongan mana‐mana dan
siauwte hanya pelancong biasa."
PART 7
Hmm, maaf, kamarku sempit sekali."jawab si Tinggi Besar kehilangan
perhatian.
"Kamarku juga sempit." jawab orang ke dua.
"Aku tidak biasa tidur berteman." kata orang ke tiga.
"Maaf, maaf, memang siauwte tidak berani mengganggu Cu‐wi. Eh, Lopek,
kau tadi bilang tentang kamar yang patut, apakah masih ada kamar yang
tidak patut ?" Kwee Seng menoleh kearah pengurus penginapan sedangkan
tujuh orang pendekar itu sudah kembali ke kamar masing‐masing dan
menutupkan daun pintunya.
"Ah, ada.. Ada, Kongcu. Akan tetapi, itu adalah kamar‐kamar kecil di sebelah
belakang, dahulu menjadi kamar pelayan, tidak berani saya menawarkannya
kepada Kongcu..."
Kwee Seng tersenyum. "Tidak mengapa, Lopek. Malam sudah begini larut,
mencari kamar di penginapan lain pun repot. Biarlah aku bermalam di kamar
pelayan itu."
Dengan tergopoh‐gopoh pengurus penginapan itu lalu mendahului Kwee
Seng sambil membawa sebuah lampu, mengantar tamunya ke sebuah kamar
yang berada jauh di ujung belakang. Benar saja, kamar ini kecil, hanya terisi
sebuah pembaringan bambu yang setengah reyot, lantainya tidak begitu
bersih pula.
"Ah, cukup baik !" seru Kwee Seng sambil menaruh bungkusan pakaiannya di
atas pembaringan. "Tidak usah kau tinggal lampumu, Lopek aku biasa tidur
gelap. "Ia menjatuhkan dirinya di atas pembaringan yang mengeluarkan
bunyi berkereotan.
Pengurus penginapan itu keluar dari dalam kamar membawa lampunya
sambil menggeleng‐geleng kepala saking heran melihat seorang kongcu
PART 8
berpakaian indah itu kelihatannya sudah tidur pulas begitu tubuhnya
menyentuh pembaringan, ia menutupkan daun pintu perlahan‐lahan.
Sebentar kemudian sekeliling tempat penginapan sunyi. Pengurus dan
penjaga pun sudah tidur . Yang terdengar hanya dengkur yang keras dari
kamar pemuda tinggi besar. Dari beberapa buah kamar lain terdengar suara
orang mengigau menyebut‐nyebut nama Liu Lu Sian. Bahkan dalam mimpi
pemuda‐pemuda ini selalu merindukan Lu Sian!
Suara mengigau ini keluar dari kamar pemuda anak murid Kun‐lun‐pai. Tibatiba
sebagai seorang ahli silat, pemuda tampan itu meloncat turun dari
pembaringannya ketika pendengarannya, atau agaknya lebih tepat indera
keenamnya, mendengar suara yang mencurigakan.
Dalam meloncat tadi sekaligus ia telah mencabut pedangnya, dan sekali
menggoncang kepalanya lenyaplah semua kantuk dan ia sudah berada dalam
posisi siap siaga, sepasang matanya melirik ke arah jendela kecil kamarnya.
Tiba‐tiba jendela itu terbuka daunnya dari luar, dan muncullah seorang lakilaki
jangkung yang berusia empat puluh tahun lebih, bertangan kosong.
Orang ini memasuki kamar melalui jendela dengan gerakan ringan dan sikap
tenang saja.
"Siapa kau ? Mau apa..."
"Mau membunuhmu. Manusia macam kau berani menyebut‐nyebut puteri
Beng‐kauwcu harus mampus !" berkata bayangan laki‐laki itu dengan suara
mendesis, lalu menerjang maju.
Pemuda Kun‐lun‐pai itu tentu saja tidak menjadi gentar biarpun ia merasa
kaget sekali. Pedangnya berkelebat dan bergulung‐gulung sinarnya di depan
dada bermaksud melindungi dirinya saja terhadap orang yang agaknya gila
ini. Akan tetapi, tiba‐tiba sekali gerakan pedangnya berhenti seakan‐ akan
tertahan oleh tenaga yang tak tampak dan sebelum pemuda Kun‐lun‐pai ini
tewas seketika tanpa dapat bersambat lagi !
PART 9
Suara mendengkur dari kamar si Tinggi Besar terhenti seketika. Jagoan
bertenaga gajah ini pun biar tidurnya mendengkur, Sedikit suara saja cukup
membuat ia terjaga dari tidurnya. Kamarnya berada di sebelah kamar murid
Kun‐lun‐pai, maka ia mendengar suara dari dalam kamar itu, cukup
membuatanya terbangun dan curiga.
Karena tiap kamar penginapan terdapat jendela di sebelah belakang, ia cepat
membuka daun jendela dan... seperti kilat cepatnya ia meloncat keluar dan
menerkam seorang laki‐laki yang berdiri di depan jendela murid ku‐lun‐pai.
Kedua lengannya yang kuat bergerak, dalam segebrakan saja si Tinggi Besar
berhasil mencekik leher orang itu.
"Hayo mengaku, siapa kau dan...uuhhh!" Tubuh yang tinggi besar itu seketika
menjadi lemas dan kepalanya miring, lalu ia roboh tak berkutik lagi di depan
laki‐laki setengah tua yang jangkung itu !
"Apa yang kau lakukan ? Penjahat...!"
Sebatang golok menyambar dengan hebatnya membentuk sinar melengkung
seperti pelangi. Kiranya pemuda yang memiliki Ilmu Golok Pelangi di Awan
Biru telah turun tangan melihat ada orang merobohkan temannya yang tinggi
besar. Memang indah gerakannya, gulungan sinar goloknya seperti gerakan
pita dan selendang para bidadari sedang menari‐nari.
Namun, dengan mudah bayangan itu menyelinap di antara gulungan sinar
golok dan belum juga empat jurus Si Pemuda menyerang, ia sudah roboh
pula terkena tamparan pada lehernya roboh untuk selamanya karena
nyawanya melayang.
Dengan gerakan tenang namun cepat sekali, si Bayangan Maut itu menuju ke
kamar yang lain. Namun belum sempat ia membuka jendela, empat orang
pemuda yang lain sudah berlari datang dan mengepungnya. Mereka lalu
berlari ke belakang dan segera mengepung si Bayangan Maut ketika melihat
betapa dua orang temannya sudah menggeletak pula tak bernyawa.
PART 10
"Kalian harus mampus semua...!"
Bayangan itu mendengus, tubuhnya bergerak secara aneh sekali, menyelinap
diantara sambaran empat buah senjata para pengurungnya. Hebat memang
kepandaian bayangan maut ini. Empat orang pemuda yang mengeroyoknya
bukanlah pemuda‐pemuda sembarangan. Mereka itu sudah terdidik dalam
ilmu silat yang cukup tinggi, setingkat dengan anak murid Kun‐lun‐pai dan
dengan si Tinggi Besar atau si Golok Pelangi. Namun menghadapi bayangan
maut ini, mereka tak mampu berbuat banyak. Lawan mereka yang mereka
keroyok ini seakan‐akan hanya bayangan kosong tak mungkin dapat
tersinggung senjata mereka.
Tiba‐tiba bayangan itu terkekeh dan...setelah terdengar suara "plak‐plakplak‐
plak !"empat kali, empat orang pemuda itupun roboh, terpukul pada
leher mereka dan tewas seketika !
Setelah membunuh tujuh orang pemuda itu, bayangan ini berdiri dengan kaki
terpentang lebar, mendongakkan mukanya ke atas sambil tertawa. "Ha ha
hah ! Alangkah lucunya !Orang‐orang macam ini mengharapkan seorang
dewi seperti dia ! Ha ha hah !"
Kemudian, melihat suara ribut‐ribut dari pengurus penginapan yang agaknya
terjaga, sekali meloncat ia sudah berada di atas genteng, lalu bagaikan
gerakan seekor kucing, ia berlari ke arah belakang tanpa menimbulkan suara.
Akan tatapi mendadak orang itu berseru perlahan ketika kakinya terpeleset
karena genteng yang diinjaknya merosot turun. Cepat ia berjongkok di atas
bangunan bagian belakang rumah penginapan itu dan membuka genteng,
mengintai.
Kiranya di situ terdapat seorang pemuda lagi yang enak tidur
telentang.Sebatang lilin kecil menyala di atas meja. Kepalanya diganjal
bantalan pakaian. Tidak tampak senjata di dalam kamar itu sehingga
bayangan itu mengerutkan kening. Seorang pemuda pelajar, pikirnya, tak
mungkin dia yang main‐main denganku. Akan tetapi siapa tahu ? Ia
mengeluarkan sebatang jarum merah dan sekali jari‐jari tangannya bergerak,
melesatlah sinar merah ke bawah melalui celah‐celah genteng, menuju ke
arah leher si pemuda yang tidur telentang.
PART 11
Pemuda di bawah itu yang bukan lain adalah Si Pelajar Kwee Seng,
menggeliat dan mengaluh seperti orang mengingau dalam tidurnya,lalu
miring. Akan tetapi tiba‐tiba tubuh itu menegang kaget dan tak bergerakgerak
lagi. Bayangan orang di atas genteng tersenyum puas melihat
korbannya yang ke delapan, maka ia bangkit berdiri dan cepat ia lari pergi
dari tempat itu, menghilang di dalam gelap !
"Tolong...! Pembunuhan... pembunuhan...!!" Suara pengurus penginapan ini
terdengar lantang sekali di waktu fajar itu, mengagetkan semua orang. Para
pelayan bersama para tamu lainnya berbondong keluar dan sebentar saja di
tempat pembunuhan sudah penuh dengan orang. Obor‐obor dan lampulampu
dipasang sehingga keadaan menjadi terang sekali. Pembunuhan yang
sekaligus mengorbankan nyawa tujuh orang pemuda kang‐ouw benar‐benar
merupakan peristiwa hebat yang mengejutkan sekali.
Ketika pengurus penginapan melihat Kwee Seng berada di antara banyak itu,
ikut menjenguk dan melihat pemuda‐pemuda teruna yang menjadi korban
pembunuhan aneh, pengurus itu segera memegang lengannya dan berkata.
"Ah, Kongcu benar‐benar seorang yang masih dilindungi Thian (Tuhan) !
Seandainya Kongcu diterima tidur dengan mereka, ah... tentu akan
bertambah seorang lagi korban pembunuh kejam ini !"
Kwee Seng hanya menggeleng‐gelengkan kepala dengan senyum duka. Di
dalam hatinya ia menyangkal keras pendapat pengurus rumah penginapan
ini. Andaikata ia diterima bermalam dengan mereka, belum tentu iblis maut
yang malam itu merajalela dapat menjatuhkan tangan mautnya.
Diam‐diam ia meraba jarum kecil yang ia masukkan ke dalam saku bajunya,
jarum merah yang malam tadi pun hampir membunuhnya. Menyesallah hati
Kwee Seng mengapa malam tadi ia tidak mengejar si penjahat yang mencoba
membunuhnya, dan mengapa ia begitu enak tidur sehingga ia tidak tahu di
bagian depan penginapan itu menjadi tempat penyembelihan tujuh orang
muda.
PART 12
Kwee Seng adalah seorang mahasiswa gagal. Ia suka sekali akan bun (sastra),
bu (silat), namun bakatnya lebih menjurus kepada bu (silat). Seorang
pemuda yatim piatu, sebatang kara merantau tanpa tujuan.
Namun ilmu kepandaiannya amat tinggi, ilmu silatnya sukar mendapatkan
tandingan karena selain ia telah mempelajarinya dari para pertapa sakti di
puncak‐puncak gunung sebelah barat, juga ia pernah berjumpa dengan
manusia dewa Bu Kek Siansu yang telah menurunkan beberapa macam ilmu
kepadanya.
Bu Kek Siansu terkenal sebagai manusia dewa yang sewaktu‐waktu muncul
untuk mencari bahan baik, tulang pendekar berwatak budiman, dan
menurunkan ilmu. Tak seorang pun di dunia ini tahu dari mana asalnya dan
di mana tempat tinggalnya yang tetap.
Kwee Seng pernah mengikuti ujian di kota raja namun gagal. Semenjak itu, ia
tidak pernah kembali ke kampung halamannya, yaitu di sebuah dusun kecil
di kaki gunung Luliang‐san, karena ayah bundanya sudah lama meninggal
dunia oleh wabah penyakit ketika ia masih kecil.
Ia merantau sebagai seorang kang‐ouw yang tak terkenal karena semua
sepak terjangnya ia sembunyikan. Hanya beberapa orang tokoh besar saja di
dunia kang‐ouw yang mengenal pendekar sakti muda ini, malah diam‐diam ia
diberi julukan Kim‐mo‐eng (pendekar ***** Emas).
Ia disebut ***** karena sepak terjangnya seperti *****, tak pernah
memperlihatkan diri. Akan tetapi ia di sebut emas yang mengandung maksud
bahwa pendekar ini berhati emas, membela kebenaran dan keadilan,
pembasmi kelaliman dan kekejaman. Namun nama ini hanya kalangan atas
terbatas saja pernah mendengar, di dunia kang‐ouw nama Kim‐mo‐eng Kwee
Seng tak pernah terdengar.
Kwee Seng tidak berbohong ketika mengatakan kepada ke tujuh orang
pendekar pada malam yang lalu bahwa ia adalah seorang pelancong yang
kebetulan lewat di kota raja Nan‐Cao. Memang ia tidak mempunyai niat
untuk menjadi tamu Beng‐kauw, sungguhpun nama Pat‐jiu Sin‐ong bukanlah
nama asing baginya.
PART 13
Ia tidak suka tokoh besar itu diangkat menjadi koksu, hal yang ia anggap
sebagai bukti kerakusan akan kedudukan dan kemuliaan. Maka baginya, hal
itu tidak perlu diberi selamat. Apalagi mendengar berita tentang putri Pat‐jiu
Sin‐ong yang hendak memilih jodoh, seujung rambutpun tiada niat di hatinya
untuk ikut‐ikutan memasuki sayembara, bahkan ingin melihat si jelita pun
sama sekali ia tidak ada nafsu.
Memang demikianlah watak Kwee Seng. Ia memandang rendah kepada halhal
yang dianggapnya tidak benar atau menyimpang daripada kebenaran.
Padahal harus diakui bahwa ia adalah seorang pemuda yang baru berusia
dua puluh tiga tahun, yang tentu saja sebagai seorang pemuda normal, selalu
berdebar‐debar apabila melihat seorang gadis cantik.
Ia seorang pemuda yang pada dasarnya memiliki watak romantis, suka akan
keindahan, suka akan tamasya alam yang permai, suka akan bunga yang
indah dan harum, dan tentu saja bentuk tubuh seorang dara jelita. Akan
tetapi, kekuatan batinnya cukup untuk menekan semua perasaan ini dan
membuat ia tetap tenang.
Peristiwa pembunuhan di dalam rumah penginapan itu membangkitkan jiwa
satrianya.
Ia mendengar keterangan sana‐sini dan tahu bahwa tujuh orang pemuda itu
adalah calon‐ calon pengikut sayembara untuk meminang puteri Bengkauwcu.
Mendengar pula betapa pemuda‐pemuda itu sudah kegilaan akan
Nona Liu Lu Sian, dara rupawan yang pada pagi hari kemarin lewat didepan
rumah penginapan.
Karena ini, diam‐diam KweeSeng menghubungkan semua itu dengan
pembunuhan. Agaknya karena mereka itu tergila‐gila kepada Liu Lu Sian
maka malam ini menjadi korban pembunuhan keji. Entah apa yang menjadi
dasar pembunuhan , entah cemburu atau bagaimana. Namun yang pasti,
untuk mencari pembunuhnya ia harus datang menjadi tamu Beng‐Kauw !
PART 14
Inilah yang membuat Kwee Seng terpaksa menunda perantauannya dan
bersama dengan para tamu lainnya , ia pun melangkahkan kaki menuju ke
gedung keluarga Pat‐jiu Sin‐ong.
Rumah gedung keluarga Liu dihias meriah. Pekarangan yang amat luas itu
telah diatur menjadi ruangan tamu, dibagian tengah agak mendalam yang
letaknya lebih tinggi rauangan depan, kini dipergunakan untuk tempat
rumah dan para tamu yang terhormat atau para tamu kehormatan.
Ruangan ini disambung dengan sebuah panggung setinggi satu meter yang
cukup luas dan panggung ini diperuntukkan untuk mereka yang hendak
bicara mengadakan sambutan, juga dibentuk semacam panggung tempat
main silat.
Panggung semacam ini memang lajim diadakan setiap kali ada ahli silat
mengadakan sesuatu, karena perayaan diantara ahli silat tanpa pertunjukan
silat akan merupakan hal yang janggal dan mentertawakan.
Pat‐jiu Sin‐ong Liu Gan belum tampak di luar. Para tamu disambut oleh tiga
orang sute (adik seperguruan), yaitu pertama adalah Liu Mo adik
kandungnya sendiri, Liu Mo berusia empat puluh tahun lebih, sikapnya
tenang dan pendiam, sinar matanya membayangkan watak yang serius
(sungguh‐sungguh) dan berwibawa.
Biarpun Liu Mo memiliki kepandaian yang cukup tinggi dan merupakan
orang ke dua dalam Beng‐kauw, namun ia tetap sederhana dan tidak
mempunyai julukan apa‐apa. Di dalam Beng‐kauw, ia merupakan pembantu
yang amat berharga dari kakak kandungnya dan boleh boleh dikatakan untuk
segala urusan dalam, Liu Mo inilah yang sering mewakili kakaknya.
Orang ke dua adalah Ma Thai kun. Orangnya tinggi kurus, wajahnya selalu
keruh dan biarpun usianya baru tiga puluh enam tahun, namun ia
memelihara jenggot dan kelihatan lebih tua. Ia terkenal pemarah dan
wataknya keras, kepandaianya juga tinggi dan ilmu silatnya tangan kosong
amat hebat.
PART 15
Segala macam pukulan dipelajarinya dan kedua tangannya mengandung
tenaga dalam yang amat dahsyat. Berbeda dengan Liu Mo yang sabar dan
berwibawa, orang ke tiga dari Beng‐kauw ini menyambut tamu dengan wajah
gelap dan tak pernah tersenyum, juga ia memandang rendah kepada para
tamunya.
Orang ke tiga dari para wakil Ketua Beng‐Kauw ini usianya hampir tiga puluh
tahun, akan tetapi wajahnya terang dan kelihatan masih muda. Dandanannya
sederhana sekali, bahkan lucu karena ia menggunakan sebuah caping (topi
berujung runcing) seperti dipakai para petani atau penggembala.
Di punggungnya terselip sebatang cambuk yang biasa dipergunakan para
penggembala mengatur binatang gembalaannya! Memang murid termuda ini
seorang yang ahli dalam soal pertanian dan peternakan. Wajahnya terang
dan ia menerima para tamu dengan sikap hormat sekali.
Inilah Kauw Bian seorang pemuda desa yang menjadi sute termuda dari Patjiu
Sin‐ong Liu Gan. Biarpun sikapnya sederhana dan seperti seorang desa,
akan tetapi jangan dipandang rendah kepandaiannya dan pecut itu sama
sekali bukanlah pecut biasa melainkan senjatanya yang ampuh!
Sebagaimana lazimnya para tokoh besar, mereka ini selalu menahan "harga
diri", tidak sembarangan orang dapat menjumpai dan dalam menyambut
tamu, biasanya diwakilkan dan kalau perlu barulah ia sendiri muncul
menemui tamunya.
Demikian pula Pat‐jiu Sin‐ong Liu Gan, ia pun menahan harga dirinya dan
seluruh para tamu sudah berkumpul semua dan tidak ada lagi yang datang
baru tokoh besar ini muncul di ruangan tuan rumah. Para tamu segera
bangkit berdiri memandang ke arah tuan rumah dengan kagum.
Memang patut sekali Liu Gan menjadi seorang tokoh yang terkenal lebih
tinggi daripada perawakan seorang laki‐laki biasa. Kekar dan berdiri tegak,
dadanya lebar membusung, pakaiannya indah, pandang matanya berwibawa.
Kepalanya tertutup topi bulu yang terhias bulu burung rajawali.
Share This Thread