Page 15 of 16 FirstFirst ... 5111213141516 LastLast
Results 211 to 225 of 229

Thread: 2. suling emas

http://idgs.in/730827
  1. #211

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 207
    ancaman bangsa liar dari utara, juga Kerajaan Liang harus menghadapi
    ancaman yang tidak kalah hebatnya dari bangsa sendiri yang
    memperebutkan kekuasaan setelah Kerajaan Tang roboh. Kam‐goanswe
    terkenal sebagai seorang jenderal yang jujur, setia dan pengetahuannya akan
    ilmu perang amat terkenal. Inilah sebabnya Kerajaan Liang ingin sekali
    mempergunakan tenaganya dan cara satu‐satunya hanya menculiknya
    karena Jenderal Kam tidak pernah mau mengakui kedaulatan kerajaankerajaan
    baru yang banyak muncul setelah Kerajaan Tang jatuh. Dia seorang
    pahlawan sejati, seorang patriot yang betul‐betul hanya mementingkan
    negara dan rakyat, sama sekali tidak meributkan soal kedudukan dan
    kemuliaan pribadi."
    Lu Sian biasanya tidak peduli akan keadaan negara. Kini ia tertarik sekali dan
    makin kagumlah ia terhadap Kam Si Ek, amat senang hatinya mendengar
    nama pemuda pilihan hatinya itu dipuji‐puji. Dengan penuh perhatian ia
    mendengarkan cerita tiga orang pengemis itu, cerita tentang keadaan negara
    yang biasanya ia takkan suka mempedulikannya.
    Menurut cerita Sin‐tung Sam‐kai, semenjak Kerajaan Tang roboh pada tahun
    907 oleh pemberontakan Gubernur Ho‐nan yang bernama Cu Bun yang
    kemudian mendirikan kerajaan baru yang disebut Kerajaan Liang, maka
    keadaan tidak pernah aman. Perang terjadi dimana‐mana, perebutan
    kekuasaan terjadi. Para pejabat tinggi bekas Kerajaan Tang mengangkat diri
    sendiri menjadi raja muda dan sebagian besar tidak mau tunduk kepada raja
    baru itu. Sementara itu, ancaman dari utara dan barat masih terus datang
    sehingga keadaan makin kacau balau. Banyak pula bekas pejabat tinggi
    Kerajaan Tang yang masih setia dan mereka ini pun menggunakan pelbagai
    usaha untuk mendirikan kembali kerajaan yang sudah jatuh.
    "Sehari setelah Kam‐goanswe dibawa pergi oleh pasukan Kerajaan Liang, di
    sini muncul Bayisan yang mengaku seorang pendekar sahabat baik Kamgoanswe.
    Dia telah memperlihatkan kepandaiannya sehingga kami percaya
    dan ketika dia minta bantuan kami untuk menyelidiki kemana Kam‐goanswe
    dibawa, kami lalu mengerahkan anak buah kami untuk melakukan
    penyelidikan itu. Akan tetapi, dengan kaget kami mendengar berita dari
    seorang anak buah kami akan kejahatan Bayisan itu di dusun Ki‐san."
    "Apa yang ia lakukan?" "Seorang pencari kayu di hutan pada suatu hari
    mendapatkan Bayisan dalam keadaan pingsan di dalam hutan. Pencari kayu
    she Chie itu menolongnya dan membawanya pulang ke rumah. Akan tetapi
    Last edited by jkt-Alexis4Play; 13-04-15 at 12:49.

  2. Hot Ad
  3. #212

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 208
    apa yang dilakukan jahanam itu sebagai balas budi ini ? Dua hari kemudian ia
    membunuh pencari kayu berikut isterinya dan anak‐anaknya sebanyak tiga
    orang berikut gadis itu sendiri ! Tentu saja kami yang mendengar ini menjadi
    marah sekali dan menyerbu ke sini, kiranya Li‐hiap sudah lebih dulu datang
    menggempurnya. Sayang ia terlalu lihai sehingga kita tak dapat
    membinasakannya!"
    Akan tetapi Lu Sian sama sekali tidak tertarik oleh cerita tentang Bayisan ini,
    maka tanyanya cepat, "Lalu, bagaimana dengan hasil penyelidikan kalian ?
    Kemana dibawanya Kam‐goanswe oleh pasukan itu?"
    "Sudah kami selidiki dan ternyata dibawa ke kota raja, yaitu di ibukota Honan."
    Ke manapun juga akan kukejar, pikir Lu Sian. Ibu kota Ho‐nan yang sekarang
    menjadi kota raja adalah Kai‐feng, dan ia harus segera berangkat ke sana.
    "dan Bayisan itu, apa maksudnya dengan pernyataannya bahwa ia hendak
    menolong Kam‐goanswe pula?"
    "Kami tidak tahu jelas karena ia seorang yang berhati palsu. Akan tetapi kami
    dapat menduganya, Li‐hiap. Bukan tak mungkin bahwa dia pun seorang
    kepercayaan Kerajaan Khitan yang juga ingin sekali mempergunakan tenaga
    dan pikiran Kam‐goanswe dalam soal ilmu perang. Bangsa Khitan sendiri
    sudah berkali‐kali mengalami kekalahan apabila berhadapan dengan
    pasukan yang dipimpin Kam‐goanswe."
    "Baik, terima kasih, Sin‐tung Sam‐kai. Sekarang perkenankan aku pergi, aku
    hendak menyelidiki ke Kai‐feng."
    "Berhati‐hatilah, Li‐hiap. Dalam masa perebutan kekuasaan ini, raja‐raja
    muda banyak menarik tenaga orang‐orang pandai yang tentu akan berlomba
    merampas seorang penting seperti Kam‐goanswe."

  4. #213

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 209
    Dengan tergesa‐gesa karena masih saja hatinya mengkhawatirkan nasib
    jenderal muda she Kam itu, Liu Lu Sian segera meninggalkan kota Poki,
    kembali ke dusun keluar kota untuk mengambil kudanya, kemudian ia
    membalapkan kuda itu ke timur‐laut, menuju ke kota raja dari Kerajaan
    Liang.
    Apa yang diceritakan secara singkat oleh Sin‐tung Sam‐kai tiga orang
    pimpinan perkumpulan jembel Wei‐ho‐kai‐pang itu memang benar.
    Perebutan kekuasaan di antara para bekas pembesar tinggi Kerajaan Tang,
    para bekas pangeran dan raja muda yang mengangkat diri sendiri setelah
    Kerajaan Tang roboh, benar‐benar membuat rakyat amat menderita. Rakyat
    yang tidak tahu apa‐apa, yang lemah dan miskin, selalu yang menjadi korban
    tiap kali terjadi perang dan keributan. Pemuda‐pemudanya dipaksa menjadi
    tentara, hasil sawah ladangnya dirampasi, pajaknya diperberat secara paksa,
    gadis‐gadisnya yang muda dan cantik diambil secara paksa untuk menghibur
    pasukan‐pasukan yang lewat.
    Akan tetapi, mereka yang tergolong orang‐orang pandai, ahli silat dan ahli
    perang, bermunculan dan keadaan keruh seperti itulah merupakan masa jaya
    bagi mereka. Inilah masanya bagi para perampok untuk beraksi tanpa takut
    dihancurkan petugas keamanan karena orang lebih meributkan mencari
    kedudukan daripada menjaga keamanan rakyat. Masanya bagi yang kuat
    menindas yang lemah. Masanya pula bagi orang‐orang sakti yang di masa
    aman tenteram pergi ke guha‐guha, ke puncak‐puncak gunung, ke tepi‐tepi
    laut untuk bertapa, untuk turun gunung masuk kota raja untuk menawarkan
    kepandaian mencari jasa dan kedudukan mulia ! Dan memang para raja
    muda yang mempunyai cita‐cita mengangkat diri menjadi raja besar, amat
    membutuhkan tenaga orang‐orang sakti ini. Tidak peduli si orang sakti itu
    terdiri daripada golongan hitam maupun putih, penjahat maupun pendeta,
    asal sakti dan tenaganya dapat dipergunakan, tentu oleh si pangeran atau
    raja muda akan diterima penuh kegembiraan, dihujani hadiah emas permata,
    pakaian indah, makanan lezat, atau wanita cantik.
    Memang menurut sejarah, jaman Lima Wangsa selama setengah abad ini,
    adalah jaman yang paling keruh dan penuh dengan perang antara saudara.
    Semenjak Kerajaan Tang jatuh dalam tahun 907, disusul dengan perebutan
    kekuasaan yang memecah‐mecah bangsa. Dunia kang‐ouw terpecah‐belah
    pula, karena masing‐masing membela yang mempergunakan mereka. Tidak
    jarang terjadi bentrokan hebat antara perkumpulan‐perkumpulan orang
    gagah. Bahkan parai‐partai persilatan besar, kelenteng‐kelenteng besar yang
    mempunyai banyak anak murid banyak yang terseret‐seret.

  5. #214

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 210
    Dalam perjalanannya mencari Kam Si Ek menuju ke ibu kota Kai‐feng yang
    berada di lembah selatan Sungai Kuning, Liu Lu Sian banyak sekali melihat
    pertempuran‐pertempuran dan banyak penderitaan para pengungsi ! Namun
    karena ia sendiri mempunyai urusan penting yang amat menggoda hatinya,
    maka ia sengaja menjauhkan diri dari semua halangan, tidak mau melayani
    urusan kecil yang akan memperlambat perjalanannya dan tidak
    mempedulikan pula penderitaan para pengungsi yang amat menyedihkan itu.
    Akan tetapi, pada suatu hari, ia tertarik juga akan sesuatu peristiwa dan
    terpaksa menunda perjalanannya untuk menyaksikan peristiwa itu.
    Pagi hari itu, ketika Lu Sian menunggangi kudanya melalui jalan sunyi yang
    rusak oleh air hujan, tiba‐tiba ia mendengar suara jeritan yang sambung
    menyambung. Suara seperti ini sudah biasa ia dengar. Tentu wanita yang
    diculik pasukan tentara, atau diganggu orang jahat, pikirnya tanpa mau
    mempedulikannya. Akan tetapi pekik itu tidak hanya jerit wanita, bahkan
    pula teriakan laki‐laki yang agaknya menghadapi maut. Ini pun tidak menarik
    perhatian Lu Sian. Tiba‐tiba ia menghentikan kudanya dengan menahan
    kendali. Telinganya mendengar bersiutnya angin yang aneh. Itulah hawa
    pukulan yang luar biasa, pikirnya. Tentu ada orang sakti yang bertempur di
    sana. Sebagai seorang ahli silat, hal ini amat menarik hatinya dan ia segera
    meloncat turun dari kudanya, membiarkan kudanya makan rumput di situ
    lalu ia sendiri berlari memasuki dusun itu, menyelinap di antara pohon dan
    semak‐semak.
    Ia melihat seorang kakek yang rambutnya riap‐riapan, akan tetapi
    pakaiannya biarpun kotor berdebu terbuat daripada bahan sutera yang
    mahal, mukanya keruh pandang matanya kejam, alisnya berkerut seperti
    orang marah. Kakek ini duduk di atas sebuah batu besar di pinggir jalan,
    kedua kakinya bersila dan kelihatan lemas. Di dekat batu besar itu tampak
    sebuah dipan bambu yang biasa digunakan orang untuk mengangkut orangorang
    sakit, dan dua orang pemanggulnya kini berada di belakang kakek itu,
    seorang duduk mengipasi lehernya yang berkeringat dan yang seorang lagi
    berdiri sambil bertolak pinggang mengikuti gerakan kakek tadi. Melihat
    wajah dua orang itu yang bodoh, mereka itu agaknya hanya tukang panggul
    dipan itu yang hanya bertenaga besar.
    Yang amat menarik perhatian Lu Sian adalah di sekeliling tempat duduk
    kakek itu, di mana tampak belasan mayat bergelimpangan. Mereka itu tidak
    kelihatan terluka dan di dekat mereka banyak senjata malang melintang,

  6. #215

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 210
    Dalam perjalanannya mencari Kam Si Ek menuju ke ibu kota Kai‐feng yang
    berada di lembah selatan Sungai Kuning, Liu Lu Sian banyak sekali melihat
    pertempuran‐pertempuran dan banyak penderitaan para pengungsi ! Namun
    karena ia sendiri mempunyai urusan penting yang amat menggoda hatinya,
    maka ia sengaja menjauhkan diri dari semua halangan, tidak mau melayani
    urusan kecil yang akan memperlambat perjalanannya dan tidak
    mempedulikan pula penderitaan para pengungsi yang amat menyedihkan itu.
    Akan tetapi, pada suatu hari, ia tertarik juga akan sesuatu peristiwa dan
    terpaksa menunda perjalanannya untuk menyaksikan peristiwa itu.
    Pagi hari itu, ketika Lu Sian menunggangi kudanya melalui jalan sunyi yang
    rusak oleh air hujan, tiba‐tiba ia mendengar suara jeritan yang sambung
    menyambung. Suara seperti ini sudah biasa ia dengar. Tentu wanita yang
    diculik pasukan tentara, atau diganggu orang jahat, pikirnya tanpa mau
    mempedulikannya. Akan tetapi pekik itu tidak hanya jerit wanita, bahkan
    pula teriakan laki‐laki yang agaknya menghadapi maut. Ini pun tidak menarik
    perhatian Lu Sian. Tiba‐tiba ia menghentikan kudanya dengan menahan
    kendali. Telinganya mendengar bersiutnya angin yang aneh. Itulah hawa
    pukulan yang luar biasa, pikirnya. Tentu ada orang sakti yang bertempur di
    sana. Sebagai seorang ahli silat, hal ini amat menarik hatinya dan ia segera
    meloncat turun dari kudanya, membiarkan kudanya makan rumput di situ
    lalu ia sendiri berlari memasuki dusun itu, menyelinap di antara pohon dan
    semak‐semak.
    Ia melihat seorang kakek yang rambutnya riap‐riapan, akan tetapi
    pakaiannya biarpun kotor berdebu terbuat daripada bahan sutera yang
    mahal, mukanya keruh pandang matanya kejam, alisnya berkerut seperti
    orang marah. Kakek ini duduk di atas sebuah batu besar di pinggir jalan,
    kedua kakinya bersila dan kelihatan lemas. Di dekat batu besar itu tampak
    sebuah dipan bambu yang biasa digunakan orang untuk mengangkut orangorang
    sakit, dan dua orang pemanggulnya kini berada di belakang kakek itu,
    seorang duduk mengipasi lehernya yang berkeringat dan yang seorang lagi
    berdiri sambil bertolak pinggang mengikuti gerakan kakek tadi. Melihat
    wajah dua orang itu yang bodoh, mereka itu agaknya hanya tukang panggul
    dipan itu yang hanya bertenaga besar.
    Yang amat menarik perhatian Lu Sian adalah di sekeliling tempat duduk
    kakek itu, di mana tampak belasan mayat bergelimpangan. Mereka itu tidak
    kelihatan terluka dan di dekat mereka banyak senjata malang melintang,

  7. #216

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 211
    bahkan di antara mayat itu ada yang masih memegang pedang. Akan tetapi
    semua mayat itu mengeluarkan darah dari mulut, hidung, mata dan telinga !
    Di antaranya terdapat pula wanita‐wanita yang agaknya hanya wanita biasa,
    mungkin para pengungsi karena di sana‐sini kelihatan buntalan‐buntalan
    pakaian.
    Pada saat itu, datang pula serombongan pengungsi, di depannya berjalan dua
    orang laki‐laki muda dan seorang gadis tanggung. Melihat gerakan mereka,
    dapat diduga bahwa dua orang pemuda itu memiliki kepandaian silat, bahkan
    yang seorang sudah memegang sebatang pedang telanjang. Para pengungsi
    laki‐laki dan perempuan dan yang jumlahnya dua puluh orang lebih, berjalan
    di belakang tiga orang muda itu dengan mata terbelalak lebar
    membayangkan kengerian dan ketakutan.
    "Mana dia ? Mana kakek gila yang jahat dan membunuhi pengungsi itu?"
    bentak pemuda yang memegang pedang.
    Para pengungsi yang berada di belakangnya dengan muka pucat menuding
    ke arah kakek yang sedang duduk tenang di atas batu sambil berkata, "Itu
    dia, iblis tua itu..."
    Si Pemuda bersama dua orang temannya tercengang, seperti tidak percaya.
    Pemuda berpedang melangkah maju. "Dia ini...? Kakek lumpuh...?"
    Kakek itu membuka matanya yang tadinya seperti selalu ditutup,
    memandang tiga orang muda dengan penuh perhatian, lalu dengan suara
    malas bertanya.
    "Kalian juga mengungsi ? Apakah hendak tunduk kepada Kerajaan
    pemberontak Liang?"
    "Kakek iblis ! Orang‐orang ini mengungsi menyelamatkan diri dari ancaman
    perang, mengapa kau bunuh mereka ? Siapa kau?" bentak pemuda
    berpedang.

  8. #217

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 212
    "Jawab ! Kalian hendak mengungsi dan tunduk kepada pemberontak Liang?"
    "Kami tunduk kepada pemerintah yang mana, peduli apa denganmu?"
    "Hemm, kalian tidak setia kepada Kerajaan Tang, maka harus mati juga."
    "Kakek gila ! Kau... kau pembunuh kejam, kau harus dienyahkan..." Pemuda
    itu menerjang maju dengan pedang digerakkan, akan tetapi dengan kakek itu
    menggerakkan tangan kirinya, didorongkan dengan jari tangan terbuka.
    Bagaikan sehelai daun kering tertiup angin, pemuda berpedang itu terangkat
    dan terlempar ke belakang, menjerit dan roboh dengan pedang di tangan,
    dari mulut, hidung, mata dan telinganya keluar darah. Gadis tanggung itu
    menubruknya dan menangis ketika menyaksikan bahwa kakaknya itu
    ternyata telah tewas !
    "Siluman keji...!" Pemuda ke dua marah sekali, lupa akan bahaya dan
    melompat ke depan, kedua tangannya bergerak memukul.
    Si kakek tetap tenang, kembali tangan kirinya terangkat dan... pemuda kedua
    itu mengalami nasib sama. Tubuhnya terangkat dan terlempar lalu
    terbanting ke bawah, tewas dalam keadaan mengerikan ! Kakek itu tidak
    berhenti sampai di situ, ia menggerakkan tangannya pula dan kini gadis
    tanggung yang menangis itu bagaikan kena hantam kepalanya oleh palu
    godam, terjengkang dan tewas, juga berdarah dari mulut, hidung, mata dan
    telinganya !
    Melihat ini, para pengungsi itu lari seperti dikejar ***** dan keadaan di situ
    sunyi kembali. Lu Sian bergidik. Hebat kakek ini. Pukulan jarak jauh
    membayangkan tenaga sin‐kang yang luar biasa. Lu Sian bersembunyi dan
    mengintai terus. Dari jauh datang lagi rombongan pengungsi baru, terdiri
    dari sebelas orang. Mereka itu terkejut ketika melihat mayat bergelimpangan
    di pinggir jalan, akan tetapi mereka tidak menaruh curiga kepada Si Kakek
    Lumpuh.

  9. #218

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 213
    "Apa yang terjadi ? Lopek, apakah yang terjadi di sini ? Mengapa begini
    banyak orang mati..." Seorang di antara rombongan pengungsi itu bertanya.
    Dengan gerakan perlahan, kakek itu menoleh, menyapu para pengungsi yang
    terdiri dari dua keluarga itu dengan pandang mata dingin. "Kalian hendak
    mengungsi ke daerah Kerajaan Liang?"
    "Tidak." Jawab orang itu, "Kami mencari daerah tak bertuan, lebih baik hidup
    di gunung‐gunung di mana terdapat ketentraman."
    "Hemm, kalian tidak senang dengan pemberontak Liang?"
    "Ah, semenjak runtuhnya Kerajaan Tang, kami tidak pernah mengalami
    ketenteraman lagi. Mana ada pemerintah yang menyenangkan sekarang ini,
    biarpun banyak hidup kerajaan‐kerajaan baru?"
    Tiba‐tiba kakek itu tertawa bergelak, tangannya merogoh saku baju dan ia
    melemparkan sekantung uang perak. "Terimalah ini, berangkatlah dan
    memang lebih baik kalian mengungsi ke gunung‐gunung. Selamat jalan!"
    Orang itu terkejut dan bingung, pandang matanya menaruh curiga. Pasti ada
    hubungannya keadaan kakek aneh ini dengan kematian begitu banyak orang.
    Setelah menghaturkan terima kasih, ia tergesa‐gesa membawa keluarganya
    meninggalkan tempat itu.
    Setelah rombongan ini pergi, sampai sore hari, hanya serombongan
    pengungsi lagi yang lewat di situ, terdiri dari belasan orang yang
    kesemuanya, dari anak bayi sampai kakek‐kakek, dibunuh oleh kakek
    lumpuh ini karena mereka itu semua hendak mengungsi ke kota raja Liang,
    yaitu kota Lok‐yang ! Bertumpuk‐tumpuk mayat pengungsi di tempat itu, dan
    Si Kakek Lumpuh lalu pergi dari situ, duduk di atas pikulan yang berupa
    dipan bambu digotong dua orang pemikulnya.

  10. #219

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 214
    Liu Lu Sian adalah puteri ketua Beng‐kauw. Semenjak kecil gadis ini
    berdekatan dengan orang kang‐ouw yang sakti dan aneh, tidak heran pula
    melihat kekejaman‐kekejaman dilakukan orang. Ayahnya dan para pimpinan
    Beng‐kauw juga merupakan orang‐orang aneh yang dapat membunuh orang
    lain begitu saja tanpa berkedip. Akan tetapi kini menyaksikan kakek lumpuh
    yang membunuh para pengungsi tanpa pilih bulu, laki perempuan tua muda,
    sampai bayi dibunuh hanya karena mereka hendak mengungsi ke Lok‐yang,
    benar‐benar menjadi kaget dan bergidik. Bukan main kejamnya kakek
    lumpuh ini, pikirnya. Biarpun urusannya itu tiada tiada sangkut‐pautnya
    dengan dirinya, namun ia sudah merasa tertarik untuk mengikuti kakek
    lumpuh itu, dan kalau perlu ia hendak turun tangan mencoba‐coba
    kehebatan Si Kakek Lumpuh yang ia percaya tentu mempunyai kepandaian
    tinggi sekali.
    Kakek itu bermalam di sebuah gubuk rusak di pinggir sawah, dilayani oleh
    kedua orang pemikulnya. Betapa herannya hati Lu Sian ketika kakek itu
    mengeluarkan sekantung uang emas, memberikan kepada kedua pemikulnya
    sambil berpesan agar besok kedua orang itu mencarikan sebuah kereta dan
    kuda yang baik untuknya. "Aku hendak melakukan perjalanan jauh ke
    selatan, kalian mana kuat memikul aku terus?" demikian katanya dengan
    suara perlahan akan tetapi berpengaruh sedangkan kalimatnya teratur baik
    seperti ucapan seorang pembesar atau bangsawan. Dua orang pemikul itu
    tidak banyak cakap, akan tetapi meraka itu memperlihatkan sikap
    menghormat sekali, menyanggupi dan menyebut paduka kepada kakek itu,
    kadang‐kadang menyebut Ong‐ya atau Taijin.
    Malam itu bulan bersinar penuh,Lu Sian masih mengintai di sekitar tempat
    itu ketika ia malihat berkelebatnya bayangan yang gerakannya cepat bukan
    main. Tahu‐tahu bayangan itu sudah tiba di depan gubuk di mana Si Kakek
    Lumpuh berada, dan terdengar suara erang laki‐laki yang parau tetapi
    nyaring.
    "Hee, Couw Pa Ong ! Kau terkenal dengan julukan Sin‐jiu (Tangan Sakti),
    apakah tangan saktimu itu hanya untuk membunuhi rakyat tidak berdosa ?
    Sin‐jiu Couw Pa Ong, kalau ada kepandaian, keluarlah!"
    Terdengar suara tertawa mengejek dari dalam gubuk. Couw Pa Ong Si Raja
    Muda sudah lenyap bersama lenyapnya Kerajaan Tang yang besar ! Akan
    tetapi aku Si Tua Bangka Kong Lo Sengjin akan membunuh setiap orang yang
    tidak setia kepada Dinasti Tang. Orang usilan, kau siapa?"
    Last edited by jkt-Alexis4Play; 13-04-15 at 13:00.

  11. #220

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 215
    Orang di luar itu tertawa juga, "Ha‐ha‐ha, Couw Pa Ong ! Setelah kau kalah
    dan remuk kedua kakimu, kau merasa malu dengan kekelahanmu sehingga
    kau mengganti nama ? Ha‐ha‐ha, sungguh lucu ! Biarpun mengganti nama
    seribu kali, siapa tidak akan mengenal Sin‐jiu Couw Pa Ong yang besar
    namanya akan tetapi kini sudah bangkrut dan lumpuh ? Pinceng Houw Hwat
    Hwesio dari Siauw‐lim‐si, tidak akan mendiamkan saja melihat kau bertindak
    sewenang‐wenang!"
    Dari dalam gubuk terdengar suara meludah. "Cuhhh ! Segala macam pendeta
    ! Kau selalu hanya membantu yang menang, untuk yang kuat memberi
    sumbangan, untuk orang‐orang kaya dan orang‐orang segolongan. He,
    pendeta tengik ! Selama kau menjadi pendeta pernahkah kau berdoa untuk si
    miskin jembel kelaparan ? Pernahkah kau berdoa untuk si jahat agar kembali
    ke jalan yang benar ? Pernah kau membantu untuk pelaksanaan doa‐doamu
    dengan perbuatan nyata ? Apa jasamu untuk negara dan bangsa ? Apakah
    orang‐orang menjadi baik setelah kau setiap hari bersembahyang?"
    "Cukup ! Kau bekas raja muda memang terkenal jahat, tidak mengenal
    Thian!" Si Hwesio marah, memutar toya (tongkat panjang) dan mendekati
    pintu gubuk.
    "Ha‐ha‐ha‐ha ! Apakah tandanya orang mengenal Tuhan ? Hanya karena
    gerak bibir dan goyang lidah cukup menjadi tanda mengenal Tuhan ? Dengar,
    pendeta tengik, orang bisa saja mengenal Tuhan tanpa mempedulikan
    perilaku kebajikan, akan tetapi tak mungkin orang mengabdi kebajikan tanpa
    mengenal Tuhan! Perbuatan nyata yang menjadi ukuran, bukan gerak bibir
    dan goyang lidah!"
    "Apa perbuatanmu baik ? Ihhh, manusia yang sudah gelap hatinya ! Kalau
    pinceng (aku) tidak turun tangan menghukummu mewakili Thian, kau tentu
    akan makin merajalela!" Setelah berkata demikian, hwesio itu berkelebat
    memasuki pintu gubuk.
    Liu Lu Sian memandang penuh perhatian. Gerakan hwesio cukup hebat dan
    ia pikir tentu kakek lumpuh itu akan menghadapi lawan tangguh. Akan tetapi
    setelah hwesio itu menerobos masuk, ia hanya mendengar suara ketawa Si

  12. #221

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 216
    Kakek Lumpuh, dibarengi suara "krakkk!" dan disusul melayangnya tubuh
    hwesio itu keluar gubuk bersama toyanya yang sudah patah‐patah menjadi
    tiga potong ! Akan tetapi hwesio itu bukan terlempar melainkan melompat
    keluar. Agaknya ia gentar dan juga marah.
    "Couw Pa Ong orang buronan (pelarian)! Pinceng datang memang bukan
    untuk melawanmu seorang diri, akan tetapi hendak menyampaikan
    tantangan ! Kalau memang gagah, datanglah di tepi sungai, kami Wei‐ho Sieng
    (Empat Orang Gagah Sungai Wei‐ho) menantimu malam ini juga!"
    "Ha‐ha‐ha ! Aku Kong Lo Sengjin mana kenal segala cacing tanah yang
    bernama Wei‐ho Si‐eng segala ? Akan tetapi jangan kira karena kedua kakiku
    lumpuh, kalian empat ekor cacing tanah dapat menghinaku. Kalian tentulah
    empat orang pengkhianat dan penjilat Kerajaan Liang, harus kubunuh.
    Kautunggulah, sekarang juga aku datang memenuhi tantanganmu!"
    Hwesio itu meleset pergi dengan gerakan cepat sekali. Liu Sian makin
    tertarik. Ia sudah mendengar dari ayahnya akan nama Sin‐jiu Couw Pa Ong
    yang terhitung seorang diantara tokoh‐tokoh besar di dunian persilatan.
    Menurut cerita ayahnya, Couw‐Pa Ong adalah seorang Raja Muda Kerajaan
    Tang yang memiliki ilmu silat tinggi sekali, seorang yang mempertahankan
    Kerajaan Tang, akan tetapi karena pengeroyokan orang‐orang gagah yang
    berusaha menjatuhkan kerajaan itu, ia kalah dan terpukul hancur kedua
    kakinya. Semenjak itu orang tidak mendengar lagi namanya dan ia dianggap
    sebagai seorang pelarian yang selalu dicari oleh Kerajaan Liang untuk
    dibinasakan. Sekarang ia secara kebetulan bertemu dengan tokoh ini,
    menyaksikan keganasan yang luar biasa dan juga sebentar lagi ia akan
    menyaksikan kelihaian kakek lumpuh ini menghadapi empat orang gagah
    yang berjuluk Wei‐ho Si‐eng. Maka ketika ia melihat kakek itu keluar dari
    gubuk, duduk di atas dipan bambu dan dipukul dua orang pelayannya, secara
    diam‐diam ia mengikuti dari jauh. Tidak berani ia mengikuti terlalu dekat
    karena kakek lihai itu berbahaya sekali dan ia tidak mau melibatkan diri
    dalam pertandingan yang sama sekali tidak ada sangkut‐pautnya dengan
    dirinya. Maka ia malah mendahului larinya dua orang pemikul itu, menuju ke
    tepi sungai, ia melihat empat orang sudah menanti musuh. Ia memperhatikan
    mereka.
    Di bawah sinar bulan yang penuh dan terang, ia melihat seorang hwesio
    setengah tua, yang ia duga tentulah hwesio yang tadi dipatahkan toyanya
    oleh Si Kakek Lumpuh. Hwesio ini bertangan kosong, akan tetapi melihat

  13. #222

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 217
    bentuk tubuhnya yang tegap, dapat dibayangkan bahwa tanpa toya, hwesio
    bernama Houw Hwat Hwesio murid Siauw‐lim‐pai ini tentulah seorang
    lawan yang cukup tangguh. Orang ke dua adalah seorang laki‐laki berusia
    tiga puluh tahun lebih, memegang sebatang tongkat baja, berdiri tegak
    memandang ke depan. Orang ke tiga adalah seorang tosu (pendeta To) yang
    tidak memegang senjata apa‐apa, akan tetapi pinggangnya terlibat sebuah
    cambuk hitam. Adapun orang ke empat adalah seorang wanita berusia empat
    puluh tahun, di punggungnya terselip sebatang pedang. Mereka berempat
    berdiri dengan sikap tegang dan memandang ke depan, menanti datangnya
    musuh mereka yang lihai, yang akan muncul dari arah timur.
    Lu Sian juga memandang ke arah itu. Dan tak lama kemudian, di bawah sinar
    bulan yang mencorong yang merupakan bola api merah bulat di sebelah
    timur, muncullah dua orang pemikul itu, berjalan dengan langkah lebar
    setengah berlari. Kakek lumpuh itu bersila di atas dipan bambu, rambutnya
    sebagian besar menutupi muka, menyembunyikan sepasang matanya yang
    bersinar‐sinar seperti mata harimau. Suasana menjadi tegang sekali, dan ini
    terasa oleh Liu Lu Sian yang sudah merasa gembira karena sebentar lagi ia
    akan menyaksikan pertandingan hebat. "Berhenti!" Kakek lumpuh
    mengomando dan kedua orang pemikul itu berhenti pada jarak dua puluh
    meter dari keempat orang yang sudah siap itu. Tiba‐tiba pikulan itu berikut
    dipan bambu dan kakek lumpuh, terlempar ke atas, melayang ke depan dan
    turun ke atas tanah di depan empat orang musuh, turun tanpa suara dan
    tanpa menimbulkan debu seakan‐akan sehelai daun kering melayang turun
    dari pohon. Bukan main hebatnya gin‐kang (ilmu meringankan tubuh) yang
    diperlihatkan kakek lumpuh itu !
    Dua orang pemikul lau berjongkok dan sikap mereka tidak peduli. Agaknya
    sudah terlalu sering mereka ini melihat tuan mereka bertempur atau
    membunuh orang. Memang selama belasan tahun ini setelah Kerajaan Tang
    roboh, Sin‐jiu Couw Pa Ong yang sudah mengganti namanya menjadi Kong Lo
    Sengjin, kerjanya hanyalah mencari perkara dan membunuhi orang‐orang
    yang dianggapnya tidak setia kepada Kerajaan Tang yang sudah roboh.
    Dalam kecewanya dan sakit hatinya karena kedua kakinya lumpuh, kakek ini
    menjadi seperti tidak normal lagi pikirannya, menjadikan ia ganas kejam dan
    gila‐gilaan !
    "Nah, kalian menentangku, aku sudah datang. Majulah!" dengan sikap tenang
    saja, masih bersila, kedua tangannya diletakkan di atas paha, kakek itu
    menantang.

  14. #223

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 218
    Hwesio itu mewakili teman‐temannya menjawab setelah melangkah maju
    setindak, "Couw Pa Oag, sebelum kami turun tangan terhadapmu, baiklah kau
    ketahui lebih dulu bahwa kami bukanlah orang‐orang yang tidak tahu bahwa
    kau seorang bekas raja muda yang setia terhadap rajamu, dan di samping itu
    seorang yang terkenal di dunia kang‐ouw. Kalau kau membunuhi musuhmusuhmu
    atau membunuhi orang‐orang yang kau anggap telah menghianati
    Kerajaan Tang, itu pinceng dan adik‐adik pinceng ini tidak akan ambil peduli.
    Akan tetapi secara kejam kau membunuhi para pengungsi hanya karena
    mereka hendak mengungsi ke daerah Kerajaan Liang, hal ini amatlah keji dan
    bukan hanya kami, melainkan semua orang gagah tentu akan menentangmu.
    Kami berempat sudah mengangkat saudara, bersumpah hendak membasmi
    kejahatan. Pinceng Houw Hwat hwesio murid dari Siauw‐lim‐pai, Toheng ini
    Liong Sin Cu seorang tosu dari Kun‐lun‐pai, dia itu Bun‐tanio dari Hoa‐sanpai
    beserta Lu Tek Gu adik seperguruannya. Kaulihat kami adalah muridmurid
    partai besar, selalu mentaati perintah perguruan untuk membasmi
    kejahatan..."
    "Cukup ! Ha‐ha‐ha, hwesio mentah ! Kau perlu apa berpidato di depanku ?
    Kau tahu apa ? Dengan membunuhi para pengungsi itu, aku telah berbuat
    kebaikan terhadap mereka. Pertama, mereka mengungsi ke daerah
    pemerintah pemberontakan Liang, sama dengan mencari kesengsaraan,
    maka aku bebaskan mereka sehingga tidak usah menghadapi bencana. Ke
    dua, mereka itu mudah melupakan pemberontakan Cu Bun yang merebut
    tahta kerajaan, berarti mereka itu lemah dan pengecut, tidak setia. Apa
    harganya untuk hidup lebih lama lagi!"
    "Benar‐benar alasan yang bocengli (tak pakai aturan), seenak perutnya
    sendiri!" bentak Lo Tek Gu si murid Hoa‐san‐pai yang memegang tongkat.
    "Mari kita hajar tua bangka keji ini!"
    Liu Lu Sian yang menonton sambil sembunyi, diam‐diam merasa gembira
    dan kagum terhadap Kong Lo Sengjin Si Kakek Lumpuh. Lihai ilmu silatnya,
    lihai pula kata‐katanya, aneh dan juga terlalu sekali ! Ia mengharapkan
    pertandingan yang ramai sehingga tidak percuma ia mengintai dan mengikuti
    kakek itu sampai sehari lamanya, apalagi kalau diingat bahwa empat orang
    pengeroyok ini adalah murid‐murid partai persilatan besar, Siauw‐lim‐pai,
    Kun‐lun‐pai, dan Hoa‐san‐pai ! Tiga buah partai besar yang sering disebutsebut
    ayahnya dan dikagumi.

  15. #224

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 219
    Mula‐mula memang empat orang itu bergerak dengan cepat dan indah sekali
    mengurung Si Kakek Lumpuh. Hwesio Siauw‐lim‐pai itu yang telah
    kehilangan toya, kini mematahkan dahan pohon dan memutar‐mutar dahan
    ini dengan tenaga besar menimbulkan angin berderu, Tosu dari Kun‐lun‐pai
    yang bernama Liong Sun Cu itu pun meloloskan cambuknya dan terdengar
    bunyi keras seperti petir menyambar di atas kepala. Sungguhpun tidak
    sehebat paman gurunya, Kauw Bian, permaianan cambuk itu, namun Lu Sian
    mengagumi keindahannya. Adapun kakak beradikseperguruan dari Hoa‐sanpai,
    juga tidak kalah hebatnya. Permainan pedang wanita itu amat cepat,
    pedangnya lenyap berubah sinar pedang bergulung‐gulung, sedangkan
    tongkat sutenya juga bergerak‐gerak laksana seekor naga mengamuk.
    Akan tetapi segera Lu Sian kecewa. Entah empat orang itu hanya memiliki
    gerakan ilmu silat indah yang kosong saja, ataukah Si Kakek Lumpuh yang
    terlalu ampuh bagi mereka ? Disambar empat macam senjata dari empat
    penjuru, tubuh bagian atas kakek itu hanya bergerak‐gerak seperti batang
    padi tertiup angin pukulannya menyeleweng ke kanan ke kiri. Tiba‐tiba
    terdengar kakek itu tertawa bergelak, tubuhnya yang masih bersila itu tahutahu
    sudah melayang ke atas kemudian menyambar ke arah Houw Hwat
    Hwesio. Hwesio Siauw‐lim‐pai ini kaget sekali, cepat ia menyambut dengan
    sodokan toyanya ke arah ulu hati. Kong Lo Sengjin menangkap toya itu
    berbareng tangan kirinya menampar dilanjutkan dengan tangan kanan yang
    menangkap toya mendorong keras. Houw Hwat Hwesio berteriak sekali dan
    tubuhnya sudah terlempar ke bawah. Terdengar air muncrat dan tampaklah
    tubuh hwesio itu terapung‐apung seperti sebatang balok hanyut !
    "Siluman tua, berani kau membunuh saudara kami?" bentak Liong Sun Cu si
    tosu Kun‐lun‐pai. Cambuknya menyambar‐nyambar dengan suara keras.
    Karena kakek tua itu kini sudah duduk bersila lagi di atas bambu setelah tadi
    menyerang Houw Hwat Hwesio, maka cambuk Liong Sun Cu menyambar ke
    bawah, ke arah kepalanya. Bun‐toanio yang juga marah, menerjang dengan
    tusukan pedang dari belakang, mengarah punggungnya, sedangkan Lu Tek
    Gu menghantamkan tonkatnya ke arah pundak kiri.
    Kong Lo Sengjin kembali mengeluarkan suara ketawa keras. Ia membiarkan
    cambuk itu mengenai kepalanya. Ujung cambuk menghantam kepalanya
    terus melibat, akan tetapi ketika tosu Kun‐lun‐pai yang kegirangan melihat
    hasil serangannya itu hendak menarik kembali cambuknya, ia kaget setengah
    mati karena cambuknya seakan‐akan telah tumbuh akar di kepala kakek itu,
    tak dapat ditarik kembali ! Pedang yang menusuk punggung dan tongkat
    yang menghantam pundak juga tidak ditangkis, akan tetapi pedang dan

  16. #225

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 220
    tongkat meleset hanya merobek baju saja, seakan‐akan yang diserang adalah
    baja yang keras dan licin sekali. Selagi tiga orang pengeroyoknya kaget, kakek
    itu sudah menyambar cambuk dan tubuhnya kembali mencelat ke atas.
    Kedua tangannya bergerak, cepat sekali sehingga sukar diikuti dengan
    pandang mata, menampar tiga kali ke arah kepala para pengeroyoknya,
    sambil menampar, ia terus mencengkram dan melempar. Hanya jerit tiga kali
    terdengar dan tampaklah tiga orang gagah itu berturut‐turut melayang dari
    atas tebing, jatuh ke dalam sungai dan tubuh mereka terapung‐apung seperti
    ikan‐ikan mati, hanyut mengikuti mayat Houw Hwat Hwesio !
    Dua orang pemikul itu kini menghampiri Si Kakek Lumpuh. Mereka itu
    dengan wajah takut sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.
    Seorang yang lebih tua berkata. "Ong‐ya, hamba berdua mohon pembebasan,
    sampai di sini saja hamba berdua dapat melayani Ong‐ya, harap beri
    perkenan kepada kami untuk mengambil jalan sendiri."
    Kong Lo Sengjin memandang mereka dan diam‐diam Liu Lu Sian sudah
    menduga bahwa dua orang pemikul itu tentu akan mampus di tangan kakek
    sakti itu !
    "Hemm, kenapa ? Apakah kalian takut?"
    "Sesungguhnya, Ong‐ya, hamba berdua takut menyaksikan sepak terjang
    Ong‐ya yang mudah dan suka membunuh orang banyak, Ong‐ya
    berkepandaian tinggi, tentu saja tidak takut menghadapi pembalasan
    mereka, akan tetapi hamba berdua yang bodoh, mana dapat melindungi diri
    sendiri kalau kelak orang‐orang gagah datang kepada kami?"
    "Hemm, apakah kalian juga hendak menakluk kepada pemerintah
    pemberontak?" pertanyaan ini dilakukan dengan suara penuh ancaman.
    "Ahh, bagaimana Ong‐ya masih dapat menyangsikan kami ? Tidak sudi kami
    menjadi ****** penjilat mengekor kepada raja pemberontak ! Hamba berdua
    malah akan masuk hutan menjadi perampok, mengacaukan wilayah kerajaan
    Liang!"

Page 15 of 16 FirstFirst ... 5111213141516 LastLast

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •