PART 106
memihak demi kepentingan masing‐masing tanpa menghiraukan korban
berjatuhan di kalangan rakyat jelata yang selalu hidup miskin dan bodoh !
Mana bisa Jenderal Kam ditangkap ? Biar gubernur sendiri takkan berani
menangkapnya, hanya berani menangkapi rakyat yang tak berdaya ! Pula,
tanpa adanya jenderal yang gagah perkasa dan dicinta rakyat itu, bagaimana
mungkin Shan‐si akan dapat bertahan terhadap serangan dari luar?
Paman yang baik, bukankah jenderal itu bernama Kam Si Ek?
Betul, bagaimana nona dapat mengenal nama jenderal kami itu sedangkan
tadi nona tidak tahu apa‐apa tentang keributan di daerah San‐si?
Kini Kwee Seng mulai memperhatikan apalagi ketika disebut nama Kam Si
Ek. Ia sudah mendengar akan kehebatan sepak terjang Jenderal Muda itu,
bahkan belum lama ini Kam Si Ek muncul pula di pesta Beng‐kauw dan telah
memperlihatkan sikap dan wataknya yang memang gagah perkasa ketika
mencegah Lu Sian menjatuhkan tangan maut kepada seorang pengagumnya.
Seorang pemuda gagah yang berwatak satria, tidak melayani tantangan Lu
Sian padahal pemuda yang menjadi jenderal itu belum tentu kalah oleh gadis
puteri Beng‐kauwcu ini. Laki‐laki yang tidak tunduk oleh wajah cantik ! Tidak
seperti aku, demikian Kwee Seng memaki diri sendiri.
Ah, Sian‐moi. Kau menyebrang sungai ini, apakah hendak melakukan
perjalanan ke utara ? Mau ke manakah ? Ingat, perjalanan ini adalah
perjalananku, kau hanya ikut denganku,kata Kwee Seng setelah tukang
perahu itu pergi ke kepala perahu untuk membantu penyebrangan karena air
mulai agak deras alirannya dan tidak amanlah kalau hanya mengandalkan
tenaga pembantunya yang masih anak‐anak.
Dengan kerling tajam Lu Sian mencibirkan bibirnya yang merah. Jantung
Kwee Seng serasa ditarik‐tarik. Manisnya gadis ini kalau begitu !
Kwee‐koko, seorang suami boleh membawa kehendak sendiri, ada kalanya
harus menghormati dan menuruti keinginan si isteri, tunangan pun bukan.
PART 107
Bagaimana aku harus selau menuruti kehendakmu ! Kau bukan suamiku,
bukan tunanganku, juga bukan atau belum menjadi guruku karena kau belum
menurunkan apa‐apa seperti yang telah kau janjikan kepada ayah. Aku ingin
ke utara, kalau kau hendak mengambil jalan lain tanpa menurunkan
kepandaian kepadaku yang berarti kau melanggar janji, terserah.
Kwee Seng mengeluh di dalam hatinya. Terlalu sekali gadis ini menggodanya.
Ia tertawa dengan sabar. Adik yang baik, kata‐katamu seperti ujung pisau
tajamnya. Aku sih tidak mempunyai tujuan tertentu, ke mana pun boleh.
Akan tetapi kalau di utara terjadi keributan perang, mengapa kau hendak ke
sana?
Lu Sian tertawa dan giginya yang putih berkilau terkena matahari pagi yang
mulai muncul dan sinarnya menembus celah‐celah daun pohon. Justeru
karena ada perang aku ingin ke sana. Aku hendak menonton keramaian !
Kwee‐koko, ada tontonan bagus, mengapa kita lewatkan begitu saja ? Pula,
melakukan perjalanan bersamaku, biarpun menempuh bahaya, bukankah
amat menyenangkan bagimu?Gadis itu mengerling, manis sekali dan Kwee
Seng menahan napasnya. Sinar matahari pagi jatuh pada kepala gadis itu,
membuat sekeliling kepala seperti dilingkungi sinar keemasan !
Kau cantik sekali, Moi‐moi , katanya perlahan, penuh kekaguman.
Lu Sian tertawa. Gadis di pagi hari belum berhias, mana bisa cantik ? Ihhh,
kau sudah mabok lagi, Koko, kini bukan mabok arak, melainkan mabok
asmara ! Lu Sian tertawa‐tawa menggoda, lalu berjongkok di pinggir perahu,
tangannya menyambar air yang jernih dan mulailah ia mencuci mukanya,
digosok‐gosoknya sehingga seluruh kulit mukanya sehingga seluruh kulit
mukanya menjadi kemerahan dan segar laksana bunga mawar merah
tersiram embun pagi.
Digoda secara terang‐terangan seperti itu, Kwee Seng menjadi lemas dan
selanjutnya ia tidak mau banyak bicara lagi, karena setiap godaan gadis itu
merupakan tusukan di hatinya. Mengapa ia tiba‐tiba menjadi begini lemah ?
Mengapa ia tidak pergi saja tinggalkan gadis ini ? Ke mana perginya
keangkuhannya yang selama ini ia banggakan ? Ah, ia masih mengharap. Ia
masih menanti. Lu Sian telah mendengar pengakuan cintanya, dan gadis ini
sukar sekali diraba isi hatinya. Kadang‐kadang begitu mesra seakan‐akan
PART 108
gadis itu pun mencintainya sungguhpun ingin memperlihatkan kebalikannya,
akan tetapi mengapa kadang‐kadang begitu kejam menyerangnya dengan
kata‐kata sindiran ?
Setelah menyeberang, kembali Lu Sian membalapkan kudanya. Kwee Seng
mengikuti dari belakang dan sebentar saja mereka sudah memasuki sebuah
hutan. Benar saja seperti yang dikatakan tukang perahu, setelah agak siang
tampaklah berbondong‐bondong orang mengungsi ke selatan. Karena jalan
mulai ramai dengan rombongan pengungsi, Lu Sian dan Kwee Seng
mengambil jalan hutan yang kecil akan tetapi sunyi.
Mengapa mengungsi saja harus beramai‐ramai seperti itu ? Memenuhi jalan
saja.Lu Sian mengomel karena jalan hutan yang dilalui sempit dan seringkali
pohon‐pohon kecil berduri mengganggunya.
Rakyat sudah terlalu banyak mengalami tindasan dan kekerasan, Sian‐moi.
Mereka tahu bahwa mengungsi pun tidak terlepas dari intaian bahaya
gangguan orang jahat atau binatang buas maka mereka merasa lebih aman
untuk melakukan pengungsian beramai‐ramai. Pada perang sekacau ini
biasanya orang‐orang jahat suka mempergunakan kesempatan merampok.
Hah, kau benar, koko dan agaknya kita yang akan menjadi korban. Kau
dengar itu?
Kwee Seng mengangguk. Derap kaki banyak kuda dari belakang ! Akan tetapi
belum tentu perampok‐perampok yang mengejar kita, Moi‐moi.
Mereka berdua berhenti dan menoleh ke belakang. Tak lama kemudian derap
kaki kuda berbunyi lebih jelas dan muncullah tiga orang penunggang kuda
yang membalapkan kuda mereka cepat sekali. Tiga ekor kuda tunggangan
mereka itu besar‐besar dan ternyata merupakan kuda pilihan, malah lebih
besar dan baik daripada kuda tunggangan Kwee Seng dan Lu Sian. Sedangkan
tiga orang penunggangnya adalah wanita‐wanita muda yang cantik‐cantik
dan berpakaian mewah akan tetapi ringkas. Pedang berukir indah
bergantung di punggung mereka, tangan kiri memegang kendali kuda, tangan
kanan memegang cambuk. Melihat kesigapan mereka menunggang kuda,
PART 109
apalagi pedang mereka membayangkan pedang pusaka yang baik. Yang
terdepan paling tua usianya, antara dua puluh lima tahun, pakaiannya serba
merah, yang ke dua berusia dua puluh tahun, pakaiannya serba kuning dan
yang ke tiga baru delapan belas tahun berpakaian serba hijau.
Melihat raut muka mereka, dapat diduga bahwa mereka itu kakak beradik,
dan sukar dikatakan mana yang paling cantik diantara mereka. Semua cantik
dan pandang mata mereka tajam. Akan tetapi wajah yang berkulit halus itu
diperbagus lagi dengan bedak dan yanci (pemerah bibir / pipi) sehingga
menimbulkan kesan di hati Kwee Seng bahwa tiga orang wanita ini adalah
gadis‐gadis pesolek, seperti Ang‐siauw‐hwa. Berbeda dengan Liu Lu Sian
yang ia lihat tak pernah memakai bedak dan yanci, sungguhpun hal ini
memang tidak perlu karena kulit muka Lu Sian sudah terlalu putih halus dan
bibirnya selalu merah membasah, pipinya kemerahan seperti buah apel
masak.
Minggir ! Minggir!Tiga orang gadis itu berseru nyaring tanpa mengurangi
kecepatan lari kuda mereka. Padahal jalan itu sempit sekali. Terpaksa Kwee
Seng menarik kendali kudanya, dipinggirkan. Melihat Lu Sian tetap
membiarkan kudanya menghadap jalan, Kwee Seng tidak mau membiarkan
keributan terjadi, ia meraih kendali kuda tunggangan Lu Sian dan menarik
binatang itu minggir pula.
Dua ekor kuda tunggangan pertama dan kedua lewat cepat sekali dan
tercium bau harum minyak wangi. Kuda ke tiga yang ditunggangi gadis
termuda, melambat dan gadis ini mengerling ke arah Kwee Seng, lalu
melempar senyum ! Setelah melirik penuh arti barulah gadis ke tiga ini
membalapkan kudanya lagi.
Kwee Seng cepat menggerakkan tangannya menangkap pergelangan tangan
Lu Sian. Gadis ini menggenggam jarum‐jarum yang merupakan senjata
rahasia dan yang tadinya hendak ia sambitkan kepada tiga orang gadis itu !
Moi‐moi, mengapa mencari gara‐gara dengan orang‐orang yang sama sekali
tidak kita kenal dan tidak ada permusuhan dengan kita?
PART 110
Lu Sian menjebirkan bibirnya, kebiasaan yang selalu membetot jantung Kwee
Seng, lalu menyimpan kembali jarum‐jarum rahasianya. Menjemukan ! Koko,
apakah kau selalu menjadi lemah hati dan siap menolong setiap orang
perempuan cantik?
Merah kedua pipi Kwee Seng. Bukan begitu, moi‐moi. Aku hanya suka
menolong kepada orang yang perlu ditolong, tak peduli dia perempuan atau
laki‐laki. Akan tetapi mereka itu tadi tidak mempunyai salah apa‐apa,
mengapa hendak kau serang?
Tidak salah apa‐apa ? Ihh, kenapa matanya lirak‐lirik seperti tukang copet?
Kwee Seng tertawa geli mendengar ini. Tukang copet ? Ha‐ha,
perumpamaanmu sungguh tak tepat. Masa gadis cantik menjadi tukang copet
? Dan lagi, aku Si Miskin ini apanya yang patut di copet? Lu Sian tersenyum
juga. Apalagi kalau bukan hatimu yang akan dicopet?
Kwee Seng membelalakan matanya memandang, akan tetapi gadis itu hanya
mentertawakannya tanpa menutupi mulut, memperlihatkan deretan gigi
putih dan lubang mulut kemerahan. Kwee Seng merasa ditertawakan, hatinya
sebal dan sakit.
Mari kita lanjutkan perjalanan!Akhirnya ia berkata agak marah, akan tetapi
Lu Sian tetap tertawa‐tawa ketika membedal kudanya di belakang pemuda
itu.
Ah, kau terburu‐buru amat. Apakah hendak mengejar pencopet dan
menyerahkan hatimu ? Dia manis sekali, Kwee‐koko ! Kerlingnya tajam dan
mengundang tantangan !Berkali‐kali Lu Sian menggoda, akan tetapi Kwee
Seng tidak menjawab dan terus membalapkan kudanya.
Akan tetapi agaknya tiga orang gadis tadi pun melarikan kuda cepat sekali,
buktinya sampai tiga hari mereka berdua belum juga dapat menyusul tiga
orang gadis itu. Pada hari ke empatnya, setelah bermalam di dalam hutan
yang dingin, Kwee Seng dan Lu Sian melanjutkan perjalanan. Di
PART 111
persimpangan jalan mereka melihat banyak orang pengungsi pula, akan
tetapi anehnya mereka itu bukan berjalan ke selatan, sebaliknya mereka
menuju ke utara ! Bukan hanya Lu Sian yang merasa heran, juga Kwee Seng
terheran‐heran sehingga pemuda ini menanya kepada seorang pengungsi
laki‐laki yang sudah tua.
Kopek, kalian semua hendak mengungsi ke manakah? Ke mana lagi kalau
tidak ke benteng Naga Emas ? Hanya di sanalah tempat yang aman bagi kami,
karena Kam‐goan‐swe (Jenderal Kam) berada di sana.
Mengapa di lain tempat tidak aman Lopek ? Apakah yang mengancam
keselamatan kalian?Kwee Seng mulai tertarik sedangkan Lu Sian juga
mendengarkan dengan penuh perhatian.
Mendengar pertanyaan ini kakek itu memandang heran. Kongcu datang dari
manakah sehingga tidak tahu keadaan disini ? Dimana‐mana terdapat
manusia‐manusia serigala, bala tentara gubernur merajalela menganggu
penduduk dan merampok harta memperkosa wanita dengan alasan
membasmi pemberontak ! Semua orang takut menentang Gubernur Li, hanya
Kam‐goan swe seorang yang berani melindungi kami.
Kongcu dan Nona sebagai orang‐orang asing sebaiknya jangan melakukan
perjalanan di daerah ini, berbahaya.Setelah berkata demikian, kakek itu
melanjutkan perjalanan bersama rombongan pengungsi yang terdiri dari tiga
puluh orang lebih itu.
Kopek, masih jauhkah benteng itu dari sini?tiba‐tiba Lu Sian bertanya sambil
mengajukan kudanya. Kakek itu menoleh dan memandang, akan tetapi
keningnya berkerut, tidak mau menjawab, malah lalu berjalan lagi dan timbul
kemarahannya, membentak,
Ah, Kakek ! Apakah kau tuli dan bisu?
Kakek itu cemberut, menoleh lagi dan mengomel. Tidak ada wanita baik di
jaman edan ini!
PART 112
Tentu saja Lu Sian makin marah. Melihat ini, Kwee Seng khawatir kalau‐kalau
Liu Sian akan turun tangan, maka ia cepat menggeprak kudanya, maju ke
depan Lu Sian dan berkata kepada kakek itu.
Kopek, sahabatku ini bertanya baik‐baik, mengapa kau tidak mau menjawab
? harap jangan salah melihat orang, sahabatku ini seorang pendekar wanita
yang berhati mulia.
Lenyap kemarahan Lu Sian dan ia tersenyum‐senyum mendengar pujian ini.
Adapun kakek itu lalu membalikkan tubuh, memandang ragu kepada Lu Sian
lalu menjura.
Harap nona suka maafkan. Baru pagi tadi sini lewat pula tiga orang gadis
seperti nona, akan tetapi mereka itu kasar bukan main, bahkan lima orang
kami mereka pukul dengan cambuk karena kurang cepat minggir untuk
mereka lewat dengan kuda mereka yang besar‐besar. Kalau nona hendak
mengetahui, benteng itu tidak jauh lagi, kurang lebih tiga li lagi dari sini.
Setelah rombongan itu bergerak lagi dan Kwee Seng mulai menggerakkan
kendali untuk melanjutkan perjalanan, Lu Sian menyentuh lengannya dan
berkata,
Kwee‐koko, kita berhenti disini, mencari tempat mengaso sampai nanti
malam.
Ah, mengapa begitu ? Hari masih siang, dan perjalanan masih jauh. Ada
keperluan apa yang harus berhenti disini?
Keadaan benteng itu, Jenderal Kam itu, dan tiga orang gadis yang agaknya
juga pergi ke sana, menarik hatiku untuk menyelidiki. Malam nanti aku
hendak menyelidiki ke sana, melihat keadaan dan mencari tahu apakah
sebenarnya yang terjadi.
PART 113
Ah, Moi‐moi, mengapa kau mencari urusan yang sama sekali tidak ada
sangkut‐pautnya dengan kita ? Urusan Jenderal Kam adalah urusan negara,
dan selama orang menyangkutkan diri dengan urusan negara, maka tak boleh
tidak ia mempunyai cita‐cita yang kotor. Tak perlu kita mencampurinya, Moimoi.
Akan tetapi lu Sian sudah memutar kudanya dan mencari tempat yang enak
untuk mengaso dan bermalam. Akhirnya ia berhenti di bawah pohon yang
besar, lalu turun dari kudanya. Terpaksa Kwee Seng mengikutinya.
Sudahlah, koko, aku lapar karena terlalu banyak bicara. Biar kucarikan
daging untuk teman roti kering kita.Gadis itu meloncat dan lenyap memasuki
hutan yang gelap. Tak lama kemudian ia tertawa‐tawa sambil memegang dua
ekor kelinci gemuk pada telinganya, Kwee Seng tidak berkata apa‐apa, hanya
membantu gadis itu menguliti kelinci dan membakar dagingnya. Setelah
mereka makan kenyang, Lu Sian merebahkan diri di atas rumput yang gemuk
empuk. Tak sampai sepuluh menit kemudian gadis itu sudah tidur nyenyak,
mukanya miring berbantal tangan, napasnya panjang teratur, pipinya
kemerahan, bulu matanya yang merapat kelihatan panjang membentuk
bayangan pada pipi.
Berjam‐jam Kwee Seng hanya duduk sambil memandangi tubuh yang rebah
miring di depannya. Pikirannya melayang‐layang. Alangkah cantiknya gadis
ini. Rambutnya yang hitam itu agak kacau, sebagian rambut yang terlepas
dari ikatan menutupi pipi dan kening. Dahi yang halus putih itu agak basah
oleh peluh karena hawa memang panas menjelang senja itu. Kwee Seng
melihat ini lalu memadamkan api unggun yang tadi dipakai memanggang
daging kelinci. Kemudian ia duduk lagi menghadapi Lu Sian sambil
menikmati wajah ayu itu.
Lu Sian bergerak sedikit dalam tidurnya, bibirnya tersenyum, tangannya
menyibakkan rambut yang menutup pipi dan kening, lalu tubuhnya bergerak
terlentang, terdengar bisikannya, Kwee‐koko
Berdebar keras jantung Kwee Seng. Gadis ini mengigau dan menyebutnyebut
namanya dalam tidur ! bukankah itu berarti bahwa Lu Sian juga
menaruh hati kepadanya?
PART 114
Ia memandang lagi. Mulut yang manis itu masih tersenyum. Tiada bosannya
memandang wajah ini, bagaikan orang memandang setangkai bunga mawar
segar. Terpesona Kwee Seng memandangi rambut hitam panjang yang kini
awut‐awutan itu, mengingatkan ia akan syair tentang keindahan rambut yang
pernah di bacanya :
halus licin laksana sutera hitam mulus melebihi tinta gemuk panjang berikal
mayang mengikat kalbu menimbulkan sayang harum semerbak laksana
bunga melambai meraih cinta asmara sinom berikal di tengkuk dan dahi
pembangkit gairah dendam berahi !
Setelah kenyang pandang matanya menikmati keindahan rambut di kepala
lalu pandang mata itu menurun, berhenti di alis dan mata yang terlindung
bulu mata panjang melengkung, sejenak terpesona oleh bukit hidung.
Kecil mungil mancung dan patut halus laksana lilin diraut cuping tipis
bergerak mesra mengandung seribu rahasia
Makin berdebar jantung Kwee seng, hampir tak terahankan lagi, serasa
hendak meledak. Melihat rambut itu, bulu mata, hidung yang agak
berkembang‐kempis cupingnya, mulut manis yang tersenyum‐senyum dalam
tidur, pipi yang putih kemerahan, teringatlah ia akan Ang‐siauw‐hwa. Bukan
gadis ******* itu yang terbayang, melainkan pengalaman mesra penuh asyik
yang pada saat itu mendorong semua gairah birahi memenuhi hati dan
pikirannya bagaikan awan mendung hitam menggelapkan kesadarannya.
Dengan tubuh gemetar menggil, Kwee Seng lalu membungkuk ke arah wajah
ayu itu dan mencium bibir dan pipi Lu Sian sepenuh kasih hatinya.
Suara ketawa gadis itu mengejutkannya, membuyarkan sebagian awan
mendung yang menutupi kesadarannya. Terkejutlah Kwee Seng, mukanya
pucat dan ia cepat‐cepat menjauhkan diri, jantungnya berdebar keras dan
barulah lega hatinya ketika ia melihat bahwa Lu Sian masih tidur. Suara
ketawa tadi pun agaknya hanya dalam keadaan mimpi. Akan tetapi
ciumannya tadi membuat ia makin dalam terjatuh ke jurang asmara !
PART 115
Lewat senja, setelah matahari mulai bersembunyi, Lu Sian menggeliat dan
membuka matanya. Ahhh, alangkah sedapnya tidur di sini. Ehkwee‐koko, kau
masih duduk di situ sejak tadi ? Tidak mengaso?Gadis itu kini bangkit duduk
dan membereskan rambutnya. Duduk seperti itu, kedua kaki di tekuk ke
belakang, tubuh tegak dada membusung, kedua lengan dikembangkan karena
sepuluh buah jari tangannya sibuk menyanggul rambut di belakang kepala,
benar‐benar merupakan pemandangan indah. Hemm, kalau saja aku pandai
melukis, alangkah indahnya gadis ini dilukis dalam keadaan begini, pikir
Kwee Seng, demikian terpesona sehingga ia seakan‐akan tidak mendengar
akan kata‐kata Lu Sian.
Hih ! Kwee‐koko, apakah kau sudah berubah menjadi arca ? Apa sih yang kau
lihat?tegur Lu Sian, senyumnya lebar dan sepasang matanya berkedip‐kedip
mengandung ejekan.
hohkau bilang apa tadi, Moi‐moi Kwee seng tergagap.
Kini Lu Sian tertawa, Kukira kau tidak mengaso kiranya kau agaknya malah
tidur. Kwee‐koko, aku ingin sekali mandi. Kalau saja ada anak sungai di sini
Kudengar suara air gemericik di sebelah kiri sana, Sian‐moi. Mungkin ada
anak sungai atau air terjun di sana.
Bagus, mari kita ke sana, Koko. Seperti seorang anak kecil, Lu Sian
menyambar tangan Kwee Seng dan menariknya berlari‐lari ke arah kiri.
Benar saja dugaan Kwee Seng, di situ terdapat sebatang sungai kecil yang
amat jernih airnya, pula tidak dalam, hanya semeter kurang lebih. Batu‐batu
licin di dasar tampak beraneka warna menambah keindahan dan kesejukan
air. Hah, dingin dan segar, Koko!teriak Lu Sian kegirangan ketika
memasukkan tangannya ke dalam air di pinggir sungai. Koko, aku hendak
mandi ! Kau jangan melihat ke sini sebelum aku masuk ke dalam air. Awas,
kalau kau menengok, kumaki kau kurang sopan dan kusambit kau dengan
batu!
Kwee Seng tertawa, terseret oleh kenakalan dan kegembiraan gadis itu. Siapa
ingin melihat?serunya sambil membalikkan tubuh berdiri membelakangi
sungai. Ia hanya mendengar gerakan gadis itu, suara pakaian dilepas,
PART 116
kemudian mendengar gadis itu turun ke dalam air. Semua yang didengarnya
ini menimbulkan bayangan yang amat menggodanya sehingga ia meramkan
kedua matanya seakan‐akan hendak mengusir bayangan itu dari depan mata.
Sudah, Kwee‐koko. Kau sekarang boleh saja melihat ke sini, aku sudah aman
tertutup air. Ah, enak benar, Koko. Kau mandilah segar bukan main.
Kwee Seng membalikkan tubuhnya dan ia terpaku di tempat ia berdiri. Kedua
kakinya menggigil dan matanya berkunang‐kunang. Aduh, Lu Sian apakah
benar‐benar sengaja kau sengaja ingin menggodaku ? Demikian keluhnya
dalam hati. Ketika ia menengok, ia melihat pakaian gadis itu bertumpuk di
pinggir sungai, di atas sebuah batu besar, semua pakaian berikut sepatu dan
pita rambut. Kemudian, apa yang dilihatnya di tengah sungai itu benar‐benar
membuat ia berkunang dan lemas. Memang gadis itu merendamkan
tubuhnya di dalam air sehingga yang tampak dari luar air hanya leher dan
kepalanya. Akan tetapi agaknya Lu Sian lupa bahwa air itu amat jernih !
Ataukah memang sengaja ? Air itu demikian jernihnya sehingga batu‐batu di
dasarnya tampak. Apalagi tubuh yang duduk di atasnya ! Pemandangan aneh
tampak oleh Kwee Seng. Tubuh padat berisi sempurna lekuk‐lekungnya,
bergoyang‐goyang bayangannya oleh air. Cepat‐cepat ia menundukkan
mukanya. Kuatkan hatimu ! Ah, kuatkan hatimu sebelum kau kemasukan
iblis! Demikianlah dengan kaki gemetar Kwee Seng berdiri menundukkan
mukanya, mengerahkan tenaga batinnya untuk melawan dorongan nafsu.
Moi‐moi Ia berhenti karena suaranya kedengaran aneh. Hemm Kau mau
bilang apa, Koko?
Kwee Seng menarik napas panjang dan mulai tenanglah gelora isi dadanya.
Sian‐moi, aku tidak mandi. Kau mandilah yang puas, biar kunanti kau disana.
Aku khawatir kalau‐kalau kuda kita dicuri orang.Tanpa menanti jawaban
Kwee Seng lalu membalikkan tubuhnya dan lari dari tempat semula di mana
ia menjatuhkan diri duduk termenung memikirkan Lu Sian. Gadis yang aneh !
Ia harus mengaku bahwa hatinya sudah jatuh betul‐betul. Ia memuja Lu Sian,
memuja kecantikannya. Padahal ia maklum sedalam‐dalamnya bahwa watak
gadis itu sama sekali tidak cocok dengan wataknya, bahwa kalau ia
mempunyai isteri seperti Lu Sian, hidupnya akan banyak menderita. Aku
harus dapat menahan diri, semua ini godaan iblis, pikirnya. Aku sejak semula
tidak menghendakinya sebagai isteri, hanya karena sudah berjanji dengan
Pat‐jiu Sin‐ong untuk menurunkan ilmu yang mengalahkannya, maka
sekarang mengadakan perjalanan bersama. Ah, mengapa ia menjanjikan hal
PART 117
itu ? Ia kena diakali Pat‐jiu Sin‐ong yang tentu saja ingin menguras ilmunya.
Kalau sudah menurunkan ilmu, aku harus cepat‐cepat menjauhkan diri dari
Lu Sian, pikirnya. Akan tetapi, teringat akan perbuatannya mencuri ciuman
tadi, kembali gelora di dadanya membuat Kwee Seng meramkan mata. Gila !
Kau sudah gila ! Tiba‐tiba Kwee Seng yang masih meram itu menampar
kepalanya sendiri !
Heee ! Apakah kau sudah gila ??Teguran ini membuat Kwee Seng terkejut dan
meloncat bangun sendiri !
Kiranya Lu Sian sudah berdiri di depannya, biarpun cuaca sudah mulai gelap,
masih tampak gadis itu segar dan berseri‐seri, makin cantik setelah mandi.
Gadis itu tertawa geli. Kwee‐koko, kukira kau tadi menjadi gila, apa‐apaan itu
tadi kau menampar kepalamu sendiri ?
Aku Ah.. kau tidak melihat tadi ? Banyak nyamuk di hutan ini. Mengiangngiang
di atas telinga, kucoba menepuk mampus nyamuk‐nyamuk itu.
Baiknya Lu Sian percaya alasan ini. Kwee‐koko, sekarang aku hendak pergi.
Kau menanti di sini saja, ya?
Kemana, Sian‐moi? Ke benteng itu. Meyelidik! Ah, apakah perlunya ? Jangan
mencari perkara Sudahlah ! Kau seperti nenek bawel saja. Kalau tidak suka,
kau tidak usah ikut. Aku tahu kau tidak suka, maka aku akan pergi sendiri.
Biarlah kau menanti di situ bersamaeh, nyamuk‐nyamuk itu. Aku pergi,
Koko!Setelah berkata demikian, Lu Sian mempergunakan kepandaianny
meloncat dan lari cepat, sebentar saja lenyap dari situ.
Kwee seng mengerutkan keningnya. Gadis aneh. Ia takkan berbahagia hidup
di samping gadis itu sebagai isterinya. Akan tetapiah, mengapa hatinya
seperti ini ? Mengapa timbul kekuatirannya kalau‐kalau Lu Sian menghadapi
malapetaka ? Biarlah kalau ia tertimpa bencana. Salahnya sendiri. Mencari
perkara. Mencampuri urusan orang lain ! Kwee Seng mengeraskan hatinya
dan mulai membuat api unggun untuk mengusir nyamuk yang memang
banyak terdapat di hutan itu. Akan tetapi hatinya tetap merasa tidak enak.
Terjadi perang di dalam hatinya antara membiarkan atau pergi menyusul Lu
Sian.
PART 118
Dengan pengerahan gin‐kang dan ilmu lari secepatnya, sebentar saja Lu Sian
telah tiba di luar tembok benteng. Tembok benteng itu cukup tinggi, pintu
gerbangnya berada di tengah, terjaga kuat oleh belasan orang prajurit. Pintu
belakang juga terjaga, malah tertutup rapat, sedangkan di atas tembok itu,
pada setiap ujungnya terdapat bangunan kecil di mana tampak pula penjaga
yang bersenjata lengkap. Beberapa menit sekali, penjaga‐penjaga meronda di
sekeliling tembok. Pendeknya, benteng itu terjaga rapat sekali. Untuk
melompat tembok, terlampau tinggi dan andaikata dapat juga, pasti akan
tampak oleh para penjaga diempat penjuru.
Akan tetapi, Lu Sian adalah seorang gadis yang banyak akal, berani dan lihai.
Ia memilih bagian yang agak sepi, menanti sampai peronda lewat, kemudian
cepat sekali ia menggunakan pedangnya membongkar tembok ! Pedangnya
bukanlah pedang biasa, melainkan pedang pusaka, pedang buatan daerah Gobi,
terbuat daripada logam baja biru dan oleh ayahnya diberi nama Toa‐hongkiam
(Pedang Angin Badai), karena Pat‐jiu Sin‐ong memberikan pedang itu
kepada puterinya ketika menurunkan Ilmu Pedang Toa‐hong Kiam‐sut.
Pedang baja biru ini dapat dipergunakan untuk memotong besi dan baja.
Apalagi tembok yang terbuat daripada bata itu, dengan mudah saja dapat
ditembusi Toa‐hong‐kiam. Belum lima menit, Lu Sian telah berhasil membuat
lubang yang cukup dimasuki tubuhnya. Di lain saat tubuhnya berkelebat
menyelinap masuk dan bagaikan seekor kucing ia sudah berloncatan cepat
menghilang di antara kegelapan malam, mendekam di tempat gelap sambil
memperhatikan keadaan di dalam benteng.
Benteng itu cukup luas, kiranya cukup untuk menampung ribuan orang bala
tentara. Di dalamnya selain terdapat lapangan luas untuk berlatih para
perajurit, juga terdapat bangunan‐bangunan kecil berjajar yang agaknya
menjadi tempat bermalam para perajurit. Ada pula bangunan terbuka yang
dipakai sebagai dapur, lalu kandang‐kandang kuda dan gudang‐gudang
perlengkapan. Di tengah sendiri terdapat empat buah bangunan besar yang
bentuknya kembar. Tak salah lagi, di sinilah tempat para perwiranya. Maka
tanpa ragu‐ragu Lu Sian lalu berindap‐indap menghampiri empat bangunan
ini karena memang kedatangannya ini terdorong oleh rasa hatinya ingin
mengintai dan menyelidiki keadaan Jenderal Muda Kam Si Ek ! Di sudut
lubuk hatinya memang ia tak pernah melupakan Kam Si Ek, pemuda gagah
perkasa dan ganteng yang pernah menggetarkan hatinya di atas panggung
adu ilmu. Sayangnya pemuda itu tidak mau melayaninya mengadu
kepandaian. Namun sikapnya yang gagah dan keras, wajahnya yang membay!
an! gkan kejantanan, telah menggerakkan hati Lu Sian sehingga ketika dalam
perjalanan ini ia mendengar disebutnya nama Kam Si Ek, sekaligus bangkit
PART 119
hasrat hatinya untuk menemuinya dan mempelajari keadaannya, kalau perlu
mencoba kepandaiannya !
Melihat bendera tanda pangkat jenderal di depan sebuah di antara empat
gedung, hati Lu Sian berdebar. Ia menyelinap ke belakang gedung ini,
kemudian menggerakkan tubuhnya melayang naik ke atas genteng sebelah
belakang, dan dengan hati‐hati ia merayap di atas genteng menuju ke bagian
tengah. Ketika ia melihat sinar api penerangan yang besar dan mendengar
suara orang, ia membuka genteng dan mengintai ke bawah. Betapa girang
hatinya ketika ia melihat orang yang dicari‐carinya, yaitu Kam Si Ek sendiri,
berada di dalam sebuah ruangan besar di bawahnya ! Biarpun seorang
jenderal, Kam Si Ek ternyata berpakaian biasa, mungkin karena tidak sedang
dinas. Pakaiannya serba biru dan rambutnya digelung ke atas, diikat sutera
kuning. Tubuhnya yang tegap itu kelihatan gagah dan penuh tenaga. Ia duduk
menghadapi meja besar yang penuh hidangan
Yang membuat hati Lu Sian kaget dan tak senang adalah ketika ia melihat tiga
orang gadis cantik yang pernah di lihatnya. Kini tiga orang gadis itu
mengenakan pakaian yang lebih mewah lagi, biarpun warna pakaiannya
tetap sama, yaitu yang pertama serba merah, yang kedua serba kuning dan
yang ketiga serba hijau. Rambut mereka digelung rapi dan dihias emas
permata mahal. Muka mereka dilapisi bedak, bibir dan pipi ditambah warna
merah dan bau minyak wangi mereka sampai tercium oleh Lu Sian yang
mendekam di atas genteng !
Pada saat itu, dengan sikap gagah dan suara tegas Kam Si Ek berkata. Tidak
bisa ! Siauwte (aku) bukanlah seorang penghianat ! Sejak dahulu, nenek
moyangku adalah orang‐orang yang menjunjung tinggi kegagahan, yang rela
mengorbankan nyawa untuk negara dan bangsa, yang menduduki kedudukan
tinggi di dalam kentaraan tanpa pamrih untuk pribadinya, melainkan semata
untuk berbakti kepada negara dan bangsa ! Kedatangan Sam‐wi Lihiap
(Pendekar Wanita Bertiga) saya terima dengan penuh kehormatan, akan
tetapi kalau Sam‐wi mengajak siauwte sekongkol dengan Cu Bun, terpaksa
saya menolak keras!
Dengan suara manis sekali Si Pakaian Merah yang tertua di antara mereka
bertiga, berkata halus, Kami bertiga Enci Adik sudah cukup mengenal
kegagahan dan kesetiaan keluarga Kam. Kami mana berani membujuk Goanswe
(Jenderal) untuk bersekongkol dengan penghianat atau pemberontak ?
Akan tetapi, bukankah bekas Gubernur Cu Bun kini telah menjadi raja dari
PART 120
kerajaan Liang yang sudah berdiri belasan tahun lamanya ? kini terjadi
perebutan kekuasaan, dan raja tidak dapat membiarkan mereka yang
memisahkan diri, tidak mau tunduk kepada kekuasaan kerajaan baru, yaitu
Kerajaan Liang yang menggantikan Kerajaan Tang. Karena itu, kami
mengajak kepada Goan‐swe untuk berjuang bersama, menghalau para
pemberontak, terutama sekali bangsa buas dari luar yang hendak
menggunakan kesempatan ini untuk mengganas.
Maaf, siaute terpaksa membantah, memang benar bahwa Gubernur Cu Bun
berhasil menumbangkan Kerajaan Tang belasan tahun lalu. Akan tetapi,
berhasil atau tidaknya sebuah kerajaan baru tergantung daripada dukungan
rakyat. Dan untuk mendapat dukungan rakyat, terutama sekali rakyat harus
diberi kehidupan yang tentram, penghasilan yang wajar dan sumber hidup
yang layak. Akan tetapi apakah buktinya ? Rakyat menjadi korban selalu.
Dimana‐mana timbul kejahatan, perebutan kekuasaan, kehidupan rakyat
tidak aman, masih ditekan pajak, diperas oleh lintah‐lintah darat yang berupa
raja‐raja kecil di dusun‐dusun, masih diganggu oleh para tentara kerajaan
yang buas melebihi perampok. Buktinya ? Sam‐wi dapat melihat betapa
banyaknya penduduk dusun mengungsi, bingung mencari tempat aman
sehingga di dalam benteng ini saja kami terpaksa menampung seratus orang
lebih pengungsi. Bukankah ini sudah membuktikan bahwa Kerajaan Liang
tidak didukung rakyat ? Dan selama pemerintahan ti! da! k mendapat
dukungan rakyat, saya yakin takkan berhasil dan lekas runtuhlah
pemerintahan itu.Muka jenderal muda itu menjadi merah, bicaranya penuh
semangat dan wajahnya yang tampan gagah itu mengeluarkan wibawa
seperti seekor harimau yang menakutkan.
Kam‐goanswe yang perkasa,kata Nona kedua yang berpakaian kuning.
Bolehkah saya bertanya, Goanswe ini sebetulnya mengabdi kepada siapakah
? Dahulu keluarga Goanswe mengabdi kepada Kaisar Tang yang terakhir.
Setelah kaisar jatuh, Goanswe mengabdi kepada siapa ? Kalau Goanswe tidak
mengakui kekuasaan Raja Liang, apakah Goanswe mengabdi kepada
gubernur Li?
Kam Si Ek kini berdiri dari bangkunya. Tubuhnya yang tinggi tegap itu
seakan‐akan makin besar. Ia mengepal tinjunya dan berkata. Aku hanya
mengabdi kepada tanah air dan bangsa ! Siapa saja yang mengganggu
rakyatku, akan kulawan ! Bangsa apa saja yang berani memasuki tanah airku
akan kuhancurkan ! Aku tidak mengabdi kepada Raja Liang, dan terhadap
Gubernur Li Ko Yung yang menjadi teman seperjuanganku dahulu, dia tetap
teman baik asal saja dia tidak menyeleweng daripada jalan benar.
Share This Thread