PART 136
Kwee Seng membalikkan tubuh, menggoyang‐goyang kepalanya seperti
seorang pemabokan dan mengangkat tempat arak ke arah pemuda itu
dengan gerakan menawarkan. Akan tetapi diam‐diam ia memperhatikan Si
Pemuda. Seorang pemuda sebaya dengannya, berwajah cukup tampan akan
tetapi membayangkan keanehan dan kekejaman, sepasang alisnya yang tebal
hitam itu bersambung dari mata atas kiri ke atas mata kanan. Kepalanya kecil
tertutup kain penutup kepala yang bentuknya lain daripada biasa. Pada muka
itu terbayang sesuatu yang asing, seperti terdapat pada wajah orang‐orang
asing. Tubuhnya tidak berapa besar namun membayangkan kekuatan
tersembunyi yang hebat, sedangkan sinar matanya pun membayangkan
tenaga dalam yang kuat. Diam‐diam Kwee Seng terkejut dan menduga‐duga
siapa gerangan pemuda ini, dan mengapa pula Lai Kui Lan ikut dengan
pemuda ini dengan sikap seolah‐olah seekor domba yang dituntun ke
penjagalan.
Seekor domba yang dituntun ke penjagalan ! Kalimat ini seakan‐akan
berdengung di telinga Kwee Seng, membuatnya termenung lupa akan
araknya ketika dua orang itu sudah memasuki kamar tengah, mendengar
suara Si Pemuda yang berat dan parau minta kamar dijawab oleh pengurus
rumah penginapan. Kemudian, masih lupa akan araknya, Kwee Seng berjalan
perlahan menuju ke kamarnya sendiri, kalimat tadi masih terngiang di
telinganya. Mungkin, bisik hatinya. Mungkin sekali Lai Kui Lan menjadi
domba dan pemuda itu kiranya patut pula menjadi seorang penyembelih
domba, seorang jai‐hwa‐cat (penjahat *****). Kalau tidak demikian, mengapa
sikap Lai Kui Lan begitu aneh seperti orang terkena sihir ? Seperti seorang
yang melek akan tetapi tidak sadar ?
Makin gelap keadaan cuaca di luar hotel, makin gelap pula pikirnya Kwee
Seng menghadapi teka‐teki itu. Hatinya pernah penasaran, biarpun beberapa
kali ia meyakinkan hatinya bahwa kehadiran Lai Kui Lan bersama seorang
pemuda itu sama sekali bukan urusannya dan bahwa tidak patut mengintai
keadaan muda‐mudi yang mungkin sedang di lautan madu asmara, namun
kecurigaannya mendesak‐desaknya sehingga tak lama kemudian, di dalam
kegelapan malam, Kwee Seng sudah melayang naik ke atas genteng hotel dan
melakukan pengintaian. Hal ini ia lakukan dengan guci arak masih di tangan,
karena untuk melakukan pekerjaan yang berlawanan dengan kesusilaan ini
ia harus menguatkan hati dengan minum arak.
Akan tetapi ketika ia mengintai ke dalam kamar dua orang itu, hampir saja ia
terjengkang saking marah dan kagetnya. Tak salah lagi apa yang dikuatirkan
hatinya ! Ia melihat Lai Kui Lan terbaring telentang di atas pembaringan
PART 137
dalam keadaan lemas tak dapat bergerak, mukanya yang pucat itu basah oleh
air mata, terang bahwa gadis itu tertotok hiat‐to (jalan darah) di bagian
thian‐hu hiat dan mungkin juga jalan darah yang membuat gadis itu menjadi
gagu ! Akan tetapi air mata itu menceritakan segalanya ! Menceritakan bahwa
keadaan gadis seperti itu bukanlah atas kehendak Si Gadis sendiri, melainkan
terpaksa dan karena tak berdaya. Adapun pemuda tadi, duduk di tepi
pembaringan sambil berkata lirih membujuk‐bujuk.
"Nona yang baik, mengapa kau menangis?" Dengan gerakan halus dan mesra
pemuda itu mengusap‐usap kedua pipi yang penuh air mata. "Aku tertarik
oleh kecantikanmu, dan andaikata aku tidak tahu bahwa kau adalah suci dari
Jenderal kam Si Ek, tentu aku tidak akan berlaku sesabar ini! Aku ingin kau
menyerahkan diri kepadaku berikut hatimu, ingin kau membalas cintaku dan
kau akan kuajak ke Khitan, menjadi isteriku, isteri seorang panglima! Dengan
ikatan ini, tentu adik seperguruanmu akan suka bersekutu dengan kami.
Nona, kau tinggal pilih, menyerah kepadaku dengan sukarela, ataukah kau
ingin menjadi orang terhina karena aku menggunakan kekerasan? Kau tidak
ingin dinodai seperti itu, bukan? Aku Bayisan, panglima terkenal di Khitan,
tidak kecewa kau menjadi kekasihku..." Pemuda itu menundukkan mukanya
hendak mencium muka gadis yang tak berdaya itu.
Tiba‐tiba pemuda yang bernama Bayisan itu meloncat bangun, membatalkan
niatnya mencium karena tengkuknya terasa panas dan sakit. Matanya
jelilatan ke sana ke mari, cuping hidungnya kembang kempis karena ia
mencium bau arak. Ia meraba tengkuknya yang ternyata basah dan ketika ia
mendekatkan tangannya ke depan hidung, ia berseru kaget.
"*******, siapa berani main‐main dengan aku?" "Penjahat ***** jahanam! Di
tempat umum kau berani melakukan perbuatan biadab, sekarang beremu
dengan aku tak mungkin kau dapat mengumbar nafsu iblismu!" terdengar
suara Kwee Seng dari atas genteng.
Bayisan bergerak cepat sekali, tahu‐tahu tubuhnya sudah melayang ke luar
dari jendela kamar dan beberapa menit kemudian ia sudah meloncat naik ke
atas genteng. Akan tetapi ia tidak melihat orang di atas genteng yang sunyi
itu! Bayisan celingukan, napasnya terengah‐engah karena menahan amarah,
sebatang pedang sudah berada di tangan kanannya.
PART 138
"Heeeei! Jahanam *****, aku di sini. Mari kita keluar dusun kalau kau
memang berani!" Tahu‐tahu Kwee Seng suah berada agak jauh dari tempat
itu, melambai‐lambaikan guci araknya ke arah Bayisan. Tentu saja orang
Khitan ini makin marah dan sambil berseru keras ia mengejar. Kwee Seng lari
cepat dan terjadilah kejar‐kejaran di malam gelap itu, menuju ke luar dusun.
Di luar dusun inilah Kwee Seng menantikan lawannya.
Mereka berhadapan. Kwee Seng tenang dan ketika lawannya datang ia
sedang meneguk araknya. Bayisan marah sekali, mukanya merah matanya
jalang, pedang di tangannya gemetar. Ketika mengenal pemuda pelajar
pemabokan itu, ia makin marah.
"Eh, kiranya kau, pelajar jembel tukang mabok! Kau siapakah dan mengapa
kau lancang dan mencampuri urusan pribadi orang lain?" Bayisan
membentak menahan kemarahannya karena ia maklum bahwa yang berdiri
di depannya bukan orang sembarangan sehingga ia harus bersikap hati‐hati
dan mengenal keadaan lawan lebih dulu. Bayisan terkenal sebagai seorang
pemuda yang selain tinggi ilmunya. Juga amat cerdik dan keji. Di Khitan ia
terkenal sebagai seorang panglima muda yang tangguh dan pandai. Kwee
Seng tertawa. "Aku orang biasa saja, tidak seperti engkau ini, Panglima
Khitan merangkap penjahat *****! Aku mendengar tadi namamu Bauw I San?
Belum pernah aku mendengar nama itu! Pernah aku mendengar nama
Kalisani sebagai tokoh Khitan yang dipuji‐puji, akan tetapi nama Bouw I San
(Bayisan) tukang petik bunga (penjahat *****) aku belum pernah!"
"Hemm, manusia sombong! Aku memang bernama Bayisan Panglima Khitan,
kau mendengarnya atau belum bukan urusanku. Aku suka gadis itu dan
hendak mengambilnya sebagai kekasih, kau mau apa? Apakah kau iri? Kalau
kau iri, apakah kau tidak bisa mencari perempuan lain? Tak tahu malu
engkau, hendak merebut perempuan yang sudah menjadi tawananku!"
"Heh‐heh‐heh, Bayisan hidung belang! Jangan samakan aku dengan engkau!
Kau suka mengganggu wanita, aku tidak! Kau penjahat *****, aku justeru
membasmi penjahat *****! Aku Kwee Seng selamanya tidak memaksa
perempuan yang tidak cinta kepadaku!" kalaimat terakhir ini tanpa ia sadari
keluar dari mulutnya dan diam‐diam Kwee Seng selamanya tidak memaksa
perempuan yang tidak cinta kepadaku!" Kalimat terakhir ini tanpa ia sadari
keluar dari mulutnya dan diam‐diam Kwee Seng meringis karena ia teringat
akan Liu Lu Sian yang tidak cinta kepadanya.
PART 139
Di lain pihak, Bayisan kelihatan terkejut dan marah mendengar disebutnya
nama ini. "Akhh, *******! Jadi kau ini Kwee Seng, pelajar jembel tak tahu
malu itu? Kau telah terlepas dari tangan maut Suhuku Ban‐pi Lo‐cia, sekarang
kau tak mungkin terlepas dari tanganku!" setelah berkata demikian, Bayisan
menuyerang hebat dengan pedangnya. Pedang itu digerakkan ke atas akan
tetapi dari atas menyambar ke bawah dengan bacokan ke arah kepala,
kemudian disusul gerakan menusuk dada. Hebat serangan ini, karena
sekaligus dalam satu gerakan saja telah menjatuhkan dua serangan yaitu
membacok kepala dan menusuk dada!
Akan tetapi Kwee Seng menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya mencelat
ke belakang sejauh dua meter sambil meneguk araknya. Sekaligus dua
serangan itu gagal sama sekali!
"Aih... aihhh... jadi kau ini murid Ban‐pi Lo‐cia? Pantas... pantas.... Gurunya
hidung belang, muridnya mata keranjang!"
Akan tetapi dengan gerakan kilat Bayisan sudah menerjang maju dan
permainan pedangnya benar‐benar hebat. Kiranya Bayisan bukanlah
sembarang murid dari Ban‐pi Lo‐cia, agaknya sudah menerima gemblengan
dan mewarisi ilmu silat bagian yang paling tinggi, di samping ilmu silat yang
dipelajarinya dari orang‐orang pandai di daerah utara dan barat. Pedang di
tangannya berkelebatan berubah menjadi sinar bergulung‐gulung dan angin
yang ditimbulkan mengeluarkan bunyi berdesingan mengerikan.
Diam‐diam kwee seng kagum juga. Sayang sekali, pikirnya. Jarang ada orang
muda dengan ilmu kepandaian sehebat ini, maka amatlah saying kepandaian
begini baik jatuh pada diri seorang pemuda yang bermoral rendah. Orang
dengan kepandaian seperti ini tentu akan dapt menjunjung tinggi nama besar
suku bangsa Khitan yang memang terkenal sejak dulu sebagai suku bagsa
yang kuat dan pengelana yang ulet. Menghadapi pedang Bayisan yang tak
boleh dipandang ringan ini, terpaksa Kwee Seng mengeluarkan kipasnya dan
dengan kipas di tangan kir, barulah ia menghalau semua ancaman bahaya
dari pedang itu.
PART 140
Sebaliknya, Bayisan kaget sekali. Gurunya pernah bercerita bahwa di dunia
kang‐ouw muncul jago muda bernama Kwee Seng yang berjuluk Kim‐o‐eng.
Akan tetapi gurunya tidak bicara tentang kehebatan pemuda itu, maka
sungguh kagetlah ia ketika melihat betapa pemuda itu hanya dengan kipas di
tangan mampu menghadapi pedangnya, malah kini semua jalan pedangnya
serasa buntu, lubang untuk menyerang tertutup sama sekali! Celaka,
pikirnya, andaikata ia dapat menangkan sastrawan muda itu, hal yang amat
meragukan, tentu akan makan waktu lama sekali. Pertandingan melawan
sastrawan ini tidak penting baginya, lebih penting lagi diri Lai Kui Lan yang ia
tinggalkan dalam kamar hotel. Pengaruh totokannya tidak akan tahan lama,
apalagi gadis itu memiliki ilmu kepandaian yang tidak rendah. Kalau ia terus
melayani sastrawan ini dan Lai Kui Lan dapat membebaskan diri daripada
totokan, tentu akan terlepas dan lari. Kalau sudah lari kembali ke
benteng,sukarlah untuk menangkapnya lagi. Ia akan menderi! ta! rugi dua
kali, pertama, kehilangan calon korban yang begitu menggiurkan, ke dua,
rencananya menarik Jenderal Kam Si Ek sebagai sekutu Khitan akan gagal
sama sekali.
Berpikir demikian, pemuda Khitan yang cerdik ini lalu mengeluarkan seruan
keras dan tinggi hampir merupakan suara lengking memekakkan telinga,
kemudian pedangnya bergerak menusuk‐nusuk seperti datangnya belasan
batang anak panah. Kwee Seng terkejut. Lengking tadi hampir mencapai
tingkat yang dapat membahayakan lawan. Kalau pemuda Khitan ini tekun
berlatih dan menerima bimbingan orang pandai, tentu akan berhasil
memiliki ilmu pekik semacam Saicu‐ho‐kang (Auman Singa) yang dapat
melumpuhkan lawan hanya dengan pengerahan suara saja ! Apalagi lengking
itu disusul serangan pedang sehebat itu. Benar‐benar pemuda Khitan ini
mengagumkan dan berbahaya.
Kwee Seng cepat memutar kipasnya dan karena ia kuatir kipasnya akan
rusak menghadapi hujan tusukan itu, ia mengalah dan meloncat ke belakang.
Akan tetapi kesempatan itu dipergunakan oleh Bayisan untuk menggerakan
tangan kirinya. Benda‐benda hitam menyambar dan Kwee Seng mencium bau
yang amat tidak enak ketika ia mengelak dan jarum‐jarum hitam itu lewat di
depan mukanya. Jarum‐jarum beracun yang lebih jahat daripada jarum
beracun milik Liu Lu Sian ! Untuk menghilangkan bau tidak enak, ia meneguk
araknya. Akan tetapi Bayisan meloncat pergi sambil berkata.
"Jembel busuk, Tuanmu tidak ada waktu lagi untuk ... " Hanya sampai di sini
kata‐kata Bayisan karena tiba‐tiba ia terguling roboh dan tubuhnya lemas !
Kiranya secepat kilat Kwee Seng tadi telah menyemburkan dari mulutnya
PART 141
dan menyusulkan sebuah totokan dengan ujung kipasnya. Gerakannya
melompat seperti kilat menyambar dengan cepatnya sehingga tidak terdugaduga
oleh Bayisan yang lebih dulu sudah tersembur arak pada punggungnya.
Robohlah tokoh Khitan itu, terguling telentang. Ia berusaha bangkit namun
tak berhasil dan roboh lagi. Di lain saat Kwee Seng sudah berdiri di dekatnya
dan menudingkan gagang kipas pada dadanya. Kini suara Kwee Seng keren
berpengaruh.
"Bayisan ? Kau terhitung apa dengan Kalisani?" Bayisan orangnya cerdik
sekali. Kalau perlu ia sanggup bersikap pengecut untuk menyelamatkan diri.
Seketika ia mengerti bahwa nyawanya tergantung pada jawabannya ini.
Tanpa ragu‐ragu ia berkata, "Dia Kakak Misanku, tunggu saja kau akan
pembalasannya karena kau berani menghinaku!"
Kwee Seng tertawa bergelak dan melangkah mundur. "Ho‐ho‐ha‐ha ! Kau
hendak menggunakan nama Kalisani untuk menakut‐nakuti aku ? Aha, lucu !
Justeru karena engkau saudara misannya, justeru karena memandang
mukanya, aku mengampuni jiwamu yang kotor, bukan sekali‐kali karena aku
takut kepadanya. Huh, manusia rendah yang mencemarkan nama besar
orang‐orang gagah Khitan!" Kwee Seng meludah, mengenai muka Bayisan,
lalu pemuda ini meninggalkan Bayisan, berlari cepat ke dusun.
Ketika ia memasuki kamar lewat jendela, ia melihat Lai Kui Lan masih
telentang di atas pembaringan, air matanya bercucuran, akan tetapi kini
gadis itu sudah dapat mulai bergerak‐gerak lemah. Kwee Seng cepat
menggunakan ujung kipasnya menotok jalan darah dan terbebaslah Kui Lan.
Gadis ini meloncat bangun, mukanya membayangkan kemarahan besar. Ia
bersikap seperti orang hendak bertempur, kedua tangannya yang kecil
mengepal, matanya berapi‐api memandang ke sana ke mari, mencari‐cari.
"Mana dia ? Mana jahanam terkutuk itu ? Aku hendak mengadu nyawa
dengan jahanam itu!"
"Tenanglah, Nona. Bayisan sudah pergi kupancing dia keluar dusun dan dia
sekarang terbaring di sana, tertotok gagang kipasku. Untung bahaya lewat
sudah, Nona, dan kiranya tak baik menimbulkan gaduh di hotel ini sehingga
memancing datang banyak orang dan akan timbul pertanyaan‐pertanyaan
yang amat tak baik bagi nama Nona..."
PART 142
Tiba‐tiba Lai Kui Lan memandang Kwee Seng dan menjatuhkan diri di depan
pemuda itu sambil menangis. Kwee Seng kebingungan dan menyentuh
pundak gadis itu dengan halus. "Ah, apa‐apaan ini Nona ?Mari bangkit dan
duduklah, kalau hendak bicara, lakukanlah dengan baik, jangan berlutut
seperti ini."
Lai Kui Lan menahan isaknya, lalu bangkit dan duduk di atas kursi. Kwee
Seng tetap berdiri dan menenggak araknya yang tidak habis‐habis itu.
"Kwee‐taihiap, kau telah menolong jiwaku..." "Ah, kau tidak terancam bahaya
maut, bagaimana bisa bilang aku menolong jiwamu?"
"Kwee‐taihiap bagaimana bisa bilang begitu ? Bahaya yang mengancamku di
tangan jahanam itu lebih hebat daripada maut..." Gadis itu menangis lagi lalu
cepat menghapus air matanya dengan saputangan. "Sampai mati aku Lai Kui
Lan tidak dapat melupakan budi Taihiap..." Tiba‐tiba sepasang pipinya
menjadi merah dan sinar matanya menatap wajah Kwee Seng penuh rasa
terima kasih.
Melihat sinar mata itu, Kwee Seng membuang muka dan menenggak araknya
lagi. "Lupakanlah saja, Nona, dan berterima kasih kepada Tuhan bahwa
kejahatan selalu pasti akan hancur."
"Ah, di mana dia ? Aku harus membunuhnya ! Dia tertotok di luar dusun?"
Setelah berkata demikian, gadis itu cepat ke luar dan berlari di dalam gelap.
Kwee Seng menggeleng‐gelengkan kepalanya. Memang Bayisan patut di
bunuh, akan tetapi ia merasa tidak enak kepada Kalisani, tokoh Khitan yang
dikagumi semua orang dunia kang‐ouw. Maka ia tidak menghendaki nona itu
membunuh Bayisan, dan diam‐diam ia mengikuti Lai Kui Lan dari jauh. Akan
tetapi hatinya lega ketika ia melihat bahwa ketika Lai Kui Lan tiba di luar
dusun, Bayisan sudah tak tampak lagi bayangannya. Kembali ia merasa
kagum. Pemuda Khitan itu benar‐benar luar biasa, dapat membebaskan diri
dari totokan sedemikian cepatnya.
PART 143
Ketika dengan hati kecewa Kui Lan kembali ke kamar itu, ia tidak melihat
Kwee Seng, hanya melihat sehelai kertas bertulis di atas meja. Ia
memungutnya dan membaca tulisan yang rapi dan bagus.
Para pelayan telah melihat nona datang bersama dia, tidak baik bagi nona
tinggal lebih lama di tempat ini, lebih baik kembali.
Surat itu tak bertanda tangan, akan tetapi Kui Lan maklum siapa orangnya
yang menulisnya. Dengan helaan napas panjang, lalu meloncat keluar lagi dan
berlari‐lari menuju benteng sutenya. Gadis ini tidak tahu bahwa diam‐diam
dari jauh Kwee Seng mengikutinya untuk menjaga kalau‐kalau gadis ini
bertemu lagi dengan Bayisan. Setelah gadis itu memasuki benteng, barulah ia
berjalan perlahan kembali ke hotelnya, memasuki kamar lalu tidur dengan
nyenyak.
Pada keesokan malamnya, Kwee Seng berjalan perlahan mendaki bukit
Liong‐kui‐san. Baiknya malam hari itu angkasa tidak terhalang mendung
sehingga bulan yang masih besar menyinar terang, menerangi jalan setapak
yang amat sukar dilalui. Diam‐diam pemuda ini kagum akan keadaan gunung
yang tak dikenalnya ini, bergidik menyaksikan jurang‐jurang yang amat
dalam, dan ia merasa menyesal mengapa ia kemarin minta supaya Lu Sian
datang ke tempat seperti ini. Kalau ia tahu gunung ini begini berbahaya, tentu
ia memilih tempat lain. Akan tetapi karena sudah terlanjur, dan ia maklum
pula bahwa Lu Sian cukup pandai untuk untuk dapat mendaki gunung ini, ia
melanjutkan pendakiannya.
Tepat pada tengah malam ia tiba di puncak bukit. Puncak ini merupakan
tempat datar yang luasnya lima belas meter persegi, ditumbuhi rumput tebal,
dan di sebelah selatan dan barat merupakan tempat pendakian yang sukar,
adapun di sebelah utara dan timur tampak jurang ternganga, jurang yang tak
dapat dibayangkan betapa dalamya karena yang tampak hanya warna hitam
gelap mengerikan. Jauh sebelah bawah, agaknya di jurang sebelah timur,
terdengar suara air gemericik, akan tetapi tidak tampak airnya.
Ketika tiba di tempat itu, Kwee Seng menengok ke belakang dan menarik
napas panjang. Sejak tadi ia tahu bahwa ada orang mengikutinya, dan tahu
pula bahwa orang itu bukan lain adalah Lai Kui Lan. Ketika tiba di bagian
yang sukar dan banyak batunya tadi, diam‐diam ia menyelinap dan
PART 144
mengambil jalan lain turun lagi maka ia melihat bahwa orang yang
membayanginya tadi itu adalah Lai Kui Lan. Ia diam saja dan tidak menegur,
lalu melanjutkan perjalanannya, malah menjaga agar ia tidak mengambil
jalan terlalu sukar agar nona yang membayanginya itu dapat mengikutinya
dengan aman. Ia menduga‐duga apa maksud nona itu dan akhirnya ia
mengambil kesimpulan bahwa nona itu tentu ingin pula melihat kelanjutan
daripada urusannya dengan Lu Sian. Tiba‐tiba ia teringat, Lu Sian seorang
yang aneh wataknya. Kalau diketahui bahwa ada orang ketiga hadir, tentu
akan marah, bukan tak mungkin timbul keganasannya dan menyerang Kui
Lan. Oleh karena inilah maka Kwee Seng tidak jadi naik, cepat ia berlari t! ur!
un lagi menyongsong Kui Lan.
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Kui Lan ketika melihat Kwee Seng
secara tiba‐tiba berdiri di depannya, tak jauh dari puncak. Mereka berdiri
berhadapan saling pandang, dan Kui Lan menjadi makin gugup.
"Eh... ah... Kwee‐taihiap....aku... aku ingin bercerita kepadamu tentang...
tentang mengapa aku sampai datang bersama... jahanam itu. Karena aku
tidak bisa menjumpai Taihiap di sana, aku... aku lalu datang ke sini karena
kau tahu bahwa malam ini Taihiap tentu akan datang disini." Kata‐kata ini
diucapkan tergesa‐gesa dan tergagap sehingga Kwee Seng merasa kasihan,
tidak mau menggodanya dengan pertanyaan‐pertanyaan yang mendesak.
"Kau aneh sekali, Nona Lai. Mengapakah kau hendak menceritakan hal itu ?
Akan tetapi biarlah, karena kulihat bahwa orang yang hendak kujumpai di
sini belum datang di puncak, baiklah kau bercerita. Nah, sekarang aku
bertanya, bagaimana kau bisa bertemu dan tertawan oleh Bayisan ?
Duduklah biar enak kita bicara."
Lai Kui Lan bernapas lega, lalu ia duduk di atas sebuah batu, berhadapan
dengan Kwee Seng yang duduk di atas tanah.
"Kemarin, setelah Taihiap meninggalkan aku di hutan itu." Ia mulai bicara,
suaranya menggetar, "aku tak dapat menahan hatiku yang merasa kasihan
dan kagum kepada Taihiap. Aku kecewa karena Taihiap tidak sudi menerima
undanganku, kami sesungguhnya membutuhkan petunjuk‐petunjuk orang
sakti seperti Taihiap. Aku tidak putus asa dan berusaha mengejar Tahiap
yang menunggang kuda." Ia berhenti sebentar untuk melihat dan menunggu
PART 145
reaksi dari Kwee Seng, akan tetapi pemuda ini diam saja maka ia melanjutkan
ceritanya.
"Setelah keluar dari hutan itu, tiba‐tiba muncul Bayisan. Dia menyatakan
kehendaknya, yaitu bermaksud untuk membujuk sute untuk bersekutu
dengan orang‐orang Khitan. Tentu saja aku menjadi marah dan memaki lalu
kami bertempur dengan kesudahan aku kalah dan tertawan. Dia lihai bukan
main,orang Khitan ******* itu. Demikianlah, dalam keadaan tak berdaya aku
dibawa ke rumah penginapan itu. Untung Tuhan melindungi diriku sehingga
dapat bertemu dengan Taihiap. Kwee‐taihiap, kuulangi lagi permohonanku,
sudilah kiranya Taihiap berkunjung ke benteng, berkenalan dengan Suteku
dan kami mohon petunjuk‐petunjuk dari Tahiap dalam suasana yang kacau
balau ini. Kami seakan‐akan hampir kehilangan pegangan, Taihiap, demikian
banyaknya muncul raja‐raja yang membangun kerajaan‐kerajaan kecil
sehingga sukar bagi kami untuk menentukan nama yang baik dan mana yang
buruk."
Di dalam hatinya Kwee Seng memuji. Nona ini, seperti juga Kam Si Ek, adalah
seorang yang amat cinta kepada negara, orang‐orang berjiwa patriot yang
akan rela mengorbankan jiwa raga demi negara dan bangsa. Tak enaklah
kalau menolak terus.
"Baiklah, Nona Lai. Setelah selesai urusanku di sini, aku akan singgah di
benteng Jenderal Kam."
"Terima kasih, Taihiap, terima kasih...!" Dengan suara penuh kegembiraan
Kui Lan menjura, berkali‐kali.
"Ssttt, ada orang di puncak. Nona Lai, karena kau sudah terlanjur berada di
sini, aku pesan, kau bersembunyilah dan jangan sekali‐kali kau keluar, jangan
sekali‐kali memperlihatkan diri, apapun juga yang terjadi. Maukah kau
memenuhi permintaanku ini?"
Lai Kui Lan dapat mengerti isi hati Kwee Seng, dengan muka sedih ia
mengangguk. Akan tetapi karena muka itu tertutup bayangan, Kwee Seng
tidak melihat kesedihan ini, Kwee Seng lalu bangkit dan meninggalkan Kui
Lan, mendaki puncak. Benar saja dugaannya, ketika ia tiba di puncak, di sana
PART 146
telah berdiri Liu Lu Sian. Bukan main jelitanya gadis ini. Di bawah sinar bulan
yang tak terhalang sesuatu, gadis ini seperti seorang dewi dari khayangan.
Sinar bulan membungkus dirinya, rambutnya mengeluarkan cahaya, matanya
seperti bintang.
"Kiranya kau tidak lupa akan janjimu. Kwee Seng, aku sudah berada di sini,
siap menerima ilmu seperti yang kau janjikan dahulu." Kata Liu Lu Sian, akan
tetapi suaranya amat tidak menyenangkan hati, karena terdengar dingin,
alangkah jauh bedanya dengan pribadinya yang seakan‐akan menciptakan
kehangatan dan kemesraan. Ia tahu bahwa gadis itu selain tidak membalas
cinta kasihnya, juga mendendam kepadanya. Karena itu, ia pun tidak mau
menggunakan sebutan moi‐moi (adinda), karena kuatir kalau‐kalau hal itu
akan menambah kemarahan Si Gadis dan akan menimbulkan cemoohan
terhadap dirinya yang sudah terang tergila‐gila kepada Lu Sian.
"Lu Sian, sebetulnya ilmu yang kupergunakan untuk menandingimu dahulu
itu hanyalah Ilmu Silat Pat‐sian‐kun biasa saja."
"Tak perlu banyak alasan, Kwee Seng. Kalau ada ilmu yang hendak kau
turunkan kepadaku seperti janjimu, lekas beri ajaran!"
Kwee Seng menggigit bibirnya, lalau berkata, "Kau lihatlah baik‐baik. Inilah
ilmu silat itu." Ia lalu bersilat dengan gerakan lambat dan memang ia
mainkan Ilmu Silat Pat‐sian‐kun‐hwat dengan tangan kosong, akan tetapi
jelas bahwa gerakan‐gerakan ini diperuntukkan senjata pedang. Sebetulnya
ilmu silat ini ada enam puluh jurus banyaknya. Akan tetapi ketika Kwee Seng
menerima petunjuk dari Bukek Siansu Si Manusia Dewa, ia hanya
meringkasnya menjadi seperempatnya saja, jadi hanya enam belas jurus inti
yang sudah meliputi seluruhnya dan mencakup semua gerak kembang atau
gerak pancingan, gerak serangan atau gerak pertahanan. Setelah mainkan
enam belas jurus itu, Kwee Seng berhenti dan memandang kepada Lu Sian
sambil berkata.
"Nah, inilah ilmu silatku yang hendak kuajarkan kepadamu, Lu Sian,
Sudahkah kau memperhatikan gerakannya ? Harap kau coba latih, mana yang
kurang jelas akan kuberi penjelasan."
PART 147
"Ah, kau membohongi aku!" Lu Sian berseru marah. "Ilmu silat macam itu
saja, dilihat dari gerakannya jauh kalah lihai daripada Pat‐mo Kiam‐hoat
ciptaan Ayah ! Mana bisa kaukalahkan aku dengan ilmu itu ? Kwee Seng, aku
tahu, setelah kau tidak bisa mendapatkan cintaku, kau hendak membalasnya
dengan menyuguhkan ilmu silat pasaran untuk menghinaku!"
Gemas hati Kwee Seng, dan perih perasaannya. Gadis ini terlalu kejam
kepada orang yang tidak menjadi pilihan hatinya. "Lu Sian, sipa
membohongimu ? Ketika aku menghadapimu dahulu, aku tidak
menggunakan ilmu lain kecuali ini!"
"Aku tidak percaya ! Coba kau sekarang jatuhkan aku dengan ilmu itu!"
"Baiklah. Biar kugunakan ini sebagai pedang." Kwee Seng mengambil sebuah
ranting pohon yang berada di tempat itu. "Kau mulailah dan lihat baik‐baik,
aku hanya akan menggunakan Pat‐sian‐kun!"
Lu Sian mencabut pedangnya, lalu menerjang dengan gerakan kilat, mainkan
jurus berbahaya dari ilmu pedang ciptaan ayahnya, yaitu Pat‐mo Kiam‐hoat
(Ilmu Pedang Delapan Iblis) yang memang diciptakan untuk menghadapi Patsian‐
kun (Ilmu Silat Delapan Dewa).
Melihat pedang nona itu berkelebat menusuk ke arah dadanya dengan
kecepatan luar biasa, Kwee Seng menggeser kakinya ke kiri lalu ranting di
tangan kanannya melayang dari samping menempel pedang dari atas dan
menekan pedang lawan itu ke bawah disertai tenaga sin‐kang. Pedang Lu
Sian tertekan dan tertempel seakan‐akan berakar pada ranting itu !
Betapapun Lu Sian berusaha melepaskan pedang, sia‐sia belaka.
"Nah, tangkisan ini dari jurus keempat yaitu pat‐sian‐khat‐bun (Delapan
Dewa Buka Pintu) dan dapat dilanjutkan dengan serangan jurus ke
delapanPat‐sian‐hian‐hwa (Delapan Dewa Serahkan Bunga), pedang
menyambar sesuka hati, boleh memilih sasaran, akan tetapi untuk contoh
aku hanya menyerang bahu." Tiba‐tiba ranting yang tadinya menekan pedang
itu lenyap tenaga tekannya dan selagi pedang Lu Sian yang telepas dari
tekanan ini meluncur ke atas, ranting cepat melesat dan menyabet bahu
kanan Lu Sian !
PART 148
Lu Sian meringis, tidak sakit, akan tetapi amat penasaran. "Coba hadapi ini!"
teriaknya dan pedangnya membuat lingkaran‐lingkaran lebar, dari dalam
lingkaran itu ujung pedang menyambar‐nyambar laksana burung garuda
mencari mangsa, mengancam tubuh bagian atas dari lawan.
"Seranganmu ini kuhadapi dengan jurus ke lima yang disebut Pat‐sian‐hut‐si
(Delapan Dewa Kebut Kipas) untuk melindungi diri." Kata Kwee Seng dan
tiba‐tiba ranting di tangannya berputar cepat merupakan segunduk sinar
bulat melindungi tubuh atasnya dan dilanjutkan dengan serangan jurus ke
empat belas yang disebut Delapan Dewa Menari Payung!" Tiba‐tiba gulungan
sinar bulat itu berubah lebar seperti payung dan tahu‐tahu dari sebelah
bawah, ranting telah meluncur dan menyabet paha Lu Sian sehingga
mengeluarkan suara "plak!" keras. Kalu saja ranting itu merupakan pedang
tentu putus paha gadis itu !
"Aduh ...!" Lu Sian menjerit karena pahanya yang disabet terasa pedas dan
sakit. "Kwee Seng, kau kurang ajar...!"
"Maaf, bukan maksudku menyakitimu. Sudah percayakah kau sekarang?"
"Tidak ! Kau akali aku ! Aku minta kau ajarkan ilmu‐ilmi silatmu yang
terkenal, seperti Lo‐hai‐san‐hoat (Ilmu Kipas Menaklukan Lautan), atau Capjit‐
seng‐kiam (Ilmu Pedang Tujuh Belas Bintang), atau Ilmu Pukulan Biansin‐
kun (Tangan Sakti Kapas)!"
Kwee seng terkejut. Bagaimana nona ini bisa tahu akan ilmu‐ilmu silat
rahasia simpanannya itu ? Ia menjadi curiga. Kalau Pat‐jiu Sin‐ong mungkin
tahu, akan tetapi nona ini ? Suaranya keren berwibawa ketika ia menjawab.
"Liu Lu Sian, harap kau jangan minta yang bukan‐bukan. Aku hanya hendak
mengajarkan kau Pat‐sian‐kun, dan kau harus menerima apa yang hendak
kuberikan kepadamu."
PART 149
"Kau hendak melanggar janji??" "Sama sekali tidak. Aku berjanji kepada
ayahmu hendak mengajarkan ilmu yang dapat mengalahkan ilmu pedangmu
itu, dan kurasa Pat‐sian‐kun yang dapat menjadi Pat‐sian Kiam‐hoat dapat
mengalahkan ilmu pedangmu Pat‐mo Kiam‐hoat!"
"Hoa‐ha‐ha‐ha ! Kau menggunakan akal untuk menipu anak kecil, Kweehiante.
Sungguh keterlaluan sekali!"
Kwee Seng kaget dan cepat menengok. Kiranya Pat‐jiu Sin‐ong sudah berdiri
disitu, tinggi besar dan bertolak pinggang sambil tertawa. Cepat Kwee Seng
memberi hormat sambil berkata, "Ah, kiranya Beng‐kauwcu telah berada
disini!" Akan tetapi di dalam hatinya ia tidak senang dan tahulah ia sekarang
mengapa Lu Sian mengenal semua ilmu simpanannya, tentu sebelumnya
telah diberi tahu oleh orang tua ini yang hendak mempergunakan puterinya
untuk menjajaki kepandaiannya dan kalau mungkin mempelajari ilmu
simpanannya. "Beng‐kauwcu, apa maksudmu dengan mengatakan bahwa aku
menggunakan akal untuk menipu puterimu?"
"Ha‐ha‐ha ! Kau bilang tadi bahwa Pat‐sian‐kun dapat menangkan Pat‐mo
Kiam‐hoat ! Tentu saja kau dapat menangkan Lu Sian karena memang tingkat
kepandaianmu agak lebih tinggi daripada tingkatnya." Dengan ucapan "agak
lebih tinggi" ini terang orang tua itu memandang rendah kepada Kwee Seng,
akan tetapi pemuda itu mendengarkan dengan tenang dan sabar. "Andaikata
aku yang mainkan Pat‐mo Kiam‐hoat, apakah kau juga masih berani bilang
dapat mengalahkannya dengan Pat‐sian‐kun?"
"Orang tua yang baik, mana aku yang muda berani main‐main denganmu?
Kita sama‐sama tahu bahwa ilmu silat sama sekali bukan merupakan syarat
mutlak untuk menangkan pertandingan, melainkan tergantung daripada
kemahiran seseorang. Betapa indah dan sulitnya sebuah ilmu kalau si
pemainnya kurang menguasai ilmu itu, dapat kalah oleh seorang ahli
mainkan sebuah ilmu biasa saja dengan mahir. Puterimu dahulu kuhadapi
dengan Pat‐sian‐kun, hal ini kau sendiri tahu. Aku berjanji hendak
menurunkan ilmu yang kupakai mengalahkan dia, malam ini kuturunkan
kepadanya Pat‐sian‐kun, apalagi yang harus diperbincangkan?"
"Orang muda she Kwee ! Dua kali kau menghina kami keluarga Liu!" Si Ketua
Beng‐kauw membentak, suaranya mengguntur sehingga bergema di seluruh
PART 150
punucak, membikin kaget burung‐burung yang tadinya mengaso di pohon.
Dari jauh terdengar auman binatang‐binatang buas yang merasa kaget pula
mendengar suara aneh ini.
"Pa‐jiu Sin‐ong, aku tidak mengerti maksudmu." Jawab Kwee Seng, tetap
tenang.
"Dengan setulus hati aku menjatuhkan pilihanku kepadamu, aku akan girang
sekali kalau kau menjadi suami anakku. Akan tetapi kau pura‐pura menolak
ketika berada di sana. Ini penghinaan pertama. Kemudian kau mengadakan
perjalanan dengan puteriku, kuberi kebebasan karena memang aku senang
mempunyai mantu engkau. Dalam perjalanan ini kau jatuh cinta kepaa Lu
Sian, sikapmu menjemukan seperti seorang pemuda lemah. Ini masih
kumaafkan karena memang kukehendaki kau mencintainya dan menjadi
suaminya. Akan tetapi Lu Sian meliha kelemahanmu dan tidak mau
membalas cintamu, melainkan mengharapkan ilmumu. Dan sekarang, kau
yang katanya mencintainya mati‐matian, ternyata hanya hendak menipunya,
karena kalau betul mencinta, mengapa tidak rela mewariskan ilmu
simpananmu ? Inilah penghinaan ke dua!"
Panas hati Kwee Seng. Terang sudah sekarang bahwa orang tua ini secara
diam‐diam mengawasi gerak‐geriknya. Ia menjadi malu sekali mengingat
akan kebodohan dan kelemahannya. Akan tetapi orang tua ini terang berlaku
curang dan tak tahu malu.
"Pat‐jiu Sin‐ong ! Sama kepala lain otak, sama dada lain hati ! kau
menganggap aku menipu, aku menganggap kau dan puterimu yang hendak
mendesakku dan bahkan kau hendak menggunakan rasa hatiku yang murni
terhadap puterimu untuk memuaskan nafsu tamakmu akan ilmu silat. Tidak,
beng‐kauwcu aku tetap dengan pendirianku, karena Pat‐sian‐kun yang
mengalahkan Pat‐mo‐kun yang dipergunakan puterimu, maka sekarang aku
hanya dapat menurunkan Pat‐sian‐kun saja."
"Singgg!!!" Tiada menduga, kilat menyambar. Kiranya kilat itu keluar dari
pedang di tangan Pat‐jiu Sing‐ong yang telah dihunusnya secara cepat sekali
sehingga seperti main sulap saja, tahu‐tahu di tangannya sudah ada sebatang
pedang yang kemilau. Inilah Beng‐kong‐kiam (Pedang Sinar Terang) yang
sudah
Share This Thread