PART 91
Kwee Seng juga bangkit berdiri. Aku selau melayani, kalau kau memang
hendak berkelahi, dan aku selalu akan menghalangimu, kalau kau hendak
melakukan hal‐hal jahat!
Ban‐pi Lo‐cia tertawa bergelak lalu menerjang maju dan memaksa lawannya
melakukan pertandingan jarak dekat yang lebih berbahaya. Ia hendak
mengadu tenaga dalam pertemuan tenaga tadi si raksasa ini dapat menduga
bahwa dalam hal tenaga dalam, ia menang setingkat.
Dan hal ini memang harus diakui oleh Kwee Seng. Pemuda itu kini mendapat
kesempatan balas menyerang, namun ia sedapat mungkin menghindarkan
adu tenaga karena hal ini akan banyak merugikannya. Sulingnya sudah retak
dan kalau terus‐menerus diadu dengan cambuk, tentu akan hancur
sedangkan cambuk lawannya sama sekali tidak mengalami kerusakan apaapa,
Kwee Seng mengerahkan gin‐kang (meringankan tubuh) dan
menggunakan kegesitannya untuk menghadapi serangan dengan balasan
serangan pula. Ia lebih muda, tubuhnya lebih kecil dan karenanya ia lebih
gesit daripada lawannya yang tua dan tinggi besar.
Kini Kwee Seng benar‐benar menguras ilmunya. Ia mencoba mainkan segala
macam ilmu silat yang pernah ia pelajari, namun tetap saja ia tidak mampu
mendesak lawan. Sebaliknya, tidaklah muda bagi Ban‐pi Lo‐cia untuk
mengalahkan lawan yang amat kuat ini. Dalam benturan ke dua yang sama
dahsyatnya dengan tadi, keduanya kembali terjengkang sampai beberapa
meter jauhnya. Pertandingan telah setengah malam dan kini fajar mulai
menyingsing, sinar merah mengambang di ufuk timur. Mereka saling
pandang, muka berpeluh, uap putih mengepul dari ubun‐ubun kepala
masing‐masing.
Bah, kau ini orang muda luar biasa. Selama hidup baru sekali ini bertemu
orang muda seperti kau. Baru dua kali selama hidupku benar‐benar gembira
melakukan pertandingan. Pertama melawan Pat‐jiu Sin‐ong Liu Gan, ke dua
dengan kau inilah ! Heh‐heh‐heh ! Orang muda, aku pernah mendengar kau
ini diambil murid Bu Kek Siansu. Manusia dewa itu katanya paling sakti, akan
tetapi mengapa muridnya hanya seperti kau ini, manusia biasa yang dapat
kulawan?
PART 92
Aku tidak mendapat kehormatan sebesar itu menjadi murid beliau, aku
hanya pernah beruntung menerima petunjuknya. Tak usah kau membawabawa
nama suci Bu Kek Siansu. Kalau memang hendak bertanding, mari kita
lanjutkan.Kwee Seng kini bangkit lebih dulu. Ia mulai penasaran menghadapi
lawan yang begini tangguh dan ulet.
Heh‐heh‐heh, sampai mati, bocah sombong!Ban‐pi Lo‐cia menerjang maju
dan kini ia membekuk cambuknya lalu menghantam dengan gerakan ilmu
silat toya. Pukulan yang hebat ini tak mungkin dielakkan lagi. Terpaksa Kwee
Seng menangkis dengan sulingnya, berbareng menyodokkan kipasnya.
Brakkkk!! Uh‐uhKwee Seng terhuyung mundur, sulingnya hancur ! Akan
tetapi Ban‐pi Lo‐cia juga terhuyung mundur, perutnya kena ditotok ujung
kipas sehingga mendadak perut itu menjadi mulas ! Kalau orang lain terkena
totokan ujung kipas yang mengandung tenaga sin‐kang, tentu akan tembus
perutnya atau rusak isi perutnya, mati seketika. Akan tetapi Ban‐pi Lo‐cia
yang sudah kebal itu hanya merasakan perutnya mulas seperti orang terlalu
banyak lombok saja !
Serrr.. serrrserrr!Belasan batang anak panah menyambar ke arah Ban‐pi Locia.
Cepat kakek itu mengibaskan lengan bajunya dan anak‐anak panah itu
runtuh berhamburan. Dari kanan kiri berlompatan keluar belasan orang yang
bersenjata lengkap.
Inilah hwesio jahat itu ! Serbu KeroyokKiranya belasan orang ini adalah lima
orang jago silat bersama teman‐temannya, sedangkan di belakang mereka
masih tampak puluhan orang yang merupakan regu penjaga keamanan.
Agaknya peristiwa di tengah telaga itu telah dilaporkan oleh hartawan Lim
yang minta bantuan yang berwajib, sedangkan lima orang jago silat sudah
mengundang teman‐temannya untuk membantu.
Kwee Seng yang maklum bahwa sekian banyaknya orang itu bukanlah lawan
Ban‐pi Lo‐cia, cepat menerjang lagi si raksasa gundul dengan kipasnya. Banpi
Lo‐cia juga maklum bahwa Kwee Seng merupakan lawan seimbang, kalau
sekarang dibantu oleh puluhan orang, ia bisa celaka. Sambil tertawa
terkekeh‐kekeh, ia melompat dan sekali lompat ia telah melampaui kepala
mereka yang mau mengeroyok. Mendadak tujuh orang pengeroyok jatuh
berturut‐turut dan mati seketika karena kepala mereka telah kena disambar
PART 93
hawa pukulan Ban‐pi Lo‐cia yang mereka sambil melompat pergi. Dari jauh
terdengar suaranya.
Eeh, Kwee Seng. Belum selesai pertandingan kita, lain kali kita lanjutkan!
Sekarang pun boleh!Kwee Seng juga melompat dan mengejar karena ia
makin penasaran, apalagi melihat raksasa itu pergi sambil membunuh tujuh
orang. Akan tetapi beberapa lama ia mengejar, tak tampak bayangan raksasa
itu. Kwee Seng tidak mau kembali ke tempat tadi, tidak suka ia bertemu
dengan mereka yang tentu hanya akan merepotkannya saja. Ia lalu
mengambil jalan sunyi menjauhi telaga. Ia merasa menyesal bahwa sulingnya
telah hancur, tak dapat dipakai menyuling, apalagi sebagai senjata. Dengan
lesu ia melempar sulingnya yang hancur dan terasa betapa tubuhnya basah
semua oleh peluh. Ia perlu beristirahat memulihkan kekuatannya. Ia hendak
mencari tempat yang sunyi agar tidak terganggu orang lain.
Kongcu Kalau suara ini parau dan kasar, agaknya Kwee Seng takkan
mengacuhkannya. Akan tetapi justeru tidak demikian. Suara itu halus dan
merdu, dan inilah yang membuat ia bagaikan terpagut ular dan cepat ia
berpaling ke kiri.
Dia sendiri di situ ! Siapa lagi kalau bukan Ang‐siauw‐hwa, pakaiannya masih
serba merah muda, dari pita penghias rambut sampai sepatunya. Akan tetapi
terang bukan pakaian yang semalam, karena pakaian ini selain kering juga
bersih sekali. Rambutnya digelung indah terhias perhiasan burung Hong dari
emas dan permata. Sepasang pipinya kemerahan, matanya bersinar‐sinar,
bibirnya tersenyum manis. Akan tetapi wajah yang cantik itu kelihatan
berbayang menjadi dua tiga oleh pandangan mata Kwee Seng yang
berkunang‐kunang. Pertandingan setengah malam suntuk itu ternyata hebat
pula akibatnya bagi pemuda ini.
Kongcu, kau kenapa Kau terluka Kwee Seng memaksa diri tersenyum dan
menggeleng kepala. Akan tetapi wanita itu sudah maju mendekat dan
memegang tangannya. Ah, kau tentu terluka. Hwesio itu jahat sekali. Kau
kelihatan lemah dan lelah, Kongcu. Aku sengaja menunggumu disini dan
kebetulan kau lewat di sini. Bukankah ini jodoh namanya?
PART 94
Ooh tanya Kwee Seng lemah, kata‐kata ini mengejutkan dan mengherankan
hatinya.
Ang‐siaw‐hwa menarik lengannya. Tentu saja jodoh. Kongcu, marilah ikut
Ang‐siauw‐hwa, kau perlu beristirahat, biarlah Ang‐siauw‐hwa merawatmu.
Dengan kata‐kata yang mesra dan merdu ini wanita itu menggandeng tangan
Kwee Seng dan dituntunnya pergi.
Kenapa kenapa kau begini baik kepadakuKwee Seng masih mencoba
menolak. Akan tetapi Ang‐siauw‐hwa menarik tangannya dan diguncangguncangnya.
Kenapa ? Karena kau telah menolong nyawaku, menyelamatkan
kehormatanku. Kongcu, karena karena aku ingin belajar menyuling darimu
Menyuling ?Akan tetapi keadaan Kwee Seng makin lemas. Pertemuan ini
mengganggu hati dan pikirannya dan amat merugikannya kerena seharusnya
ia dapat beristirahat memulihkan tenaga tenaga dalam yang banyak
dikerahkan dalam pertempuran. Bagaikan seorang mimpi dan linglung ia
membiarkan dirinya digandeng dan dituntun Ang‐siauw‐hwa dan ia hampir
tidak sadar ke mana ia dibawa oleh wanita itu.
Ketika Kwee Seng membuka matanya, ia telah rebah di atas pembaringan
yang hangat, bersih dan berbau harum. Kamar itu indah sekali dan di pinggir
pembaringan ia melihat Ang‐siauw‐hwa duduk memijiti pundak dan
lengannya.
Melihat betapa di atas meja ada lilin tertutup sutera biru, ia heran dan tahu
bahwa saat itu hari telah malam. Akan tetapi melihat wanita cantik itu duduk
begitu dekat dengannya dan hanya mengenakan pakaian yang tipis, ia
meramkan matanya kembali.
Ambilkan bubur dan sayur itu, kemudian kalian pergi tinggalkan kamar ini,
aku hendak melayani Kongcu makan.Terdengar Ang‐siauw‐hwa berkata
perlahan. Dari balik bulu matanya Kwee Seng melihat dua orang wanita
pelayan yang tadinya duduk di bawah, bangkit berdiri. Tak lama kemudian
mereka datang lagi membawa baki terisi hidangan untuknya.
PART 95
Kongcu, kau harus makan dulu. Sudah sehari penuh kau tidur.Kata Angsiauw‐
hwa sambil menyingkapkan selimut yang menutupi tubuh Kwee Seng.
Pemuda ini bangkit duduk, memandang ke sekeliling lalu berkata, penuh
kegugupan dan malu‐malu.
Ah, agaknya aku tak sadar tertidur di sini, menyusahkan Nona saja. Biarkan
aku pergi
Akan tetapi Ang‐siauw‐hwa merangkulnya. Mengapa begitu, Kongcu ? Tidak
sudikah Kongcu menerima pembalasan budi dariku ? Apakah Kongcu seperti
orang‐orang lain memandang rendah kepadaku, seorangpelacur?Wanita itu
masih memeluknya sambil menangis !
Kwee Seng menarik napas panjang. Ia suka kepada nona ini, yang selain
cantik jelita juga halus tutur sapanya, baik budinya. Akan tetapi tentu saja ia
tidak suka melibatkan dirinya dalam perhubungan dengan seorang *******.
Sudahlah, Nona. Aku sekali‐kali tidak memandang rendah kepadamu. Kau
baik sekali.
Nona itu mengangkat mukanya dan biarpun air mata masih membasahi
pipinya,ia teresenyum gembira. Marilah makan, Kongcu.Katanya merdu.
Kwee Seng tidak menolak lagi, perutnya amat lapar. Tidur sehari itu amat
bermanfaat baginya, memulihkan sebagian tenaganya. Setelah makan yang
dilayani amat mesra oleh Ang‐siauw‐hwa, ia merasa tubuhnya segar kembali.
Ang‐siauw‐hwa menepuk tangannya dan dua orang pelayan datang dan
segera diperintahnya untuk membersihkan mangkok piring, lalu menyuruh
mereka pergi lagi. Kemudian, dengan gerakan lemah gemulai dan mesra,
tanpa ragu‐ragu atau malu‐malu lagi Ang‐siauw‐hwa lalu menghampiri Kwee
Seng dan duduk diatas pangkuannya !
Ah, Nonainiini.. bagaimanaKwee Seng tergagap.
PART 96
Kongcu, budimu terlalu besar. Tak tahu aku dengan apa aku harus membalas
budimu, selain dengan penyerahan diriku menjadi hambamu, menjadi
budakmu dan melakukan apa saja untuk memalas budimu. Kongcu, bolehkah
aku mengetahui namamu?
Tidak karuan rasa hati Kwee Seng. Kepalanya sampai terasa pening dan
dengan halus ia mendorong tubuh nona itu dari atas pangkuannya. Nona,
duduklah yang betul dan mari kita bicara. Kau mau tahu namaku ? Aku
adalah Kwee Seng, seorang pelajar gagal yang tiada tempat tinggal, miskin
dan tak berharga.
Ah, Kwee‐kongcu mengapa bicara begitu ? Kau seorang budiman, gagah
perkasa dan amat berharga. Kalau mau bicara tentang orang tak berharga,
akulah orangnya Kembali nona itu menangis dan ia kini duduk di atas kursi
dan menutupi muka dengan kedua tangannya. Kwee Seng melihat air mata
menetes dari celah‐celah jari tangan yang putih, halus dan kecil meruncing
itu.
Nona, kulihat kau bukan orang sembarangan. Kau terpelajar dan tidak
kelihatan seperti gadis bodoh. Mengapa kau sampai sampai tidak kuasa ia
melanjutkan kata‐katanya menyebut *******.
Sampai menjadi *******?Ang‐siauw‐hwa menurunkan tangannya dan
mukanya menjadi merah sekali, air mata menetes di sepanjang kedua pipinya
yang halus kemerahan. Ah, panjang ceritanya, Kwee‐kongcu. Ketahuilah, di
waktu kecilku, aku adalah seorang berdarah bangsawan, Ayahku seorang
pangeran dari Kerajaan Tang
Kaget seperti disambar petir rasa hati Kwee Seng. Ahhh ! Mengapa sampai
begini?
Nona itu dengan suara pilu bercerita. Ayahnya memang seorang pangeran
bernama Khu Si Cai yang mempunyai sepasang puteri kembar. Ketika
kerajaan Tang runtuh, sekeluarga pangeran ini menjadi korban pula, semua
tewas kecuali sepasang anak kembar itu yang berhasil di bawa lari oleh
seorang pelayan. Akan tetapi di tengah jalan mereka terhalang oleh keributan
dan perang sehingga seorang di antara dua anak kembar itu terlepas dari
PART 97
Kongcu, budimu terlalu besar. Tak tahu aku dengan apa aku harus membalas
budimu, selain dengan penyerahan diriku menjadi hambamu, menjadi
budakmu dan melakukan apa saja untuk memalas budimu. Kongcu, bolehkah
aku mengetahui namamu?
Tidak karuan rasa hati Kwee Seng. Kepalanya sampai terasa pening dan
dengan halus ia mendorong tubuh nona itu dari atas pangkuannya. Nona,
duduklah yang betul dan mari kita bicara. Kau mau tahu namaku ? Aku
adalah Kwee Seng, seorang pelajar gagal yang tiada tempat tinggal, miskin
dan tak berharga.
Ah, Kwee‐kongcu mengapa bicara begitu ? Kau seorang budiman, gagah
perkasa dan amat berharga. Kalau mau bicara tentang orang tak berharga,
akulah orangnya Kembali nona itu menangis dan ia kini duduk di atas kursi
dan menutupi muka dengan kedua tangannya. Kwee Seng melihat air mata
menetes dari celah‐celah jari tangan yang putih, halus dan kecil meruncing
itu.
Nona, kulihat kau bukan orang sembarangan. Kau terpelajar dan tidak
kelihatan seperti gadis bodoh. Mengapa kau sampai sampai tidak kuasa ia
melanjutkan kata‐katanya menyebut *******.
Sampai menjadi *******?Ang‐siauw‐hwa menurunkan tangannya dan
mukanya menjadi merah sekali, air mata menetes di sepanjang kedua pipinya
yang halus kemerahan. Ah, panjang ceritanya, Kwee‐kongcu. Ketahuilah, di
waktu kecilku, aku adalah seorang berdarah bangsawan, Ayahku seorang
pangeran dari Kerajaan Tang
Kaget seperti disambar petir rasa hati Kwee Seng. Ahhh ! Mengapa sampai
begini?
Nona itu dengan suara pilu bercerita. Ayahnya memang seorang pangeran
bernama Khu Si Cai yang mempunyai sepasang puteri kembar. Ketika
kerajaan Tang runtuh, sekeluarga pangeran ini menjadi korban pula, semua
tewas kecuali sepasang anak kembar itu yang berhasil di bawa lari oleh
seorang pelayan. Akan tetapi di tengah jalan mereka terhalang oleh keributan
dan perang sehingga seorang di antara dua anak kembar itu terlepas dari
PART 98
pangeran sampai begini, pikirnya. Karena ia yakin bahwa semua sikap nona
ini bukan pura‐pura, melainkan keluar dari setulusnya hati yang amat
berhutang budi kepadanya, maka ia pun tidak tega untuk menolak
pernyataan kasih sayangnya, apalagi memang ia amat tertarik oleh nona yang
memiliki kecantikan jarang keduanya ini.
Setelah reda menangis, tanpa melepaskan pelukannya Ang‐siauw‐hwa
berkata, suaranya mesra dan manja. Aku tertarik sekali oleh bunyi sulingmu,
Kwee‐koko, kuharap kau suka mengajarku. Hati Kwee Seng berdebar sebutan
Kongcu (Tuan Muda) berubah menjadi Koko (Kakanda) ini.
Sulingku remuk oleh si Hwesio jahanam.Jawabnya, masih mengagumi rambut
hitam halus panjang dan harum itu.
Di sebelah barat telaga ada penjual suling yang baik, biarlah ku suruh pelayan
membeli untukmu.
Tak usah, biarlah kubeli sendiri besok. Memilih sebuah suling bukanlah
sembarangan, harus dicoba dulu.
Malam itu merupakan malam yang amat mesra bagi Kwee Seng, akan tetapi
juga malam yang menimbulkan kasihan di hatinya terhadap Ang‐siauw‐hwa,
rasa kasihan yang tentu dengan mudah akan menggelimpang menjadi rasa
cinta kalau saja ia tidak teringat bahwa nona ini adalah seorang ******* !
Di lain fihak, sama sekali tidaklah aneh kalau Ang‐siauw‐hwa Khu Ki In jatuh
cinta kepada Kwee Seng karena selama hidupnya, baru sekarang ia bertemu
dengan pemuda yang tidak memandangnya sebagai seorang ******* yang
hina. Biasanya, laki‐laki yang manapun juga hanya akan menganggap ia
sebagai barang permainan, yang datang kepadanya dengan kandungan nafsu
dan mengharapkan kesenangan dan hiburan daripadanya. Akan tetapi kwee
Seng ini berbeda sekali, pemuda tampan ini menolongnya tanpa pamrih,
menganggapnya manusia terhormat, maka sekaligus hatinya jatuh dan tidak
mengherankan kalau dia dengan rela menyerahkan jiwa raga kepada Kwee
Seng dan mengharapkan untuk dapat melayani pemuda itu selama hidupnya
!
PART 99
Pada keesokan harinya, pagi‐pagi sekali Kwee Seng berpamit kepada Angsiauw‐
hwa yang masih setengah tidur di atas pembaringan. Moi‐moi, aku
pergi dulu hendak mencari suling yang baik.
Dengan mata masih setengah meram, Ang‐siauw‐hwa mengembangkan
kedua lengannya yang berkulit putih halus ke arah Kwee Seng, lalu berkata,
suaranya mesra dan penuh cinta kasih, Kwee‐kokojangan kau tinggalkan aku
lagi.
Kwee Seng merasa terharu sekali. Ia merasa yakin akan perasaan cinta
wanita ini kepadanya. Untuk sejenak jari‐jari tangan mereka saling
cengkeram lalu Kwee Seng melepaskannya dan berkata sambil tersenyum.
Jangan kuatir, Moi‐moi, aku takkan meninggalkanmu begitu saja sebelum kau
pandai bersuling!
Entah mengapa ia sendiri tidak tahu, pagi itu Kwee Seng merasa gembira
sekali.
Lenyap sudah rasa lelah dan lemah sebagai akibat pertandingan mati‐matian
melawan Ban‐pi Lo‐cia. Sinar matahari pagi yang menyoroti permukaan air
telaga dan pohon‐pohon di sekitarnya, tampak amat indah menyegarkan.
Suara kicau burung pagi amat sedap, tidak seperti biasanya. Dan pemuda ini
tersenyum, matanya bersinar‐sinar, dan kedua pipinya menjadi kemerahan
bibirnya tersenyum aneh kalau ia teringat pada Ang‐siauw‐hwa ! Ia harus
mencari suling yang baik, tidak saja yang baik suaranya, akan tetapi juga
yang memenuhi syarat untuk menjadi senjata. Bambu yang pilihan tua dan
kering betul.
Benar seperti dikatakan Ang‐siauw‐hwa, di sebelah barat telaga itu terdapat
seorang penjual suling buatannya sendiri. Akan tetapi Kwee Seng kecewa
melihat bahwa biarpun pembuatannya amat halus, namun bahannya terbuat
daripada bambu biasa saja.
Saya mempunyai sebatang bambu berbintik hitam yang biasa disebut bambu
berbintik hitam, Kongcu. Bambu itu saya beli mahal dari seorang perantau di
PART 100
Lembah Huang‐ho, akan tetapi karena mahalnya, sampai sekarang belum
saya bikin suling, takut tidak akan ada yang berani membelinya.Akhirnya Si
Tukang Pembuat Suling itu berkata. Kwee Seng girang sekali. Ia mengenal
bambu naga hitam sebagai bambu yang kuat dan lurus maka amatlah baik
untuk dijadikan suling dan dibuat senjata.
Mana bambu itu ? Kenapa tidak dari tadi kaubilang ? Keluarkanlah, biar
kumelihatnya.
Setelah bambu itu dikeluarkan, Kwee Seng menjadi girang sekali. Benar
bambu naga hitam yang amat baik, tua dan sudah kering betul. Mereka
tawar‐menawar, kemudian Kwee Seng berkata, Jadilah. Harap kaubuatkan
suling dari bambu ini sekarang juga, aku akan menunggunya.
Setengah hari lebih Kwee Seng berada di rumah pembuat suling itu. Akhirnya
lewat tengah hari, suling itu pun jadi dan setelah mencobanya dan mendapat
kenyataan bahwa memang sudah tepat ukuran lubang‐lubangnya. Kwee Seng
membayar harga suling yang limapuluh kali lebih mahal daripada harga
suling biasa, membeli pula sebuah suling biasa dan meninggalkan tempat itu.
Ia girang sekali, mempercepat larinya menuju ke rumah mungil yang
menurut cerita Ang‐siauw‐hwa menjadi tempat istirahatnya tak jauh dari
telaga.
Moi‐moi, kaulihatlah suling ini!Di depan pintu rumah Kwee Seng sudah
berseru memanggil, rindu akan senyum manis dan pandang mata mesra yang
pasti akan menyambutnya. Akan tetapi sunyi saja di sebelah dalam. Kwee
Seng mendorong daun pintu dan dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat
dua sosok tubuh melang‐melintang di belakang daun pintu. Ketika ia
membungkuk dan memeriksa, ternyata itu adalah dua orang pelayan wanita
yang sudah tak bernyawa lagi tanpa menderita luka yang kelihatan. Kwee
Seng menjadi pucat mukanya.
Moi‐moi serunya dan mendengar ada suara perlahan dari dalam kamar,
sekali meloncat ia sudah menerjang dun pintu kamar dan masuk ke dalam
kamar. Apa yang dilihatnya ? Memang Ang‐siauw‐hwa berada di situ, akan
tetapi dalam keadaan yang jauh bedanya dengan malam tadi, Gadis itu
telentang di atas pembaringan, pakaiannya hampir telanjang, rambutnya
terlepas dari ikatan dan menutupi sebagian leher dan dada, bajunya yang
PART 101
berwarna merah muda itu robek‐robek dan penuh darah yang keluar dari
dadanya di mana tampak menancap sebuah gunting !
Kwee Segera menubruknya, akan tetapi sekali pandang maklumlah ia bahwa
nyawa gadis ini tak dapat ditolongnya lagi, karena gunting itu tepat
menancap di ulu hati. Ia diam‐diam heran mengapa Ang‐siauw‐hwa tidak
mati seketika dengan tusukan seperti itu.
Moi‐moi siapa melakukan ini Ia mengguncang‐guncang pundak wanita itu.
Ang‐siauw‐hwa membuka matanya yang sudah layu dan tiba‐tiba gadis itu
tersenyum lemah. Kwee‐kokokau datang terlambat tapi lebih baik beginitak
mungkin aku dapat melihat mukamu setelah apa yang terjadilebih baik aku
akhiri hidupku
Apa katamu ? Kau membunuh diri ? Tapitapi mengapa, Moi‐moi
Koko pada saat kau pergi datang hwesio iblis ituah, dua orang pelayanku
dibunuhnya dan aku aku Wanita itu menangis dan napasnya terengah‐engah.
Setelah bertemu dengan engkau setelah aku bersumpah setia hanya padamu
seorangkebiadaban hwesio itu membuat aku tak mungkin dapat melihatmu
lagi di dunia ini aku aku ah koko, aku cinta padamu kau carikan saudaraku
Gin In
Moi‐moi,Akan tetapi Ang‐siauw‐hwa atau Khu Lim In yang bernasib malang
itu telah menghembuskan napas terakhir dalam pelukan Kwee Seng.
Pada saat itu, dari luar terdengar suara perempuan memanggil. Ang‐siauwhwaKenapa
kau dua hari tidak kembali ke kota ? Aku menanti‐nantimu,
banyak tamu menanyakan kauLalu terdengar jerit wanita.
Kwee Seng maklum bahwa tentu wanita yang datang itu Bibi Cang yang
sudah melihat dua orang pelayan yang tewas, maka untuk tidak melibatkan
diri dalam urusan pembunuhan ini, cepat ia merebahkan tubuh Ang‐siauw
PART 102
hwa di atas pembaringan, menunduk dan mencium bibir yang mulai layu itu
dan secepat kilat ia melompat ke luar kamar melalui jendela, membawa
jubahnya yang kemarin dipinjam Ang‐siauw‐hwa, dan meninggalkan
sulingnya di dekat tubuh ******* itu.
Demikianlah, Sian‐moi, pertemuanku dengan Ban‐pi Lo‐cia yang
mengangkibatkan sulingku hancur!Kwee Seng mengakhiri ceritanya kepada
Liu Lu Sian. Tentu saja dalam cerita itu ia tidak menjelaskan hubungannya
dengan Ang‐siaw‐hwa secara jelas. Dalam pandangannya, dibandingkan
dengan Ang‐siauw‐hwa, Liu Lu Sian menang segala‐galanya. Kalau Angsiauw‐
hwa diumpamakan setangkai bunga, maka ******* itu adalah bunga
botan yang tumbuh dilapangan rumput, tiada pelindung dan mudah
dilayukan sinar matahari dan dirontokkan angin besar. Akan tetapi Liu Lu
Sian merupakan setangkai bunga mawar hutan yang semerbak harum, indah
terlindungi pohon besar, di samping itu sukar dipetik karena tertutup duridurinya
yang runcing.
Kwee‐koko, mengapa ketika kau bercerita tentang dicemarkannya ******* itu
oleh Ban‐pi Lo‐cia, matamu berkilat marah ! Seorang perempuan lacur
macam Ang‐siauw‐hwa itu, mana ada harganya untuk dibela?Memang ini
termasuk sebuah di antara watak Lu Sian yang aneh. Kalau ada laki‐laki
menyatakan suka atau tertarik oleh wanita lain, biarpun laki‐laki itu bukan
apa‐apanya, ia akan merasa iri hati dan cemburu !
Di lain fihak, Kwee Seng adalah seorang pemuda yang sama sekali belum
berpengalaman tentang wanita dan asmara, maka ia tidak tahu dan tidak
mengerti akan sikap ini. Ia malah merah mukanya karena jengah mendengar
teguran Lu Sian.
Ah, mengapa kau bilang begitu, Sian‐moi ? ******* atau bukan, dia hanya
seorang lemah yang diperkosa oleh seorang jahat yang kuat. Sudah menjadi
kewajibanku untuk membelanya, dan sudah semestinya kalau aku marah
melihat kejahatan Ban‐pi Lo‐cia. Aku mengharapkan perjumpaan sekali lagi
dengan pendeta iblis itu!
Makin tak senang hati Lu Sian karena dianggapnya bahwa kematian *******
itu membuat Kwee Seng sakit hati dan ini menandakan bahwa pemuda itu
jatuh cinta kepada Si *******.
PART 103
Koko, apakah kau mencinta perempuan hina itu?tiba‐tiba ia bertanya,
matanya memandang tajam. Kwee Seng juga memandang dan melihat sinar
mata bening tajam itu bertambah kagumlah hatinya.
Tidak, aku hanya kasihan kepadanya.Jawab Kwee Seng, suaranya jelas
menyatakan isi hatinya.
Akan tetapi agaknya Liu Lu Sian belum puas. Gadis ini mengerutkan
keningnya dan mendesak lagi. Pernahkah kau jatuh cinta ? Adakah seorang
wanita yang kau cinta di dunia ini?
Bertemu dengan pandang mata tajam bening penuh selidik itu, muka Kwee
Seng menjadi makin merah. Sebelum menjawab ia menggigit bibir menekan
perasaan, kemudian katanya.
Selama ini aku tidak pernah jatuh cinta. Hanya setelah bertemu dengan
engkau, Sian‐moiah, entahlah. Agaknya kalau ini yang dinamakan cinta,
berarti aku jatuh cinta kepadamu!
Mendengar kata‐kata ini, lu Sian hanya tertawa, tertawa senang sekali.
Kemudian ia bangkit dari tempat duduknya dan berkata. Kwee‐koko, mari
kita melanjutkan perjalanan.
Apa ? Hampir tengah malam begini?Akan tetapi Lu Sian sudah melangkah ke
kamarnya dan tak lama kemudian ia keluar lagi membawa buntalan pakaian
dan memanggil pelayan dengan suara nyaring. Ketika pelayan berlari‐lari
datang, ia cepat memerintahkan pelayan untuk menuntun dua ekor kuda
mereka dan menyiapakannya di depan rumah penginapan.
Mengapa tidak, Koko ? Apa salahnya melakukan perjalanan malam ? Setelah
keributan tadi, aku tidak senang di sini, ingin lekas‐lekas pergi saja. Aku ingin
berada di tempat bebas dan udara terbuka untuk mendinginkan kepala agar
dapat aku enak memikirkan.
PART 104
Memikirkan sesuatu saja harus pergi tengah malam di tempat terbuka?Kwee
Seng mengomel karena sesungguhnya ingin ia mengaso. Memikirkan apa
saja, sih?
Liu Lu Sian tersenyum manis. Memikirkan pernyataan cintamu tadi itu!
Kwee Seng melongo dan pipinya menjadi merah, akan tetapi cepat‐cepat ia
pun mengambil pakaian dan keduanya lalu keluar dari rumah penginapan,
melompat ke atas kuda dan meninggalkan pelayan‐pelayan yang memandang
dengan mata terbelalak, terheran‐heran menyaksikan dua orang muda yang
lihai dan royal itu, yang meninggalkan hadiah tidak sedikit di tangan mereka
sebelum pergi.
Begitu keluar dari kota, Lu Sian membalapkan kudanya, Kwee Seng terpaksa
mengikutinya dengan perasaan heran. Alangkah anehnya gadis ini, pikirnya,
dan hatinya berdebar kalau ia teringat betapa tadi ia telah mengucapkan
pengakuan cintanya kepada Lu Sian. Akan tetapi ternyata gadis ini
melakukan perjalanan setengah malam suntuk tanpa bicara dan Kwee Seng
yang masih marasa malu karena pengakuan cintanya, tidak berani bicara
sesuatu, hanya mengiringkan gadis itu dari belakang.
He, paman tukang perahu ! Mari kau seberangkan aku dan kudaku ke sana !
Berapa biayanya kubayar!
Tukang perahu yang kurus dan bermata sipit memakai topi lebar itu segera
meminggirkan perahunya, perahu yang cukup besar. Ternyata ia seorang
nelayan karena di atas dek perahu tampak alat‐alat pancing dan jaring. Di
bagian belakang perahu duduk seorang anak tanggung memegang dayung
bambu panjang.
Baiklah, nona. Memang setiap hari kerjaku hanya menyeberangkan orang
yang lari mengungsi. Akan tetapi dari seberang sana ke sini. Sungguh heran
sekali pagi‐pagi buta begini nona malah hendak menyeberang ke sana.Kata si
tukang perahu dengan suara penuh keheranan.
PART 105
Lu Sian menuntun kudanya dan mengajaknya melompat ke atas dek perahu,
sedangkan Kwee Seng mengikutinya tanpa banyak bicara. Dalam keadaan
remang‐remang kini ia dapat melihat wajah gadis itu, masih berseri‐seri
gembira dan cantik sekali.
Kali ini Lu Sian melirik kepadanya dan tersenyum‐senyum manis, akan tetapi
juga tidak bicara apa‐apa.
Ah, Paman, kau tadi bilang apa?ketika perahu sudah meluncur ke tengah, Lu
Sian bertanya. Orang‐orang mengungsi dari sana ? Ada terjadi apakah
diseberang sana?
Si Tukang Perahu memandang, keningnya berkerut. Apakah nona belum tahu
? Daerah San‐si mulai geger. Sejak gubernur Li Ko Yung berkuasa dan
kerajaan Tang ditumbangkan belum pernah terjadi kehebohan di kalangan
rakyat. Akan tetapi setelah Jenderal Muda Kam menentang kekuasaan
gubernur dan tidak setuju dengan pemberontakan melawan kerajaan,
keadaan menjadi geger karena jenderal Kam mempunyai banyak pengikut.
Malah sesungguhnya rakyat banyak yang menyokong jenderal muda gagah
perkasa itu. Banyaklah dilakukan penangkapan‐penangkapan oleh gubernur,
dengan tuduhan memberontak
Ah Dan bagaimana dengan jenderal itu ? Apakah ditangkap juga ? Dan
dimana dia sekarang?
Lu Sian agaknya tertarik sekali, akan tetapi Kwee Seng mendengar semua itu
dengan hati dingin. Memang sama sekali ia tidak ada perhatian terhadap
keributan negara yang tiada hentinya, semenjak pemberontakan yang terjadi
puluhan tahun yang lalu terus menerus, sampai tumbangnya Kerajaan Tang
dan tanah air menjadi pecah‐pecah karena diperebutkan. Entah berapa
banyaknya sekarang raja‐raja dan raja‐raja muda atau bekas‐bekas gubernur
yang mengangkat diri sendiri, mendirikan kerajaan‐kerajaan kecil yang
saling curiga‐mencurigai, seakan‐akan sekelompok ****** masing‐masing
mendekap sebatang tulang. Ia muak dengan itu semua, muak melihat
manusia‐manusia yang demi mencari kemuliaan dan kedudukan duniawi,
berebutan tak tahu malu, mempergunakan rakyat yang dipecah‐pecah untuk
Share This Thread