Proposal perdamaian Palestina yang sangat disukai Trump benar-benar terlihat seperti transaksi real estate. Tidak mengejutkan, mengingat bahwa Jared Kushner, menantu Trump berusia 36 tahun yang menjabat penasihat khusus Timur Tengah, tidak memiliki pengalaman dalam diplomasi, namun memiliki banyak pengalaman dalam menyetir dan membuat kesepakatan dengan dunia usaha properti tingkat tinggi di New York.

Oleh: Bill Law (Reuters/Al Jazeera)

Foto: Presiden AS Donald Trump berjabat tangan dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dalam pertemuan World Economic Forum di Davos pada 25 Januari. (Reuters/Carlos/Barria)

Saat Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump masih terus menggertak dan men-tweet dalam perjalanan kepresidenannya yang amburadul, situasi di Timur Tengah semakin memanas dalam kondisi yang berbahaya hingga mendekati titik didih. Perang di Yaman dan Suriah masih terus berlanjut, permusuhan Qatar dengan kuartet Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Mesir, dan Bahrain masih terus berlanjut tanpa ada tanda-tanda akan berhenti, Iran terus meregangkan otot-otot militer mereka, dan baik Irak dan Mesir merasa kesulitan mengatasi serangan terroris. Sekali lagi, semuanya menjadi topik penting, kecuali perdamaian Palestina yang selalu dilupakan.

Israel, berkat pengakuan Trump atas Yerusalem sebagai ibu kota mereka, semakin memperlihatkan ketidak-patuhan yang mencolok terhadap hukum internasional dan resolusi PBB, dengant terus melanjutkan pendudukan di wilayah Tepi Barat. Trump juga mengancam untuk memotong bantuan dana mereka karena Palestina menolak untuk menyambut Wakil Presidennya Mike Pence setelah Presiden secara provokatif mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

“Mereka tidak menghormati kita seminggu lalu dengan tidak mengizinkan Wakil Presiden kita yang hebat untuk bertemu dengan mereka,” kata Trump dalam pertemuan dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Presiden mengatakan ia siap menahan “ratusan juta” dolar yang digunakan sebagai dana bantuan, menambahkan bahwa “uang tersebut sudah siap namun tidak akan dikirimkan kepada mereka kecuali mereka bersedia duduk dan mendiskusikan perdamaian.”

Proposal perdamaian Palestina yang sangat disukai Trump—yang oleh menantunya yang menjabat penasihat khusus Timur Tengah, Jared Kushner, disebut telah sesuai laporan yang diupayakan bersama dengan Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman—benar-benar terlihat seperti transaksi real estate. Tidak mengejutkan, mengingat bahwa Kushner yang berusia 36 tahun tersebut tidak memiliki pengalaman dalam diplomasi, namun memiliki banyak pengalaman dalam menyetir dan membuat kesepakatan dengan dunia usaha properti tingkat tinggi di New York.

Proposal perdamaian Palestina tersebut telah disebut sebagai “rencana suaka.” Yang melibatkan penyerahan 50 persen wilayah Tepi Barat Palestina kepada Israel. Kota-kota Palestina di Tepi Barat yang dikelilingi oleh proyek pemukiman Israel akan jatuh dibawah kontrol administratif Jordan. Dalam bagiannya, Mesir mungkin akan setuju untuk menyerahkan Sinai Utara kepada entitas Palestina baru yang berdekatan dengan Gaza. Ibu kota dari pengelompokan yang aneh tersebut akan menjadi kota Palestina di pinggiran kota Yerusalem, Abu Dis. Yerusalem kemudian akan menjadi ibu kota Israel secara penuh tanpa terpecah-pecah.

Hal ini tentu saja merupakan suatu kegilaan. Apa yang akan membuat rakyat Palestina berpikir mereka mau menyerahkan hak mereka di Tepi Barat untuk sebuah potongan wilayah dari mesir yang penuh dengan terorisme? Mengapa juga Presiden Mesir Abdel Fattah El-Sisi mau menyerahkan wilayahnya, setelah dia baru saja diserang dari berbagai pihak karena menyerahkan dua pulau kecil di Laut Merah kepada Arab Saudi?

Namun jika satu tahun kepresidenan Donald Trump telah mengajarkan kita sesuatu, yaitu posisi yang paling ekstrem dan menggelikan bisa cepat berubah menjadi kenyataan yang kasar dan buruk.

Sekarang, ada dua cerita yang membantu mendorong narasi suaka itu bersama-sama. Cerita pertama di dibongkar oleh New York Times pada tanggal 3 Februari tentang dukungan militer Israel kepada Mesir dalam perang melawan Ansar Beit al Maqdis (ABM), afiliasi dari Negara Islam Irak dan Levant (ISIL, juga dikenal sebagai ISIS) pada Semenanjung Sinai. Pada tahun 2014 ABM berjanji setia kepada khalifah ISIS yang memproklamirkan dirinya sendiri, Abu Bakr al-Baghdadi. Semenanjung tersebut dinyatakan sebagai Wilayah Sinai, Provinsi Sinai ISIS.

Selama beberapa tahun Mesir telah kehilangan ratusan polisi dan tentara dalam perang melawan terorisme di Sinai. Pada November 2017, afiliasi ISIS melakukan serangan ke sebuah masjid sufi yang menewaskan lebih dari 300 orang. Itu adalah kekejaman terroris terburuk dalam sejarah Mesir akhir-akhir ini.

Menurut the New York Times, yang mereka sebut “aliansi rahasia” telah mengizinkan Israel membawa lebih dari 100 serangan udara didalam Mesir untuk melawan ABM dalam dua tahun belakangan. Mesir telah membantah klaim tersebut, namun yang lebih penting adalah bahwa Israel tidak membatah maupun mengkonfirmasi aliansi tersebut. Dengan menggunakan drone tanpa nama dan jet tempur yang disembunyikan, Israel telah mencoba mengurangi kapabilitas militer para pejuang, sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh tentara Mesir.

Kembali ke analogi kesepakatan real estate, jika Anda adalah Jared Kushner dan Anda ingin mengusir penyewa bermasalah dari properti yang sangat menguntungkan dengan sedikit kecanggungan, Anda harus menawari mereka imbalan, dan bahwa properti tidak bisa diamankan menggunakan gangster yang dipersenjatai. Oleh karenanya, Israel berbuat sedikit untuk membantu mengamankan lingkungan sekitar.

Bagi Presiden El-Sisi, ia perlu menjaga Saudi dan Israel agar tetap berada di pihaknya karena pertumbuhan ekonomi mereka yang lambat dan munculnya kekecawaan terhadap caranya menjalankan pemerintahan. Pendanaan Arab Saudi yang mencapai ratusan juta dolar akan membantu ekonomi El-Sisi bertahan. Untuk sang Presiden Mesir, memberikan wilayah Sinai Utara yang bermasalah dapat dilihat sebagai biaya kecil yang harus dibayarkan.

Bagi Mohammed bin Salman, solusi bagi “permasalahan” perdamaian Palestina yang ia bantu selesaikan, meskipun lebih banyak menguntungkan Israel, berarti bahwa ia dapat menyertakan Israel – yang juga memiliki senjata nuklir – untuk ikut serta melawan Iran dalam upaya menegakkan hegemoni di kawasan. AS, yang juga senang dengan keputusan itu, akan mengirimkan militer mereka untuk membantu mengkonfrontasi Iran. Lalu bagaimana dengan warga Mesir yang tinggal di Sinai Utara? Yah, itu mungkin pertanyaan yang dapat diselesaikan di tengah jalan.

Sementara itu, relokasi paksaan terhadap warga dalam jumlah yang besar merupakan skenario yang kurang mengenakkan yang perlu direnungkan Israel, menimbang takdir mengerikan yang dihadapi masyarakat Yahudi pada saat holocaust. Apa cara yang lebih baik untuk melunakkan opini publik Israel terhadap penggusuran massal orang-orang Palestina kalau bukan terlebih dulu meluncurkan deportasi imigran Afrika yang tidak berdokumen? Sekitar 35.000 orang pasti akan menghadapi penderitaan itu.

Pemerintahan Netanyahu telah berjanji untuk memulangkan migran ekonomi yang putus asa ini secara paksa dengan tawaran ambil atau tinggalkan: $3.500 dan tiket satu arah kembali ke Afrika, atau penjara.

Gideon Levy, seorang kolumnis untuk harian Israel Haaretz, dalam artikel yang mengutuk proyek pemaksaan kepulangan, menulis mengenai apa yang dia sebut “rencana jangka panjang yang hanya dibicarakan oleh sayap kanan ekstrimis sekarang ini.”

Dengan kejelasan mengesankan mengenai perdamaian Palestina, dia menjelaskan apa yang akan terjadi selanjutnya jika pemerintah melanjutkan upayanya untuk menyingkirkan orang-orang Afrika:

“Jika pengusiran kecil ini berhasil, hal yang lebih buruk akan terjadi: bersiaplah untuk transfer populasi. Jika operasi pertama berhasil, itu akan melambungkan harapan untuk pengusiran selanjutnya. Israel akan belajar bahwa mereka dapat melakukan hal tersebut; mereka akan belajar bahwa tidak ada yang akan menghentikan mereka.”

Oleh karenanya ketika dunia duduk tenang dan menonton, mereka yang akan diusir dari apa yang tersisa dari negeri mereka adalah orang-orang Palestina.

Keinginan Trump untuk memenangkan “kesepakatan terbesar yang pernah ada” ditambah dengan uang Arab Saudi, dukungan Israel dan kemandirian Mesir dapat membuat mimpi buruk untuk membuat perdamaian Palestina menjadi kenyataan, yang kembali melarang orang-orang Palestina untuk memiliki hak berpendapat. Hal itu, sederhananya, merupakan mimpi buruk yang seharusnya tidak pernah diizinkan untuk berlanjut sampai pagi menjelang.

Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah milik penulis sendiri dan tidak mencerminkan kebijakan editorial Mata Mata Politik.



Sumber : Proposal Perdamaian Palestina Trump Hanyalah Transaksi Real-Estate