India berharap untuk menemukan sekutu berkekuatan besar yang bisa membantunya menjadi kekuatan yang bisa bertanding dengan China, dan di waktu yang sama mempertahankan keamanan jalur laut ke arah timurnya. Di sisi lain, India adalah musuh dari musuh Amerika, dan negara tersebut bukanlah teman yang belum dipertimbangkan untuk mendapatkan dukungan Trump.

Oleh: Davi A. Andelman (CNN)

Diam-diam, tetapi digembar-gemborkan, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump sudah mulai untuk menghindar secara signifikan dari Pakistan dan mendekati sekutu Asia Selatan yang lain–sebagai pengimbang untuk China yang selama ini ‘memberatkan timbangan’, terutama di daerah yang berpotensial menjadi titik pusat konflik yang paling sensitif, yaitu Laut China Selatan. Musuh dari musuh itu adalah India, dan India bukanlah teman yang belum dipertimbangkan untuk mendapatkan dukungan Trump sebelumnya. Di saat yang sama, dukungan Trump telah membuka pintu untuk kebangkitan kembali China, dan hal tersebut menunjukkan bahaya yang akan terjadi di masa mendatang.

Jadi, kapan hubungan dengan India ini dibangun? AS dan India telah menjadi sekutu selama ini, tetapi Trump dan Perdana Menteri India Narendra Modi telah memperkuat hubungan mereka secara signifikan selama beberapa bulan ini. Modi mengunjungi Trump di Washington Juni lalu, memulai pembicaraan antar kedua negara tersebut. Lalu, saat ASEAN Regional Forum yang dilaksanakan pada bulan November lalu di Manila, Filipina, dua pemimpin tersebut memperkuat hubungan persekutuan keamanan AS-India, membahas tentang perkembangan impor minyak India dari AS untuk membantu memperkecil kesenjangan di perdagangan, dan setuju untuk memperbanyak suplai terhadap Afganistan yang saat ini sedang India kembangkan.

Semua ini dilakukan untuk keuntungan India. India berharap untuk menemukan sekutu berkekuatan besar yang bisa membantunya menjadi kekuatan yang bisa bertanding dengan China, dan di waktu yang sama mempertahankan keamanan jalur laut ke arah timurnya, karena lebih dari dua pertiga dari seluruh perdagangan India diterima dan dikirim lewat laut.

Kebijakan India yang bernama “Look East Policy” tidak hanya meliputi usaha untuk memperkuat angkatan lautnya, tetapi juga meluncurkan rudal balistik antar benua mereka yang baru, yang akan menempatkan China di jangkauan serangannya. Kebijakan baru ini membuat China lebih jengkel, apalagi India yang sudah mendapatkan dukungan Trump.

Situasi bertambah rumit ketika pertumbuhan India sedang naik-turun di saat pertumbuhan China mulai stabil tanpa kenaikan. Bulan lalu, Dana Moneter Internasiona (IMF) merevisi pertumbuhan ekonomi Asia, sebagian besar revisi terhadap kekuatan kelangsungan ekonomi India–memproyeksikan pertumbuhan di India sebesar 7,5 persen tahun ini dan 7,8 persen tahun depan, dan kenaikan pertumbuhan sebesar 6,7 persen tercatat pada tahun 2017. Sebaliknya, China mengalami hal yang berlawanan–pertumbuhan China mengalami penurunan dari 6,8 persen tahu lalu ke 6,6 persen tahun ini, dan 6,4 persen tahun depan.

Tidak ada petunjuk bahwa AS sudah bersiap untuk menekan perdagangan ke luar negeri India karena perkembangan perdagangan India sudah menunjukkan kecenderungan untuk memenangkan ekspor China, dengan menaikkan bea substansial terhadap panel solar dan mesin cuci. Tentu saja, perdagangan dua arah AS dengan India merupakan perdagangan dengan China, tetapi perdagangan tersebut sudah meningkat pesat dan pemerintah India sudah menerima dukungan Trump untuk mengurangi ukuran defisit perdagangannya.

Negara-negara kecil di Asia Tenggara juga ingin sekali bermitra dagang dengan India yang baru saja bangkit kembali itu, khususnya karena akan menjadi penyeimbang yang bisa diandalkan untuk menghadapi China yang telah membayangi daerah Asia Tenggara secara militer dan ekonomi.

Dengan keseganan yang mereka terima, India memamerkan kehebatannya. Bulan lalu, India berhasil menguji coba rudal balistik antar benua dengan jangkauan 3,400 sampai 3,600 mil. India juga akan melipatgandakan armadanya dengan pesawat patroli anti-kapal selam P-81 buatan Amerika yang canggih, pesawat tersebut dapat mendeteksi kapal selam dari udara. Pesawat ini datang tepat saat China menawarkan tetangga India—Bangladesh, Thailand, dan Pakistan—kapal selam canggih kelas Yuan yang harganya setengah dari hari harga model kapal selam buatan Eropa dan Amerika.

Di persenjataan nuklirnya, India diyakini sudah mempunyai 120 sampai 130 hulu ledak nuklir, dibandingkan dengan kepunyaan China yang berjumlah 270, menurut Federasi Ilmuwan Amerika. Pembangunan kapasitas nuklir telah menjadi perhatian penting untuk India, yang baru-baru ini menjadi pencegah untuk negara yang selama ini telah menjadi musuh bebuyutannya: Pakistan, yang mempunyai 130 sampai 140 senjata nuklir. Hal ini membuat situasi strategis di daerah itu menjadi penuh saat ini, karena kedua negara tersebut diyakini sedang memperkuat dan memperbanyak persenjataan mereka.

Konfrontasi ini datang saat pemerintahan Trump memasuki perang yang pelik dengan Pakistan, negara yang tadinya menjadi sekutu loyal di Asia Selatan. Seperti yang dia lakukan dengan negara-negara di bagian dunia yang lain, terutama di Timur Tengah, di mana presiden tersebut telah memberikan dukungan Amerika terhadap Arab Saudi, bulan lalu Trump mengumumkan bahwa dia memotong $2 milyar bantuan keamanan dari Pakistan sebagai hukuman atas rezim yang diduga menyembunyikan ******* yang secara aktif bekerja untuk merusuhi Afghanistan.

Tidak mengejutkan apabila pemerintah Pakistan sudah memulai untuk mencari mitra strategis baru. Menurut media yang dimiliki negara China, China dengan bersemangat ingin membantu. China saat ini sudah mempunyai investasi dan pinjaman di Pakistan yang berjumlah lebih dari $100 milyar. China juga, menurut laporan CNN, telah mengambil tindakan ke tetangga lepas pantai India, Sri Lanka, dengan memberi sewa 99 tahun untuk fasilitas pelabuhan utama dan investasi sebesar $15 milyar.

Semua hal ini telah membuat beberapa negara Asia, yang telah skeptis pada Trump setelah pengunduran dirinya dari Kemitraan Trans-Pasifik, bertanya-tanya seberapa besar komitmen AS untuk menyediakan penyeimbang terhadap hegemoni China di seluruh penjuru Asia. Walaupun India dapat membuktikan untuk bisa menjadi penyeimbang tersebut, China telah mulai lebih dulu.

Bagaimanapun juga, AS harus mencari jalan agar lebih bisa bijaksana dalam mencari teman. AS Juga harus lebih menghargai konsekuensi dari keberpihakannya di permainan diplomatik dan militer yang rumit. Walaupun saat ini, pemerintahan AS terlihat tidak terlalu memahami peraturan permainannya, apalagi mengingat taruhan yang terlibat dalam permainan tersebut.

David A. Andelman, pelajar sementara di Pusat Kemanan Nasional di Fordam Law School dan direktur dari Red Lines Project-nya, merupakan salah satu kontributor untuk CNN dan kolumnis untuk USA Today. Penulis A Shattered Peace: Versailles 1919 and the Price We Pay Today, dia merupakan koresponden asing untuk The New York Times dan CBS News di Asia dan Eropa. Ikuti dia di Twitter @DavidAndelman.

Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah milik penulis sendiri dan tidak mencerminkan kebijakan editorial Mata Mata Politik.



Sumber : Musuh dari Musuh Amerika: Bagaimana Konsekuensi Dukungan Trump bagi India?