PART 16
Ketua Beng‐Kau ini keluar sambil tersenyum‐senyum dan menjura ke arah
para tamu lalu duduk. Para tamu juga lalu duduk kembali, akan tetapi semua
mata tetap terbelalak lebar memandang gadis yang keluar bersama, Pat‐jiu
Sin‐Ong.
Itulah dia, gadis yang kini menarik semua pandang mata bagaikan besi
sembrani menarik logam. Liu Lu Sian, dara jelita yang pada saat itu
mengenakan pakaian sutera putih terhias benang emas dan renda‐renda,
merah muda. Cantik jelita bagaikan dewi khayangan!
Para muda melongo, ada yang menelan ludah, ada yang lupa mengatupkan
mulutnya, bahkan ada yang menggosok‐gosok mata karena merasa dalam
mimpi! Namun orang yang menjadikan para muda terpesona itu tetap duduk
dengan tegak dan senyum manisnya tak pernah meninggalkan bibir. Tapi
banyak pula yang memandang dengan hati ngeri.
Mereka semua, tua muda, sudah mendengar belaka tentang peristiwa hebat
di dalam rumah penginapan, dimana tujuh orang pendekar muda yang
tergila‐gila kepada gadis ini terbunuh secara aneh.
Para tamu yang duduk di ruangan kehormatan mulai bergerak menghampiri
Pat‐jiu Sin‐ong menghaturkan selamat, diikuti tamu‐tamu lain. Pat‐jiu Sinong
menyambut pemberian selamat itu sambil tertawa‐tawa dan tidak
berdiri dari bangkunya, sikap yang jelas memperlihatkan keangkuhannya.
Setelah para tamu memberi selamat, dan mereka kembali ke tempat masingmasing,
tiba‐tiba Pat‐jiu sin‐ong berdiri dari bangkunya memandang ke luar
dan berseru keras. "Aha, saudara muda Kwee Seng ! Kau datang juga hendak
memberi selamat kepadaku? Bagus! Menggembirakan sekali. Mari ke sini,
kau mau duduk bersamaku!"
Tentu saja semua tamu menoleh ke arah luar untuk melihat tamu agung
manakah yang begitu menggembirakan Pat‐jiu Sin‐ong sehingga tokoh ini
sampai berdiri dan berseru menyambut segembira itu? Mereka mengira
bahwa yang datang tentulah seorang tokoh besar di dunia kang‐ouw.
PART 17
Akan tetapi alangkah heran hati mereka ketika melihat seorang pemuda
berpakaian sastrawan yang melangkah masuk ke ruangan itu dengan langkah
lambat dan sikap lemah‐lembut. Seorang pelajar lemah seperti ini bagaimana
bisa mendapatkan perhatian begitu besar dari Pat‐jiu Sin‐ong yang terkenal
angkuh dan tidak memandang mata kepada tokoh‐tokoh kang‐ouw yang
hadir di situ?
Pemuda itu bukan lain adalah Kwee Seng. Memang jarang ada orang kangouw
mengenalnya, tetapi di antara sedikit tokoh besar dunia kang‐ouw yang
tahu akan kehebatan orang muda ia adalah Pat‐jiu Sin‐ong, karena Ketua
Beng‐kauw ini pernah bertemu dengan Kwee Seng ketika dia mengunjungi
Ketua Siauw‐lim‐pai, Kian Hi Hosiang yang sakti, memperlakukan pemuda ini
sebagai seorang tamu agung pula!
Inilah sebabnya maka Ketua Beng‐kauw mengenal Kwee Seng dan biarpun
belum membuktikan sendiri kehebatan pemuda ini, ia sudah dapat menduga
bahwa pemuda yang di sambut demikian hormatnya oleh Ketua Siauw‐limpai,
yang malah dijuluki Kim‐mo‐eng, tentulah memiliki ilmu kepandaian
yang tinggi.
Dengan tenang dan tersenyum ramah Kwee Seng menghampiri tuan rumah
menjura dengan hormat sambil berkata, "Liu‐enghiong (Orang Gagah She
Liu), maafkan saya datang menggangu secawan dua cawan arak. Terus terang
saja, kebetulan lewat dan mendengar tentang keramaian di sini dan ingin
menonton.
"Akan tetapi sama sekali bukan untuk memberi selamat. Makin tinggi
kedudukan makin banyak keruwetan dan makin besar kemuliaan makin
besar pula kejengkelan, apa perlunya diberi selamat?"
"Ha‐ha‐ha‐ha! Kata‐katamu ini memang cocok bagi orang yang mengejar
kedudukan dan memperebutkan kemuliaan, yang tentu saja hanya akan
menemui kejengkelan dan memperbanyak permusuhan. Akan tetapi aku
menjadi koksu (guru negara) untuk membimbing pemerintahan negaraku
yang dipimpin oleh keluargaku sendiri.
PART 18
"Ini namanya panggilan negara dan bangsa, kewajiban seorang gagah.
Akupun tidak butuh pemberian selamat yang semua palsu belaka, basa‐basi
palsu, berpura‐pura untuk mengambil hati. Ha‐ha‐ha! Lebih baik yang jujur
seperti kau ini, Kwee‐hiante. Mari duduk!"
Dengan gembira tuan rumah menggandeng tangan Kwee Seng, diajak duduk
semeja dan segera Liu Gan memerintahkan pelayan mengambil arak terbaik
dari cawan perak untuk Kwee Seng.
"Liu‐enghiong, aku mendengar pula bahwa kau hendak mencari mantu dalam
perayaan ini..."
"Ah, anakku yang ingin mencari jodoh. He, Lu Sian, perkenalkan ini sahabat
baikku, Kwee Seng!" Ketua Beng‐kauw itu dengan bebas berteriak kepada
puterinya. Liu Lu Sian sejak tadi memang memperhatikan Kwee Seng yang
disambut secara istimewa oleh ayahnya.
Biarpun pemuda ini gerak‐geriknya halus seperti orang lemah, namun
melihat sinar matanya, Lu Sian dapat menduga bahwa Kwee Seng adalah
seorang yang memiliki kepandaian tinggi.
Mendengar seruan ayahnya ia lalu bangkit berdiri lalu menghampiri Kwee
Seng sambil merangkapkan kedua tangannya. "Kwee‐kongcu (Tuan Muda
Kwee), terimalah hormatku!" katanya dengan suara merdu dan bebas, gerakgeriknya
manis sama sekali tidak malu‐malu atau kikuk seperti sikap gadis
biasa.
Kwee Seng sejak tadi hanya memperhatikan Liu Gan saja maka tidak tahu
bahwa di ruangan itu terdapat gadis puteri Liu Gan yang kecantikannya telah
banyak pemuda tergila‐gila, bahkan agaknya yang telah menjadi sebab
daripada akibat mengerikan di rumah penginapan malam kemarin.
Mendengar suara merdu ini ia menengok dan... pemuda itu berdiri terpesona,
sejenak ia tidak dapat berkata‐kata, bahkan seakan‐akan dalam keadaan
tertotok jalan darah di seluruh tubuhnya, tak dapat bergerak seperti patung
PART 19
batu! Belum pernah selama hidupnya ia terpesona oleh kejelitaan seorang
wanita seperti saat itu. Mata itu!
Bening bersih gilang‐gemilang tiada ubahnya sepasang bintang kerling tajam
menggores jantung kedip mesra membuat bingung
Bulu mata lentik berseri bagai rumput panjang di pagi hari sepasang alis
hitam kecil melengkung menggeliat‐geliat malas kedua ujung!
"Kwee‐kongcu..." kata pula Liu Sian melihat pemuda itu diam saja seperti
patung, dalam hatinya geli bukan main.
"A... oh..., Liu‐siocia (Nona Liu), tidak patut saya menerima penghormatan
ini...!" jawabnya gagap sambil cepat‐cepat mengangkat kedua tangannya ke
depan dada. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia merasa betapa angin
pukulan menyambar dari arah kedua tangan gadis yang dirangkap di depan
dada itu.
Angin pukulan yang mengandung hawa panas dan yang tentu akan cukup
membuat ia terjungkal dan terluka hebat. Alangkah kecewanya hati Kwee
Seng! Dara juwita ini, yang dalam sedetik telah membuat perasaannya moratmarit,
yang kecantikannya memenuhi semua seleranya, menguasai seluruh
cintanya, ternyata memiliki watak yang liar dan ganas!
Sekilas teringat lagi ia akan pembunuhan tujuh orang pemuda tak berdosa
dan seketika itu Kwee Seng merasa jantungnya sakit. Ia masih terpesona,
masih kagum bukan main melihat dara jelita ini, namun kekaguman yang
bercampur kekecewaan. Maka ia pun cepat mengarahkan tenaga ke arah ke
dua tangannya yang membalas penghormatan.
"Aiiihhh...! Mengapa Kwee‐kongcu demikian sungkan? Penghormatan kami
sudah selayaknya!" kata Liu Lu Sian yng berseru untuk menutupi
kekagetannya ketika angin pukulan yang keluar dari pengerahan sin‐kang di
kedua tangannya membalik seperti angin meniup benteng baja.
PART 20
Gadis ini sambil tersenyum manis menyambar guci arak pilihan dari tangan
pelayan bersama sebuah cawan perak, lalu menuangkan arak ke dalam
cawan itu. Cawan sudah penuh, terlampau penuh akan tetapi anehnya, arak
di dalam cawan tidak luber, tidak membanjir keluar. Permukaan arak
melengkung ke atas berbentuk telur.
Dengan tangan kanan memegang cawan yang terisi arak itu Liu Lu Sian
berkata,"Kehadiran Kwee‐kongcu merupakan kehormatan besar, harap sudi
menerima arak sebagai tanda terima kasih kami."
Kembali Kwee Seng tertegun. Dara juwita ini tidak saja cantik seperti
bidadari, akan tetapi juga memiliki kepandaian hebat. Sin‐kang yang
diperlihatkan kali ini lebih halus, sehingga bagi orang biasa tentu merupakan
perbuatan yang tak masuk akal, seperti sihir.
Akan tetapi makin kecewalah hati Kwee Seng karena ia menganggap bahwa
gadis ini terlalu binal dan suka membuat malu orang lain. Kalau yang
menerima arak sepenuh itu tidak memiliki sin‐kang yang tinggi, apakah tidak
akan mendatangkan malu karena araknya pasti akan tumpah semua begitu
gadis ini melepaskan pegangannya?
"Siocia terlampau sungkan. Terlalu besar kehormatan ini bagi saya..." Kwee
Seng menerima cawan sambil mengerahkan tenaganya sehingga ketika Lu
Sian melepas cawan itu, arak yang terlalu penuh tetap melengkung di atas
cawan tidak tumpah sedikitpun juga.
Akan tetapi jantung Kwee Seng berdegup keras karena ketika ia menerima
cawan tadi jari tangannya bersentuhan dengan kulit tangan yang halus sekali,
sementara itu, hidungnya mencium bau harum semerbak yang luar biasa, bau
harum bermacam bunga yang baru sekarang ia menciumnya karena tadi ia
terlampau terpesona oleh kecantikan Lu Sian.
Ia tadi sudah berhati‐hati sekali, sebagai seorang yang sopan, agar jari
tangannya tidak menyentuh jari gadis itu, akan tetapi toh bersentuhan, maka
ia tahu bahwa gadis itulah yang sengaja menyentuhkan tangannya!
PART 21
Berbarengan dengan datangnya degup jantung mengeras dan ganda harum
yang memabokkan otak, timbul hasrat hati Kwee Seng untuk memamerkan
kepandaiannya pula di depan gadis jelita yang berlagak ini.
Ia segera menuangkan arak ke dalam mulutnya, mengangkat cawan tinggi ke
atas mulut dan menuangkannya. Akan tetapi, sampai cawan itu membalik,
araknya tetap tidak mau tumpah ke dalam mulut ! Arak itu seakan‐akan
sudah membeku di dalam cawan!
"Ah, maaf... maaf... saya memang tidak bisa minum arak baik!" kata Kwee
Seng sambil menurunkan lagi cawannya. Tiba‐tiba ia membuka sedikit
mulutnya dan dari cawan yang sudah berdiri lagi itu tiba‐tiba meluncur arak
seperti pancuran kecil menuju ke atas dan langsung memasuki cawan itu
menjadi kering!
"Wah, kehadiran Kwee‐kongcu benar‐benar menggembirakan. Kalau tadi
secawan arak untuk penghormatan kami, sekarang kuharap kongcu sudi
menerima secawan lagi, khusus dariku!" kata pula Lu Sian sambil
menuangkan lagi arak ke dalam cawan kosong, kali ini lebih penuh daripada
tadi, lalu memberikannya kepada Kwee Seng.
Seketika terbelalak mata Kwee Seng kedua pipinya menjadi merah dan sinar
matanya berkilat. Lenyap seketika pesona yang menguasai dirinya. Gadis ini
benar‐benar terlalu liar, aneh, dan ganas! Ia melihat betapa tadi dari tangan
gadis itu berkelebat sinar putih memasuki cawan dan sebagai seorang
pendekar sakti, ia maklum apa artinya itu.
Arak kali ini dicampuri semacam obat bubuk yang biarpun sedikit sekali,
namun ia dapat menduga tentu amat hebat akibatnya kalau terminum
olehnya. Ia tahu bahwa gadis ini tidak sengaja mencelakakannya, hanya
untuk menguji, akan tetapi cara ujian yang amat berbahaya!
"Nona terlalu menghormat ...!" jawabnya dan ia menerima cawan itu. Begitu
cawan diterimanya, ia berseru, "Ah, nona terlalu banyak mengisi araknya...!"
dan tiba‐tiba, biarpun cawan itu dipegangnya lurus‐lurus, isi cawan
berhamburan keluar dan tumpah semua sampai habis. Anehnya, tangan
Kwee Seng yang memegang sawan sama sekali tidak basah karena ara itu
PART 22
tumpahnya "melayang" ke depan dan sebaliknya malah membasahi sebagian
celana dan sepatu si jelita!
"Ah, maaf.. maaf..!" kata Kwee Seng sambil menjura penuh hormat.
"Kwee‐kongcu terlalu merendah ...!" Sepasang pipi Lu Sian menjadi merah
sekali dan kilatan matanya membayangkan kemarahan ketika ia menjura dan
mengundurkan diri kembali ke bangkunya sambil mengusap noda arak
dengan sapu tangannya.
Peristiwa aneh ini hanya disaksikan oleh beberapa orang tamu kehormatan
yang duduk berdekatan, akan tetapi para tamu yang jauh tidak melihat jelas,
dan hanya mengira bahwa pemuda pelajar itu amat canggung sehingga
menumpahkan arak yang disuguhkan orang kepadanya. Namun, banyak yang
merasa iri hati melihat betapa Si Bidadari sampai dua kali memberi suguhan
arak kepada pemuda lemah itu.
"Ha‐ha‐ha, lama tak jumpa, kau makin hebat, Kwee‐hiante! Mari, mari kita
minum sampai mabok!"
Sambil merangkul pundak Kwee Seng, Pat‐jiu Sin‐ong mengajak pemuda itu
menghadapi meja penuh hidangan. "Liu‐enghiong tentu maklum bahwa aku
tidak biasa minum arak lebih dari tiga cawan," bantah Kwee Seng.
"Ha‐ha‐ha!" Ocehan burung yang tak patut didengar! Aku percaya, biarpun
habis tiga guci, orang macam kau mana bisa mabok ? Ha‐ha‐ha marilah, tak
usah sungkan. Kita orang sendiri!"
Karena sikap tuan rumah ini setulus hatinya, Kwee Seng terpaksa melayani.
Ia maklum betapa suara tuan rumah yang keras ini terdengar semua orang
dan ia sudah melihat sinar mata iri dilempar orang, terutama kaum mudanya,
ke arahnya. Ia memang tidak suka minum arak terlalu banyak, akan tetapi
kali ini hatinya sedang rusak dan kacau.
PART 23
Harus ia akui bahwa ia tertarik oleh kecantikan Liu Lu Sian yang luar biasa,
dan ia tahu bahwa hatinya sudah siap mengaku cinta. Seorang dewa
sekalipun akan jatuh hati berhadapan dengan Lu Sian! Akan tetapi disamping
perasaan yang baru kali ini ia rasakan selama hidupnya, terselip rasa nyeri
yang membuat hatinya perih, yaitu kenyataan bahwa gadis yang
menjatuhkan hatinya ini memiliki watak yang liar dan ganas, sama sekali
berlawanan dengan pendiriannya.
Karena perasaan yang bertentangan antara perasaan cinta dan benci inilah
maka Kwee Seng menjadi seperti orang nekat dan ia menerima terus setiap
kali Pat‐jiu Sin‐ong menyuguhkan arak. Sebentar saja ia sudah minum arak
tua belasan cawan banyaknya!
"Lu Sian, hayo kau gembirakan hati para tamu kita dengan tarian pedang!"
tiba‐tiba Pat‐jiu Sin‐ong berseru memerintah puterinya sambil tertawa‐tawa
karena tokoh inipun sudah terpengaruh hawa arak.
Lu Sian tersenyum mengangguk, lalu bangkit berdiri dan dengan lenggang
yang dapat mengayun hati para muda yang memandangnya, gadis ini ini
berjalan menuju ke tengah panggung terbuka. Tepuk tangan riuh gemuruh
menyambutnya. Lu Sian menjura dengan hormat sambil berseru, suaranya
merdu nyaring mengatasi keriuhan tepuk tangan itu.
"Permainanku masih amat dangkal, harap cu‐wi jangan metertawakan!"
Setelah berkata demikian, Lu Sian menggerakan tangannya dan .... dalam
pandangan mereka yang ilmu silatnya kurang tinggi, gadis itu tiba‐tiba
lenyap dan berubah menjadi bayangan yang berkelebatan kesana kemari
dibungkus sinar putih berkilauan bergulung‐gulung dan berkilat‐kilat.
Dari sana‐sini terdengar seruan kagum, yang muda‐muda kagum akan
keindahan ilmu silat pedang yang benar‐benar merupakan tarian luar biasa
itu, adapun golongan tua kagum karena mereka melihat di dalam gerakan
yang indah ini tersembunyi kekuatan yang dahsyat, setiap kelebatan pedang
yang begitu indah tampaknya sebetulnya mengandung jurus maut yang tidak
mudah dilawan. Dengan bukti kehebatan gadis ini makin tunduklah mereka
akan kelihaian dan nama besar Pat‐jiu Sin‐ong.
PART 24
Lu Sian sengaja mainkan Hwa‐kiamhoat (Ilmu Pedang Kembang) yang indah
untuk memamerkan kepandaian dan kecantikannya. Ia bersilat sampai lima
puluh jurus dan ketika berhenti di tengah panggung sambil berdiri tegak, ia
tampak gagah dan cantik jelita, dengan sepasang pipi kemerahan karena
denyut darahnya agak kencang setelah bersilat tadi.
Bibirnya tersenyum‐senyum, matanya yang tajam berseri‐seri menyambut
tepuk tangan yang seakan‐akan hendak merobohkan panggung buatan itu.
Akan tetapi begitu Lu Sian kembali duduk di tempatnya, berkelebatlah
bayangan orang dan seorang laki‐laki berusia lima puluh tahun sudah berdiri
di atas panggung.
Gerakannya yang demikian ringan dan cepatnya menandakan bahwa ia
seorang yang berkepandaian tinggi, sedangkan pakaian dan cara ia
menggelung rambut ke atas menyatakan bahwa ia seorang pendekar To atau
yang disebut tosu. Di punggungnya tergantung sebuah pedang.
Tosu ini terdengar lantang suaranya setelah keadaan tadi kembali sunyi
karena terhentinya tepuk tangan. Sambil menjura ke arah Pat‐jiu Sin‐ong,
tosu itu berkata, "Kauwcu (Ketua Agama), pinto (aku) Ang Sin Tojin dari Knlun‐
pai, merasa kagum akan kebesaran nama Pat‐jiu Sin‐ong, dan sengaja
pinto diutus oleh ketua kami memberi selamat.
Akan tetapi tidak nyana bahwa Kawcu dengan puteri Kauwcu menimbulkan
hal‐hal yang tidak baik! Kauwcu memamerkan kepandaian dan kecantikan
puteri Kauwcu, ada kabar hendak menggunakan kesempatan ini mencarikan
jodoh bagi puteri Kauwcu. Hal ini sudah sewajarnya. Aka tetapi mengapa
banyak pemuda tidak berdosa yang tergila‐gila kepada puteri Kawcu
menemui kematian yang penuh penasaran?
Sekarang, Kauwcu tidak menyelidiki dan membikin terang perkara itu, malah
Kauwcu menambah pengaruh agar para pemuda makin tergila‐gila. Apakah
sesungguhnya kecantikan yang gilang‐gemilang seperti puteri Kauwcu?
Kecantikan hanyalah timbul dari kelemahan batin melalui pandang mata,
sesungguhnya palsu adanya.
PART 25
Kecantikan hanya terbatas sampai di kulit, namun siapa tahu isi hati yang
tersembunyi di balik kecantikan. Pat‐jiu Sin‐ong, Pinto kehilangan seorang
anak murid Kun‐lun yang terbunuh secara tidak wajar, terpaksa mohon
penjelasan?"
Seketika tegang keadaan di situ. Terang bahwa tosu ini menuntut kematian
muridnya, dan sekaligus mencela keadaan Beng‐kauw dengan adanya
kematian tujuh orang pemuda dan mencela pula pameran kecantikan dan
kepandaian Liu Lu Sian! Keadaan seketika menjadi sunyi karena semua orang
menanti dengan hati berdebar.
Sambil tersenyum Pat‐jiu Sin‐ong berdiri dari bangkunya, akan tetapi tidak
mendekati Ang Sin To Jin. Sambil bertolak pinggang ketua Beng‐Kauw yang
tinggi besar ini bertanya, "Tosu, Kau ini apanya Ang Kun To Jin ?"
"Beliau adalah Suhengku dan Pinto hanyalah murid kedua dari suhu."
Pat Jiu Sin Ong tiba‐tiba tertawa sambil menengadahkan mukanya ke atas.
"Heh, Tosu mentah! Kau kira kematian bocah‐bocah ***** itu adalah
perbuatanku atau perbuatan anakku?"
"Pinto tak berani menuduh siapapun juga, akan tetapi setidaknya peristiwa
maut itu terjadi karena Kauwcu berhasrat memilih mantu karena kecantikan
putrimu dan tentu dilakukan oleh seorang dari Beng‐kauw! Karena itu
ketuanya harus bertanggung jawab!"
"Ha‐ha, bertanggung jawab bagaimana?"
"Kauwcu harus dapat menangkap pembunuh itu dan menghukumnya mati di
depan kami semua. Kemudian Kauwcu lakukan pemilihan calon mantu yang
tepat dan tidak banyak menimbulkan korban, pilihlah mantu yang cocok dan
karena ini urusan Kauwcu, terserah, asal tidak secara sekarang ini yang
membikin gila banyak orang muda tak berdosa."
PART 26
"Wah, lagaknya! Kalau aku tidak menuruti permintaanmu itu, bagaimana?"
"Hmmmmm, kalau begitu, berarti Kauwcu tidak peduli akan kematian murid
Kun‐lun‐pai yang menjadi tamu di sini, dan hal itu tentu saja Pinto tidak
dapat tinggal diam saja?"
"Habis, kau mau apa, Tosu mentah?"
"Pinto terpaksa menuntut balas atas kematian murid, dan melupakan
kebodohan, minta pelajaran dari Beng‐Kauwcu Pat‐jiu Sin‐ong!" Dengan
tegak berdiri, Tosu itu siap menghadapi pertandingan.
"Tosu sombong, berani kau menghina ketua kami?" Tiba‐tiba Ma Thai Kun
yang bertubuh jangkung kurus sudah melompat ke atas panggung, tangannya
begerak memukul ke arah Ang Sin Tojin. Gerakan Ma Thai Kun cepat sekali
sehingga kejadian yang tak tersangka‐sangka itu tidak dapat ditunda lagi.
Pukulannya hebat, mengeluarkan angin bersiutan dan menuju ke arah dada
tosu kun‐lun‐pai itu.
Ang Sin Tojin adalah murid kedua dari Ketua Kun‐lun‐pai, Kim Gan Sian jin,
tentu saja ilmu kepandaiannya sudah amat tinggi dan karena itu pula ia tadi
berani mengeluarkan tantangan terhadap ketua Beng‐kauw. Kini melihat
seorang tinggi kurus bermuka hitam telah berada di depannya dan mengirim
pukulan maut, ia pun cepat menggerakkan tangannya menangkis, sambil
mengarahkan Sin‐kang (tenaga sakti).
"Dukkkkk!" Dua tangan mengandung tenaga sakti. Ma Thai Kun masih berdiri
setengah membungkuk, tubuhnya tidak bergoyang. Akan tetapi akibat
benturan kedua lengan itu membuat Ang‐sin to jin terhuyung‐huyung ke
belakang sampai lima langkah.
Diam‐diam tosu Kun‐lun‐pai ini terkejut bukan main. Harus diakui tenaga
sakti Si Muka Hitam ini hebat sekali, sungguhpun tidak sampai menyebabkan
ia terluka parah, namun cukup menggempur kuda‐kudanya dan membuat ia
terhuyung‐huyung.
PART 27
"Ji‐sute (Adik Seperguruan ke Dua), mundurlah! Siapa yang mencari perkara
dengan aku dan anakku, biarlah aku menghadapinya sendiri!" Pat‐jiu Sin‐ong
menegur adiknya. Ma Thai Kun mendengus marah, lalu mengundurkan diri.
"Ang Sin Tojin, apakah kau masih tidak mau menarik kembali tuntutanmu?"
"Seorang laki‐laki sekali bicara dipegang sampai mati!" jawab tosu itu dengan
suara ketus.
"Ah, ah, benar‐benar tosu Kun‐lun‐pai keras kepala. Eh, tosu mentah, kau tadi
bilang kecantikan puteriku sebatas kulit. Apa artinya?"
"Pinto mengakui bahwa puteri Kauwcu cantik jelita dan pandai. Akan tetapi
semua itu hanya sampai dikulit, hanya akibat pandangan mata lahir. Mata
batin takkan dapat ditipu dan takkan silau oleh kecantikkan. Mata batin
mencari sampai kedalam batin pula, mencari kebenaran yang suka tertutup
oleh kepalsuan."
Merah muka Pat‐jiu Sin‐ong, akan tetapi mulutnya masih tersenyum.
"Anakku memang cantik, ini semua orang tahu. Kalau mata melihatnya tidak
cantik sekalipun, yang salah bukan dia, melainkan matanya! Tosu mentah,
lekas kau pulang ke Kun‐lun‐san, jangan mencari keributan disini."
"Kalau begitu, pinto minta pelajaran dari Beng‐kauwcu!" kata tosu itu sambil
mencabut pedangnya. Ia tadi sudah membuktikan betapa hebat sin‐kang dari
Ma Thai Kun yang hanya merupakan adik seperguruan Ketua Beng‐kauw ini,
maka ia tidak berani berlaku sembrono. Dengan pedang di tangan ia mengira
akan dapat mengimbangi lawannya, karena memang Kun‐lun‐pai terkenal
dengan kiam‐hoatnya (ilmu pedangnya).
"Kau menantangku?" Liu Gan bertanya, masih tersenyum.
PART 28
"Pinto siap!"
"Nah, terimalah ini!" Kedua tangan Pat‐jiu Sin‐ong bergerak. Begitu cepatnya
gerakan kedua lengannya itu sehingga kedua tangan itu seakan‐akan berubah
menjadi delapan! Inilah agaknya maka ia mendapat julukan Pat‐jiu (Lengan
Delapan). Dalam segebrakan saja Ang Sin Tojin merasa seakan‐akan ia
diserang oleh delapan pukulan yang kesemuanya merupakan pukulan maut!
Cepat ia menggerakkan tubuhnya dan memutar pedangnya melindungi diri.
"Plakk! Tranggg... aduhhh...!" Hanya dalam sekejap mata saja terjadinya.
Entah bagaimana tosu itu sendiri tidak tahu, pergelangan tangannya sudah
terpukul, membuat pedangnya terpental dan tiba‐tiba ia merasa amat sakit
pada telinga dan mata kanannya. Ia roboh menggulingkan diri sampai
beberapa meter lalu meloncat lagi berdiri. Telinga kanan dan mata kanannya
mencucurkan darah! Ternyata daun telinga kanannya pecah bagian atasnya,
sedangkan pelupuk mata kanannya pun robek!
"Tosu mentah! Mengingat akan suhengmu, Ang Kun Tojin, dan memandang
muka terhormat suhumu, Kim Gan Sianjin Ketua Kun‐lun, aku tidak
mengambil nyawamu. Akan tetapi aku tidak dapat membiarkan matamu yang
salah lihat dan telingamu yang salah dengar. Hendaknya pelajaran ini
membuka matamu bahwa Beng‐kauw tidak boleh dibuat main‐main oleh
siapapun juga! Nah, pergilah!"
Ang Sin Tojin maklum bahwa orang sakti didepannya ini bukan lawannya,
bahkan suhunya, Ketua Kun‐lun‐pai sendiri, belum tentu akan dapat
menandinginya. Ia bukan seorang bodoh dan nekat. Tanpa banyak cakap ia
memungut pedangnya, menjura dan berkata, "Pinto hanya dapat melaporkan
kepada suhu bahwa pinto gagal dalam tugas." Setelah berkata demikian, ia
membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ.
Keadaan di situ sunyi sekali. Ketegangan mencekam dan suasana ini amat
tidak enak. Pat‐jiu Sin‐ong Liu Gan lalu tertawa dan mengahadapi para
tamunya. "Cu‐wi yang terhormat harap maafkan gangguan tadi. Nah, karena
soal pemilihan calon mantu sudah disebut‐sebut oleh tosu mentah tadi,
terpaksa kami akui bahwa hal itu memang tidak salah.
PART 29
Cu‐wi sudah melihat ilmu silat anakku yang rendah. Oleh karena itu, kalau
ada di antara para muda gagah yang hendak memperlihatkan kepandaian,
anakku akan sanggup melayaninya. Mereka yang dapat mengalahkan anakku
Liu Lu Sian berarti lulus dan akan diadakan pemilihan di antara mereka yang
lulus, kalau‐kalau ada yang berjodoh menjadi mantukku.
"Ha‐ha‐ha!" setelah berkata demikian dan menjura, Ketua Beng‐kauw ini
duduk lagi di tempatnya.
"Eh, saudara muda kwee, kau lihat tosu tadi, menjemukan tidak?"
"Memang menjemukan! Semuanya menjemukan!" kata Kwee Seng.
"Ha‐ha, urusan begitu saja jangan menghilangkan kegembiraan kita. Mari
minum!"
Keduanya lalu minum lagi dan keadaan di situ menjadi meriah pula.
Sementara itu, Liu Lu Sian sudah meloncat ke tengah panggung lagi setelah
meninggalkan pedangnya di atas meja. Hal ini berarti bahwa ia hanya akan
melayani pertandingan tangan kosong, tanpa mempergunakan senjata.
Ketika melihat gadis cantik itu sudah berdiri siap di tengah panggung, di
antara para tamu muda timbullah suasana gaduh. Sebetulnya banyak sekali
pemuda yang datang dari berbagai penjuru dunia untuk menyaksikan
kecantikan gadis yang sudah terkenal itu dengan mata sendiri.
Dan sekarang, setelah melihat Liu Lu Sian, hampir semua pemuda yang hadir
di situ tergila‐gila dan tak seorang pun yang tidak ingin memetik tangkai
bunga segar mengharum ini. Akan tetapi, menyaksikan ilmu kepandaian Lu
Sian dan kehebatan ayahnya, sebagian besar para muda itu sudah menjadi
gentar dan tidak berani mencoba‐coba.
PART 30
Apalagi kalau mengingat akan pembunuhan‐pembunuhan aneh di dalam
rumah penginapan kemarin malam, mereka merasa ngeri dan membuat
sebagian besar di antara mereka mundur teratur! Betapapun juga, di antara
mereka ada juga yang nekat karena mungkin dapat menahan hatinya yang
sudah runtuh oleh kecantikan Lu Sian.
Seorang pemuda berpakaian serba hijau dan yang duduknya di bagian
bawah, berjalan dengan langkah lebar dan gagah ke arah panggung,
kemudian sekali menggerakkan tubuhnya ia sudah meloncat ke atas
panggung berhadapan dengan Lu Sian.
Pemuda ini berwajah cukup ganteng, alisnya tebal dan matanya tajam, hanya
mulutnya lebar membayangkan ketinggian hati. Dengan sikap gagah ia
menjura dan merangkap kedua tangan di depan dada, memberi hormat
kepada Liu Lu Sian sambil berkata, suaranya lantang.
"Aku bernaama Han Bian Ki, dikenal sebagai Siauw‐kim‐liong (Naga Emas
Muda) di lembah sungai Min‐kiang, ingin mencoba‐coba kepandaian nona Liu
yang gagah."
Lu Sian melirik dan bibirnya melempar senyum manis sekali. Akan tetapi
sesungguhnya melihat mulut yang agak lebar itu ia sudah merasa tidak
senang kepada pemuda ini. Orang macam ini berani mau coba‐coba, pikirnya.
Apanya sih yang diandalkan ? Tampangnya tidak menarik, dan melihat
gerakan loncatannya, juga tidak banyak dapat diharapkan tentang ilmu
silatnya.
"Han‐enghiong, tak usah ragu‐ragu. Mulailah!" katanya dengan suara dingin.
"Saya Bhong Siat dari lembah Yang‐ce!" kata Si Muka Kuning yang suaranya
seperti orang berbisik, atau kehabisan napas.
Makin muak rasa perut Liu Lu Sian menyaksikan majunya dua orang yang
berwajah buruk ini. Memang ia sengaja menantang agar mereka maju
sekaligus agar ia tidak usah berkali‐kali menghadapi mereka seorang demi
Share This Thread