Kasus korupsi yang melanda Ketua Partai Golkar, Setya Novanto, membuat partai tersebut harus menghadapi masa-masa kritis. Terdapat kekhawatiran untuk segera memperkuat kepemimpinan partai itu secepatnya, karena pemilu akan segera dilaksanakan. Pengamat mengatakan bahwa jika pengadilan menolak gugatan pra-peradilan Setya Novanto, maka itu akan menjadi pertanda berakhirnya karir politiknya. Namun, jika ternyata Setya Novanto menang di pengadilan, Partai Golkar akan kehilangan banyak pendukung.

Namun selain sebagai ujian bagi usaha-usaha anti-korupsi di Indonesia, konsekuensi lainnya adalah keretakan yang disebabkan oleh skandal ini terhadap Partai Golkar, yang merupakan partai tertua dan salah satu kekuatan politik terbesar di Indonesia.

Golkar adalah partai yang berkuasa selama 26 tahun, di saat dan setelah masa kediktatoran Suharto. Setya Novanto menjadi ketua partai tersebut pada tahun 2016, namun dibebastugaskan pada Selasa (21/11), karena kasus korupsi yang melibatkannya.

Setya Novanto dikabarkan terancam akan memberikan nama-nama politisi lainnya di Golkar yang terlibat dalam kasus e-KTP. Ia berada dalam tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang hingga tanggal 30 November akan melakukan pemeriksaan terhadapnya, sebelum melaksanakan pra-peradilan yang diajukan Setya Novanto—sebagai langkah untuk mengulur-ulur waktu—ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kasus korupsi tersebut berkisar seputar usaha pemerasan dari perusahaan yang memiliki kontrak pemerintah untuk memproduksi kartu identitas elektronik (e-KTP) di Indonesia.

Pelaksana tugas (plt) sementara adalah Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Idrus Marham.

Jika sidang pengadilan Setya Novanto dilaksanakan, partai tersebut akan berusaha memilih ketua baru. Golkar adalah pusat koalisi legislatif Presiden Jokowi. Terdapat kekhawatiran untuk segera memperkuat kepemimpinan partai itu secepatnya, karena pemilu yang akan segera dilaksanakan: pemilihan regional pada bulan Juni 2018, dan simulasi pemilu legislatif dan pemilu presiden 10 bulan kemudian.

PENINGGALAN SUHARTO
Partai Golkar modern (yang merupakan singkatan dari Partai Golongan Karya), dibentuk dari perserikatan perdagangan anti-komunis yang dikelola oleh militer pada tahun 1964. Setelah pembunuhan massal terduga komunis dan kelompok sayap kiri oleh militer pada tahun 1965 dan 1966, Jenderal Suharto mengambil alih kekuasaan dari pendiri negara Presiden Sukarno, dan secara resmi menjadi presiden pada tahun 1968.

Suharto awalnya tidak berafiliasi dengan partai apapun, namun ia membutuhkannya—setidaknya secara nominal—untuk kampanye pemilihannya kembali. Sehingga, ia mengawasi perubahan koalisi nirlaba tersebut, menjadi sebuah partai politik, dimana kandidat pertamanya ikut dalam pemilu legislatif pada tahun 1971.

Golkar terus menjadi partai politik dominan di Indonesia selama era Suharto, hingga kediktatorannya runtuh pada tahun 1998. Hingga tahun 1997, para kandidat partai tersebut memenangkan 62 hingga 74 persen dari seluruh kursi legislatif dalam pemilu di seluruh Indonesia.

Partai tersebut beradaptasi dengan era demokrasi pasca-1998, dengan memilih ketua dan kandidat kepresidenannya. Namun saat ini sudah ada lebih banyak partai dibandingkan tiga partai pada era Suharto. Pada pemilu tahun 2009 dan 2014, Golkar telah memenangkan kurang dari 15 persen dari kursi legislatif, dan kandidat kepresidenannya kalah dalam pemilu tahun 2004 dan 2009.

Sebelumnya,Golkar telah berafiliasi dengan kelompok paramiliter pemuda bernama Pemuda Pancasila. Beberapa politisi terkemuka partai tersebut, seperti Bambang Soesatyo, bergabung dari keanggotaan Pemuda Pancasila.

Namun saat ini, sebagian besar hubungan antara militer dan Golkar telah memudar, ujar Evan Laksmana, seorang pengamat di Pusat Kajian Strategi dan Internasional di Jakarta.

“Tidak ada lagi persekutuan antara militer dan partai politik sejak tahun 1999. TNI tidak pernah dan untuk saat ini tidak akan pernah memiliki hubungan resmi atau organisasional dengan segala jenis partai politik. TNI tidak terlibat dalam partisan politik seperti itu,” ujar Laksmana.

“Jika performa pemilu Golkar menurun, itu bukan karena peran para purnawirawan di jajaran mereka,” ujarnya menambahkan. “Tapi karena kasus korupsi dan performa partai Golkar skala lokal dan para pejabat terpilih, dari wali kota hingga gubernur.”

PARTAI YANG RAMAI
Para pengamat telah menekankan sengketa kepemimpinan di partai tersebut sebagai sumber menghilangnya kekuatan Golkar. Skandal Setya Novanto tentunya tidak membantu.

Namun Indonesia saat ini adalah rumah bagi partai politik yang besar dan terus berubah.

Penguasa media dan rekan bisnis Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, Hary Tanoe, memulai partainya sendiri yang bernama Perindo, pada tahun lalu. Seorang mantan presenter televisi Grace Natalie mendirikan Partai Solidaritas Indonesia, yang fokus pada hak-hak perempuan dan pluralisme, pada tahun 2015. Salah satu anggotanya adalah seleb Twitter dan mahasiswa berusia 21 tahun bernama Tsamara Amany.

Tahun-tahun dominasi Golkar sepertinya akan berakhir. Namun tetap saja, untuk dapat berkompetisi dalam pemilu yang akan datang, partai tersebut memiliki tugas berat untuk membangun kembali partainya di arena politik yang ramai.

Dan apapun yang terjadi kepada partai ini, masa depan politik Setya Novanto tampak suram.

“Jika Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak pembelaannya, maka itu akan menjadi pertanda berakhirnya karir politiknya,” ujar Arbi Sanit, seorang ilmuwan politik di Universitas Indonesia. “Dan jika ternyata ia menang di pengadilan, Partai Golkar akan kehilangan banyak pendukung.”

sumber: Dilanda Skandal, Partai Golkar Hadapi Masa Kritis