Penerapan sanksi oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kemungkinan tidak akan berlanjut. Presiden itu justru berisiko melemahkan salah satu alat kebijakan Amerika yang paling kuat. Sanksi telah menjadi alat sentral dalam pembuatan kebijakan luar negeri AS dalam dua dekade belakangan. Tidak ada Presiden yang lebih ambisius untuk menggunakannya ketimbang Trump. Namun timnya harus menyusun strategi jangka panjang, dan kekuatan yang lebih besar, untuk memastikan dampak berkepanjangan untuk tahun-tahun mendatang.

oleh: Peter E. Harrell dan Elizabeth Rosenberg (Foreign Policy)

Setahun masa kepresidenannya, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menjadi praktisi agresif dalam hal sanksi ekonomi. Sejauh ini, Departemen Keuangan telah menambah lebih dari 700 orang, perusahaan, dan agensi pemerintah dalam daftar sanksi. Pemerintahan Trump juga telah meningkatkan bentuk tekanan ekonomi kepada Korea Utara dan Venezuela. Taktik mereka juga berbeda. Trump telah mengancam akan mengakhiri kesepakatan nuklir iran, yang berarti meninggalkan pendekatan multilateral dalam penerapan sanksi kepada Iran.

Penerapan sanksi oleh Trump telah menorehkan beberapa keberhasilan. Tiga putaran sanksi terhadap Korea Utara telah diberlakukan oleh Dewan Keamanan PBB pada tahun lalu, yang jika dipaksakan sepenuhnya, akan memotong 90 persen dari pendapatan ekspor Korea Utara. Sanksi terhadap Venezuela menargetkan Presiden Nicolas Maduro, yang telah memimpin sebuah bencana kemanusiaan yang mendorong lebih dari setengah juta masyarakat Venezuela melarikan diri dalam dua tahun terakhir, dan menyebabkan tingkat kelaparan dan tingkat kematian anak melonjak. Sanksi AS tersebut telah secara dramatis meningkatkan tekanan pada Caracas.

Namun terdapat tanda-tanda mengkhawatirkan bahwa penggunaan sanksi oleh Trump mungkin tidak akan bertahan lama. Pemerintahan Trump membutuhkan strategi jangka panjang untuk menopang kerja sama multilateral, mencegah para pegawai kelelahan lalu memutuskan untuk pergi, dan merumuskan tren yang sedang berkembang yang mengancam akan melemahkan dominasi sanksi AS. Tanpa rencana menyeluruh, Pemimpin pengambil keputusan Amerika akan mewariskan alat yang lemah untuk digunakan melawan ancaman keamanan nasional di masa mendatang.

Tanda-tanda pertama permasalahan ini ialah bahwa penggunaan sanksi oleh Trump yang agresif telah melemahkan hubungan AS dengan sekutu. Meskipun Amerika Serikat memiliki beban sanksi lebih banyak ketimbang negara lain, kenyataannya adalah bahwa sanksi yang diberikan AS akan lebih banyak menimbulkan dampak jika negara-negara sekutu juga menerapkan sanksi yang terkoordinasi dan paralel. Hal ini dapat terlihat dalam contoh penerapan sanksi kepada Iran dan Rusia, yang memiliki ikatan ekonomi lebih kuat dengan negara lain ketimbang Amerika Serikat. Kerja sama Eropa dan Asia menjadi faktor penting untuk kesuksesan sanksi minyak yang diberikan kepada Iran pada tahun 2012 hingga 2015, semenjak Amerika Serikat memilih untuk tidak membeli minyak dari Iran.

Ancaman Pemerintahan Trump untuk menghentikan kesepakatan nuklir Iran merupakan contoh paling signifikan yang menunjukkan keretakan hubungan Pemerintahan AS dengan para sekutu. Pemerintah Eropa mengecam kemungkinan ini dengan ejekan. Benar-benar menghentikan kesepakatan Iran akan merusak kerjasama AS-Uni Eropa, dan merusak ikatan trans-atlantik yang dibutuhkan untuk mengamankan kerja sama dalam prioritas keamanan yang lain, termasuk dalam hal Rusia dan Korea Utara.

Suka atau tidak, Pemerintahan Trump hanya dapat memberikan dampak ekonomi yang nyata dalam jangka menengah hingga jangka panjang, jika mereka lebih menginvestasikan energi diplomasi mereka untuk mengamankan sanksi agar juga diterapkan oleh sekutu Amerika. Terlebih lagi, sebuah sanksi sama bagusnya dengan strategi lebih luas yang diterapkan oleh mereka. Oleh karenanya, menerapkan sanksi saja tanpa mengandalkan sekutu untuk mengatasi ancaman permasalahan keamanan global, akan menyingkap fakta bahwa strategi yang dimiliki Trump dan alat yang digunakannya sangat tidak memadai.

Tanda-tanda permasalahan lain mengenai keberlanjutan sanksi ini adalah momok para pegawai yang kelelahan dan meninggalkan agensi sanksi AS. Sanksi bergantung pada sumber daya manusia—para pria dan wanita berbakat di dalam pemerintahan AS yang menganalisis target, mengembangkan regulasi, dan bekerja sama dengan sekutu untuk menyusun kampanye tekanan finansial yang memiliki jangkauan luas. Selalu ada pergantian di antara staf sanksi, mengingat banyaknya beban kerja dan tawaran pekerjaan dari sektor swasta yang lebih menguntungkan. Namun dengan fase kerja yang sangat sibuk, tanpa adanya sumber daya tambahan, dan penerapan sanksi yang dilakukan secara terburu-buru selama beberapa tahun terakhir seperti dalam kasus Iran, Kuba, dan Rusia, mendorong lebih banyak birokrat yang memilih untuk keluar.

Hal di atas menunjukkan resep yang dibutuhkan untuk membuat krisis institusional. Pentagon membutuhkan sumber daya tambahan untuk beradaptasi dengan meningkatnya cakupan ancaman keamanan nasional AS, begitu juga dengan permasalahan keamanan yang berkaitan dengan ekonomi. Kongres seharusnya menyertakan peningkatan yang dramatis dalam pemberdayaan staf dan sumber daya lain untuk agensi sanksi dalam perancangan penyesuaian UU selanjutnya.

Mungkin yang menjadi salah satu tanda-tanda paling jelas bahwa Trump sedang menghadapi berakhirnya masa-masa kejayaan sanksi AS adalah, bahwa timnya tidak dapat lagi mengungguli tren yang sedang berkembang, yang mencoba menghalangi dominansi sanksi AS.

Dalam beberapa dekade ke depan, teknologi finansial baru—seperti mata uang kripto dan mekanisme pembayaran internasional berbasis blockchain—dapat secara signifikan mengurangi dampak sanksi keuangan AS. Pengusaha yang mencari cara untuk memotong biaya dan efisiensi, mendorong inovasi di bidang teknologi finansial. Namun, penggunaan sanksi AS yang ceroboh dapat mempercepat perpindahan China, Rusia, dan musuh AS lainnya dari pasar dan mata uang AS. Pemerintahan Trump memerlukan usaha baru yang besar untuk memahami dan menyesuaikan diri dengan potensi risiko yang mengancam kekuatan sanksi AS.

Sanksi telah menjadi alat sentral dalam pembuatan kebijakan luar negeri AS dalam dua dekade belakangan. Tidak ada Presiden yang lebih ambisius untuk menggunakannya ketimbang Trump. Namun timnya harus menyusun strategi jangka panjang, dan kekuatan yang lebih besar, untuk memastikan dampak berkepanjangan untuk tahun-tahun mendatang.

Sumber : Penerapan Sanksi oleh Donald Trump (Mungkin) Tidak akan Berlanjut