PART 207
ancaman bangsa liar dari utara, juga Kerajaan Liang harus menghadapi
ancaman yang tidak kalah hebatnya dari bangsa sendiri yang
memperebutkan kekuasaan setelah Kerajaan Tang roboh. Kam‐goanswe
terkenal sebagai seorang jenderal yang jujur, setia dan pengetahuannya akan
ilmu perang amat terkenal. Inilah sebabnya Kerajaan Liang ingin sekali
mempergunakan tenaganya dan cara satu‐satunya hanya menculiknya
karena Jenderal Kam tidak pernah mau mengakui kedaulatan kerajaankerajaan
baru yang banyak muncul setelah Kerajaan Tang jatuh. Dia seorang
pahlawan sejati, seorang patriot yang betul‐betul hanya mementingkan
negara dan rakyat, sama sekali tidak meributkan soal kedudukan dan
kemuliaan pribadi."
Lu Sian biasanya tidak peduli akan keadaan negara. Kini ia tertarik sekali dan
makin kagumlah ia terhadap Kam Si Ek, amat senang hatinya mendengar
nama pemuda pilihan hatinya itu dipuji‐puji. Dengan penuh perhatian ia
mendengarkan cerita tiga orang pengemis itu, cerita tentang keadaan negara
yang biasanya ia takkan suka mempedulikannya.
Menurut cerita Sin‐tung Sam‐kai, semenjak Kerajaan Tang roboh pada tahun
907 oleh pemberontakan Gubernur Ho‐nan yang bernama Cu Bun yang
kemudian mendirikan kerajaan baru yang disebut Kerajaan Liang, maka
keadaan tidak pernah aman. Perang terjadi dimana‐mana, perebutan
kekuasaan terjadi. Para pejabat tinggi bekas Kerajaan Tang mengangkat diri
sendiri menjadi raja muda dan sebagian besar tidak mau tunduk kepada raja
baru itu. Sementara itu, ancaman dari utara dan barat masih terus datang
sehingga keadaan makin kacau balau. Banyak pula bekas pejabat tinggi
Kerajaan Tang yang masih setia dan mereka ini pun menggunakan pelbagai
usaha untuk mendirikan kembali kerajaan yang sudah jatuh.
"Sehari setelah Kam‐goanswe dibawa pergi oleh pasukan Kerajaan Liang, di
sini muncul Bayisan yang mengaku seorang pendekar sahabat baik Kamgoanswe.
Dia telah memperlihatkan kepandaiannya sehingga kami percaya
dan ketika dia minta bantuan kami untuk menyelidiki kemana Kam‐goanswe
dibawa, kami lalu mengerahkan anak buah kami untuk melakukan
penyelidikan itu. Akan tetapi, dengan kaget kami mendengar berita dari
seorang anak buah kami akan kejahatan Bayisan itu di dusun Ki‐san."
"Apa yang ia lakukan?" "Seorang pencari kayu di hutan pada suatu hari
mendapatkan Bayisan dalam keadaan pingsan di dalam hutan. Pencari kayu
she Chie itu menolongnya dan membawanya pulang ke rumah. Akan tetapi
Last edited by jkt-Alexis4Play; 13-04-15 at 12:49.
PART 208
apa yang dilakukan jahanam itu sebagai balas budi ini ? Dua hari kemudian ia
membunuh pencari kayu berikut isterinya dan anak‐anaknya sebanyak tiga
orang berikut gadis itu sendiri ! Tentu saja kami yang mendengar ini menjadi
marah sekali dan menyerbu ke sini, kiranya Li‐hiap sudah lebih dulu datang
menggempurnya. Sayang ia terlalu lihai sehingga kita tak dapat
membinasakannya!"
Akan tetapi Lu Sian sama sekali tidak tertarik oleh cerita tentang Bayisan ini,
maka tanyanya cepat, "Lalu, bagaimana dengan hasil penyelidikan kalian ?
Kemana dibawanya Kam‐goanswe oleh pasukan itu?"
"Sudah kami selidiki dan ternyata dibawa ke kota raja, yaitu di ibukota Honan."
Ke manapun juga akan kukejar, pikir Lu Sian. Ibu kota Ho‐nan yang sekarang
menjadi kota raja adalah Kai‐feng, dan ia harus segera berangkat ke sana.
"dan Bayisan itu, apa maksudnya dengan pernyataannya bahwa ia hendak
menolong Kam‐goanswe pula?"
"Kami tidak tahu jelas karena ia seorang yang berhati palsu. Akan tetapi kami
dapat menduganya, Li‐hiap. Bukan tak mungkin bahwa dia pun seorang
kepercayaan Kerajaan Khitan yang juga ingin sekali mempergunakan tenaga
dan pikiran Kam‐goanswe dalam soal ilmu perang. Bangsa Khitan sendiri
sudah berkali‐kali mengalami kekalahan apabila berhadapan dengan
pasukan yang dipimpin Kam‐goanswe."
"Baik, terima kasih, Sin‐tung Sam‐kai. Sekarang perkenankan aku pergi, aku
hendak menyelidiki ke Kai‐feng."
"Berhati‐hatilah, Li‐hiap. Dalam masa perebutan kekuasaan ini, raja‐raja
muda banyak menarik tenaga orang‐orang pandai yang tentu akan berlomba
merampas seorang penting seperti Kam‐goanswe."
PART 209
Dengan tergesa‐gesa karena masih saja hatinya mengkhawatirkan nasib
jenderal muda she Kam itu, Liu Lu Sian segera meninggalkan kota Poki,
kembali ke dusun keluar kota untuk mengambil kudanya, kemudian ia
membalapkan kuda itu ke timur‐laut, menuju ke kota raja dari Kerajaan
Liang.
Apa yang diceritakan secara singkat oleh Sin‐tung Sam‐kai tiga orang
pimpinan perkumpulan jembel Wei‐ho‐kai‐pang itu memang benar.
Perebutan kekuasaan di antara para bekas pembesar tinggi Kerajaan Tang,
para bekas pangeran dan raja muda yang mengangkat diri sendiri setelah
Kerajaan Tang roboh, benar‐benar membuat rakyat amat menderita. Rakyat
yang tidak tahu apa‐apa, yang lemah dan miskin, selalu yang menjadi korban
tiap kali terjadi perang dan keributan. Pemuda‐pemudanya dipaksa menjadi
tentara, hasil sawah ladangnya dirampasi, pajaknya diperberat secara paksa,
gadis‐gadisnya yang muda dan cantik diambil secara paksa untuk menghibur
pasukan‐pasukan yang lewat.
Akan tetapi, mereka yang tergolong orang‐orang pandai, ahli silat dan ahli
perang, bermunculan dan keadaan keruh seperti itulah merupakan masa jaya
bagi mereka. Inilah masanya bagi para perampok untuk beraksi tanpa takut
dihancurkan petugas keamanan karena orang lebih meributkan mencari
kedudukan daripada menjaga keamanan rakyat. Masanya bagi yang kuat
menindas yang lemah. Masanya pula bagi orang‐orang sakti yang di masa
aman tenteram pergi ke guha‐guha, ke puncak‐puncak gunung, ke tepi‐tepi
laut untuk bertapa, untuk turun gunung masuk kota raja untuk menawarkan
kepandaian mencari jasa dan kedudukan mulia ! Dan memang para raja
muda yang mempunyai cita‐cita mengangkat diri menjadi raja besar, amat
membutuhkan tenaga orang‐orang sakti ini. Tidak peduli si orang sakti itu
terdiri daripada golongan hitam maupun putih, penjahat maupun pendeta,
asal sakti dan tenaganya dapat dipergunakan, tentu oleh si pangeran atau
raja muda akan diterima penuh kegembiraan, dihujani hadiah emas permata,
pakaian indah, makanan lezat, atau wanita cantik.
Memang menurut sejarah, jaman Lima Wangsa selama setengah abad ini,
adalah jaman yang paling keruh dan penuh dengan perang antara saudara.
Semenjak Kerajaan Tang jatuh dalam tahun 907, disusul dengan perebutan
kekuasaan yang memecah‐mecah bangsa. Dunia kang‐ouw terpecah‐belah
pula, karena masing‐masing membela yang mempergunakan mereka. Tidak
jarang terjadi bentrokan hebat antara perkumpulan‐perkumpulan orang
gagah. Bahkan parai‐partai persilatan besar, kelenteng‐kelenteng besar yang
mempunyai banyak anak murid banyak yang terseret‐seret.
PART 210
Dalam perjalanannya mencari Kam Si Ek menuju ke ibu kota Kai‐feng yang
berada di lembah selatan Sungai Kuning, Liu Lu Sian banyak sekali melihat
pertempuran‐pertempuran dan banyak penderitaan para pengungsi ! Namun
karena ia sendiri mempunyai urusan penting yang amat menggoda hatinya,
maka ia sengaja menjauhkan diri dari semua halangan, tidak mau melayani
urusan kecil yang akan memperlambat perjalanannya dan tidak
mempedulikan pula penderitaan para pengungsi yang amat menyedihkan itu.
Akan tetapi, pada suatu hari, ia tertarik juga akan sesuatu peristiwa dan
terpaksa menunda perjalanannya untuk menyaksikan peristiwa itu.
Pagi hari itu, ketika Lu Sian menunggangi kudanya melalui jalan sunyi yang
rusak oleh air hujan, tiba‐tiba ia mendengar suara jeritan yang sambung
menyambung. Suara seperti ini sudah biasa ia dengar. Tentu wanita yang
diculik pasukan tentara, atau diganggu orang jahat, pikirnya tanpa mau
mempedulikannya. Akan tetapi pekik itu tidak hanya jerit wanita, bahkan
pula teriakan laki‐laki yang agaknya menghadapi maut. Ini pun tidak menarik
perhatian Lu Sian. Tiba‐tiba ia menghentikan kudanya dengan menahan
kendali. Telinganya mendengar bersiutnya angin yang aneh. Itulah hawa
pukulan yang luar biasa, pikirnya. Tentu ada orang sakti yang bertempur di
sana. Sebagai seorang ahli silat, hal ini amat menarik hatinya dan ia segera
meloncat turun dari kudanya, membiarkan kudanya makan rumput di situ
lalu ia sendiri berlari memasuki dusun itu, menyelinap di antara pohon dan
semak‐semak.
Ia melihat seorang kakek yang rambutnya riap‐riapan, akan tetapi
pakaiannya biarpun kotor berdebu terbuat daripada bahan sutera yang
mahal, mukanya keruh pandang matanya kejam, alisnya berkerut seperti
orang marah. Kakek ini duduk di atas sebuah batu besar di pinggir jalan,
kedua kakinya bersila dan kelihatan lemas. Di dekat batu besar itu tampak
sebuah dipan bambu yang biasa digunakan orang untuk mengangkut orangorang
sakit, dan dua orang pemanggulnya kini berada di belakang kakek itu,
seorang duduk mengipasi lehernya yang berkeringat dan yang seorang lagi
berdiri sambil bertolak pinggang mengikuti gerakan kakek tadi. Melihat
wajah dua orang itu yang bodoh, mereka itu agaknya hanya tukang panggul
dipan itu yang hanya bertenaga besar.
Yang amat menarik perhatian Lu Sian adalah di sekeliling tempat duduk
kakek itu, di mana tampak belasan mayat bergelimpangan. Mereka itu tidak
kelihatan terluka dan di dekat mereka banyak senjata malang melintang,
PART 210
Dalam perjalanannya mencari Kam Si Ek menuju ke ibu kota Kai‐feng yang
berada di lembah selatan Sungai Kuning, Liu Lu Sian banyak sekali melihat
pertempuran‐pertempuran dan banyak penderitaan para pengungsi ! Namun
karena ia sendiri mempunyai urusan penting yang amat menggoda hatinya,
maka ia sengaja menjauhkan diri dari semua halangan, tidak mau melayani
urusan kecil yang akan memperlambat perjalanannya dan tidak
mempedulikan pula penderitaan para pengungsi yang amat menyedihkan itu.
Akan tetapi, pada suatu hari, ia tertarik juga akan sesuatu peristiwa dan
terpaksa menunda perjalanannya untuk menyaksikan peristiwa itu.
Pagi hari itu, ketika Lu Sian menunggangi kudanya melalui jalan sunyi yang
rusak oleh air hujan, tiba‐tiba ia mendengar suara jeritan yang sambung
menyambung. Suara seperti ini sudah biasa ia dengar. Tentu wanita yang
diculik pasukan tentara, atau diganggu orang jahat, pikirnya tanpa mau
mempedulikannya. Akan tetapi pekik itu tidak hanya jerit wanita, bahkan
pula teriakan laki‐laki yang agaknya menghadapi maut. Ini pun tidak menarik
perhatian Lu Sian. Tiba‐tiba ia menghentikan kudanya dengan menahan
kendali. Telinganya mendengar bersiutnya angin yang aneh. Itulah hawa
pukulan yang luar biasa, pikirnya. Tentu ada orang sakti yang bertempur di
sana. Sebagai seorang ahli silat, hal ini amat menarik hatinya dan ia segera
meloncat turun dari kudanya, membiarkan kudanya makan rumput di situ
lalu ia sendiri berlari memasuki dusun itu, menyelinap di antara pohon dan
semak‐semak.
Ia melihat seorang kakek yang rambutnya riap‐riapan, akan tetapi
pakaiannya biarpun kotor berdebu terbuat daripada bahan sutera yang
mahal, mukanya keruh pandang matanya kejam, alisnya berkerut seperti
orang marah. Kakek ini duduk di atas sebuah batu besar di pinggir jalan,
kedua kakinya bersila dan kelihatan lemas. Di dekat batu besar itu tampak
sebuah dipan bambu yang biasa digunakan orang untuk mengangkut orangorang
sakit, dan dua orang pemanggulnya kini berada di belakang kakek itu,
seorang duduk mengipasi lehernya yang berkeringat dan yang seorang lagi
berdiri sambil bertolak pinggang mengikuti gerakan kakek tadi. Melihat
wajah dua orang itu yang bodoh, mereka itu agaknya hanya tukang panggul
dipan itu yang hanya bertenaga besar.
Yang amat menarik perhatian Lu Sian adalah di sekeliling tempat duduk
kakek itu, di mana tampak belasan mayat bergelimpangan. Mereka itu tidak
kelihatan terluka dan di dekat mereka banyak senjata malang melintang,
PART 211
bahkan di antara mayat itu ada yang masih memegang pedang. Akan tetapi
semua mayat itu mengeluarkan darah dari mulut, hidung, mata dan telinga !
Di antaranya terdapat pula wanita‐wanita yang agaknya hanya wanita biasa,
mungkin para pengungsi karena di sana‐sini kelihatan buntalan‐buntalan
pakaian.
Pada saat itu, datang pula serombongan pengungsi, di depannya berjalan dua
orang laki‐laki muda dan seorang gadis tanggung. Melihat gerakan mereka,
dapat diduga bahwa dua orang pemuda itu memiliki kepandaian silat, bahkan
yang seorang sudah memegang sebatang pedang telanjang. Para pengungsi
laki‐laki dan perempuan dan yang jumlahnya dua puluh orang lebih, berjalan
di belakang tiga orang muda itu dengan mata terbelalak lebar
membayangkan kengerian dan ketakutan.
"Mana dia ? Mana kakek gila yang jahat dan membunuhi pengungsi itu?"
bentak pemuda yang memegang pedang.
Para pengungsi yang berada di belakangnya dengan muka pucat menuding
ke arah kakek yang sedang duduk tenang di atas batu sambil berkata, "Itu
dia, iblis tua itu..."
Si Pemuda bersama dua orang temannya tercengang, seperti tidak percaya.
Pemuda berpedang melangkah maju. "Dia ini...? Kakek lumpuh...?"
Kakek itu membuka matanya yang tadinya seperti selalu ditutup,
memandang tiga orang muda dengan penuh perhatian, lalu dengan suara
malas bertanya.
"Kalian juga mengungsi ? Apakah hendak tunduk kepada Kerajaan
pemberontak Liang?"
"Kakek iblis ! Orang‐orang ini mengungsi menyelamatkan diri dari ancaman
perang, mengapa kau bunuh mereka ? Siapa kau?" bentak pemuda
berpedang.
PART 212
"Jawab ! Kalian hendak mengungsi dan tunduk kepada pemberontak Liang?"
"Kami tunduk kepada pemerintah yang mana, peduli apa denganmu?"
"Hemm, kalian tidak setia kepada Kerajaan Tang, maka harus mati juga."
"Kakek gila ! Kau... kau pembunuh kejam, kau harus dienyahkan..." Pemuda
itu menerjang maju dengan pedang digerakkan, akan tetapi dengan kakek itu
menggerakkan tangan kirinya, didorongkan dengan jari tangan terbuka.
Bagaikan sehelai daun kering tertiup angin, pemuda berpedang itu terangkat
dan terlempar ke belakang, menjerit dan roboh dengan pedang di tangan,
dari mulut, hidung, mata dan telinganya keluar darah. Gadis tanggung itu
menubruknya dan menangis ketika menyaksikan bahwa kakaknya itu
ternyata telah tewas !
"Siluman keji...!" Pemuda ke dua marah sekali, lupa akan bahaya dan
melompat ke depan, kedua tangannya bergerak memukul.
Si kakek tetap tenang, kembali tangan kirinya terangkat dan... pemuda kedua
itu mengalami nasib sama. Tubuhnya terangkat dan terlempar lalu
terbanting ke bawah, tewas dalam keadaan mengerikan ! Kakek itu tidak
berhenti sampai di situ, ia menggerakkan tangannya pula dan kini gadis
tanggung yang menangis itu bagaikan kena hantam kepalanya oleh palu
godam, terjengkang dan tewas, juga berdarah dari mulut, hidung, mata dan
telinganya !
Melihat ini, para pengungsi itu lari seperti dikejar ***** dan keadaan di situ
sunyi kembali. Lu Sian bergidik. Hebat kakek ini. Pukulan jarak jauh
membayangkan tenaga sin‐kang yang luar biasa. Lu Sian bersembunyi dan
mengintai terus. Dari jauh datang lagi rombongan pengungsi baru, terdiri
dari sebelas orang. Mereka itu terkejut ketika melihat mayat bergelimpangan
di pinggir jalan, akan tetapi mereka tidak menaruh curiga kepada Si Kakek
Lumpuh.
PART 213
"Apa yang terjadi ? Lopek, apakah yang terjadi di sini ? Mengapa begini
banyak orang mati..." Seorang di antara rombongan pengungsi itu bertanya.
Dengan gerakan perlahan, kakek itu menoleh, menyapu para pengungsi yang
terdiri dari dua keluarga itu dengan pandang mata dingin. "Kalian hendak
mengungsi ke daerah Kerajaan Liang?"
"Tidak." Jawab orang itu, "Kami mencari daerah tak bertuan, lebih baik hidup
di gunung‐gunung di mana terdapat ketentraman."
"Hemm, kalian tidak senang dengan pemberontak Liang?"
"Ah, semenjak runtuhnya Kerajaan Tang, kami tidak pernah mengalami
ketenteraman lagi. Mana ada pemerintah yang menyenangkan sekarang ini,
biarpun banyak hidup kerajaan‐kerajaan baru?"
Tiba‐tiba kakek itu tertawa bergelak, tangannya merogoh saku baju dan ia
melemparkan sekantung uang perak. "Terimalah ini, berangkatlah dan
memang lebih baik kalian mengungsi ke gunung‐gunung. Selamat jalan!"
Orang itu terkejut dan bingung, pandang matanya menaruh curiga. Pasti ada
hubungannya keadaan kakek aneh ini dengan kematian begitu banyak orang.
Setelah menghaturkan terima kasih, ia tergesa‐gesa membawa keluarganya
meninggalkan tempat itu.
Setelah rombongan ini pergi, sampai sore hari, hanya serombongan
pengungsi lagi yang lewat di situ, terdiri dari belasan orang yang
kesemuanya, dari anak bayi sampai kakek‐kakek, dibunuh oleh kakek
lumpuh ini karena mereka itu semua hendak mengungsi ke kota raja Liang,
yaitu kota Lok‐yang ! Bertumpuk‐tumpuk mayat pengungsi di tempat itu, dan
Si Kakek Lumpuh lalu pergi dari situ, duduk di atas pikulan yang berupa
dipan bambu digotong dua orang pemikulnya.
PART 214
Liu Lu Sian adalah puteri ketua Beng‐kauw. Semenjak kecil gadis ini
berdekatan dengan orang kang‐ouw yang sakti dan aneh, tidak heran pula
melihat kekejaman‐kekejaman dilakukan orang. Ayahnya dan para pimpinan
Beng‐kauw juga merupakan orang‐orang aneh yang dapat membunuh orang
lain begitu saja tanpa berkedip. Akan tetapi kini menyaksikan kakek lumpuh
yang membunuh para pengungsi tanpa pilih bulu, laki perempuan tua muda,
sampai bayi dibunuh hanya karena mereka hendak mengungsi ke Lok‐yang,
benar‐benar menjadi kaget dan bergidik. Bukan main kejamnya kakek
lumpuh ini, pikirnya. Biarpun urusannya itu tiada tiada sangkut‐pautnya
dengan dirinya, namun ia sudah merasa tertarik untuk mengikuti kakek
lumpuh itu, dan kalau perlu ia hendak turun tangan mencoba‐coba
kehebatan Si Kakek Lumpuh yang ia percaya tentu mempunyai kepandaian
tinggi sekali.
Kakek itu bermalam di sebuah gubuk rusak di pinggir sawah, dilayani oleh
kedua orang pemikulnya. Betapa herannya hati Lu Sian ketika kakek itu
mengeluarkan sekantung uang emas, memberikan kepada kedua pemikulnya
sambil berpesan agar besok kedua orang itu mencarikan sebuah kereta dan
kuda yang baik untuknya. "Aku hendak melakukan perjalanan jauh ke
selatan, kalian mana kuat memikul aku terus?" demikian katanya dengan
suara perlahan akan tetapi berpengaruh sedangkan kalimatnya teratur baik
seperti ucapan seorang pembesar atau bangsawan. Dua orang pemikul itu
tidak banyak cakap, akan tetapi meraka itu memperlihatkan sikap
menghormat sekali, menyanggupi dan menyebut paduka kepada kakek itu,
kadang‐kadang menyebut Ong‐ya atau Taijin.
Malam itu bulan bersinar penuh,Lu Sian masih mengintai di sekitar tempat
itu ketika ia malihat berkelebatnya bayangan yang gerakannya cepat bukan
main. Tahu‐tahu bayangan itu sudah tiba di depan gubuk di mana Si Kakek
Lumpuh berada, dan terdengar suara erang laki‐laki yang parau tetapi
nyaring.
"Hee, Couw Pa Ong ! Kau terkenal dengan julukan Sin‐jiu (Tangan Sakti),
apakah tangan saktimu itu hanya untuk membunuhi rakyat tidak berdosa ?
Sin‐jiu Couw Pa Ong, kalau ada kepandaian, keluarlah!"
Terdengar suara tertawa mengejek dari dalam gubuk. Couw Pa Ong Si Raja
Muda sudah lenyap bersama lenyapnya Kerajaan Tang yang besar ! Akan
tetapi aku Si Tua Bangka Kong Lo Sengjin akan membunuh setiap orang yang
tidak setia kepada Dinasti Tang. Orang usilan, kau siapa?"
Last edited by jkt-Alexis4Play; 13-04-15 at 13:00.
PART 215
Orang di luar itu tertawa juga, "Ha‐ha‐ha, Couw Pa Ong ! Setelah kau kalah
dan remuk kedua kakimu, kau merasa malu dengan kekelahanmu sehingga
kau mengganti nama ? Ha‐ha‐ha, sungguh lucu ! Biarpun mengganti nama
seribu kali, siapa tidak akan mengenal Sin‐jiu Couw Pa Ong yang besar
namanya akan tetapi kini sudah bangkrut dan lumpuh ? Pinceng Houw Hwat
Hwesio dari Siauw‐lim‐si, tidak akan mendiamkan saja melihat kau bertindak
sewenang‐wenang!"
Dari dalam gubuk terdengar suara meludah. "Cuhhh ! Segala macam pendeta
! Kau selalu hanya membantu yang menang, untuk yang kuat memberi
sumbangan, untuk orang‐orang kaya dan orang‐orang segolongan. He,
pendeta tengik ! Selama kau menjadi pendeta pernahkah kau berdoa untuk si
miskin jembel kelaparan ? Pernahkah kau berdoa untuk si jahat agar kembali
ke jalan yang benar ? Pernah kau membantu untuk pelaksanaan doa‐doamu
dengan perbuatan nyata ? Apa jasamu untuk negara dan bangsa ? Apakah
orang‐orang menjadi baik setelah kau setiap hari bersembahyang?"
"Cukup ! Kau bekas raja muda memang terkenal jahat, tidak mengenal
Thian!" Si Hwesio marah, memutar toya (tongkat panjang) dan mendekati
pintu gubuk.
"Ha‐ha‐ha‐ha ! Apakah tandanya orang mengenal Tuhan ? Hanya karena
gerak bibir dan goyang lidah cukup menjadi tanda mengenal Tuhan ? Dengar,
pendeta tengik, orang bisa saja mengenal Tuhan tanpa mempedulikan
perilaku kebajikan, akan tetapi tak mungkin orang mengabdi kebajikan tanpa
mengenal Tuhan! Perbuatan nyata yang menjadi ukuran, bukan gerak bibir
dan goyang lidah!"
"Apa perbuatanmu baik ? Ihhh, manusia yang sudah gelap hatinya ! Kalau
pinceng (aku) tidak turun tangan menghukummu mewakili Thian, kau tentu
akan makin merajalela!" Setelah berkata demikian, hwesio itu berkelebat
memasuki pintu gubuk.
Liu Lu Sian memandang penuh perhatian. Gerakan hwesio cukup hebat dan
ia pikir tentu kakek lumpuh itu akan menghadapi lawan tangguh. Akan tetapi
setelah hwesio itu menerobos masuk, ia hanya mendengar suara ketawa Si
PART 216
Kakek Lumpuh, dibarengi suara "krakkk!" dan disusul melayangnya tubuh
hwesio itu keluar gubuk bersama toyanya yang sudah patah‐patah menjadi
tiga potong ! Akan tetapi hwesio itu bukan terlempar melainkan melompat
keluar. Agaknya ia gentar dan juga marah.
"Couw Pa Ong orang buronan (pelarian)! Pinceng datang memang bukan
untuk melawanmu seorang diri, akan tetapi hendak menyampaikan
tantangan ! Kalau memang gagah, datanglah di tepi sungai, kami Wei‐ho Sieng
(Empat Orang Gagah Sungai Wei‐ho) menantimu malam ini juga!"
"Ha‐ha‐ha ! Aku Kong Lo Sengjin mana kenal segala cacing tanah yang
bernama Wei‐ho Si‐eng segala ? Akan tetapi jangan kira karena kedua kakiku
lumpuh, kalian empat ekor cacing tanah dapat menghinaku. Kalian tentulah
empat orang pengkhianat dan penjilat Kerajaan Liang, harus kubunuh.
Kautunggulah, sekarang juga aku datang memenuhi tantanganmu!"
Hwesio itu meleset pergi dengan gerakan cepat sekali. Liu Sian makin
tertarik. Ia sudah mendengar dari ayahnya akan nama Sin‐jiu Couw Pa Ong
yang terhitung seorang diantara tokoh‐tokoh besar di dunian persilatan.
Menurut cerita ayahnya, Couw‐Pa Ong adalah seorang Raja Muda Kerajaan
Tang yang memiliki ilmu silat tinggi sekali, seorang yang mempertahankan
Kerajaan Tang, akan tetapi karena pengeroyokan orang‐orang gagah yang
berusaha menjatuhkan kerajaan itu, ia kalah dan terpukul hancur kedua
kakinya. Semenjak itu orang tidak mendengar lagi namanya dan ia dianggap
sebagai seorang pelarian yang selalu dicari oleh Kerajaan Liang untuk
dibinasakan. Sekarang ia secara kebetulan bertemu dengan tokoh ini,
menyaksikan keganasan yang luar biasa dan juga sebentar lagi ia akan
menyaksikan kelihaian kakek lumpuh ini menghadapi empat orang gagah
yang berjuluk Wei‐ho Si‐eng. Maka ketika ia melihat kakek itu keluar dari
gubuk, duduk di atas dipan bambu dan dipukul dua orang pelayannya, secara
diam‐diam ia mengikuti dari jauh. Tidak berani ia mengikuti terlalu dekat
karena kakek lihai itu berbahaya sekali dan ia tidak mau melibatkan diri
dalam pertandingan yang sama sekali tidak ada sangkut‐pautnya dengan
dirinya. Maka ia malah mendahului larinya dua orang pemikul itu, menuju ke
tepi sungai, ia melihat empat orang sudah menanti musuh. Ia memperhatikan
mereka.
Di bawah sinar bulan yang penuh dan terang, ia melihat seorang hwesio
setengah tua, yang ia duga tentulah hwesio yang tadi dipatahkan toyanya
oleh Si Kakek Lumpuh. Hwesio ini bertangan kosong, akan tetapi melihat
PART 217
bentuk tubuhnya yang tegap, dapat dibayangkan bahwa tanpa toya, hwesio
bernama Houw Hwat Hwesio murid Siauw‐lim‐pai ini tentulah seorang
lawan yang cukup tangguh. Orang ke dua adalah seorang laki‐laki berusia
tiga puluh tahun lebih, memegang sebatang tongkat baja, berdiri tegak
memandang ke depan. Orang ke tiga adalah seorang tosu (pendeta To) yang
tidak memegang senjata apa‐apa, akan tetapi pinggangnya terlibat sebuah
cambuk hitam. Adapun orang ke empat adalah seorang wanita berusia empat
puluh tahun, di punggungnya terselip sebatang pedang. Mereka berempat
berdiri dengan sikap tegang dan memandang ke depan, menanti datangnya
musuh mereka yang lihai, yang akan muncul dari arah timur.
Lu Sian juga memandang ke arah itu. Dan tak lama kemudian, di bawah sinar
bulan yang mencorong yang merupakan bola api merah bulat di sebelah
timur, muncullah dua orang pemikul itu, berjalan dengan langkah lebar
setengah berlari. Kakek lumpuh itu bersila di atas dipan bambu, rambutnya
sebagian besar menutupi muka, menyembunyikan sepasang matanya yang
bersinar‐sinar seperti mata harimau. Suasana menjadi tegang sekali, dan ini
terasa oleh Liu Lu Sian yang sudah merasa gembira karena sebentar lagi ia
akan menyaksikan pertandingan hebat. "Berhenti!" Kakek lumpuh
mengomando dan kedua orang pemikul itu berhenti pada jarak dua puluh
meter dari keempat orang yang sudah siap itu. Tiba‐tiba pikulan itu berikut
dipan bambu dan kakek lumpuh, terlempar ke atas, melayang ke depan dan
turun ke atas tanah di depan empat orang musuh, turun tanpa suara dan
tanpa menimbulkan debu seakan‐akan sehelai daun kering melayang turun
dari pohon. Bukan main hebatnya gin‐kang (ilmu meringankan tubuh) yang
diperlihatkan kakek lumpuh itu !
Dua orang pemikul lau berjongkok dan sikap mereka tidak peduli. Agaknya
sudah terlalu sering mereka ini melihat tuan mereka bertempur atau
membunuh orang. Memang selama belasan tahun ini setelah Kerajaan Tang
roboh, Sin‐jiu Couw Pa Ong yang sudah mengganti namanya menjadi Kong Lo
Sengjin, kerjanya hanyalah mencari perkara dan membunuhi orang‐orang
yang dianggapnya tidak setia kepada Kerajaan Tang yang sudah roboh.
Dalam kecewanya dan sakit hatinya karena kedua kakinya lumpuh, kakek ini
menjadi seperti tidak normal lagi pikirannya, menjadikan ia ganas kejam dan
gila‐gilaan !
"Nah, kalian menentangku, aku sudah datang. Majulah!" dengan sikap tenang
saja, masih bersila, kedua tangannya diletakkan di atas paha, kakek itu
menantang.
PART 218
Hwesio itu mewakili teman‐temannya menjawab setelah melangkah maju
setindak, "Couw Pa Oag, sebelum kami turun tangan terhadapmu, baiklah kau
ketahui lebih dulu bahwa kami bukanlah orang‐orang yang tidak tahu bahwa
kau seorang bekas raja muda yang setia terhadap rajamu, dan di samping itu
seorang yang terkenal di dunia kang‐ouw. Kalau kau membunuhi musuhmusuhmu
atau membunuhi orang‐orang yang kau anggap telah menghianati
Kerajaan Tang, itu pinceng dan adik‐adik pinceng ini tidak akan ambil peduli.
Akan tetapi secara kejam kau membunuhi para pengungsi hanya karena
mereka hendak mengungsi ke daerah Kerajaan Liang, hal ini amatlah keji dan
bukan hanya kami, melainkan semua orang gagah tentu akan menentangmu.
Kami berempat sudah mengangkat saudara, bersumpah hendak membasmi
kejahatan. Pinceng Houw Hwat hwesio murid dari Siauw‐lim‐pai, Toheng ini
Liong Sin Cu seorang tosu dari Kun‐lun‐pai, dia itu Bun‐tanio dari Hoa‐sanpai
beserta Lu Tek Gu adik seperguruannya. Kaulihat kami adalah muridmurid
partai besar, selalu mentaati perintah perguruan untuk membasmi
kejahatan..."
"Cukup ! Ha‐ha‐ha, hwesio mentah ! Kau perlu apa berpidato di depanku ?
Kau tahu apa ? Dengan membunuhi para pengungsi itu, aku telah berbuat
kebaikan terhadap mereka. Pertama, mereka mengungsi ke daerah
pemerintah pemberontakan Liang, sama dengan mencari kesengsaraan,
maka aku bebaskan mereka sehingga tidak usah menghadapi bencana. Ke
dua, mereka itu mudah melupakan pemberontakan Cu Bun yang merebut
tahta kerajaan, berarti mereka itu lemah dan pengecut, tidak setia. Apa
harganya untuk hidup lebih lama lagi!"
"Benar‐benar alasan yang bocengli (tak pakai aturan), seenak perutnya
sendiri!" bentak Lo Tek Gu si murid Hoa‐san‐pai yang memegang tongkat.
"Mari kita hajar tua bangka keji ini!"
Liu Lu Sian yang menonton sambil sembunyi, diam‐diam merasa gembira
dan kagum terhadap Kong Lo Sengjin Si Kakek Lumpuh. Lihai ilmu silatnya,
lihai pula kata‐katanya, aneh dan juga terlalu sekali ! Ia mengharapkan
pertandingan yang ramai sehingga tidak percuma ia mengintai dan mengikuti
kakek itu sampai sehari lamanya, apalagi kalau diingat bahwa empat orang
pengeroyok ini adalah murid‐murid partai persilatan besar, Siauw‐lim‐pai,
Kun‐lun‐pai, dan Hoa‐san‐pai ! Tiga buah partai besar yang sering disebutsebut
ayahnya dan dikagumi.
PART 219
Mula‐mula memang empat orang itu bergerak dengan cepat dan indah sekali
mengurung Si Kakek Lumpuh. Hwesio Siauw‐lim‐pai itu yang telah
kehilangan toya, kini mematahkan dahan pohon dan memutar‐mutar dahan
ini dengan tenaga besar menimbulkan angin berderu, Tosu dari Kun‐lun‐pai
yang bernama Liong Sun Cu itu pun meloloskan cambuknya dan terdengar
bunyi keras seperti petir menyambar di atas kepala. Sungguhpun tidak
sehebat paman gurunya, Kauw Bian, permaianan cambuk itu, namun Lu Sian
mengagumi keindahannya. Adapun kakak beradikseperguruan dari Hoa‐sanpai,
juga tidak kalah hebatnya. Permainan pedang wanita itu amat cepat,
pedangnya lenyap berubah sinar pedang bergulung‐gulung, sedangkan
tongkat sutenya juga bergerak‐gerak laksana seekor naga mengamuk.
Akan tetapi segera Lu Sian kecewa. Entah empat orang itu hanya memiliki
gerakan ilmu silat indah yang kosong saja, ataukah Si Kakek Lumpuh yang
terlalu ampuh bagi mereka ? Disambar empat macam senjata dari empat
penjuru, tubuh bagian atas kakek itu hanya bergerak‐gerak seperti batang
padi tertiup angin pukulannya menyeleweng ke kanan ke kiri. Tiba‐tiba
terdengar kakek itu tertawa bergelak, tubuhnya yang masih bersila itu tahutahu
sudah melayang ke atas kemudian menyambar ke arah Houw Hwat
Hwesio. Hwesio Siauw‐lim‐pai ini kaget sekali, cepat ia menyambut dengan
sodokan toyanya ke arah ulu hati. Kong Lo Sengjin menangkap toya itu
berbareng tangan kirinya menampar dilanjutkan dengan tangan kanan yang
menangkap toya mendorong keras. Houw Hwat Hwesio berteriak sekali dan
tubuhnya sudah terlempar ke bawah. Terdengar air muncrat dan tampaklah
tubuh hwesio itu terapung‐apung seperti sebatang balok hanyut !
"Siluman tua, berani kau membunuh saudara kami?" bentak Liong Sun Cu si
tosu Kun‐lun‐pai. Cambuknya menyambar‐nyambar dengan suara keras.
Karena kakek tua itu kini sudah duduk bersila lagi di atas bambu setelah tadi
menyerang Houw Hwat Hwesio, maka cambuk Liong Sun Cu menyambar ke
bawah, ke arah kepalanya. Bun‐toanio yang juga marah, menerjang dengan
tusukan pedang dari belakang, mengarah punggungnya, sedangkan Lu Tek
Gu menghantamkan tonkatnya ke arah pundak kiri.
Kong Lo Sengjin kembali mengeluarkan suara ketawa keras. Ia membiarkan
cambuk itu mengenai kepalanya. Ujung cambuk menghantam kepalanya
terus melibat, akan tetapi ketika tosu Kun‐lun‐pai yang kegirangan melihat
hasil serangannya itu hendak menarik kembali cambuknya, ia kaget setengah
mati karena cambuknya seakan‐akan telah tumbuh akar di kepala kakek itu,
tak dapat ditarik kembali ! Pedang yang menusuk punggung dan tongkat
yang menghantam pundak juga tidak ditangkis, akan tetapi pedang dan
PART 220
tongkat meleset hanya merobek baju saja, seakan‐akan yang diserang adalah
baja yang keras dan licin sekali. Selagi tiga orang pengeroyoknya kaget, kakek
itu sudah menyambar cambuk dan tubuhnya kembali mencelat ke atas.
Kedua tangannya bergerak, cepat sekali sehingga sukar diikuti dengan
pandang mata, menampar tiga kali ke arah kepala para pengeroyoknya,
sambil menampar, ia terus mencengkram dan melempar. Hanya jerit tiga kali
terdengar dan tampaklah tiga orang gagah itu berturut‐turut melayang dari
atas tebing, jatuh ke dalam sungai dan tubuh mereka terapung‐apung seperti
ikan‐ikan mati, hanyut mengikuti mayat Houw Hwat Hwesio !
Dua orang pemikul itu kini menghampiri Si Kakek Lumpuh. Mereka itu
dengan wajah takut sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.
Seorang yang lebih tua berkata. "Ong‐ya, hamba berdua mohon pembebasan,
sampai di sini saja hamba berdua dapat melayani Ong‐ya, harap beri
perkenan kepada kami untuk mengambil jalan sendiri."
Kong Lo Sengjin memandang mereka dan diam‐diam Liu Lu Sian sudah
menduga bahwa dua orang pemikul itu tentu akan mampus di tangan kakek
sakti itu !
"Hemm, kenapa ? Apakah kalian takut?"
"Sesungguhnya, Ong‐ya, hamba berdua takut menyaksikan sepak terjang
Ong‐ya yang mudah dan suka membunuh orang banyak, Ong‐ya
berkepandaian tinggi, tentu saja tidak takut menghadapi pembalasan
mereka, akan tetapi hamba berdua yang bodoh, mana dapat melindungi diri
sendiri kalau kelak orang‐orang gagah datang kepada kami?"
"Hemm, apakah kalian juga hendak menakluk kepada pemerintah
pemberontak?" pertanyaan ini dilakukan dengan suara penuh ancaman.
"Ahh, bagaimana Ong‐ya masih dapat menyangsikan kami ? Tidak sudi kami
menjadi ****** penjilat mengekor kepada raja pemberontak ! Hamba berdua
malah akan masuk hutan menjadi perampok, mengacaukan wilayah kerajaan
Liang!"
Share This Thread