Menteri Luar Negeri Iran mengatakan bahwa kesepakatan nuklir antara Iran, Amerika Serikat, dan negara-negara lain adalah “kesepakatan multilateral yang solid”, dan bahwa Presiden Trump “secara tidak benar telah melanggarnya.” Iran juga mengatakan bahwa mereka akan menolak setiap perubahan terhadap kesepakatan tahun 2015 itu, dan bahwa kesepakatan itu “tidak dapat dinegosiasikan ulang”.

Oleh: Thomas Erdbrink (The New York Times)

TEHERAN—Para pejabat Iran menanggapi seruan Presiden Trump untuk merevisi kesepakatan nuklir tersebut, dengan mengatakan bahwa mereka akan menolak setiap perubahan terhadap kesepakatan tahun 2015 itu, dan bahwa kesepakatan itu “tidak dapat dinegosiasikan ulang”.

Menteri Luar Negeri Iran, Mohammad Javad Zarif, menulis pada Sabtu (13/1) dalam sebuah pesan di Twitter, bahwa kesepakatan nuklir antara Iran, Amerika Serikat, dan negara-negara lain adalah “kesepakatan multilateral yang solid”, dan bahwa Presiden Trump “secara tidak benar telah melanggarnya.”

Trump pada Jumat (12/1), sekali lagi, dengan enggan menandatangani sertifikasi pengabaian sanksi untuk mematuhi kesepakatan tersebut, namun dia juga menuntut agar sekutu-sekutu Eropa setuju untuk menulis ulang kesepakatan nuklir tersebut dalam waktu 120 hari, atau ia akan membatalkannya.

Trump juga mengumumkan sanksi baru, termasuk terhadap ketua pengadilan Iran yang didominasi garis keras, Ayatollah Sadegh Amoli-Larijani, atas keterlibatannya dalam menghukum para demonstran yang ikut dalam demonstrasi anti-pemerintah pada awal bulan ini.

Serangkaian demonstrasi mengenai ekonomi—yang juga berbalik melawan pemerintah Islam Iran—terjadi di hampir 80 kota di seluruh negara tersebut pada minggu pertama tahun ini, dan menyebar dengan sangat cepat, yang beberapa di antaranya berubah menjadi kekerasan. Sedikitnya 21 orang diyakini telah tewas dalam demonstrasi tersebut, dan hampir 4.000 orang ditangkap.

Dua dari mereka yang ditangkap meninggal di penjara setelah terjadinya demonstrasi tersebut, yang menurut para pejabat merupakan kasus bunuh diri. Para pengunjuk rasa mengatakan bahwa kedua orang tersebut dibunuh.

Amoli-Larijani adalah pemegang otoritas peradilan tertinggi di negara ini. Saudaranya, Ali Larijani, adalah Ketua Parlemen.

Kementerian Luar Negeri Iran mengatakan pada Sabtu (13/1), bahwa pemerintahan Trump telah “melewati garis merah perilaku internasional”, dengan menjatuhkan sanksi kepada Amoli-Larijani. Kementerian tersebut mengatakan bahwa keputusan tersebut bertentangan dengan hukum internasional, dan bahwa tindakan tersebut akan mendapatkan “tanggapan serius” dari Iran.

Ultimatum Trump tersebut dikeluarkan pada saat perekonomian Iran sedang mengalami kesulitan, dan kesepakatan nuklir tersebut belum memenuhi janji yang dibuat oleh Presiden Iran, Hassan Rouhani, terkait perbaikan ekonomi.

“Tentu, para pejabat merasa cemas atas dampak yang ditimbulkan jika Trump menarik diri dari kesepakatan itu,” kata Nader Karimi Joni, seorang jurnalis reformis. “Mereka khawatir mata uang lokal bisa mendevaluasi lebih jauh dan harga-harga naik, jika itu terjadi.”

Kesepakatan yang ingin dicapai oleh Trump dengan Eropa juga harus melibatkan program rudal jarak jauh Iran, ujar Gedung Putih, pada Jumat (12/1). Militer Iran sangat mengandalkan rudal sebagai senjata pencegahan; salah satu pesaing regional Iran, Arab Saudi, membeli lebih dari $110 miliar persenjataan dari Amerika Serikat pada tahun 2017. Pejabat Iran mengatakan bahwa mereka tidak mempertimbangkan untuk menegosiasikan program rudal tersebut.

Seorang pemimpin garis keras, Hamidreza Taraghi, mengatakan bahwa dia tidak takut ultimatum Trump akan menyebabkan runtuhnya kesepakatan itu.

“Trump adalah orang yang sering mengubah pendapatnya,” ujar Taraghi, seorang analis dan politisi. “Sekarang dia ingin menyerahkannya kepada Eropa untuk membuat keputusan, jadi jika dia gagal melakukan apapun terhadap Iran, dia dapat mengatakan bahwa ini adalah kesalahan Eropa.”

Sumber : Iran kepada Trump: ‘Perjanjian Nuklir Tidak Bisa Dinegosiasi Ulang’