Page 13 of 16 FirstFirst ... 3910111213141516 LastLast
Results 181 to 195 of 229

Thread: 2. suling emas

http://idgs.in/730827
  1. #181

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 181
    Biarpun keadaan di situ amat gelap, Kwee Seng masih meramkan matanya !
    Akan tetapi hidungnya kembang‐kempis, bau harum yang selalu ia rasakan
    apabila nenek itu mendekatinya, kini makin menghebat. Sedap harum
    mengusir rasa muak dan jijik yang tadinya mulai menggerogoti hatinya. Dan
    lengan yang merangkulnya begitu halus ! Begitu halus dan hangat. Dan ia
    teringat betapa sepasang mata nenek ini amat indahnya. Di dalam gelap itu,
    terbayanglah oleh Kwee Seng akan semua kemesraan yang baru pertama kali
    dialaminya selama hidupnya, yaitu ketika ia berjumpa dengan Ang‐siauwhwa.
    Hatinya tergerak dan tanpa ia sadari, ia balas memeluk dan ia
    menundukkan mukanya. Tanpa ia ketahui, nenek itu pun sedang
    menghadapkan muka kepadanya, sehingga muka mereka bertemu.
    Kwee Seng tersentak kaget. Muka itu halus kulitnya seperti muka Ang‐siauwhwa
    ketika dahulu ia menciumnya. Ah, Kwee Seng, kau sudah menjadi gila, ia
    mengumpat diri. Ini nenek, tua bangka bermuka keriputan, hampir mati !
    Pikirannya dan perasaannya membantah, namun kenyataannya, ia bukan
    seorang nenek yang sudah tua, melainkan dalam perasannya ia memeluk
    Ang‐siauw‐hwa ! Beberapa kali ia menciumi muka wanita dalam pelukannya
    ini, tangannya meraba‐raba membelai muka, rambut dan leher. Ia yakin, ini
    Ang‐siauw‐hwa ! Akan tetapi Ang‐siauw‐hwa sudah meninggal dunia ! Mana
    mungkin ?
    "Kwee‐koko... ah, betapa cintaku kepadamu..." Nenek itu berbisik‐bisik dan
    terisak penuh kebahagiaan dan haru.
    Suaranya pun suara Ang‐siauw‐hwa ! "Kwee‐koko, betapa rindunya aku
    kepadamu..."
    Kwee Seng teringat akan batu api dan pelita yang ia letakkan di atas lantai.
    Tangannya meraba‐raba dan lain saat ia telah mencetuskan batu api sehingga
    bunga api berpijar‐pijar memberi penerangan sekilatan saja. Namun sinar
    terang sekilat itu cukuplah sudah. Tangannya menggigil. Dalam kilatan sinar
    bunga api itu ia melihat muka yang halus, cantik jelita, hidung mancung bibir
    merah mata indah. Muka Ang‐siauw‐hwa!
    "Koko, jangan nyalakan pelita, aku... malu..." Dalam gelap Kwee Seng
    terbelalak. Akan tetapi ia segera memeluk wanita itu, penuh kasih sayang,
    penuh kerinduan yang selama ini ditekan‐tekannya.
    Last edited by jkt-Alexis4Play; 13-04-15 at 10:37.

  2. Hot Ad
  3. #182

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 182
    "Kekasihku..., kau.. kau Kim Lin... Ang‐siauw‐hwa... alangkah rinduku
    kepadamu!"
    Kwee Seng menjadi seperti gila. Ia menumpahkan seluruh rasa rindu dan
    cintanya, bahkan cinta kasihnya yang pernah ia kandung terhadap diri Liu Lu
    Sian, ia tumpahkan kepada nenek itu ! Kesadarannya kadang‐kadang
    memperingatkannya bahwa yang berada dalam pelukannya adalah seorang
    nenek akan tetapi ia tidak mau menerima peringatan ini, karena menurut
    perasaannya ia berkasih‐kasihan mesra dengan seorang wanita muda yang
    dalam anggapannya kadang‐kadang seperti Ang‐siauw‐hwa dan kadangkadang
    seperti Liu Lu Sian !
    Memang di dunia, tiada yang sempurna kecuali Tuhan. Apalagi manusia,
    mahluk yang banyak sekali melakukan penyelewengan‐penyelewengan,
    mahluk yang selemah‐lemahnya, setiap orang manusia tentu ada saja
    kelemahannya di samping kebaikan‐kebaikannya. Pemuda ini dahulunya
    tidak suka minum arak, mencium arak pun menimbulkan rasa muak. Akan
    tetapi setelah ia terguncang batinnya oleh Lu Sian di dalam pesta Beng‐kauw,
    ia menjadi pemabok, minum tanpa batas lagi, tenggelam ke dalam nafsunya,
    seperti orang mabok, lupa daratan lupa segalanya. Lupa bahwa ia barkasihkasihan
    dengan seorang nenek ? Dalam anggapannya, ia memperisteri
    seorang wanita yang muda dan cantik jelita ! Inilah kelemahan Kwee Seng,
    pendekar muda yang sakti itu. Perasaannya terlalu halus, terlalu lemah,
    mudah terpengaruh.
    Belasan hari lamanya dalam gelap gulita itu ia berkasih‐kasihan dengan
    nenek Neraka Bumi yang dianggapnya seorang gadis jelita setengah Angsiauw‐
    hwa setengah Liu Lu Sian ! Tak pernah nenek itu membolehkan dia
    menyalakan pelita. Tak pernah Kwee Seng meninggalkan kamar kitab,
    dilayani nenek itu yang bergerak cepat menyediakan segala kebutuhan
    makan mereka, semua dilakukan di dalam gelap. Akan tetapi Kwee Seng
    merasa bahagia, tak pernah teringat pula olehnya tentang diri nenek tua
    renta yang berkeriputan kedua pipinya.
    Dua pekan lewat dengan cepatnya bagi dua orang mahluk yang berkasihkasihan
    itu. Malam itu Kwee Seng tidur dengan nyenyaknya, tidur dengan
    senyum menghias bibirnya, dengan bayangan kepuasan batin menyelimuti
    wajahnya. Ia mimpi tentang rumah gedung seperti istana, di mana ia tidur
    Last edited by jkt-Alexis4Play; 13-04-15 at 10:38.

  4. #183

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 183
    dalam sebuah kamar yang terhias indah, di atas pembaringan dari kayu
    cendana berukir, di samping isterinya, seorang puteri yang cantik jelita !
    Hawa udara amat dingin, menyusup ke tulang sum‐sum, membuatnya
    setengah sadar. Ketika membuka matanya sedikit, ia melihat keadaan
    remang‐remang, teringat ia akan isteri dalam mimpi, tangannya meraba‐raba
    dan menyentuh rambut halus di dekatnya, ia membalik dan memeluk
    isterinya puteri cantik jelita, menarik napas panjang penuh kebahagiaan.
    Tiba‐tiba Kwee Seng teringat dan kaget. Ia tidak mimpi ! Ia berada dalam
    kamar kitab bersama isterinya. Dan mengapa keadaan tidak gelap lagi ? Ada
    cahaya memasuki kamar. Ah, musim gelap dan banjir sudah berhenti ! Ia
    dapat melihat tangannya, dapat melihat rambut hitam halus yang melibatlibat
    tangan dan lehernya, dapat melihat kepala yang ia dekap di dadanya.
    Kegelapan yang mengerikan telah pergi !
    Ia melompat bangun, bukan main gembiranya. Saking gembiranya, ia hendak
    memeluk isterinya, hendak memberi tahu bahwa kegelapan sudah pergi. Ia
    membungkuk dan... tiba‐tiba ia terbelalak dan tubuhnya mencelat mundur
    seakan‐akan dipagut ular berbisa. Yang tidur melingkar karena hawa dingin,
    tidur pulas dengan napas panjang, rambut hitam gemuk terurai kacau,
    pakaian tambalan, ternyata sama sekali bukan gadis jelita seperti yang ia
    anggap selama belasan hari ini, melainkan seorang nenek tua bermuka penuh
    keriput !
    Teringatlah Kwee Seng akan segala hal yang selama ini tertutup oleh gelora
    nafsunya sendiri. Sadarlah ia bahwa selama belasan hari ini ia berkasihkasihan
    dengan seorang nenek‐nenek ! Bukan lagi mengorbankan diri untuk
    menyenangkan hati nenek‐nenek itu, bukan lagi mengorbankan diri untuk
    membalas budi, sama sekali bukan, karena selama belasan hari ini dialah
    yang memperlihatkan kasih sayang yang mesra ! Dialah yang seakan‐akan
    tergila‐gila, dan ternyata ia telah tergila‐gila kepada seorang nenek‐nenek !
    Mendadak Kwee Seng tertawa dan kedua tangannya menampari mukanya
    sendiri, "Plak‐plak‐plak‐plak!" Begitu terus menerus berkali‐kali sampai
    kedua pipinya menjadi merah biru dan bengkak‐bengkak, kemudian ia lari
    keluar dari kamar itu sambil masih terus tertawa‐tawa. Cepat sekali ia lari
    seperti dikejar *****. Memang ia dikejar *****. ***** bayangan pikirannya
    sendiri. Kesadaran yang telah membuka matanya kini berubah menjadi *****
    yang mengejar‐ngejarnya, yang mengejeknya, sehingga ia malu ! Malu dan
    harus ia pergi dari situ cepat‐cepat. Begitu cepat larinya sehingga ia tidak

  5. #184

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 184
    mendengar lagi seruan jauh di belakangnya, seruan suara halus memanggilmanggilnya.
    Begitu tiba di tepi sungai di dalam terowongan, yaitu Arus Maut
    yang sudah mulai menurun airnya dan tidak begitu ganas lagi, tanpa berpikir
    panjang Kwee Seng yang lari ketakutan terhadap kejaran ***** itu segera
    meloncat ke tengah.
    "Byuuur!" Air muncrat tinggi. Akan tetapi biarpun ia sudah terjun ke dalam
    air dan menyelam di dalam air dingin, tetap saja bayangan itu mengejarngejarnya
    dan mengejeknya, Kwee Seng meramkan mata, menggerakkan
    kaki tangannya melawan arus air sambil mengerahkan tenaga sin‐kangnya.
    Ia tidak tahu betapa di pinggir sungai itu, seorang wanita berlutut dan
    menangis, memanggil‐manggil namanya dengan suara mengharukan,
    seorang wanita yang rambutnya riap‐riapan; rambut yang hitam halus dan
    panjang, seorang wanita yang pakaiannya tambal‐tambalan, yang mukanya
    basah air mata, muka yang cantik jelita kedua pipinya kemerahan hidungnya
    mancung bibirnya merah matanya jernih, muka yang muda dan jelita. Kwee
    Seng tidak sempat melihat betapa wanita muda yang cantik ini menangis, di
    tangan kanannya tergenggam gagang kipasnya yang dahulu rusak ketika ia
    terseret arus dan tinggal gagangnya saja, tidak sempat melihat betapa tangan
    kiri wanita jelita itu tergenggam sebuah topeng daripada kulit yang amat
    halus buatannya, topeng seorang nenek‐nenek tua renta..!
    Sudah terlalu lama kita meninggalkan Liu Lu Sian yang sesungguhnya
    merupakan tokoh penting, kalau tidak yang terpenting, dalam cerita ini.
    Sebelum kita melupakan gadis perkasa yang sudah mendatangkan banyak
    gara‐gara karena kecantikan dan kegagahannya ini, marilah kita mengikuti
    perjalanan dan pengalamannya yang amat menarik.
    Seperti yang telah diceritakan di bagian depan, Liu Lu Sian tidak mau ikut
    pulang dengan ayahnya, Pat‐jiu Sin‐ong Liu Gan, yang memeberi waktu satu
    tahun kepadanya untuk merantau dan "memilih suami". Gadis itu masih
    berdiri termangu‐mangu di atas puncak bukit, memandang ke arah jurang
    dimana Kwee Seng terjungkal dan lenyap. Betapapun juga, ia merasa kasihan
    kepada Kwee Seng yang ia tahu amat mencintanya. Untuk penghabisan kali ia
    menjenguk ke jurang hitam itu dan berkata lirih. "Salahmu dan bodohmu
    sendiri, mudah saja menjatuhkan hati terhadap setiap gadis cantik."
    Kemudian ia menyimpan pedangnya dan berlari menuruni puncak bukit. Ia
    kembali menuju ke benteng, akan tetapi tidak langsung ke sana, melainkan
    berkuda memasuki sebuah dusun yang masih ramai karena penduduknya

  6. #185

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 185
    mengandalkan keamanan dusun mereka dengan benteng yang letaknya tidak
    jauh dari situ.
    Sewaktu Lu Sian makan dalam sebuah warung untuk sekalian beristirahat
    menentramkan pikirannnya yang terguncang dan sambil makan ia
    mengenangkan keadaan Jenderal Kam Si Ek yang amat menarik hatinya, ia
    mendengar derap kaki banyak kuda memasuki dusun. Pelayan warung
    kelihatan gugup sekali dan di luar terdengar orang berteriak‐teriak. Tadinya
    Lu Sian tidak mempedulikan keadaan ini, akan tetapi ketika derap kaki kuda,
    mendekat, ia kaget sekali mendengar gemuruh kaki kuda, menandakan
    bahwa yang datang adalah pasukan yang banyak jumlahnya. Dan ketika ia
    menengok ke jalan, orang‐orang sudah lari cerai‐berai bersembunyi.
    "Ada apakah, Lopek?" tanyanya kepada tukang warung yang juga kelihatan
    takut.
    "Nona, tidak ada waktu lagi bicara panjang. Aku harus segera barsembunyi
    dan kalau nona sayang keselamatanmu, sebaiknya ikut bersembunyi pula."
    "Ada apakah ? Barisan apa yang datang itu?"
    "Entah barisan apa. Akan tetapi terang bahwa ada pasukan berkuda yang
    banyak sekali lewat kampung ini, dan pada saat seperti sekarang ini, semua
    pasukan merupakan perampok‐perampok yang jahat, apalagi kalau melihat
    wanita cantik." Setelah berkata demikian, tukang warung itu tanpa menanti
    Lu Sian lagi sudah lari melalui pintu belakang !
    Lu Sian tersenyum mengejek dan melanjutkan makannya. Apa yang perlu ia
    takutkan ? Pasukan itu boleh jadi ganas dan menggangu orang baik‐baik,
    akan tetapi terhadap dia, mereka akan bisa apakah ? Boleh coba‐coba ganggu
    kalau hendak berkenalan dengan pedangnya ! Akan tetapi ketika mendengar
    derap kaki kuda itu sudah dekat, ia tidak dapat menahan keinginan hatinya
    untuk ke luar warung menonton.

  7. #186

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 186
    Kiranya pasukan yang cukup besar, lebih dari lima puluh orang pasukan
    berkuda, dengan kuda yang bagus‐bagus, dipimpin oleh seorang komandan
    muda yang bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam. Pada saat Lu Sian
    keluar, ia melihat seorang menyimpangkan kudanya ke pinggir jalan dimana
    terdapat seorang wanita muda sedang membetot‐betot tangan puteranya
    yang berusia tiga tahun. Anak ini agaknya senang melihat begitu banyaknya
    orang berkuda dan menangis tidak mau ikut ibunya. Wanita itu masih muda,
    usianya takkan lebih dua puluh lima tahun. Wajahnya lumayan kulitnya
    kuning bersih.
    "Aihh, manis kau tinggalkan saja anak nakal itu dan mari ikut denganku,
    malam ini bersenang‐senang denganku. Ha‐ha‐ha!" Penunggang kuda itu
    membungkukan tubuhnya ke kiri dan tangannya yang berlengan panjang itu
    sudah diayun hendak menyambar pinggang wanita muda yang menjerit
    ketakutan.
    "Tar‐tar!" Dua kali cambukan mengenai lengan tentara yang hendak berbuat
    tidak sopan itu, disusul bentakan nyaring, "Mundur kau ! Masuk barisan
    kembali ! Di wilayah Kam‐goanswe, apakah kau berani hendak mencemarkan
    namaku ? Orang *****!" Kiranya yang mencambuk dan membentak itu adalah
    Si Opsir Muda. Wanita itu cepat‐cepat menggendomg anaknya yang menangis
    dan lenyap ke belakang sebuah rumah.
    Akan tetapi mata opsir tinggi besar hitam itu kini mengerling ke arah Lu Sian,
    jelas bayangan matanya penuh kekaguman dan kekurangajaran. Akan tetapi
    agaknya si opsir menahan napsunya dan melanjutkan kudanya, memimpin
    barisannya menuju ke benteng. Hanya sekali lagi ia menengok dan
    tersenyum kepada Lu Sian. Juga hampir semua anggota barisan menengok ke
    arahnya, tersenyum‐senyum menyeringai. Muak rasa hati Lu Sian dan ia
    masuk kembali ke dalam warung. Akan tetapi kejadian itu membuat ia duduk
    termenung, lenyap nafsu makannya.
    Kam Si Ek agaknya amat disegani oleh para tentara pikirnya. Benar‐benar
    seorang muda yang mengagumkan. Akan tetapi mengapa pemuda seperti itu
    suka menjadi seorang jenderal, padahal sebagian besar anak buahnya terdiri
    dari orang‐orang yang suka mempergunakan kedudukan dan kekuasaan
    serta kekuatan menindas Si Lemah ? Ia harus menguji kepandaiannya.

  8. #187

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 186
    Kiranya pasukan yang cukup besar, lebih dari lima puluh orang pasukan
    berkuda, dengan kuda yang bagus‐bagus, dipimpin oleh seorang komandan
    muda yang bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam. Pada saat Lu Sian
    keluar, ia melihat seorang menyimpangkan kudanya ke pinggir jalan dimana
    terdapat seorang wanita muda sedang membetot‐betot tangan puteranya
    yang berusia tiga tahun. Anak ini agaknya senang melihat begitu banyaknya
    orang berkuda dan menangis tidak mau ikut ibunya. Wanita itu masih muda,
    usianya takkan lebih dua puluh lima tahun. Wajahnya lumayan kulitnya
    kuning bersih.
    "Aihh, manis kau tinggalkan saja anak nakal itu dan mari ikut denganku,
    malam ini bersenang‐senang denganku. Ha‐ha‐ha!" Penunggang kuda itu
    membungkukan tubuhnya ke kiri dan tangannya yang berlengan panjang itu
    sudah diayun hendak menyambar pinggang wanita muda yang menjerit
    ketakutan.
    "Tar‐tar!" Dua kali cambukan mengenai lengan tentara yang hendak berbuat
    tidak sopan itu, disusul bentakan nyaring, "Mundur kau ! Masuk barisan
    kembali ! Di wilayah Kam‐goanswe, apakah kau berani hendak mencemarkan
    namaku ? Orang *****!" Kiranya yang mencambuk dan membentak itu adalah
    Si Opsir Muda. Wanita itu cepat‐cepat menggendomg anaknya yang menangis
    dan lenyap ke belakang sebuah rumah.
    Akan tetapi mata opsir tinggi besar hitam itu kini mengerling ke arah Lu Sian,
    jelas bayangan matanya penuh kekaguman dan kekurangajaran. Akan tetapi
    agaknya si opsir menahan napsunya dan melanjutkan kudanya, memimpin
    barisannya menuju ke benteng. Hanya sekali lagi ia menengok dan
    tersenyum kepada Lu Sian. Juga hampir semua anggota barisan menengok ke
    arahnya, tersenyum‐senyum menyeringai. Muak rasa hati Lu Sian dan ia
    masuk kembali ke dalam warung. Akan tetapi kejadian itu membuat ia duduk
    termenung, lenyap nafsu makannya.
    Kam Si Ek agaknya amat disegani oleh para tentara pikirnya. Benar‐benar
    seorang muda yang mengagumkan. Akan tetapi mengapa pemuda seperti itu
    suka menjadi seorang jenderal, padahal sebagian besar anak buahnya terdiri
    dari orang‐orang yang suka mempergunakan kedudukan dan kekuasaan
    serta kekuatan menindas Si Lemah ? Ia harus menguji kepandaiannya.

  9. #188

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 187
    Setelah rombongan tentara itu lenyap berangsur‐angsur penduduk kembali
    ke rumah masing‐masing jalan penuh lagi oleh orang‐orang yang hilir mudik.
    Pemilik warung juga datang kembali dan ia terheran‐heran melihat Lu Sian
    masih duduk di situ, "Eh, kau masih berada di sini, Nona ? Hebat, benar‐benar
    Nona memiliki ketabahan yang luar biasa. Untung bahwa dusun ini dekat
    dengan benteng Kam‐goanswe, kalau tidak, tentu sudah rusak binasa dusun
    ini sejak lama seperti dusun‐dusun lain yang dilewati rombongan seperti itu."
    "Lopek (Paman Tua), apakah semua tentara selalu berbuat kejahatan seperti
    itu terhadap rakyat?"
    "Boleh dibilang semua. Tergantung kepada komandannya. Kalau si
    komandan baik, anak buahnya pun baik. Ah, kalau saja semua perwira seperti
    Jenderal Kam, tentu hidup ini akan lebih aman dan tenteram. Semoga orang
    seperti Kam‐goanswe diberi panjang umur!"
    Lu Sian termenung. Orang muda seperti Kam Si Ek memang sukar dicari
    keduanya. Dalam hal ilmu silat, tentu saja tidak mungkin dapat mengalahkan
    Kwee Seng. Akan tetapi dalam hal‐hal lain Kam Si Ek jauh menang kalau
    dibandingkan dengan Kwee Seng. Teringat ia penuh kekaguman betapa Kam
    Si Ek menghadapi rayuan tiga orang wanita cantik. Dan ia merasa jantungnya
    berdebar ketika ia teringat ucapan Kam Si Ek sebulan lebih yang lalu ketika
    panglima muda itu naik ke panggung di pesta Beng‐kauw untuk menolong
    seorang pemuda yang kalah. Masih terngiang di telinganya kata‐kata Kam Si
    Ek ketika itu, "Hanya Tuhan yang tahu betapa inginnya hatiku menjadi
    pemenang .... Akan tetapi .... Bukan beginilah caranya. Maafkan, Nona, biarlah
    aku mengaku kalah terhadapmu." Itulah kata‐katanya, kata‐kata yang jelas
    merupakan pengakuan bahwa pemuda ganteng itu juga "ada hati"
    terhadapnya.
    Malam hari itu, dengan mengenakan pakaian ringkas akan tetapi setelah
    menghias diri serapi‐rapinya, Lu Sian membawa pedangnya, berlari cepat
    menuju ke benteng Kam Si Ek. Ia menjadi heran dan juga lega melihat bahwa
    penjagaan di sekitar benteng sekarang sama sekali tidaklah sekuat kemarin,
    bahkan beberapa orang penjaga yang berada di pintu benteng, kelihatan
    sedang bermain kartu di bawah sinar pelita reng. Dengan mudah Lu Sian lalu
    melompati tembok benteng melalui sebatang pohon, dan beberapa menit
    kemudian ia telah berloncatan ke atas genteng.

  10. #189

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 188
    Akan tetapi ketika ia berada di atas genteng gedung tempat tinggal Kam Si Ek
    yang berada di tengah‐tengah kumpulan bangunan itu, ia mendengar suara
    orang berkata‐kata dengan keras, seperti orang bertengkar. Cepat ia
    berindap dan dengan hati‐hati melayang ke bawah memasuki gedung dari
    belakang, dan di lain saat ia mengintai dari sebuah jendela ke dalam ruangan
    di mana terjadi pertengkaran. Ia melihat seorang wanita berpakaian serba
    putih yang bukan lain adalah Lai Kui Lan kakak seperguruan Kam Si Ek. Kui
    Lan berdiri di tengah ruangan sambil bertolak pinggang, mukanya
    kemerahan metanya berapi‐api marah sekali. Di hadapannya duduk tiga
    orang perwira, dengan muka tertawa‐tawa mengejek. Seorang di antaranya,
    yang duduk di tengah bukan lain adalah komandan pasukan yang tadi dilihat
    Lu Sian ketika pasukan lewat di dusun.
    "Lai Li‐hiap , sebagai bekas pembantu Sutemu, saya harap Li‐hiap (Nona Yang
    Gagah) suka ingat bahwa urusan mengenai ketentaraan adalah urusan kami,
    Li‐hiap tidak berhak mencampurinya." Kata perwira yang duduk di kiri.
    "Betul, sudah cukup lama kami terpaksa bersabar dan tak berkutik di bawah
    kekerasan Kam‐goanswe. Sekarang Phang‐ciangkun (Panglima Phang) yang
    memegang komando di benteng ini, Lai‐hiap tidak berhak mencampuri
    urusan kami!" kata perwira ke dua yang duduk di sebelah kanan. "Sudah
    terlalu banyak Li‐hiap biasanya mencampuri urusan ketenteraan, sewenangwenang
    menghukum anak buah kami padahal biarpun Li‐hiap adalah kakak
    sepergurun Kam‐goanswe namun Li‐hiap tetap seorang biasa, bukan
    anggauta ketentaraan."
    Makin marahlah Lai Kui Lan. Ia menuding telunjuknya ke arah dua orang
    bekas pembntu adik seperguruannya itu. "Kalian manusia‐manusia yang
    pada dasarnya sesat ! Suteku menjalankan disiplin keras, menghukum
    tentara menyeleweng, itu sudah semestinya ! Dan aku membantu Suteku
    menegakkan nama baik benteng ini, mencegah anak buah melakukan
    penganiayaan kepada rakyat, juga sudah merupakan kewajiban setiap orang
    gagah. Di depan Sute, kalian berpura‐pura baik, sekarang , baru setengah hari
    Sute pergi memenuhi panggilan gubernur untuk menghadapi bahaya
    serangan bangsa Khitan, kalian sudah memperlihatkan sifat asli kalian yang
    buruk ! Membiarkan anak buah kalian menculik wanita, merampas harta
    benda rakyat. Orang‐orang macam kalian ini mana patut memimpin tentara ?
    Pantasnya dikirim ke neraka !"

  11. #190

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 189
    Dua orang perwira itu marah dan bangkit berdiri sambil mencabut golok
    mereka, sedangkan Kui Lan masih berdiri tegak tanpa mencabut senjata,
    memandang dengan senyum mengejek karena ia sudah maklum sampai di
    mana kepandaian kedua orang bekas pembantu sutenya itu. Akan tetapi
    komandan baru benteng itu, Phang‐ciangkun yang tinggi besar dan berkulit
    hitam itu segera berdiri, tertawa dan menjura kepada Kui Lan
    "Nona, betapapun juga, kedua orang saudara ini berkata benar bahwa
    semenjak saat berangkatnya Sutemu tadi, secara sah akulah yang menjadi
    komandan di sini dan bertanggung jawab terhadap semua peristiwa. Nona,
    sebagai seorang yang sudah lama hidup di dalam benteng, tentu Nona tahu
    akan peraturan‐peraturan di sini, tahu bahwa segala apa yang terjadi adalah
    tanggung jawab sepenuhnya daripada komandan benteng. Mengapa Nona
    sekarang hendak turun tangan sendiri ? Bukankah ini berarti Nona
    melakukan pemberontakan dan sama sekali tidak memandang mata kepada
    komandan barunya ? Nona, harap nona suka bersabar dan daripada kita
    bertengkar yang hanya akan menimbulkan hal‐hal tidak baik dan memalukan
    kalau terdengar anak buah, lebih baik mari kita bergembira, makan minum
    bersama dan bersenang‐senang!" Setelah demikian, komandan muda itu
    memandang kepada Kui Lan dengan sinar mata bercahaya, muka berseri‐seri
    mulut tersenyum, jelas membayangkan maksud hati yang kurang ajar.
    Hampir meledak rasa dada Kui Lan saking marahnya. Akan tetapi ia tahu
    bahwa sutenya sendiri akan marah kalau ia menimbulkan keributan di dalam
    kekuasaan komandannya, maka ia segera berkata keras, "Aku akan menyusul
    Sute, akan kuceritakan semua dan awaslah kalian kalau dia kembali!" Setelah
    berkata demikian, ia membalikkan tubuhnya dan meloncat keluar dari dalam
    rumah itu.
    Tiga orang perwira itu tertawa‐tawa bergelak. "Ha‐ha‐ha, perempuan galak
    itu pergi! Baik sekali ! Dia memang akan mendatangkan kesulitan saja kalau
    tetap tinggal di sini. Dia hendak menyusul Kam Si Ek ? Ha‐ha‐ha!" kata
    seorang yang duduk di kiri.
    Temannya, yang duduk di kanan berkata pula sambil tertawa, "Begitu datang
    ke kota, Kam Si Ek akan terjeblos ke dalam perangkap. Sucinya menyusul,
    biarlah ditangkap sekali. Phang‐ciangkun, mari kita bersenang‐senang makan
    minum sepuasnya, dan anak buah kami tadi berhasil menangkap beberapa
    ekor anak ayam, kau boleh pilih yang paling mungil, ha‐ha‐ha!"

  12. #191

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 189
    Dua orang perwira itu marah dan bangkit berdiri sambil mencabut golok
    mereka, sedangkan Kui Lan masih berdiri tegak tanpa mencabut senjata,
    memandang dengan senyum mengejek karena ia sudah maklum sampai di
    mana kepandaian kedua orang bekas pembantu sutenya itu. Akan tetapi
    komandan baru benteng itu, Phang‐ciangkun yang tinggi besar dan berkulit
    hitam itu segera berdiri, tertawa dan menjura kepada Kui Lan
    "Nona, betapapun juga, kedua orang saudara ini berkata benar bahwa
    semenjak saat berangkatnya Sutemu tadi, secara sah akulah yang menjadi
    komandan di sini dan bertanggung jawab terhadap semua peristiwa. Nona,
    sebagai seorang yang sudah lama hidup di dalam benteng, tentu Nona tahu
    akan peraturan‐peraturan di sini, tahu bahwa segala apa yang terjadi adalah
    tanggung jawab sepenuhnya daripada komandan benteng. Mengapa Nona
    sekarang hendak turun tangan sendiri ? Bukankah ini berarti Nona
    melakukan pemberontakan dan sama sekali tidak memandang mata kepada
    komandan barunya ? Nona, harap nona suka bersabar dan daripada kita
    bertengkar yang hanya akan menimbulkan hal‐hal tidak baik dan memalukan
    kalau terdengar anak buah, lebih baik mari kita bergembira, makan minum
    bersama dan bersenang‐senang!" Setelah demikian, komandan muda itu
    memandang kepada Kui Lan dengan sinar mata bercahaya, muka berseri‐seri
    mulut tersenyum, jelas membayangkan maksud hati yang kurang ajar.
    Hampir meledak rasa dada Kui Lan saking marahnya. Akan tetapi ia tahu
    bahwa sutenya sendiri akan marah kalau ia menimbulkan keributan di dalam
    kekuasaan komandannya, maka ia segera berkata keras, "Aku akan menyusul
    Sute, akan kuceritakan semua dan awaslah kalian kalau dia kembali!" Setelah
    berkata demikian, ia membalikkan tubuhnya dan meloncat keluar dari dalam
    rumah itu.
    Tiga orang perwira itu tertawa‐tawa bergelak. "Ha‐ha‐ha, perempuan galak
    itu pergi! Baik sekali ! Dia memang akan mendatangkan kesulitan saja kalau
    tetap tinggal di sini. Dia hendak menyusul Kam Si Ek ? Ha‐ha‐ha!" kata
    seorang yang duduk di kiri.
    Temannya, yang duduk di kanan berkata pula sambil tertawa, "Begitu datang
    ke kota, Kam Si Ek akan terjeblos ke dalam perangkap. Sucinya menyusul,
    biarlah ditangkap sekali. Phang‐ciangkun, mari kita bersenang‐senang makan
    minum sepuasnya, dan anak buah kami tadi berhasil menangkap beberapa
    ekor anak ayam, kau boleh pilih yang paling mungil, ha‐ha‐ha!"

  13. #192

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 190
    Mereka bertiga tertawa‐tawa gembira, akan tetapi hanya sebentar karena
    secara tiba‐tiba saja mereka berhenti tertawa, berdiri dan mencabut senjata.
    Di depan mereka telah berdiri seorang gadis yang cantik jelita dan gagah
    perkasa. Gadis yang bertubuh ramping padat, berpakaian indah tapi ringkas
    sehingga mencetak bentuk tubuhnya, rambutnya yang hitam gemuk digelung
    ke atas, diikat dengan pita sutera kuning, wajahnya jelita sekali dengan
    sepasang mata bintang, hidung mancung dan bibir merah. Begitu dia muncul,
    ruangan itu penuh bau yang harum semerbak. Di tangannya tampak sebatang
    pedang yang berkilauan saking tajamnya, gagang pedang berupa kepala naga.
    Tiga orang perwira itu berdiri ternganga, tidak hanya kaget melihat tadi ada
    sinar berkelebat dan ternyata berubah menjadi seorang gadis, kan tetapi juga
    terpesona, kagum menyaksikan kecantikan yang tiada taranya ini. Phangciangkun
    agaknya teringat akan gadis ini, gadis yang siang tadi keluar dari
    sebuah rumah makan. Ia adalah seorang yang sudah banyak mengalami
    pertempuran, seorang yang sudah mengeras oleh tempaan pengalaman,
    maka cepat ia dapat menenteramkan hatinya, malah segera tertawa dan
    berkata.
    "Ah, Nona yang cantik seperti bidadari ! Kau sudah menyusul datang ?
    Apakah hendak menemaniku makan minum?"
    Akan tetapi tiba‐tiba ia berteriak kaget karena tahu‐tahu meja di depannya
    telah melayang ke arahnya. Tidak tampak siapa yang melakukan ini, hanya
    kelihatan gadis jelita itu sedikit menggerakkan kaki. Dengan goloknya,
    Phang‐ciangkun menangkis dan membacok meja yang pecah menjadi dua
    sedangkan dia sendiri melompat ke pingir, akan tetapi tetap saja ada kuah
    sayur asin yang menyambar ke mukanya, membuat matanya pedas sekali.
    Dua orang temannya berseru marah dan meloncat maju dengan golok di
    tangan, menerjang Lu Sian.
    "Tahan!" teriak Phang‐ciangkun, yang betapapun juga, merasa sayang kepada
    gadis yang luar biasa cantiknya ini, tidak ingin melihat gadis itu terbunuh dan
    ingin menawannya hidup‐hidup. Dua orang temannya menahan golok dan
    meloncat mundur.

  14. #193

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 190
    Mereka bertiga tertawa‐tawa gembira, akan tetapi hanya sebentar karena
    secara tiba‐tiba saja mereka berhenti tertawa, berdiri dan mencabut senjata.
    Di depan mereka telah berdiri seorang gadis yang cantik jelita dan gagah
    perkasa. Gadis yang bertubuh ramping padat, berpakaian indah tapi ringkas
    sehingga mencetak bentuk tubuhnya, rambutnya yang hitam gemuk digelung
    ke atas, diikat dengan pita sutera kuning, wajahnya jelita sekali dengan
    sepasang mata bintang, hidung mancung dan bibir merah. Begitu dia muncul,
    ruangan itu penuh bau yang harum semerbak. Di tangannya tampak sebatang
    pedang yang berkilauan saking tajamnya, gagang pedang berupa kepala naga.
    Tiga orang perwira itu berdiri ternganga, tidak hanya kaget melihat tadi ada
    sinar berkelebat dan ternyata berubah menjadi seorang gadis, kan tetapi juga
    terpesona, kagum menyaksikan kecantikan yang tiada taranya ini. Phangciangkun
    agaknya teringat akan gadis ini, gadis yang siang tadi keluar dari
    sebuah rumah makan. Ia adalah seorang yang sudah banyak mengalami
    pertempuran, seorang yang sudah mengeras oleh tempaan pengalaman,
    maka cepat ia dapat menenteramkan hatinya, malah segera tertawa dan
    berkata.
    "Ah, Nona yang cantik seperti bidadari ! Kau sudah menyusul datang ?
    Apakah hendak menemaniku makan minum?"
    Akan tetapi tiba‐tiba ia berteriak kaget karena tahu‐tahu meja di depannya
    telah melayang ke arahnya. Tidak tampak siapa yang melakukan ini, hanya
    kelihatan gadis jelita itu sedikit menggerakkan kaki. Dengan goloknya,
    Phang‐ciangkun menangkis dan membacok meja yang pecah menjadi dua
    sedangkan dia sendiri melompat ke pingir, akan tetapi tetap saja ada kuah
    sayur asin yang menyambar ke mukanya, membuat matanya pedas sekali.
    Dua orang temannya berseru marah dan meloncat maju dengan golok di
    tangan, menerjang Lu Sian.
    "Tahan!" teriak Phang‐ciangkun, yang betapapun juga, merasa sayang kepada
    gadis yang luar biasa cantiknya ini, tidak ingin melihat gadis itu terbunuh dan
    ingin menawannya hidup‐hidup. Dua orang temannya menahan golok dan
    meloncat mundur.

  15. #194

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 191
    "Nona, kau siapakah ? Dan apa sebabnya kau datang mengamuk ? Tidak ada
    permusuhan di antara kita!"
    Dengan telunjuknya yang kecil runcing Lu Sian menuding ke arah muka
    hitam itu. "Ihh, manusia ******* ! Kau masih bisa bilang tidak ada
    permusuhan ? kau menipu Kam Si Ek, kemudian merampas kedudukannya,
    menghina sucinya. Dan kau masih bilang tidak ada apa‐apa?"
    "Eh, kau apanya Kam Si Ek?" "Tak usah kau tahu!" jawab Lu Sian dan tahutahu
    pedangnya berkelebat menjadi sinar berkilauan yang bergulung‐gulung
    dan menyambar ke arah Phang‐ciangkun. Perwira ini kaget bukan main.
    Itulah sinar pedang yang luar biasa, tanda bahwa pemainnya adalah seorang
    kiam‐hiap (pendekar pedang) yang mahir. Ia cepat memutar golok besarnya,
    dan dua orang perwira pembantunya juga meloncat dari kanan kiri
    membantunya. Akan tetapi mereka itu hanyalah orang‐orang kasar yang
    pandai memerintah anak buah, menggunakan kekuasaan dan kekasaran
    untuk bertindak sewenang‐wenang, yang hanya berani dan sombong karena
    mengandalkan anak buah banyak. Mana bisa mereka menghadapi pedang
    Toa‐hong‐kiam di tangan Liu Lu Sian, dara perkasa yang telah digembleng
    secara luar biasa sejak kecil oleh ayahnya ? Tak sampai sepuluh jurus, Phangciangkun
    sudah terjungkal dengan leher terputus, dan dua orang perwira pun
    terjungkal, seorang tertembus dadanya oleh pedang, yang seorang lagi
    sengaja dirobohkan dengan sebuah totokan pada lambungnya. Sebelum
    roboh tiga orang itu sempat berteriak‐teriak memanggil bala bantuan, akan
    tetapi ketika penjaga di luar gedung menyerbu ke dalam, mereka hanya
    melihat Pang‐ciangkun dan seorang perwira pembantunya menggeletak tak
    bernyawa lagi, sedangkan perwira pembantu lainnya telah lenyap. Para
    penjaga berserabutan lari mencari dan mengejar, ada yang melaui jendela
    yang terbuka, ada yang melalui pintu depan dan belakang. Kentong dan
    gebreng dipukul bertalu‐talu karena tadinya mereka itu semua bersenangsenang
    karena mereka terbebas daripada tindakan disiplin keras dari Kam Si
    Ek.
    Dengan cepat sekali Liu Lu Sian melarikan diri dari benteng sambil
    mengempit tubuh perwira yang dirobohkan dengan totokan tadi. Setelah tiba
    di dalam hutan yang sunyi dan gelap, ia membanting perwira itu ke atas
    tanah sambil membebaskan totokannya dengan ujung sepatu yang
    menendang. Perwira itu mengerang kesakitan dan ia segera berlutut mintaminta
    ampun. Memang sebenarnyalah, hanya seorang pengecut yang biasa
    bertindak sewenang‐wenang apabila kebetulan kekuasaan berada di

  16. #195

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 191
    "Nona, kau siapakah ? Dan apa sebabnya kau datang mengamuk ? Tidak ada
    permusuhan di antara kita!"
    Dengan telunjuknya yang kecil runcing Lu Sian menuding ke arah muka
    hitam itu. "Ihh, manusia ******* ! Kau masih bisa bilang tidak ada
    permusuhan ? kau menipu Kam Si Ek, kemudian merampas kedudukannya,
    menghina sucinya. Dan kau masih bilang tidak ada apa‐apa?"
    "Eh, kau apanya Kam Si Ek?" "Tak usah kau tahu!" jawab Lu Sian dan tahutahu
    pedangnya berkelebat menjadi sinar berkilauan yang bergulung‐gulung
    dan menyambar ke arah Phang‐ciangkun. Perwira ini kaget bukan main.
    Itulah sinar pedang yang luar biasa, tanda bahwa pemainnya adalah seorang
    kiam‐hiap (pendekar pedang) yang mahir. Ia cepat memutar golok besarnya,
    dan dua orang perwira pembantunya juga meloncat dari kanan kiri
    membantunya. Akan tetapi mereka itu hanyalah orang‐orang kasar yang
    pandai memerintah anak buah, menggunakan kekuasaan dan kekasaran
    untuk bertindak sewenang‐wenang, yang hanya berani dan sombong karena
    mengandalkan anak buah banyak. Mana bisa mereka menghadapi pedang
    Toa‐hong‐kiam di tangan Liu Lu Sian, dara perkasa yang telah digembleng
    secara luar biasa sejak kecil oleh ayahnya ? Tak sampai sepuluh jurus, Phangciangkun
    sudah terjungkal dengan leher terputus, dan dua orang perwira pun
    terjungkal, seorang tertembus dadanya oleh pedang, yang seorang lagi
    sengaja dirobohkan dengan sebuah totokan pada lambungnya. Sebelum
    roboh tiga orang itu sempat berteriak‐teriak memanggil bala bantuan, akan
    tetapi ketika penjaga di luar gedung menyerbu ke dalam, mereka hanya
    melihat Pang‐ciangkun dan seorang perwira pembantunya menggeletak tak
    bernyawa lagi, sedangkan perwira pembantu lainnya telah lenyap. Para
    penjaga berserabutan lari mencari dan mengejar, ada yang melaui jendela
    yang terbuka, ada yang melalui pintu depan dan belakang. Kentong dan
    gebreng dipukul bertalu‐talu karena tadinya mereka itu semua bersenangsenang
    karena mereka terbebas daripada tindakan disiplin keras dari Kam Si
    Ek.
    Dengan cepat sekali Liu Lu Sian melarikan diri dari benteng sambil
    mengempit tubuh perwira yang dirobohkan dengan totokan tadi. Setelah tiba
    di dalam hutan yang sunyi dan gelap, ia membanting perwira itu ke atas
    tanah sambil membebaskan totokannya dengan ujung sepatu yang
    menendang. Perwira itu mengerang kesakitan dan ia segera berlutut mintaminta
    ampun. Memang sebenarnyalah, hanya seorang pengecut yang biasa
    bertindak sewenang‐wenang apabila kebetulan kekuasaan berada di

Page 13 of 16 FirstFirst ... 3910111213141516 LastLast

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •