Pentagon mengaku bahwa serangan udara oleh koalisi yang dipimpin AS telah “secara tidak sengaja” menewaskan 801 penduduk sipil sejak pertempuran melawan ISIS yang dimulai pada Agustus 2014, namun para pengamat dan kelompok hak asasi manusia independen mengatakan bahwa jumlah sebenarnya jauh lebih besar.

16 tahun telah berlalu sejak serangan ******* tanggal 11 September, namun perjuangan Amerika Serikat (AS) melawan terorisme tampaknya tidak kunjung mereda—dan penduduk sipil yang tidak berdosa harus membayar akibatnya.

Dalam sebuah laporan yang dirilis pada Kamis (30/11), Pentagon mengklaim bahwa serangan udara oleh koalisi yang dipimpin AS telah “secara tidak sengaja” menewaskan 801 penduduk sipil sejak pertempuran melawan ISIS yang dimulai pada bulan Agustus 2014, namun para pengamat dan kelompok hak asasi manusia independen mengatakan bahwa jumlahnya jauh lebih banyak.

Menurut Airwars—yang melacak serangan udara internasional terhadap ISIS—serangan udara oleh koalisi yang dipimpin AS sebenarnya telah menyebabkan lebih dari 5,900 penduduk sipil tewas. Terlebih lagi, sebuah penilaian baru-baru ini dari The New York Times menemukan bahwa satu dari lima serangan koalisi menyebabkan kematian terhadap penduduk sipil—perhitungan yang 31 kali lebih besar dari jumlah resmi Pentagon.

Koalisi internasional tersebut melakukan 28,198 serangan antara bulan Agustus 2014 dan Oktober 2017, menurut laporan tersebut, dan mengklaim memiliki tingkat kecelakaan sebesar 0.35 persen. Namun Amnesti Internasional mengatakan kepada Newsweek bahwa penelitiannya di lapangan di Irak dan di Suriah menunjukkan “jumlah yang jauh lebih besar”.

Koalisi tersebut, contohnya, mengatakan bahwa kurang dari 20 penduduk sipil terbunuh dalam pertempuran selama empat bulan di Raqqa—yang merupakan bekas ibu kota de facto ISIS. Namun Raed Jarrar, Direktur Advokasi Timur Tengah dan Afrika Utara Amnesti Internasional, mengatakan kepada Newsweek bahwa organisasinya memperkirakan hampir 1,500 penduduk sipil terbunuh oleh koalisi tersebut selama periode itu.

Jarrar mengatakan bahwa jumlah resmi Pentagon itu tidak menghitung jumlah penduduk sipil yang terbunuh oleh pasukan setempat dan militan yang bersekutu dengan koalisi tersebut, dan menambahkan bahwa “banyak di antara mereka yang melakukan pelanggaran terhadap hukum internasional, termasuk kejahatan perang.”

“Bukannya meremehkan jumlah korban penduduk sipil, koalisi internasional tersebut harus memastikan bahwa mereka mematuhi prinsip-prinsip hukum kemanusiaan internasional, dan melakukan penyelidikan yang transparan dalam bentuk laporan terkait jumlah penduduk sipil yang terluka karena mereka dan sekutu lokal mereka,” ujar Jarrar.

Korban sipil dari serangan udara yang dipimpin AS di Timur Tengah telah meningkat secara dramatis sejak Presiden Donald Trump menjabat di Gedung Putih. Di bawah pemerintahan Trump, AS telah menewaskan lebih banyak penduduk sipil dalam pertempuran dengan ISIS, dibandingkan ketika di bawah pemerintahan mantan Presiden Barack Obama, yang memberikan wewenang terhadap operasi melawan organisasi terorisme pada tahun 2014.

Trump telah memberikan militer lebih banyak wewenang ketika melawan terorisme, mencabut batasan-batasan yang ditetapkan oleh Obama untuk membatasi korban penduduk sipil. Menyuarakan gagasan ini, Menteri Pertahanan James Mattis mengatakan pada bulan Mei bahwa strategi AS melawan ISIS saat ini disebut sebagai “taktik pemusnahan”. Ini adalah sebuah strategi yang tampaknya akan mengorbankan sangat banyak penduduk setempat.

Pada bulan Oktober tahun ini, contohnya, Airwars melaporkan bahwa hingga 660 penduduk sipil terbunuh dalam serangan udara koalisi tersebut. Jika dibandingkan, Airwars menemukan 229 penduduk terbunuh dalam periode yang sama pada tahun lalu, ketika Obama masih menjadi presiden. Terlebih lagi, Airwars menemukan sebanyak 1,894 penduduk terbunuh pada bulan Maret tahun ini, yang menandakan bulan paling mematikan bagi penduduk sipil pada tahun 2017. Pada bulan Maret 2016, Airwars menemukan jumlah maksimum penduduk sipil yang terbunuh sebanyak 198 orang.

Tentu saja, sementara Trump memberikan lebih banyak wewenang terhadap militer dalam Perang terhadap Terorisme, penduduk sipil semakin terjebak dalam baku tembak.

Setelah Trump memberlakukan strategi barunya di Afghanistan pada bulan Agustus, korban sipil meningkat hingga 50 persen dari serangan udara yang dipimpin AS di negara tersebut, seperti yang dilaporkan PBB pada bulan Oktober.

Sementara itu, presiden tersebut memperluas operasi militer Amerika di Afrika. Militer AS telah melakukan serangan pesawat tanpa awak di Somalia—dimana AS telah dituduh terlibat dalam penyerangan yang menewaskan para penduduk sipil—dan bisa saja mulai melakukan serangan pesawat tanpa awak di Nigeria dalam beberapa hari.

sumber: Amerika Mengaku Tewaskan 801 Pnduduk Sipil dlm Perang ISIS, Organisasi Internasional: ‘Jumlah Sebenarnya Jauh Lebih bsr