Hubungan Rusia dan Amerika memiliki dampak bagi ASEAN. Dalam konsep kebijakan luar negeri baru yang telah disepakati oleh Presiden Vladimir Putin, kebijakan Rusia di Asia menjamin stabilitas, keamanan, dan kemakmuran di Asia. Rusia tampaknya tidak mempunyai tujuan untuk menantang Amerika di ASEAN, tidak seperti di Ukraina atau Suriah. Selain itu, AS juga tidak ingin melihat Rusia menyebarkan pengaruhnya di ASEAN. Keseluruhan ikatan ekonomi/perdagangan ASEAN dengan AS jauh lebih kuat ketimbang dengan Rusia. Sulit dibayangkan bahwa ikatan tersebut akan berkurang atau sirna dalam waktu dekat.

Oleh: Chris Cheang (New Straits Times)

Hubungan Rusia dan Amerika Serikat (AS) mulai merenggang dikarenakan beberapa perbedaan: Ukraina, Suriah, isu kontrol senjata, dugaan intervensi Rusia dalam pemilu Presiden 2016, dan pendirian Rusia yang telah lama dipegang bahwa Barat—terutama Amerika Serikat—telah mencampuri tidak hanya urusan dalam negeri Rusia, tapi juga di negara bekas republik Soviet, yang merupakan wilayah yang menjadi target pengaruh mereka.

Bagaimanapun, hubungan Rusia dan Amerika yang bermasalah ini belum memiliki dampak yang terlihat, baik di Asia Tenggara maupun dalam hubungan mereka dengan negara adidaya lainnya. Rusia tampaknya tidak mempunyai tujuan untuk menantang Amerika di ASEAN, tidak seperti di Ukraina atau Suriah, jika menilai dari pesan yang disampaikan oleh Duta Besar Rusia untuk Singapura, Andrei Tatarinov. Ini adalah pesan yang disampaikan dalam presentasinya di Institut Studi Asia Selatan pada bulan September tahun lalu.

Duta Besar tersebut telah menegaskan bahwa “kebijakan Rusia di Asia terfokus dan dibuat dengan hati-hati, ditujukan benar-benar untuk keseimbangan kekuatan, dan mengejar agenda regional yang kohesif. Komitmen Rusia yang tegas adalah untuk memastikan stabilitas, keamanan, dan kemakmuran di Asia, serta mengembangkan hubungan dengan mitra di kawasan tersebut, baik secara bilateral maupun multilateral”. Dia mengatakan bahwa tujuan ini diterangkan dalam konsep Kebijakan Luar Negeri Federasi Rusia dan telah disetujui oleh Vladimir Putin pada November 2016.

Kedua, ASEAN sendiri tidak memiliki pemasalahan dalam hubungan Rusia—tidak ada pertentangan ideologi maupun ancaman keamanan nasional yang dapat ditimbulkan oleh Rusia. Oleh karenanya, tidak ada gangguan politik bagi negara ASEAN manapun yang ingin mengembangkan hubungan politik, ekonomi/perdagangan dengan Rusia.

Ketiga, Kebijakan Luar Negeri Rusia berfokus ke Eropa dan Barat, meskipun pernyataan tertulis tersebut berbeda dengan kenyataannya. Militer Rusia dan sumber daya diplomasi mereka sekarang dikonsentrasikan ke Timur Tengah, khususnya Suriah. Oleh karenanya, ASEAN tidak berada di daftar prioritas kebijakan luar negeri Rusia yang harus mengalokasikan sumber daya.

Keempat, China memandang ASEAN dan kawasan Asia-Pasifik sebagai wilayah di bawah pengaruh mereka, dan mereka juga sedang mencoba menyaingi AS di semua kawasan. Oleh karenanya, tidak akan terlihat baik bila Rusia berupaya untuk menegaskan pengaruhnya di wilayah tersebut, berhadap-hadapan dengan AS, dan bertindak sebagai faktor lain dalam perebutan kekuasaan besar untuk pengaruh di kawasan tersebut.

Kelima, AS juga tidak ingin melihat Rusia menyebarkan pengaruhnya di ASEAN. Keseluruhan ikatan ekonomi/perdagangan ASEAN dengan AS jauh lebih kuat ketimbang dengan Rusia. Sulit dibayangkan bahwa ikatan tersebut akan berkurang atau sirna dalam waktu dekat.

Hubungan Rusia dan AS telah mengambil beberapa langkah untuk melawan satu sama lain pada tahun lalu, termasuk aksi melawan media dari masing-masing negara. Salah satu langkah signifikan AS melawan Rusia adalah melalui strategi keamanan nasional (bulan Desember lalu) yang mengidentifikasikan Rusia dan China sebagai kompetitor dan lawan dari kekuatan, pengaruh, dan kepentingan AS. Hal tersebut tentu saja menjadi masalah dalam hubungan Rusia dan AS.

Aksi kritis lain adalah sanksi UU AS (pada bulan Agustus)—yang dilakukan untuk melawan musuh-musuh AS melalui aksi sanksi. UU tersebut tampaknya menjadi perhatian khusus bagi Rusia—Putin menunjukkan kekhawatirannya dalam sebuah pertemuan dengan Kepala Editor media Rusia pada tanggal 11 Januari, dengan menekankan bahwa Rusia “akan merespon sesuai dengan ketentuan”. “Langkah apapun yang menyangkut dengan pembatasan dan, tentu saja, sanksi apapun yang tidak berlandaskan hukum,” dia menambahkan, “akan merusak, daripada meningkatkan hubungan kami dengan Amerika Serikat.” UU tersebut juga mungkin menjadi isu bagi ASEAN.

Sebuah komentar mengenai UU tersebut oleh Akademisi Rusia memaparkan kekhawatiran Pemerintah Rusia dalam beberapa detail. Professor Konstantin Khudoley, menulis pada bulan Desember 2017 di sebuah jurnal terpercaya, Russian Global Affairs (RGA), berargumen bahwa UU tersebut “menerapkan kebijakan paling ketat terhadap Rusia sepanjang masa pasca-Soviet.”

Dia menyimpulkan bahwa sanksi itu “ditujukan untuk mendorong Rusia dari ekonomi global dan proses politik sejauh mungkin, dan menjadikan Rusia sebagai negara periferi di dalam ekonomi dan politik dunia.” UU Sanksi tersebut mencakup banyak hal dari aktivitas Rusia dalam finansial, energi, sektor keamanan siber, hingga penduduk Rusia di luar negeri yang menghindari sanksi, dan pelanggaran HAM di Rusia.

UU tersebut juga mewajibkan Departemen Keuangan AS—berkonsultasi dengan Direktur Intelijen Nasional dan Menteri Luar Negeri—untuk mengirimkan laporan mendetail mengenai komite kongres tidak lebih dari 280 hari (dengan tenggat waktu akhir bulan Januari). Hal tersebut akan berfokus kepada tokoh politik senior dan orang-orang berkuasa yang dekat dengan Putin, informasi mengenai pendapatan mereka bersama dengan anggota mereka, untuk “mengindikasi tindak korupsi” yang mungkin berhubungan dengan mereka, dan indentifikasi mengenai rekan kerja non-Rusia mereka.

Tantangannya adalah apakah pengawasan yang terperinci dan yang lebih penting, implementasinya secara penuh, dapat mempengaruhi, dengan cara apapun, hubungan Rusia dalam bidang ekonomi/perdagangan ASEAN yang lebih baik di masa sekarang maupun di masa mendatang. Hal itu bergantung pada persepsi AS mengenai hubungan tersebut.

Merupakan sebuah fakta yang dapat diterima, bahwa rivalitas negara adidaya dan pergumulan atas pengaruh, telah dan akan selalu ada di wilayah ASEAN. Sejauh ini, pelaku yang terlibat adalah China dan Amerika Serikat. Namun, hubungan ekonomi terlalu sering menjadi korban pertimbangan politis serta geostrategis dan geopolitik.

ASEAN menghargai hubungan Rusia sekarang, baik dengan AS di segala bidang. Namun mereka juga tetap menunjukkan keunggulan untuk tetap bisa membuat kebijakan mereka sendiri, berdasarkan kepentingannya. Kita mungkin dapat menimbang pemikiran edukatif dari Fyodor Lukyanow, seorang Wakil Editor di RGA dan seorang pengamat kebijakan luar negeri Rusia, dia baru-baru ini menulis: “hubungan Amerika-Rusia bukanlah inti dari politik dunia yang menutupi hubungan antar-negara lain, seperti yang terjadi sebelumnya. Di masa sekarang tidak mungkin memaksa negara lain untuk melakukan apa yang diinginkan si ‘kelas berat’.”


Sumber : Dampak Hubungan Rusia dan Amerika bagi ASEAN