Page 10 of 16 FirstFirst ... 67891011121314 ... LastLast
Results 136 to 150 of 229

Thread: 2. suling emas

http://idgs.in/730827
  1. #136

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 136
    Kwee Seng membalikkan tubuh, menggoyang‐goyang kepalanya seperti
    seorang pemabokan dan mengangkat tempat arak ke arah pemuda itu
    dengan gerakan menawarkan. Akan tetapi diam‐diam ia memperhatikan Si
    Pemuda. Seorang pemuda sebaya dengannya, berwajah cukup tampan akan
    tetapi membayangkan keanehan dan kekejaman, sepasang alisnya yang tebal
    hitam itu bersambung dari mata atas kiri ke atas mata kanan. Kepalanya kecil
    tertutup kain penutup kepala yang bentuknya lain daripada biasa. Pada muka
    itu terbayang sesuatu yang asing, seperti terdapat pada wajah orang‐orang
    asing. Tubuhnya tidak berapa besar namun membayangkan kekuatan
    tersembunyi yang hebat, sedangkan sinar matanya pun membayangkan
    tenaga dalam yang kuat. Diam‐diam Kwee Seng terkejut dan menduga‐duga
    siapa gerangan pemuda ini, dan mengapa pula Lai Kui Lan ikut dengan
    pemuda ini dengan sikap seolah‐olah seekor domba yang dituntun ke
    penjagalan.
    Seekor domba yang dituntun ke penjagalan ! Kalimat ini seakan‐akan
    berdengung di telinga Kwee Seng, membuatnya termenung lupa akan
    araknya ketika dua orang itu sudah memasuki kamar tengah, mendengar
    suara Si Pemuda yang berat dan parau minta kamar dijawab oleh pengurus
    rumah penginapan. Kemudian, masih lupa akan araknya, Kwee Seng berjalan
    perlahan menuju ke kamarnya sendiri, kalimat tadi masih terngiang di
    telinganya. Mungkin, bisik hatinya. Mungkin sekali Lai Kui Lan menjadi
    domba dan pemuda itu kiranya patut pula menjadi seorang penyembelih
    domba, seorang jai‐hwa‐cat (penjahat *****). Kalau tidak demikian, mengapa
    sikap Lai Kui Lan begitu aneh seperti orang terkena sihir ? Seperti seorang
    yang melek akan tetapi tidak sadar ?
    Makin gelap keadaan cuaca di luar hotel, makin gelap pula pikirnya Kwee
    Seng menghadapi teka‐teki itu. Hatinya pernah penasaran, biarpun beberapa
    kali ia meyakinkan hatinya bahwa kehadiran Lai Kui Lan bersama seorang
    pemuda itu sama sekali bukan urusannya dan bahwa tidak patut mengintai
    keadaan muda‐mudi yang mungkin sedang di lautan madu asmara, namun
    kecurigaannya mendesak‐desaknya sehingga tak lama kemudian, di dalam
    kegelapan malam, Kwee Seng sudah melayang naik ke atas genteng hotel dan
    melakukan pengintaian. Hal ini ia lakukan dengan guci arak masih di tangan,
    karena untuk melakukan pekerjaan yang berlawanan dengan kesusilaan ini
    ia harus menguatkan hati dengan minum arak.
    Akan tetapi ketika ia mengintai ke dalam kamar dua orang itu, hampir saja ia
    terjengkang saking marah dan kagetnya. Tak salah lagi apa yang dikuatirkan
    hatinya ! Ia melihat Lai Kui Lan terbaring telentang di atas pembaringan

  2. Hot Ad
  3. #137

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 137
    dalam keadaan lemas tak dapat bergerak, mukanya yang pucat itu basah oleh
    air mata, terang bahwa gadis itu tertotok hiat‐to (jalan darah) di bagian
    thian‐hu hiat dan mungkin juga jalan darah yang membuat gadis itu menjadi
    gagu ! Akan tetapi air mata itu menceritakan segalanya ! Menceritakan bahwa
    keadaan gadis seperti itu bukanlah atas kehendak Si Gadis sendiri, melainkan
    terpaksa dan karena tak berdaya. Adapun pemuda tadi, duduk di tepi
    pembaringan sambil berkata lirih membujuk‐bujuk.
    "Nona yang baik, mengapa kau menangis?" Dengan gerakan halus dan mesra
    pemuda itu mengusap‐usap kedua pipi yang penuh air mata. "Aku tertarik
    oleh kecantikanmu, dan andaikata aku tidak tahu bahwa kau adalah suci dari
    Jenderal kam Si Ek, tentu aku tidak akan berlaku sesabar ini! Aku ingin kau
    menyerahkan diri kepadaku berikut hatimu, ingin kau membalas cintaku dan
    kau akan kuajak ke Khitan, menjadi isteriku, isteri seorang panglima! Dengan
    ikatan ini, tentu adik seperguruanmu akan suka bersekutu dengan kami.
    Nona, kau tinggal pilih, menyerah kepadaku dengan sukarela, ataukah kau
    ingin menjadi orang terhina karena aku menggunakan kekerasan? Kau tidak
    ingin dinodai seperti itu, bukan? Aku Bayisan, panglima terkenal di Khitan,
    tidak kecewa kau menjadi kekasihku..." Pemuda itu menundukkan mukanya
    hendak mencium muka gadis yang tak berdaya itu.
    Tiba‐tiba pemuda yang bernama Bayisan itu meloncat bangun, membatalkan
    niatnya mencium karena tengkuknya terasa panas dan sakit. Matanya
    jelilatan ke sana ke mari, cuping hidungnya kembang kempis karena ia
    mencium bau arak. Ia meraba tengkuknya yang ternyata basah dan ketika ia
    mendekatkan tangannya ke depan hidung, ia berseru kaget.
    "*******, siapa berani main‐main dengan aku?" "Penjahat ***** jahanam! Di
    tempat umum kau berani melakukan perbuatan biadab, sekarang beremu
    dengan aku tak mungkin kau dapat mengumbar nafsu iblismu!" terdengar
    suara Kwee Seng dari atas genteng.
    Bayisan bergerak cepat sekali, tahu‐tahu tubuhnya sudah melayang ke luar
    dari jendela kamar dan beberapa menit kemudian ia sudah meloncat naik ke
    atas genteng. Akan tetapi ia tidak melihat orang di atas genteng yang sunyi
    itu! Bayisan celingukan, napasnya terengah‐engah karena menahan amarah,
    sebatang pedang sudah berada di tangan kanannya.

  4. #138

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 138
    "Heeeei! Jahanam *****, aku di sini. Mari kita keluar dusun kalau kau
    memang berani!" Tahu‐tahu Kwee Seng suah berada agak jauh dari tempat
    itu, melambai‐lambaikan guci araknya ke arah Bayisan. Tentu saja orang
    Khitan ini makin marah dan sambil berseru keras ia mengejar. Kwee Seng lari
    cepat dan terjadilah kejar‐kejaran di malam gelap itu, menuju ke luar dusun.
    Di luar dusun inilah Kwee Seng menantikan lawannya.
    Mereka berhadapan. Kwee Seng tenang dan ketika lawannya datang ia
    sedang meneguk araknya. Bayisan marah sekali, mukanya merah matanya
    jalang, pedang di tangannya gemetar. Ketika mengenal pemuda pelajar
    pemabokan itu, ia makin marah.
    "Eh, kiranya kau, pelajar jembel tukang mabok! Kau siapakah dan mengapa
    kau lancang dan mencampuri urusan pribadi orang lain?" Bayisan
    membentak menahan kemarahannya karena ia maklum bahwa yang berdiri
    di depannya bukan orang sembarangan sehingga ia harus bersikap hati‐hati
    dan mengenal keadaan lawan lebih dulu. Bayisan terkenal sebagai seorang
    pemuda yang selain tinggi ilmunya. Juga amat cerdik dan keji. Di Khitan ia
    terkenal sebagai seorang panglima muda yang tangguh dan pandai. Kwee
    Seng tertawa. "Aku orang biasa saja, tidak seperti engkau ini, Panglima
    Khitan merangkap penjahat *****! Aku mendengar tadi namamu Bauw I San?
    Belum pernah aku mendengar nama itu! Pernah aku mendengar nama
    Kalisani sebagai tokoh Khitan yang dipuji‐puji, akan tetapi nama Bouw I San
    (Bayisan) tukang petik bunga (penjahat *****) aku belum pernah!"
    "Hemm, manusia sombong! Aku memang bernama Bayisan Panglima Khitan,
    kau mendengarnya atau belum bukan urusanku. Aku suka gadis itu dan
    hendak mengambilnya sebagai kekasih, kau mau apa? Apakah kau iri? Kalau
    kau iri, apakah kau tidak bisa mencari perempuan lain? Tak tahu malu
    engkau, hendak merebut perempuan yang sudah menjadi tawananku!"
    "Heh‐heh‐heh, Bayisan hidung belang! Jangan samakan aku dengan engkau!
    Kau suka mengganggu wanita, aku tidak! Kau penjahat *****, aku justeru
    membasmi penjahat *****! Aku Kwee Seng selamanya tidak memaksa
    perempuan yang tidak cinta kepadaku!" kalaimat terakhir ini tanpa ia sadari
    keluar dari mulutnya dan diam‐diam Kwee Seng selamanya tidak memaksa
    perempuan yang tidak cinta kepadaku!" Kalimat terakhir ini tanpa ia sadari
    keluar dari mulutnya dan diam‐diam Kwee Seng meringis karena ia teringat
    akan Liu Lu Sian yang tidak cinta kepadanya.

  5. #139

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 139
    Di lain pihak, Bayisan kelihatan terkejut dan marah mendengar disebutnya
    nama ini. "Akhh, *******! Jadi kau ini Kwee Seng, pelajar jembel tak tahu
    malu itu? Kau telah terlepas dari tangan maut Suhuku Ban‐pi Lo‐cia, sekarang
    kau tak mungkin terlepas dari tanganku!" setelah berkata demikian, Bayisan
    menuyerang hebat dengan pedangnya. Pedang itu digerakkan ke atas akan
    tetapi dari atas menyambar ke bawah dengan bacokan ke arah kepala,
    kemudian disusul gerakan menusuk dada. Hebat serangan ini, karena
    sekaligus dalam satu gerakan saja telah menjatuhkan dua serangan yaitu
    membacok kepala dan menusuk dada!
    Akan tetapi Kwee Seng menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya mencelat
    ke belakang sejauh dua meter sambil meneguk araknya. Sekaligus dua
    serangan itu gagal sama sekali!
    "Aih... aihhh... jadi kau ini murid Ban‐pi Lo‐cia? Pantas... pantas.... Gurunya
    hidung belang, muridnya mata keranjang!"
    Akan tetapi dengan gerakan kilat Bayisan sudah menerjang maju dan
    permainan pedangnya benar‐benar hebat. Kiranya Bayisan bukanlah
    sembarang murid dari Ban‐pi Lo‐cia, agaknya sudah menerima gemblengan
    dan mewarisi ilmu silat bagian yang paling tinggi, di samping ilmu silat yang
    dipelajarinya dari orang‐orang pandai di daerah utara dan barat. Pedang di
    tangannya berkelebatan berubah menjadi sinar bergulung‐gulung dan angin
    yang ditimbulkan mengeluarkan bunyi berdesingan mengerikan.
    Diam‐diam kwee seng kagum juga. Sayang sekali, pikirnya. Jarang ada orang
    muda dengan ilmu kepandaian sehebat ini, maka amatlah saying kepandaian
    begini baik jatuh pada diri seorang pemuda yang bermoral rendah. Orang
    dengan kepandaian seperti ini tentu akan dapt menjunjung tinggi nama besar
    suku bangsa Khitan yang memang terkenal sejak dulu sebagai suku bagsa
    yang kuat dan pengelana yang ulet. Menghadapi pedang Bayisan yang tak
    boleh dipandang ringan ini, terpaksa Kwee Seng mengeluarkan kipasnya dan
    dengan kipas di tangan kir, barulah ia menghalau semua ancaman bahaya
    dari pedang itu.

  6. #140

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 140
    Sebaliknya, Bayisan kaget sekali. Gurunya pernah bercerita bahwa di dunia
    kang‐ouw muncul jago muda bernama Kwee Seng yang berjuluk Kim‐o‐eng.
    Akan tetapi gurunya tidak bicara tentang kehebatan pemuda itu, maka
    sungguh kagetlah ia ketika melihat betapa pemuda itu hanya dengan kipas di
    tangan mampu menghadapi pedangnya, malah kini semua jalan pedangnya
    serasa buntu, lubang untuk menyerang tertutup sama sekali! Celaka,
    pikirnya, andaikata ia dapat menangkan sastrawan muda itu, hal yang amat
    meragukan, tentu akan makan waktu lama sekali. Pertandingan melawan
    sastrawan ini tidak penting baginya, lebih penting lagi diri Lai Kui Lan yang ia
    tinggalkan dalam kamar hotel. Pengaruh totokannya tidak akan tahan lama,
    apalagi gadis itu memiliki ilmu kepandaian yang tidak rendah. Kalau ia terus
    melayani sastrawan ini dan Lai Kui Lan dapat membebaskan diri daripada
    totokan, tentu akan terlepas dan lari. Kalau sudah lari kembali ke
    benteng,sukarlah untuk menangkapnya lagi. Ia akan menderi! ta! rugi dua
    kali, pertama, kehilangan calon korban yang begitu menggiurkan, ke dua,
    rencananya menarik Jenderal Kam Si Ek sebagai sekutu Khitan akan gagal
    sama sekali.
    Berpikir demikian, pemuda Khitan yang cerdik ini lalu mengeluarkan seruan
    keras dan tinggi hampir merupakan suara lengking memekakkan telinga,
    kemudian pedangnya bergerak menusuk‐nusuk seperti datangnya belasan
    batang anak panah. Kwee Seng terkejut. Lengking tadi hampir mencapai
    tingkat yang dapat membahayakan lawan. Kalau pemuda Khitan ini tekun
    berlatih dan menerima bimbingan orang pandai, tentu akan berhasil
    memiliki ilmu pekik semacam Saicu‐ho‐kang (Auman Singa) yang dapat
    melumpuhkan lawan hanya dengan pengerahan suara saja ! Apalagi lengking
    itu disusul serangan pedang sehebat itu. Benar‐benar pemuda Khitan ini
    mengagumkan dan berbahaya.
    Kwee Seng cepat memutar kipasnya dan karena ia kuatir kipasnya akan
    rusak menghadapi hujan tusukan itu, ia mengalah dan meloncat ke belakang.
    Akan tetapi kesempatan itu dipergunakan oleh Bayisan untuk menggerakan
    tangan kirinya. Benda‐benda hitam menyambar dan Kwee Seng mencium bau
    yang amat tidak enak ketika ia mengelak dan jarum‐jarum hitam itu lewat di
    depan mukanya. Jarum‐jarum beracun yang lebih jahat daripada jarum
    beracun milik Liu Lu Sian ! Untuk menghilangkan bau tidak enak, ia meneguk
    araknya. Akan tetapi Bayisan meloncat pergi sambil berkata.
    "Jembel busuk, Tuanmu tidak ada waktu lagi untuk ... " Hanya sampai di sini
    kata‐kata Bayisan karena tiba‐tiba ia terguling roboh dan tubuhnya lemas !
    Kiranya secepat kilat Kwee Seng tadi telah menyemburkan dari mulutnya

  7. #141

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 141
    dan menyusulkan sebuah totokan dengan ujung kipasnya. Gerakannya
    melompat seperti kilat menyambar dengan cepatnya sehingga tidak terdugaduga
    oleh Bayisan yang lebih dulu sudah tersembur arak pada punggungnya.
    Robohlah tokoh Khitan itu, terguling telentang. Ia berusaha bangkit namun
    tak berhasil dan roboh lagi. Di lain saat Kwee Seng sudah berdiri di dekatnya
    dan menudingkan gagang kipas pada dadanya. Kini suara Kwee Seng keren
    berpengaruh.
    "Bayisan ? Kau terhitung apa dengan Kalisani?" Bayisan orangnya cerdik
    sekali. Kalau perlu ia sanggup bersikap pengecut untuk menyelamatkan diri.
    Seketika ia mengerti bahwa nyawanya tergantung pada jawabannya ini.
    Tanpa ragu‐ragu ia berkata, "Dia Kakak Misanku, tunggu saja kau akan
    pembalasannya karena kau berani menghinaku!"
    Kwee Seng tertawa bergelak dan melangkah mundur. "Ho‐ho‐ha‐ha ! Kau
    hendak menggunakan nama Kalisani untuk menakut‐nakuti aku ? Aha, lucu !
    Justeru karena engkau saudara misannya, justeru karena memandang
    mukanya, aku mengampuni jiwamu yang kotor, bukan sekali‐kali karena aku
    takut kepadanya. Huh, manusia rendah yang mencemarkan nama besar
    orang‐orang gagah Khitan!" Kwee Seng meludah, mengenai muka Bayisan,
    lalu pemuda ini meninggalkan Bayisan, berlari cepat ke dusun.
    Ketika ia memasuki kamar lewat jendela, ia melihat Lai Kui Lan masih
    telentang di atas pembaringan, air matanya bercucuran, akan tetapi kini
    gadis itu sudah dapat mulai bergerak‐gerak lemah. Kwee Seng cepat
    menggunakan ujung kipasnya menotok jalan darah dan terbebaslah Kui Lan.
    Gadis ini meloncat bangun, mukanya membayangkan kemarahan besar. Ia
    bersikap seperti orang hendak bertempur, kedua tangannya yang kecil
    mengepal, matanya berapi‐api memandang ke sana ke mari, mencari‐cari.
    "Mana dia ? Mana jahanam terkutuk itu ? Aku hendak mengadu nyawa
    dengan jahanam itu!"
    "Tenanglah, Nona. Bayisan sudah pergi kupancing dia keluar dusun dan dia
    sekarang terbaring di sana, tertotok gagang kipasku. Untung bahaya lewat
    sudah, Nona, dan kiranya tak baik menimbulkan gaduh di hotel ini sehingga
    memancing datang banyak orang dan akan timbul pertanyaan‐pertanyaan
    yang amat tak baik bagi nama Nona..."

  8. #142

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 142
    Tiba‐tiba Lai Kui Lan memandang Kwee Seng dan menjatuhkan diri di depan
    pemuda itu sambil menangis. Kwee Seng kebingungan dan menyentuh
    pundak gadis itu dengan halus. "Ah, apa‐apaan ini Nona ?Mari bangkit dan
    duduklah, kalau hendak bicara, lakukanlah dengan baik, jangan berlutut
    seperti ini."
    Lai Kui Lan menahan isaknya, lalu bangkit dan duduk di atas kursi. Kwee
    Seng tetap berdiri dan menenggak araknya yang tidak habis‐habis itu.
    "Kwee‐taihiap, kau telah menolong jiwaku..." "Ah, kau tidak terancam bahaya
    maut, bagaimana bisa bilang aku menolong jiwamu?"
    "Kwee‐taihiap bagaimana bisa bilang begitu ? Bahaya yang mengancamku di
    tangan jahanam itu lebih hebat daripada maut..." Gadis itu menangis lagi lalu
    cepat menghapus air matanya dengan saputangan. "Sampai mati aku Lai Kui
    Lan tidak dapat melupakan budi Taihiap..." Tiba‐tiba sepasang pipinya
    menjadi merah dan sinar matanya menatap wajah Kwee Seng penuh rasa
    terima kasih.
    Melihat sinar mata itu, Kwee Seng membuang muka dan menenggak araknya
    lagi. "Lupakanlah saja, Nona, dan berterima kasih kepada Tuhan bahwa
    kejahatan selalu pasti akan hancur."
    "Ah, di mana dia ? Aku harus membunuhnya ! Dia tertotok di luar dusun?"
    Setelah berkata demikian, gadis itu cepat ke luar dan berlari di dalam gelap.
    Kwee Seng menggeleng‐gelengkan kepalanya. Memang Bayisan patut di
    bunuh, akan tetapi ia merasa tidak enak kepada Kalisani, tokoh Khitan yang
    dikagumi semua orang dunia kang‐ouw. Maka ia tidak menghendaki nona itu
    membunuh Bayisan, dan diam‐diam ia mengikuti Lai Kui Lan dari jauh. Akan
    tetapi hatinya lega ketika ia melihat bahwa ketika Lai Kui Lan tiba di luar
    dusun, Bayisan sudah tak tampak lagi bayangannya. Kembali ia merasa
    kagum. Pemuda Khitan itu benar‐benar luar biasa, dapat membebaskan diri
    dari totokan sedemikian cepatnya.

  9. #143

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 143
    Ketika dengan hati kecewa Kui Lan kembali ke kamar itu, ia tidak melihat
    Kwee Seng, hanya melihat sehelai kertas bertulis di atas meja. Ia
    memungutnya dan membaca tulisan yang rapi dan bagus.
    Para pelayan telah melihat nona datang bersama dia, tidak baik bagi nona
    tinggal lebih lama di tempat ini, lebih baik kembali.
    Surat itu tak bertanda tangan, akan tetapi Kui Lan maklum siapa orangnya
    yang menulisnya. Dengan helaan napas panjang, lalu meloncat keluar lagi dan
    berlari‐lari menuju benteng sutenya. Gadis ini tidak tahu bahwa diam‐diam
    dari jauh Kwee Seng mengikutinya untuk menjaga kalau‐kalau gadis ini
    bertemu lagi dengan Bayisan. Setelah gadis itu memasuki benteng, barulah ia
    berjalan perlahan kembali ke hotelnya, memasuki kamar lalu tidur dengan
    nyenyak.
    Pada keesokan malamnya, Kwee Seng berjalan perlahan mendaki bukit
    Liong‐kui‐san. Baiknya malam hari itu angkasa tidak terhalang mendung
    sehingga bulan yang masih besar menyinar terang, menerangi jalan setapak
    yang amat sukar dilalui. Diam‐diam pemuda ini kagum akan keadaan gunung
    yang tak dikenalnya ini, bergidik menyaksikan jurang‐jurang yang amat
    dalam, dan ia merasa menyesal mengapa ia kemarin minta supaya Lu Sian
    datang ke tempat seperti ini. Kalau ia tahu gunung ini begini berbahaya, tentu
    ia memilih tempat lain. Akan tetapi karena sudah terlanjur, dan ia maklum
    pula bahwa Lu Sian cukup pandai untuk untuk dapat mendaki gunung ini, ia
    melanjutkan pendakiannya.
    Tepat pada tengah malam ia tiba di puncak bukit. Puncak ini merupakan
    tempat datar yang luasnya lima belas meter persegi, ditumbuhi rumput tebal,
    dan di sebelah selatan dan barat merupakan tempat pendakian yang sukar,
    adapun di sebelah utara dan timur tampak jurang ternganga, jurang yang tak
    dapat dibayangkan betapa dalamya karena yang tampak hanya warna hitam
    gelap mengerikan. Jauh sebelah bawah, agaknya di jurang sebelah timur,
    terdengar suara air gemericik, akan tetapi tidak tampak airnya.
    Ketika tiba di tempat itu, Kwee Seng menengok ke belakang dan menarik
    napas panjang. Sejak tadi ia tahu bahwa ada orang mengikutinya, dan tahu
    pula bahwa orang itu bukan lain adalah Lai Kui Lan. Ketika tiba di bagian
    yang sukar dan banyak batunya tadi, diam‐diam ia menyelinap dan

  10. #144

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 144
    mengambil jalan lain turun lagi maka ia melihat bahwa orang yang
    membayanginya tadi itu adalah Lai Kui Lan. Ia diam saja dan tidak menegur,
    lalu melanjutkan perjalanannya, malah menjaga agar ia tidak mengambil
    jalan terlalu sukar agar nona yang membayanginya itu dapat mengikutinya
    dengan aman. Ia menduga‐duga apa maksud nona itu dan akhirnya ia
    mengambil kesimpulan bahwa nona itu tentu ingin pula melihat kelanjutan
    daripada urusannya dengan Lu Sian. Tiba‐tiba ia teringat, Lu Sian seorang
    yang aneh wataknya. Kalau diketahui bahwa ada orang ketiga hadir, tentu
    akan marah, bukan tak mungkin timbul keganasannya dan menyerang Kui
    Lan. Oleh karena inilah maka Kwee Seng tidak jadi naik, cepat ia berlari t! ur!
    un lagi menyongsong Kui Lan.
    Dapat dibayangkan betapa kaget hati Kui Lan ketika melihat Kwee Seng
    secara tiba‐tiba berdiri di depannya, tak jauh dari puncak. Mereka berdiri
    berhadapan saling pandang, dan Kui Lan menjadi makin gugup.
    "Eh... ah... Kwee‐taihiap....aku... aku ingin bercerita kepadamu tentang...
    tentang mengapa aku sampai datang bersama... jahanam itu. Karena aku
    tidak bisa menjumpai Taihiap di sana, aku... aku lalu datang ke sini karena
    kau tahu bahwa malam ini Taihiap tentu akan datang disini." Kata‐kata ini
    diucapkan tergesa‐gesa dan tergagap sehingga Kwee Seng merasa kasihan,
    tidak mau menggodanya dengan pertanyaan‐pertanyaan yang mendesak.
    "Kau aneh sekali, Nona Lai. Mengapakah kau hendak menceritakan hal itu ?
    Akan tetapi biarlah, karena kulihat bahwa orang yang hendak kujumpai di
    sini belum datang di puncak, baiklah kau bercerita. Nah, sekarang aku
    bertanya, bagaimana kau bisa bertemu dan tertawan oleh Bayisan ?
    Duduklah biar enak kita bicara."
    Lai Kui Lan bernapas lega, lalu ia duduk di atas sebuah batu, berhadapan
    dengan Kwee Seng yang duduk di atas tanah.
    "Kemarin, setelah Taihiap meninggalkan aku di hutan itu." Ia mulai bicara,
    suaranya menggetar, "aku tak dapat menahan hatiku yang merasa kasihan
    dan kagum kepada Taihiap. Aku kecewa karena Taihiap tidak sudi menerima
    undanganku, kami sesungguhnya membutuhkan petunjuk‐petunjuk orang
    sakti seperti Taihiap. Aku tidak putus asa dan berusaha mengejar Tahiap
    yang menunggang kuda." Ia berhenti sebentar untuk melihat dan menunggu

  11. #145

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 145
    reaksi dari Kwee Seng, akan tetapi pemuda ini diam saja maka ia melanjutkan
    ceritanya.
    "Setelah keluar dari hutan itu, tiba‐tiba muncul Bayisan. Dia menyatakan
    kehendaknya, yaitu bermaksud untuk membujuk sute untuk bersekutu
    dengan orang‐orang Khitan. Tentu saja aku menjadi marah dan memaki lalu
    kami bertempur dengan kesudahan aku kalah dan tertawan. Dia lihai bukan
    main,orang Khitan ******* itu. Demikianlah, dalam keadaan tak berdaya aku
    dibawa ke rumah penginapan itu. Untung Tuhan melindungi diriku sehingga
    dapat bertemu dengan Taihiap. Kwee‐taihiap, kuulangi lagi permohonanku,
    sudilah kiranya Taihiap berkunjung ke benteng, berkenalan dengan Suteku
    dan kami mohon petunjuk‐petunjuk dari Tahiap dalam suasana yang kacau
    balau ini. Kami seakan‐akan hampir kehilangan pegangan, Taihiap, demikian
    banyaknya muncul raja‐raja yang membangun kerajaan‐kerajaan kecil
    sehingga sukar bagi kami untuk menentukan nama yang baik dan mana yang
    buruk."
    Di dalam hatinya Kwee Seng memuji. Nona ini, seperti juga Kam Si Ek, adalah
    seorang yang amat cinta kepada negara, orang‐orang berjiwa patriot yang
    akan rela mengorbankan jiwa raga demi negara dan bangsa. Tak enaklah
    kalau menolak terus.
    "Baiklah, Nona Lai. Setelah selesai urusanku di sini, aku akan singgah di
    benteng Jenderal Kam."
    "Terima kasih, Taihiap, terima kasih...!" Dengan suara penuh kegembiraan
    Kui Lan menjura, berkali‐kali.
    "Ssttt, ada orang di puncak. Nona Lai, karena kau sudah terlanjur berada di
    sini, aku pesan, kau bersembunyilah dan jangan sekali‐kali kau keluar, jangan
    sekali‐kali memperlihatkan diri, apapun juga yang terjadi. Maukah kau
    memenuhi permintaanku ini?"
    Lai Kui Lan dapat mengerti isi hati Kwee Seng, dengan muka sedih ia
    mengangguk. Akan tetapi karena muka itu tertutup bayangan, Kwee Seng
    tidak melihat kesedihan ini, Kwee Seng lalu bangkit dan meninggalkan Kui
    Lan, mendaki puncak. Benar saja dugaannya, ketika ia tiba di puncak, di sana

  12. #146

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 146
    telah berdiri Liu Lu Sian. Bukan main jelitanya gadis ini. Di bawah sinar bulan
    yang tak terhalang sesuatu, gadis ini seperti seorang dewi dari khayangan.
    Sinar bulan membungkus dirinya, rambutnya mengeluarkan cahaya, matanya
    seperti bintang.
    "Kiranya kau tidak lupa akan janjimu. Kwee Seng, aku sudah berada di sini,
    siap menerima ilmu seperti yang kau janjikan dahulu." Kata Liu Lu Sian, akan
    tetapi suaranya amat tidak menyenangkan hati, karena terdengar dingin,
    alangkah jauh bedanya dengan pribadinya yang seakan‐akan menciptakan
    kehangatan dan kemesraan. Ia tahu bahwa gadis itu selain tidak membalas
    cinta kasihnya, juga mendendam kepadanya. Karena itu, ia pun tidak mau
    menggunakan sebutan moi‐moi (adinda), karena kuatir kalau‐kalau hal itu
    akan menambah kemarahan Si Gadis dan akan menimbulkan cemoohan
    terhadap dirinya yang sudah terang tergila‐gila kepada Lu Sian.
    "Lu Sian, sebetulnya ilmu yang kupergunakan untuk menandingimu dahulu
    itu hanyalah Ilmu Silat Pat‐sian‐kun biasa saja."
    "Tak perlu banyak alasan, Kwee Seng. Kalau ada ilmu yang hendak kau
    turunkan kepadaku seperti janjimu, lekas beri ajaran!"
    Kwee Seng menggigit bibirnya, lalau berkata, "Kau lihatlah baik‐baik. Inilah
    ilmu silat itu." Ia lalu bersilat dengan gerakan lambat dan memang ia
    mainkan Ilmu Silat Pat‐sian‐kun‐hwat dengan tangan kosong, akan tetapi
    jelas bahwa gerakan‐gerakan ini diperuntukkan senjata pedang. Sebetulnya
    ilmu silat ini ada enam puluh jurus banyaknya. Akan tetapi ketika Kwee Seng
    menerima petunjuk dari Bukek Siansu Si Manusia Dewa, ia hanya
    meringkasnya menjadi seperempatnya saja, jadi hanya enam belas jurus inti
    yang sudah meliputi seluruhnya dan mencakup semua gerak kembang atau
    gerak pancingan, gerak serangan atau gerak pertahanan. Setelah mainkan
    enam belas jurus itu, Kwee Seng berhenti dan memandang kepada Lu Sian
    sambil berkata.
    "Nah, inilah ilmu silatku yang hendak kuajarkan kepadamu, Lu Sian,
    Sudahkah kau memperhatikan gerakannya ? Harap kau coba latih, mana yang
    kurang jelas akan kuberi penjelasan."

  13. #147

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 147
    "Ah, kau membohongi aku!" Lu Sian berseru marah. "Ilmu silat macam itu
    saja, dilihat dari gerakannya jauh kalah lihai daripada Pat‐mo Kiam‐hoat
    ciptaan Ayah ! Mana bisa kaukalahkan aku dengan ilmu itu ? Kwee Seng, aku
    tahu, setelah kau tidak bisa mendapatkan cintaku, kau hendak membalasnya
    dengan menyuguhkan ilmu silat pasaran untuk menghinaku!"
    Gemas hati Kwee Seng, dan perih perasaannya. Gadis ini terlalu kejam
    kepada orang yang tidak menjadi pilihan hatinya. "Lu Sian, sipa
    membohongimu ? Ketika aku menghadapimu dahulu, aku tidak
    menggunakan ilmu lain kecuali ini!"
    "Aku tidak percaya ! Coba kau sekarang jatuhkan aku dengan ilmu itu!"
    "Baiklah. Biar kugunakan ini sebagai pedang." Kwee Seng mengambil sebuah
    ranting pohon yang berada di tempat itu. "Kau mulailah dan lihat baik‐baik,
    aku hanya akan menggunakan Pat‐sian‐kun!"
    Lu Sian mencabut pedangnya, lalu menerjang dengan gerakan kilat, mainkan
    jurus berbahaya dari ilmu pedang ciptaan ayahnya, yaitu Pat‐mo Kiam‐hoat
    (Ilmu Pedang Delapan Iblis) yang memang diciptakan untuk menghadapi Patsian‐
    kun (Ilmu Silat Delapan Dewa).
    Melihat pedang nona itu berkelebat menusuk ke arah dadanya dengan
    kecepatan luar biasa, Kwee Seng menggeser kakinya ke kiri lalu ranting di
    tangan kanannya melayang dari samping menempel pedang dari atas dan
    menekan pedang lawan itu ke bawah disertai tenaga sin‐kang. Pedang Lu
    Sian tertekan dan tertempel seakan‐akan berakar pada ranting itu !
    Betapapun Lu Sian berusaha melepaskan pedang, sia‐sia belaka.
    "Nah, tangkisan ini dari jurus keempat yaitu pat‐sian‐khat‐bun (Delapan
    Dewa Buka Pintu) dan dapat dilanjutkan dengan serangan jurus ke
    delapanPat‐sian‐hian‐hwa (Delapan Dewa Serahkan Bunga), pedang
    menyambar sesuka hati, boleh memilih sasaran, akan tetapi untuk contoh
    aku hanya menyerang bahu." Tiba‐tiba ranting yang tadinya menekan pedang
    itu lenyap tenaga tekannya dan selagi pedang Lu Sian yang telepas dari
    tekanan ini meluncur ke atas, ranting cepat melesat dan menyabet bahu
    kanan Lu Sian !

  14. #148

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 148
    Lu Sian meringis, tidak sakit, akan tetapi amat penasaran. "Coba hadapi ini!"
    teriaknya dan pedangnya membuat lingkaran‐lingkaran lebar, dari dalam
    lingkaran itu ujung pedang menyambar‐nyambar laksana burung garuda
    mencari mangsa, mengancam tubuh bagian atas dari lawan.
    "Seranganmu ini kuhadapi dengan jurus ke lima yang disebut Pat‐sian‐hut‐si
    (Delapan Dewa Kebut Kipas) untuk melindungi diri." Kata Kwee Seng dan
    tiba‐tiba ranting di tangannya berputar cepat merupakan segunduk sinar
    bulat melindungi tubuh atasnya dan dilanjutkan dengan serangan jurus ke
    empat belas yang disebut Delapan Dewa Menari Payung!" Tiba‐tiba gulungan
    sinar bulat itu berubah lebar seperti payung dan tahu‐tahu dari sebelah
    bawah, ranting telah meluncur dan menyabet paha Lu Sian sehingga
    mengeluarkan suara "plak!" keras. Kalu saja ranting itu merupakan pedang
    tentu putus paha gadis itu !
    "Aduh ...!" Lu Sian menjerit karena pahanya yang disabet terasa pedas dan
    sakit. "Kwee Seng, kau kurang ajar...!"
    "Maaf, bukan maksudku menyakitimu. Sudah percayakah kau sekarang?"
    "Tidak ! Kau akali aku ! Aku minta kau ajarkan ilmu‐ilmi silatmu yang
    terkenal, seperti Lo‐hai‐san‐hoat (Ilmu Kipas Menaklukan Lautan), atau Capjit‐
    seng‐kiam (Ilmu Pedang Tujuh Belas Bintang), atau Ilmu Pukulan Biansin‐
    kun (Tangan Sakti Kapas)!"
    Kwee seng terkejut. Bagaimana nona ini bisa tahu akan ilmu‐ilmu silat
    rahasia simpanannya itu ? Ia menjadi curiga. Kalau Pat‐jiu Sin‐ong mungkin
    tahu, akan tetapi nona ini ? Suaranya keren berwibawa ketika ia menjawab.
    "Liu Lu Sian, harap kau jangan minta yang bukan‐bukan. Aku hanya hendak
    mengajarkan kau Pat‐sian‐kun, dan kau harus menerima apa yang hendak
    kuberikan kepadamu."

  15. #149

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 149
    "Kau hendak melanggar janji??" "Sama sekali tidak. Aku berjanji kepada
    ayahmu hendak mengajarkan ilmu yang dapat mengalahkan ilmu pedangmu
    itu, dan kurasa Pat‐sian‐kun yang dapat menjadi Pat‐sian Kiam‐hoat dapat
    mengalahkan ilmu pedangmu Pat‐mo Kiam‐hoat!"
    "Hoa‐ha‐ha‐ha ! Kau menggunakan akal untuk menipu anak kecil, Kweehiante.
    Sungguh keterlaluan sekali!"
    Kwee Seng kaget dan cepat menengok. Kiranya Pat‐jiu Sin‐ong sudah berdiri
    disitu, tinggi besar dan bertolak pinggang sambil tertawa. Cepat Kwee Seng
    memberi hormat sambil berkata, "Ah, kiranya Beng‐kauwcu telah berada
    disini!" Akan tetapi di dalam hatinya ia tidak senang dan tahulah ia sekarang
    mengapa Lu Sian mengenal semua ilmu simpanannya, tentu sebelumnya
    telah diberi tahu oleh orang tua ini yang hendak mempergunakan puterinya
    untuk menjajaki kepandaiannya dan kalau mungkin mempelajari ilmu
    simpanannya. "Beng‐kauwcu, apa maksudmu dengan mengatakan bahwa aku
    menggunakan akal untuk menipu puterimu?"
    "Ha‐ha‐ha ! Kau bilang tadi bahwa Pat‐sian‐kun dapat menangkan Pat‐mo
    Kiam‐hoat ! Tentu saja kau dapat menangkan Lu Sian karena memang tingkat
    kepandaianmu agak lebih tinggi daripada tingkatnya." Dengan ucapan "agak
    lebih tinggi" ini terang orang tua itu memandang rendah kepada Kwee Seng,
    akan tetapi pemuda itu mendengarkan dengan tenang dan sabar. "Andaikata
    aku yang mainkan Pat‐mo Kiam‐hoat, apakah kau juga masih berani bilang
    dapat mengalahkannya dengan Pat‐sian‐kun?"
    "Orang tua yang baik, mana aku yang muda berani main‐main denganmu?
    Kita sama‐sama tahu bahwa ilmu silat sama sekali bukan merupakan syarat
    mutlak untuk menangkan pertandingan, melainkan tergantung daripada
    kemahiran seseorang. Betapa indah dan sulitnya sebuah ilmu kalau si
    pemainnya kurang menguasai ilmu itu, dapat kalah oleh seorang ahli
    mainkan sebuah ilmu biasa saja dengan mahir. Puterimu dahulu kuhadapi
    dengan Pat‐sian‐kun, hal ini kau sendiri tahu. Aku berjanji hendak
    menurunkan ilmu yang kupakai mengalahkan dia, malam ini kuturunkan
    kepadanya Pat‐sian‐kun, apalagi yang harus diperbincangkan?"
    "Orang muda she Kwee ! Dua kali kau menghina kami keluarga Liu!" Si Ketua
    Beng‐kauw membentak, suaranya mengguntur sehingga bergema di seluruh

  16. #150

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 150
    punucak, membikin kaget burung‐burung yang tadinya mengaso di pohon.
    Dari jauh terdengar auman binatang‐binatang buas yang merasa kaget pula
    mendengar suara aneh ini.
    "Pa‐jiu Sin‐ong, aku tidak mengerti maksudmu." Jawab Kwee Seng, tetap
    tenang.
    "Dengan setulus hati aku menjatuhkan pilihanku kepadamu, aku akan girang
    sekali kalau kau menjadi suami anakku. Akan tetapi kau pura‐pura menolak
    ketika berada di sana. Ini penghinaan pertama. Kemudian kau mengadakan
    perjalanan dengan puteriku, kuberi kebebasan karena memang aku senang
    mempunyai mantu engkau. Dalam perjalanan ini kau jatuh cinta kepaa Lu
    Sian, sikapmu menjemukan seperti seorang pemuda lemah. Ini masih
    kumaafkan karena memang kukehendaki kau mencintainya dan menjadi
    suaminya. Akan tetapi Lu Sian meliha kelemahanmu dan tidak mau
    membalas cintamu, melainkan mengharapkan ilmumu. Dan sekarang, kau
    yang katanya mencintainya mati‐matian, ternyata hanya hendak menipunya,
    karena kalau betul mencinta, mengapa tidak rela mewariskan ilmu
    simpananmu ? Inilah penghinaan ke dua!"
    Panas hati Kwee Seng. Terang sudah sekarang bahwa orang tua ini secara
    diam‐diam mengawasi gerak‐geriknya. Ia menjadi malu sekali mengingat
    akan kebodohan dan kelemahannya. Akan tetapi orang tua ini terang berlaku
    curang dan tak tahu malu.
    "Pat‐jiu Sin‐ong ! Sama kepala lain otak, sama dada lain hati ! kau
    menganggap aku menipu, aku menganggap kau dan puterimu yang hendak
    mendesakku dan bahkan kau hendak menggunakan rasa hatiku yang murni
    terhadap puterimu untuk memuaskan nafsu tamakmu akan ilmu silat. Tidak,
    beng‐kauwcu aku tetap dengan pendirianku, karena Pat‐sian‐kun yang
    mengalahkan Pat‐mo‐kun yang dipergunakan puterimu, maka sekarang aku
    hanya dapat menurunkan Pat‐sian‐kun saja."
    "Singgg!!!" Tiada menduga, kilat menyambar. Kiranya kilat itu keluar dari
    pedang di tangan Pat‐jiu Sing‐ong yang telah dihunusnya secara cepat sekali
    sehingga seperti main sulap saja, tahu‐tahu di tangannya sudah ada sebatang
    pedang yang kemilau. Inilah Beng‐kong‐kiam (Pedang Sinar Terang) yang
    sudah

Page 10 of 16 FirstFirst ... 67891011121314 ... LastLast

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •