PART 76
yang sedang menyambut lima orang tamunya da mungkin sekali suling itu
ditiup oleh Ang‐siauw‐hwa seperti yang diceritakan oleh para tukang perahu
tadi ! Hemm, kalau benar wanita itu yang meniupnya, lumayan juga !
Setidaknya, kalau seorang ******* saja dapat meniup suling seperti itu,
benar‐benar dia seorang ******* yang luar biasa.
Ketika suling berhenti ditiup, terdengar tepuk tangan dan tertawa‐tawa
memuji dari dalam perahu, tanda bahwa orang‐orang yang berada di dalam
perahu itu gembira dan kagum. Tak lama kemudian, kembali suling itu
berbunyi, kini mainkan lagu yang menjadi kegemaran Kwee Seng, yaitu Bulan
mengembara cari kekasih.Kalu tadi kwee Seng hanya kecewa mendengar
tiupan suling yang dianggapnya kurang baik, kini telinganya terasa sakit
mendengar betapa lagu kesayangannya dirusak orang. Karena tidak dapat
menahan lagi, pemuda yang sudah terpengatuh oleh hawa arak itu
mengeluarkan sebatang suling dari dalam bajunya dan tak lama kemudian
melengkinglah suara sulingnya melayang‐layang di permukaan telaga,
mendesak suara suling pertama yang keluar dari perahu besar. Karena suara
suling Kwee Seng luar biasa sekali kuatnya, maka suara pertama tenggelam
dan tak terdengar lagi.
Sahabat, alangkah indah bunyi sulingmu!Kwee Seng yang baru saja
menghabiskan bait terakhir cepat memandang. Seorang wanita dengan
pakaian serba indah berwarna merah muda, berdiri di pinggiran perahu dan
kelihatan seperti seorang dewi telaga. Ah, kalau saja aku bersayap, kuakan
terbang membebaskan diri dari sini untuk belajar meniup suling darimu
sahabat
Kwee Seng tercengang. Inikah ******* yang berjuluk Ang‐siauw‐hwa ? Pantas
saja terkenal menjadi kembangnya sekalian ******* di daerah Telaga Barat
ini, pikirnya sambil memandang kagum. Tentang kecantikannya, tak dapat ia
menilai teliti karena keadaan yang remang‐remang itu tidak cukup
menerangi wajah si gadis, akan tetapi, selain pandai meniup suling juga katakatanya
begitu halus dan teratur, dari ucapannya itu saja mudah diduga
bahwa nona ini tentu pandai bersyair. Dengan hati tertarik Kwee Seng
mendayung maju perah kecilnya untuk mendekati perahu besar dan agar ia
dapat memandang lebih jelas. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara
memanggil dari bilik perahu besar dan nona berpakaian serba merah muda
itu membalikkan tubuh dan lenyap ke dalam perahu besar.
PART 77
Kwee Seng sadar daripada kebodohannya. Perempuan itu sudah disewa
hartawan pemilk perahu besar, mau apa ia mendekat ? Ah, mengapa ia begitu
tertarik kepada seorang wanita ******* ? Kwee Seng sadar akan
kebodohannya sendiri dan menggerakkan dayung untuk menjauhi perahu
besar. Akan tetapi pada saat itu ia melihat sebuah perahu meluncur cepat ke
arah perahu besar dan di dalam perahu ini terdapat seorang hwesio tinngi
besar bersama lima orang wanita ******* yang sedang minum‐minum dan
tertawa cekikikan seperti segerombolan kuntilanak, Kwee Seng cepat
mendayung perahunya menyelinap dan bersembunyi di belakang perahu
besar untuk mengintai karena ia merasa curiga menyaksikan gerak‐gerik
hwesio tinggi besar yang aneh itu.
Dari balik perahu besar itu Kwee Seng melihat jelas betapa hwesio tinggi
besar itu sekali menggerakkan kaki telah melayang naik ke atas papan dek
tanpa menimbulkan guncangan sedikitpun juga. Kwee Seng kaget dan kagum.
Hwesio ini benar‐benar memiliki ilmu yang tinggi. Ketika ia memandang ke
perahu hwesio tadi, ia merasa muak. Lima orang wanita ******* yang
memakai bedak tebal itu dalam keadaan setengah telanjang dan awutawutan
rambutnya, tertawa cekikikan dan bersenda gurau, agaknya sudah
mabok semua ! Perahunya yang tidak di kuasai oleh hwesio telah oleng ke
kanan kiri tanpa diketahui lima orang ******* mabok. Karena merasa muak,
Kwee Seng tidak mempedulikan mereka dan ia kembali memandang ke arah
hwesio yang berdiri kokoh seperti batu karang diatas papan dek perahu
besar.
Heh, hartawan she Lim!Hwesio itu berseru dan suaranya yang parau keras
itu menembus desir angin. Lekas serahkan Ang‐siauw‐hwa kepadaku,
kutukar dengan lima orang yang berada di perahuku!
Tiba‐tiba dari pintu bilik perahu besar itu meloncat seorang laki‐laki tinggi
kurus yang mengenakan pakaian ringkas dan punggungnya terhias sebatang
golok. Gerakan laki‐laki ini ringan dan cepat, tahu‐tahu ia sudah berdiri di
depan hwesio itu dengan mata berkilat. Eh, eh, hwesio jahat darimana berani
mengganggu kesenangan kami ? Apakah kau sahabat dari Si Jahanaman Lo
Houw yang kulempar ke dalam air?
Hwesio itu memandang sejenak lalu tertawa. Heh‐heh‐heh, aku tidak tahu itu
Lo Houw, dan tidak kenal pula tikus kecil macammu. Aku hanya datang untuk
mengambil Ang‐siauw‐hwa, kutukar dengan lima ******* itu. Wanita macam
Ang‐siauw‐hwa yang disebut‐sebut kembang ******* di telaga ini patut
PART 78
mengawaniku bersenang‐senang. Lekas suruh dia keluar dan berikan
kepadaku sebelum perahu ini kubikin tenggelam berikut semua
penumpangnya!
Hwesio sesat ! Pergilah!Si Jangkung Kurus menerjang maju dengan gerakan
kilat. Cepat sekali gerakannya dan Kwee Seng yang menonton tahu bahwa si
jangkung itu memiliki ilmu silat tangan kosong yang cukup hebat. Hwesio ini
mencari penyakit, pikirnya, penghuni perahu besar itu ternyata bukan orangorang
lemah. Pukulan si jangkung itu selain cepat, juga jelas mengandung
tenaga yang besar, tampak gerakannya begitu mantap dan sekali pukul,
kedua tangan si jangkung itu secara berbareng menyerang dada dan
lambung. Anehnya, hwesio tinggi besar itu masih tertawa, sama sekali tidak
mengelak. Celaka, pikir Kwee Seng, betapapun lihainya, mana hwesio itu
akan dapat menahan pukulan yang mengandung tenaga dalam itu?
Buk ! Buk!Dua buah pukulan itu tepat mengenai dada dan lambung. Ha‐haha‐
ha!Si Hwesio malah tertawa bergelak, sedikit pun tidak terpengaruh dua
pukulan itu. Sejenak si jangkung terbelalak kaget, kemudian tampak sinar
bergulung ketika ia mencabut goloknya dan membacok dengan cepat ke
mengarah leher.
Celaka kata Kwee Seng, akan tetapi kali ini ia menyebut celaka bukan untuk si
hwesio karena segera ia maklum bahwa hwesio itu benar‐benar memiliki sinkang
(tenaga sakti) yang amat tinggi dan pencabutan golok oleh si jangkung
itu hanya akan berarti celaka bagi si jangkung.
Memang tidak berlebihan penafsiran Kwee Seng ini. Hanya sedikit
menggerakkan tubuhnya si hwesio sudah mampu mengelak dan sebelum si
jangkung sempat menyerang lagi, tubuhnya sudah tertangkap dan sekali
melontarkan tangkapannya sambil tertawa, hwesio tinggi besar itu sudah
melempar lawannya jauh ke luar perahu !
Byurrrr!Air muncrat tinggi dan si jangkung megap‐megap dalam usahanya
menyelamatkan diri.
Hwesio *******, berani kau memukul Suteku (adik seperguruanku)?Kini
muncul seorang pendek gemuk dengan sebatang toya (tongkat panjang)
PART 79
melintang di tangan. Tanpa menanti jawaban, si gemuk ini sudah
menggerakkan toyanya menghantam leher hwesio itu. Sebagai kakak
seperguruan si jangkung tadi, dapat di bayangkan betapa hebat serangan si
gemuk pendek ini. Batu karang yang kuat agaknya akan pecah terkena
pukulan toya baja itu. Namun, si hwesio sama sekali tidak mengelak, hanya
miringkan tubuh dan menerima hantaman toya itu dengan pangkal
lengannya.
Bukkk!Si hwesio masih tertawa‐tawa dan kedua lengannya bergerak. Tahutahu
si gemuk memekik keras dan tubuhnya terlempar keluar perahu.
Kembali terdengar air menjebur dan tubuh gemuk itu tenggelam timbul,
agaknya lebih parah lukanya daripada sutenya.
HebatDiam‐diam Kwee Seng terkejut dan kagum. Perhatiannya kini tertuju
pada hwesio itu sambil mengingat siapa gerangan hwesio yang demikian
lihainya itu. Terang bahwa kepandaian dua orang yang dikalahkannya secara
mudah tadi cukup tinggi dan hanya seorang sakti saja yang dapat
mengalahkan mereka dengan sekali gebrakan. Akan tetapi kalau memang
hwesio ini seorang tokoh sakti, mengapa sikap dan kelakuannya begitu gilagilaan
? Sama sekali tidak patut dilakukan oleh seorang tokoh sakti yang
terkenal. Merampas seorang ******* ! Benar‐benar mengherankan sekali !
Sementara itu, dari dalam bilik perahu sudah berloncatan tiga orang laki‐laki.
Usia mereka rata‐rata empat puluh tahun lebih, dan ketiganya memegang
pedang. Gerakan‐gerakan mereka pun cepat dan ringan, malah agaknya lebih
cekatan daripada dua orang yang sudah kalah oleh si hwesio. Begitu keluar,
mereka serentak mengurung dan menyerang hwesio itu dengan pedang
mereka.
Kwee Seng melihat hwesio itu tertawa, akan tetapi segera perhatiannya
tertarik oleh kejadian lain. Ia melihat seorang wanita berpakaian merah
muda berlari‐lari ke pinggir perahu besar itu lalu wanita itu meloncat ke air !
Byurrr!air muncrat tinggi dan tubuh wanita itu lenyap !
CelakaUntuk ketiga kalinya selama beberapa menit itu Kwee Seng menyebut
celaka, akan tetapi ia cepat mendayung perahunya ke arah terjunnya si
pakaian merah tadi. Selagi ia hendak menyelam, tiba‐tiba wanita itu muncul
dan legalah hati Kwee Seng melihat bahwa wanita itu ternyata pandai
PART 80
berenang ! Ah, benar‐benar ******* yang aneh sampai berenang pun pandai !
******* itu memang bukan lain adalah Ang‐siauw‐hwa yang kini berenang
cepat ke arah perahu Kwee Seng.
Kongcu yang pandai bersuling, kau tolonglah aku yang bernasib malang,
katanya sambil berusaha mengangkat tubuh memegang pinggir perahu. Akan
tetapi beberapa kali usahanya tak berhasil karena pinggiran perahu itu
terlampau tinggi dari permukaan air.
Kwee Seng lalu mengulur tangannya dan menarik tubuh wanita itu ke dalam
perahunya. Ia memandang, kagum. Memang patut dikagumi wanita ini.
Pakaiannya basah kuyup dan karena pakaian ini terbuat daripada sutera tipis
dan halus, maka kini tercetaklah tubuhnya membayangkan bentuk tubuh
yang padat ramping, dengan lekuk lengkung sempurna, tubuh seorang
wanita muda yang sudah masak.
Kenapa kau meloncat ke air?Kwee Seng bertanya, menekan gelora
jantungnya yang membuat darah mudanya yang bergerak lebih cepat
daripada biasanya.
Ah, hwesio demikian hebat. Kalau aku dirampasnya bagaimana nasibku ?
Lim‐wangwe yang sudah tua dan pendekar‐pendekar itu semua bersikap
sopan kepadaku, akan tetapi belum tentu hwesio itu begitu baik sikapnya. Ah,
Kongcu, kau tolonglah akubiarlah aku akan mengerjakan apa saja yang kau
kehendaki untuk membalas budimu ini. Sambil berkata demikian, Ang‐siauwhwa
mendekat dan bau harum menerjang hidung Kwee Seng yang tertegun
melihat wanita itu tersenyum manis dan mengerling penuh arti.
Aku aku bersedia menolong, tapi tapi aku tidak menghendaki apa‐apa darimu
jawabnya gagap sambil menggerakkan dayung.
Wanita di belakangnya menarik napas panjang. Ahhhsudah kuduga, kau
seorang pelajar yang sopan dan penuh susila, mana mungkin mau berkenalan
dengan seorang tuna susila macam Ang‐siauw‐hwa?Suaranya mulai terisak.
Beginilah nasibku, kongcu hanya orang‐orang rendah budi saja yang suka
berkenalan denganku, dengan maksud yang kotor, akan tetapi orang baikbaik
selalu menjauhkan diri dariku.
PART 81
Kwee Seng menoleh, agak terharu juga. Memang demikianlah nasib wanita
yang terperosok ke Lumpur kehinaan. Bukan begitu, Nona. Tadi pun aku
hendak memesanmu menemaniku minum arak, menikmati keindahan telaga
sammbil bersuling dan bernyanyi atau mengarang syair. Akan tetapi karena
kau telah disewa hartawan itu, aku berperahu seorang diri. Hanya perlu kau
ketahui bahwa aku sekali‐kali bukan menolongmu karena hendak minta
upah. Nih, kaupakai jubah luarku untuk menahan dingin dan angin. Kita
harus pergi cepat‐cepat dari sini.Setelah melemparkan jubah luarnya untuk
dipakai berselimut Ang‐siauw‐hwa, Kwee Seng cepat mendayung perahunya.
Akan tetapi di atas perahu besar terdengar suara berkerontangan, disusul
pekik‐pekik kesakitan dan berturut turut tubuh tiga orang jago silat itu pun
terlempar ke dalam telaga. Bahkan orang ke tiga terlempar ke arah perahu
Kwee Seng disusul bentakan hwesio itu yang parau dan nyaring.
Ah, Ang‐siauw‐hwa kembang ******* ! Kau hendak lari ke mana ? Tak boleh
lari sebelum melayaniku sampai puas!
Melihat menyambarnya tubuh orang ke arah perahunya, Kwee Seng
menggerakkan dayung sehingga perahunya menyeleweng mengelak dan
tubuh orang itu terbanting ke dalam air, hanya tiga kaki dari kepala
perahunya. Air muncrat membasahi bajunya.
Ah, celaka kita, kongcuAng‐siauw‐hwa berseru ketakutan, tubuhnya yang
sudah dingin itu kini ditambah rasa takut mulai menggigil.
Tak usah takut, kita akan minggir lebih dulu daripada dia.Jawab Kwee Seng
sambil mengerahkan tenaga mendayung sehingga perahunya meluncur
seperti anak panah terlepas dari busurnya.
Ang‐siauw‐hwa menengok dan melihat betapa hwesio yang menakutkan itu
sudah meloncat ke dalam perahunya sendiri. Sekali ia menggentakkan
perahu, lima orang ******* yang mabok‐mabokan di dalam perahu itu
terlempar ke dalam air pula ! Menjemukan ! Tingallah kalian di air!kata
hwesio itu sambil tertawa bergelak dan mulailah ia mendayung perahunya
PART 82
mengejar perahu Kwee Seng. Sementara itu, para penghuni perahu sibuk
menolong lima orang jago silat dan juga lima orang ******* yang menjeritjerit
dan gelagapan seperti lima ekor anak ayam terlempar ke air.
Kongcu, dia dia mengejar, Ang‐siauw‐hwa memeluk pinggang Kwee Seng dari
belakang. Bau harum dan kelunakan tubuh yang merapat di punggungnya
membuat Kwee Seng meramkan matanya dan menahan napas. Diam‐diam
hatinya mengeluh. Usianya sudah dua puluh dua dan belum pernah ia
berdekatan begini dengan seorang wanita. Getaran yang menggelora di
jantungnya melemahkan tenaga sakti sehingga kurang cepat ia mendayung
perahu.
He, orang muda ***** ! Apakah kau bosan hidup ? Berhenti dan berikan gadis
itu kepadaku!Suara hwesio itu melengking di telinganya. Akan tetapi Kwee
Seng tidak peduli dan cepat ia mengerahkan tenaga mendayung perahunya.
Kau ingin mampus!Suara ini disusul oleh desir angin ke arah kepala Kwee
Seng. Maklum bahwa ada benda menyambar, Kwee Seng mengibaskan
tangannya dan dari ujung lenan bajunya menyambar angin yang memukul
runtuh benda itu yang ternyata adalah sekepal kayu, agaknya gagang dayung
yang diremas hancur oleh hwesio hebat itu!
Kwee Seng maklum bahwa kali ini ia menghadapi lawan yang amat tangguh,
mungkin lawan yang paling tangguh yang selama hidupnya pernah ia hadapi.
Dengan adanya Ang‐siauw‐hwa di dalam perahu, tentu saja hal ini berarti
melemahkan kedudukannya sendiri apabila terjadi pertandingan melawan
hwesio kosen itu, apalagi kalau diingat bahwa hwesio memang bermaksud
merampas Ang‐siauw‐hwa. Selain itu juga, bertanding di atas perahu amatlah
berbahaya. Kepandaiannya di atas air hanya terbatas dan sekali jatuh ke
dalam air, takkan ada gunanya lagi. Inilah sebabnya maka Kwee Seng segera
mengerahkan tenaga sekuatnya sehingga perahunya meluncur lebih cepat
lagi meninggalkan perahu hwesio yang mengejarnya.
Sesampainya di pinggir telaga, Kwee Seng cepat menarik lengan Ang‐siauwhwa
dan diajaknya melompat ke darat, lalu berkata lirih, Nona, cepatlah, kau
lari dari sini! Tapi, tapi kau bagaimana, Kongcu
PART 83
Jangan pikirkan aku, lekas lari.Kwee Seng mendorong wanita itu dalam gelap,
kemudian ia meloncat lagi ke dalam perahunya dan mendayung ke bagian
lain dari tepi telaga itu untuk menyesatkan perhatian si hwesio terhadap
Ang‐siauw‐hwa. Usaha dan akalnya ini berhasil baik, karena perahu hwesio
itu terus mengikutinya setelah mendekat, kemudian terdengar hwesio itu
berseru keras.
Bocah *****, sekali ini aku tidak akan memberi ampun kepadamu!
Akan tetapi karena ia sudah terbebas daripada keselamatan Ang‐siauw‐hwa
kini Kwee Seng tidak melarikan diri lagi. Ia berdiri di kepala perahunya,
berkipas‐kipas diri sambil menanti dekatnya perahu si hwesio. Setelah dekat
ia berkata, Lo‐suhu, seorang beribadat seharusnya mengekang nafsu
memupuk kebajikan agar menjadi contoh bagi orang banyak. Mengapa Losuhu
malah mengejar‐ngejar seorang *******, hendak merampasnya dengan
paksa dan memukul orang mengandalkan kepandaian?Suara Kwee Seng
sopan dan halus akan tetapi di dalamnya mengandung teguran pedas.
Heh he he he, bocah yang masih bau susu ibu ! Macam engkau ini hendak
memberi kuliah kepada Ban‐pi Lo‐cia ? Heh he he!Ucapan diselingi tawa ini
lalu diikuti bunyi keras seperti petir menyambar‐nyambar di atas kepala
Kwee Seng dan tampaklah sinar hitam melecut‐lecut di udara. Kiranya kakek
itu sudah mengeluarkan sebatang cambuk hitam yang bermain‐main di atas
kepala Kwee Seng seperti seekor ular hidup yang ganas. Kwee Seng kaget
setengah mati mendengar disebutnya nama Ban‐pi Lo‐cia (Dewa Locia
Berlengan Selaksa)! Nama ini adalah nama seorang tokoh yang tak pernah
atau jarang sekali muncul di dunia kang‐ouw, namun yang terkenal sebagai
tokoh yang amat jahat, keji dan memiliki kesaktian hebat. Kabar tentang
tokoh ini yang ia dengar paling akhir adalah bahwa Ban‐pi Lo‐cia menghilang
di utara, di daerah Khitan, karena memang ada berita bahwa dia mempunyai
darah bangsa Khitan. Bagaimana tokoh ini dapat muncul secara tiba‐tiba di
tempat ini?
Kekagetan dan keheranan hati Kwee Seng inilah agaknya yang membuat ia
lengah sehingga ketika ada gulungan sinar hitam menyambar, ia hanya
miringkan tubuhnya dan tahu‐tahu pinggangnya sudah telibat cambuk yang
bergerak seperti ular. Ketika Ban‐pi Lo‐cia menggerakan tangan kanannya,
tubuh Kwee Seng melayang seperti terbang, terbawa oleh ujung cambuk !
Kwee Seng terkejut, namun ia dapat menenangkan hati dan mencari akal.
Dengan kipas di depan dada untuk melindungi diri, ia mengerahkan sin‐kang
PART 84
di tubuhnya untuk menahan tekanan ujung cambuk yang melilit
pinggangnya, kemudian ia membiarkan dirinya terlempaar melayang ke arah
Ban‐pi Lo‐cia yang berdiri di atas perahu sambil menyeringai ! Orang gendut
itu ternyata amat memandang rendah terhadap Kwee Seng yang dianggapnya
seorang pelajar yang tahu sedikit akan ilmu silat, maka ia bermaksud
mempermainkannya.
Akan tetapi alangkah kaget hati raksasa gundul ini ketika tubuh Kwee Seng
sudah sudah melayang ke dekatnya, tiba‐tiba angin pukulan yang hebat
bertiup dari kipas disusul totokan kilat yang menuju ke jalan darah di
lehernya, dilakukan oleh gagang kipas itu. Begitu cepatnya gerakan ini
sehingga hampir saja jalan darah Tiong‐cu‐hiat di lehernya tertotok ! Ketika
raksasa itu mengelak ke belakang, tahu‐tahu kaki Kwee Seng sudah menotol
pundaknya dan menggunakan pundak raksasa ini sebagai batu loncatan,
Kwee Seng mengerahkan tenaganya dan melompat sambil mengerahkan
tenaga pada pinggang untuk membebaskan diri daripada libatan ujung
cambuk. Usahanya berhasil. Ban‐pi Lo‐cia berseru heran dan tubuh Kwee
Seng sudah melayang kembali ke atas, tepat tiba di gerombolan pohon
kembang di pinggir telaga yang cepat disambarnya dan dengan ayunan indah
tubuh pemuda itu sudah berada di darat, berdiri dengan tenang dan dengan
kipas di tangan sambil memandang ke arah lawan yang masih berada di atas
perahunya !
"He he he, kau boleh juga, bocah!" Ban‐pi Lo‐cia berseru setengah marah
setengah kagum, cambuknya bergerak cepat mengeluarkan ledakan‐ledakan
keras. Ternyata cambuk itu memukul air di pinggir perahu danbagaikan
didorong tenaga gaib, perahunya meluncur cepat sekali ke pinggir telaga,
kemudian sekali meloncat raksasa itu sudah melayang dan tiba di depan
Kwee Seng ! Dua orang ini kini berhadapan dan saling memandang penuh
perhatian. Bulan bersinar terang bersih, indah sekali akan tetapi di dalam
keindahan itu tersembunyi kengerian yang di timbulkan oleh pandang mata
kedua orang yang saling bertentangan ini. Pinggir telaga sudah sunyi karena
mereka yang mendengar tentang hwesio tinggi besar yang mengamuk, sudah
melarikan diri cepat‐cepat akan tetapi ada pula beberapa orang yang
bersembunyi dan melihat dua orang itu berhadapan dari jauh.
"Ban‐pi Lo‐cia, sudah lama sekali aku mendengar namamu, dan ternyata
keadaanmu cocok benar dengan namamu!" kata Kwee Seng yang kini sudah
mengeluarkan suling bambu yang tadi ditiupnya dan memegang suling itu di
tangan kanannya sedangkan kipasnya ia pegang di tangan kiri. Ia maklum
bahwa menghadapi seorang sakti seperti ini ia harus di Bantu sulingnya,
PART 85
karena hanya dengan kipas saja kiranya belum tentu ia akan dapat mencapai
kemenangan.
"Heh, kau mengenalku ? Dan kau bilang cocok seakan‐akan kau telah
mengenalku baik‐baik. Orang muda lancang, keadaanku yang bagaimana
kausebut cocok dengan namaku?"
"Kau terkenal sebagai tokoh sakti yang aneh, kejam keji dan memuja
kejahatan mengandalkan kepandaian. Nah, bukankah cocok benar dengan
perbuatanmu sekarang?"
"Wah, sombong ! Bocah bermulut lancang, siapa namamu?"
"Aku Kwee Seng, datang tidak menonjolkan nama, pergi tidak meninggalkan
nama, hanya suling dan kipas ini yang kubawa."
"Heh..heh, kata‐kata muluk ! Kau berlagak sopan dan terpelajar, akan tetapi
bukankah kau sendiri juga memperebutkan kembang ******* telaga ini ? Heheh,
orang muda, tiada bedanya antara engkau dan aku, hanya aku lebih suka
secara terbuka dan terang‐terangan, sebaliknya engkau suka sembunyisembunyi
dan berkedok kesopanan. Aku paling jemu melihat segala yang
palsu ini, maka kau bersiaplah mampus di tangan Ban‐pi Lo‐cia!" Berbareng
dengan habisnya ucapan itu, sinar hitam bergulung‐gulung ke depan
dibarengi ledakan‐ledakan seperti petir menyambar kepala.
Hebat bukan main kalau Ban‐pi Lo‐cia mainkan cambuknya, cambuk sakti
yang terkenal dengan nama Lui‐kong‐pian (Cambuk Halilintar). Gerakan
cambuk ini mengandung getran penuh dari sin‐kang yang sudah mencapai
tingkat tinggi. Jangan kan terkena pukulan cambuk, baru mendengar
bunyinya saja membuat lawan menjadi pening kepalanya, melihat sinarnya
membuat mata lawan kabur, dan hawa pukulan yang mendahului datangnya
ujung cambuk cukup kuat untuk menjungkalkan lawan yang kurang tinggi
ilmu kepandaiannya ! Cambuk ini kelihatannya hanya sebatang benda lemas
dan licin, akan tetapi jangan dipandang ringan senjata ini. Bahannya saja
terbuat daripada sirip dan ekor ular laut hitam yang hanya dapat dilihat
belasan tahun sekali di lautan utara, diantara gunung‐gunung es. Di tangan
Ban‐pi Lo‐cia, cambuk ini benar‐benar menjadi halilintar. Bisa lemas
PART 86
melebihi sutera, bisa kaku keras melebihi baja, dan hebatnya, tidak ada
sebuah senjata pun di dunia yang mampu membabatnya putus. Menyaksikan
gerakan ini Kwee Seng maklum bahwa ia berhadapan lawan yang benarbenar
sakti dan berbahaya, maka ia pun tidak berani main‐main, segera ia
menggerakkan suling dan kipasnya untuk menghadapi permainan cambuk
halilintar yang dahsyat itu. Karena tahu bahwa ilmu cambuk halilintar adalah
ilmu sakti yang sukar dilawan dan harus dilawan dengan ilmu sakti lagi,
maka Kwee Seng segera mainkan suling di tangan kanan menurut ilmu
pedang Pat‐sian Kiam‐hoat sedangkan kipasnya ia mainkan dengan ilmu
kipas Lo‐hai San‐hoat. Ilmu pedang Pat‐sian Kiam‐hoat (Delapan Dewa) dan
ilmu kipas Lo‐hai San‐hoat (Mengacau Lautan) telah menjadi ilmu silat yang
sakti dan hebat setelah ia menerima petunjuk‐petunjuk dari seorang manusia
dewa, yaitu Bu Kek Siansu, beberapa tahun yang lalu di puncak pegunungan
Himalaya. Kwee Seng tak pernah bertemu tanding yang dapat
mengalahkannya. Dan sekarang mengahadapi Ban‐pi Lo‐cia yang demikian
sakti, terpaksa ia mengeluarkan dua ilmunya yang dimainkan dengan lincah
dan penuh mengandung tenaga sin‐kang. Sulingnya ketika ia gerakkan
mengeluarkan bunyi melengking tinggi, lengking yang dapat memecahkan
anak telinga lawan dan tepat sekali dipergunakan untuk melawan pengaruh
suara cambuk yang menggelegar. Adapun kipasnya mengeluarkan angin
amat kuat yang menyembunyikan totoka‐totokan maut oleh ujung gagang
kipas yang dua buah banyaknya. Sesungguhnya, kipas inilah yang merupakan
senjata penyerang Kwee Seng sedangkan sulingnya lebih banyak menjadi
senjata penahan atau pelindung dengan suaranya yang menahan pengaruh
suara cambuk dan gerakannya yang menangkis datangnya ujung cambuk.
Kalau Kwee Seng tidak merasa heran menyaksikan kehebatan ilmu cambuk
lawannya, sebaliknya Ban‐pi Lo‐cia kaget dan heran bukan main
menyaksikan gerakan lawan. Raksasa gundul ini tadinya memandang rendah
kepada Kwee Seng yang masih muda dan bersikap seperti seorang pelajar.
Sama sekali ia tidak menyangka bahwa pemuda itu demikian hebat.
Tangkisan suling pemuda itu sanggup menggetarkan cambuknya, sedangkan
hawa pukulan kipas itu selalu mengancam jalan darahnya sehingga terpaksa
ia harus berlaku hati‐hati dan mengelak dengan bantuan gerakan ujung
lengan baju kiri untuk menyelamatkan diri. Padahal ia mengenal betul bahwa
suling itu memainkan ilmu pedang Pat‐sian Kiam‐hoat sedangkan kipas itu
mainkan ilmu silat Lo‐hai San‐hoat. Akan tetapi alangkah bedanya dengan
permainan orang lain.
PART 87
Permainan pemuda ini telah membuat dua macam ilmu silat itu menjadi ilmu
yang amat dahsyat, yang biarpun sudah ia kenal gerakan‐gerakan dan
perubahannya, namun masih sukar untuk dihadapi ! Diam‐diam Ban‐pi Locia
harus mengakui pendapat umum di dunia persilatan bahwa kehebatan
seseorang bukan semata‐mata tergantung kepada ilmu silatnya, melainkan
kepada si orang itu sendiri, kematangan dan kesempurnaannya
memepelajari ilmu itu. Pula benar kalau orang mengatakan bahwa dalam
menghadapi lawan, orang harus berlaku hati‐hati terhadap pertapa, yang
kelihatan tua dan lemah, terhadap pelajar yang kelihatan halus dan terhadap
wanita yang biasanya digolongkan orang lemah !
Puuuttttar‐tar‐tar!!sekali serang, cambuk itu sudah menyambar secara
berturut‐turut hanya selisih beberapa detik saja ke arah ubun‐ubun kepala,
leher, lalu pusar. Kwee Seng menggerakkan suling menangkis serangan pada
ubun‐ubunnya, kemudian ia memiringkan tubuh mengubah kedudukan kaki
untuk menghindarkan diri serangan pada leher. Adapun pecutan pada
pusarnya ia tangkis lagi dengan sulingnya sambil menggerakan kipasnya ke
depan menotok jalan darah pada siku lawan. Kalau totokan ini mengenai
sasaran, tentu lawannya akan terpaksa melepaskan cambuk.
Haiihhh!Ban‐pi Lo‐cia berseru keras, mengerahkan sin‐kang dan ujung
cambuknya terus melibat suling sedangkan totokan pada siku kanannya ia
tangkis dengan ujung lengan sebelah kiri.
Brettt!Robeklah ujung lengan baju oleh ujung kipas, akan tetapi totokan itu
meleset tidak mengenai sasaran. Kwee Seng terkejut karena tak mampu
menarik kembali sulingnya yang terlibat, maka ia menggerakkan kaki maju
setengah langkah, mencondongkan tubuh ke depan dan melanjutkan gerakan
kipasnya, kini menusuk lambung lawan disusul kaki kanan menendang ke
arah pusar !
Diserang secara hebat ini, Ban‐pi Lo‐cia kembali berseru keras dan tubuhnya
meloncat ke belakang. Ia berhasil berhasil menyelamatkan diri dari bahaya,
namun sekali renggut dengan pengerahan tenaga oleh Kwee Seng membuat
suling yang terlibat lepas dari ujung cambuk ! Kwee Seng menahan rasa sakit
pada telapak tangan yang memegang suling, terasa panas dan kesemutan.
PART 88
Hebat ! Kau orang muda aneh dan hebat. Tapi rasakan kini tangan maut Banpi
Locia!Seru raksasa itu dengan suara gembira dan wajah berseri. Memang
raksasa gundul ini mempunyai dua macam kesukaan, yaitu wanita‐wanita
muda yang cantik dan berkelahi ! Makin kuat lawannya, makin gembira
hatinya dan makin muda cantik seorang wanita, makin tergila‐gila dia
sebelum mendapatkannya !
Kini Dewa Locia Berlengan Selaksa itu menjauhkan diri dari lawannya,
cambuknya di gerakkan dan lenyaplah cambuk itu, berubah menjadi
gulungan sinar hitam yang membentuk lingkaran‐lingkaran besar kecil,
lingkaran yang telan‐menelan membingungkan pandangan mata. Juga
diselingi bunyi nyaring seperti halilintar menyambar‐nyambar di waktu
hujan gerimis. Dengan cambuknya yang panjang, raksasa ini dapat
menyerang Kwee Seng dari jarak jauh tanpa bahaya diserang kembali oleh
lawan yang hanya menggunakan dua senjata pendek. Sambil menghujani
lawan dengan lecutan cambuk yang merupakan jari‐jari maut itu, Ban‐pi Locia
lari mengelilingi Kwee Seng.
Kagetlah hati pemuda ini. Tak disangkanya tokoh sakti yang terkenal ini
selain sakti, juga amat licik dan curang, tidak segan‐segan menggunakan akal
pengecut untuk mengalahkan lawan. Ia maklum bahwa karena dia berada
dalam lingkaran, kedudukannya berbahaya, dan membutuhkan ketenangan
sepenuhnya untuk menghadapi serangan seperti itu. Maka ia tiba‐tiba
menghentikan gerakannya, berdiri dengan kuda‐kuda kaki sejajar di kanan
kiri, tubuhnya agak merendah, suling diangkat tangan kanan tinggi melintang
di atas kepala sedangkan kipas terbuka di tangan kiri melindungi bagian
bawah.
Anehnya, Kwee Seng malah meramkan kedua matanya, akan tetapi seakanakan
dapat melihat jelas, ia menggeser kaki setiap kali lawannya berada di
belakang tubuhnya. Serangan‐serangan membanjir datang dari belakang,
kanan dan kiri namun semua itu dapat ia tangkis dengan suling dan dapat ia
kebut dengan kipas. Hebat bukan main pertandingan ini, namun merupakan
pertandingan yang berat sebelah karena Ban‐pi Lo‐cia selalu menyerang
sedangkan Kwee Seng selalu melindungi diri tanpa mampu balas menyerang.
Mengapa Kwee Seng meramkan kedua matanya ? Apakah ia memandang
rendah lawannya ?
PART 89
Bukan, sama sekali bukan ! Karena kehebatan lawannyalah maka ia terpaksa
meramkan matanya. Untuk menghadapi hujan serangan itu, ia membutuhkan
ketenangan dan pengerahan panca inderanya, pencurahan perhatian
sepenuhnya. Kalau ia membuka mata, maka bayangan yang membentuk
lingkaran‐lingkaran besar kecil itu akan menyilaukan mata dan mengacaukan
perhatiannya. Biarpun kedua matanya meram, namun sepasang telinganya
cukup untuk menangkap gerakan lawan. Dan mengapa pula pendekar sakti
yang muda ini rela mengalah dan mempertahankan diri saja tanpa mencari
kesempatan balas menyerang ? Ini pun merupakan siasat baginya, karena
dengan cara ini, ia tidak mengeluarkan banyak tenaga, sebaliknya lawannya
cepat lelah karena harus banyak bergerak dan lari‐lari mengitarinya,
sedangkan dengan penjagaannya yang kokoh dan kuat ia mampu
mempertahankan diri.
Orang‐orang cerdik pandai mengatakan bahwa yang diam itu lebih kuat
daripada yang gerak. Gentong air yang penuh tak tersembunyi, yang kosong
berbunyi nyaring. Orang yang mengerti pendiam, yang bodoh penceloteh. Air
yang diam dalam, yang bergerak dangkal. Demikian pula dalam dunia
persilatan, terutama bagi mereka yang sudah tinggi tingkatnya, terdapat
keyakinan bahwa si penahan lebih kuat kedudukannya daripada si
penyerang. Setiap penyerang berarti membuka pertahanan sendiri yang
menjadi lemah dan juga lengah, sebaliknya si penahan akan selalu menutup
diri mempertahankan diri dengan kokoh dan kuat.
Karena bernafsu sekali ingin mengalahkan Kwee Seng dengan cepat, untuk
beberapa jam lamanya Ban‐pi Lo‐cia lupa akan hal ini dan terus menerus
menghujankan serangannya yang selalu sia‐sia karena dapat ditangkis lawan.
Namun diam‐diam Kwee Seng juga mengerti bahwa lawan yang sekali ini
bukan lawan yang biasa, dan tidak dapat diharapkan cepat‐cepat menjadi
lelah. Juga dalam tingkat ilmu silat dan tenaga, Ban‐pi Lo‐cia benar‐benar
sudah hebat sekali dan ia tidak berani mengaku sudah lebih pandai daripada
lawan ini. Sulingnya sudah retak‐retak dan kedua tangannya sudah mulai
lelah dipakai menangkis semua serangan itu. Diam‐diam Kwee Seng
menggerakkan ujung jari kakinya, mengerahkan tenaga menjebol sepatunya
sendiri sehingga ibu jari kaki kanannya tampak keluar dari sepatunya.
Ia mencari kesempatan baik. Ketika Ban‐pi Lo‐cia menggerakkan cambuk ke
atas kepala membuat lingkaran‐lingkaran baru untuk memulai serangkaian
serangan dahsyat, tiba‐tiba ibu jari itu menyentil ke depan. Segumpal tanah
melayang cepat sekali memasukilubang pertahanan Ban‐pi Lo‐cia yang
terbuka dan cepat menghantam jalan darah di bawah lengan Si Raksasa.
PART 90
Kyaaaa!Ban‐pi Lo‐cia terhuyung‐huyung mundur dan tangan kanannya
menjadi setengah lumpuh, matanya melotot heran dan kaget.
Tentu saja Kwee Seng tidak mau menyia‐nyiakan kesempatan ini. Ia meloncat
ke depan dan menerkam bagaikan seekor singa, menggerakkan suling dan
kipasnya menghantamkan serangan‐serangan maut. Namun Ban‐pi Lo‐cia
adalah seorang tokoh yang banyak pengalaman dan tubuhnya sudah kebal.
Serangan segumpal kecil tanah tadi hanya membuat ia terhuyung‐huyung
sejenak, dan kini tangan kirinya sudah cepat menyambar cambuknya sendiri
dari tangan kanan yang agak lumpuh, kemudian cambuk itu melecut‐lecut
dengan bunyi keras, membentuk benteng sinar bergulung di depan tubuhnya
sehingga suling dan kipas Kwee Seng dapat ditangkisnya. Dalam menangkis
ini, Si Raksasa mengerahkan lwee‐kangnya. Terdengar suara keras ketika
cambuk beradu dengan suling dan kipas, akibatnya Keduanya terlempar ke
belakang sampai tiga empat meter dan keduanya jatuh bergulingan di atas
tanah !
Dengan napas terengah‐engah dan keringat membasahi mukanya, raksasa
gundul itu duduk di atas tanah sambil memandang dengan muka berseri,
Heh‐heh‐heh, kau hebat orang muda!
Kwee Seng juga sudah bangkit duduk dan mengatur napas memulihkan
tenaganya. Dan kau jahat, Ban‐pi Lo‐cia!jawabnya.
Kembali Si Raksasa gundul tertawa. Aku pernah mendengar sayup sampai
tentang seorang tokoh berjuluk Kim‐mo‐eng, yang tingkat kepandaiannya
sudah masuk hitungan. Agaknya kaukah orangnya?
Tidak salah, para Locianpwe memberi sebutan Kim‐mo‐eng kepadaku.
Heh‐heh‐heh, masih muda sudah sombong, ya ? Kau kira Ban‐pi Lo‐cia kalah
olehmu ? Kita masih seri, belum ada yang menang atau kalah. Mari kita
lanjutkan!Raksasa itu berdiri, cambuknya terayun‐ayun di tangan kanan yang
sudah pulih kembali.
Share This Thread