Sama-sama khawatir akan pengaruh China dan Amerika, Jepang dan Australia semakin pererat hubungan. Jepang dan Australia sepakat mengenai pentingnya bekerja sama di Indo-Pasifik dan menggabungkan kepentingan bersama mereka dalam peraturan hukum dan kebebasan navigasi. Jepang dan Australia masih ingin dan perlu terlibat secara konstruktif dengan China, namun dengan perluasan militer Beijing dan meningkatnya ketidakpastian mengenai peran Washington, masih banyak yang harus didiskusikan oleh Jepang dan Australia.

Oleh: J. Berkshire Miller (World Politics Review)

Bulan lalu, Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull melakukan perjalanan ke Jepang untuk menghadiri pertemuan puncak tahunan dengan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, yang menyoroti pertumbuhan strategis hubungan antara Tokyo dan Canberra. Selama kunjungan tersebut, kedua belah pihak sepakat mengenai pentingnya bekerja sama di Indo-Pasifik dan menggabungkan kepentingan bersama mereka dalam peraturan hukum dan kebebasan navigasi—sebuah sinyal terhadap China, dengan klaimnya yang semakin agresif di Laut China Selatan, dan Amerika Serikat (AS), di bawah pemerintahan Trump yang menimbulkan pertanyaan tentang posisi Amerika di Asia. Dalam sebuah pernyataan bersama, Turnbull dan Abe menekankan “komitmen mereka untuk meningkatkan koordinasi dan kerja sama mereka, dan untuk menyelaraskan usaha masing-masing, baik secara bilateral maupun dalam kemitraan dengan negara-negara yang berpikiran sama, untuk mewujudkan visi tersebut di wilayah ini.”

Pererat hubungan Jepang-Australia—terutama atas masalah keamanan—bukanlah sebuah perkembangan yang tiba-tiba, karena pererat hubungan itu telah meningkat selangkah demi selangkah, selama satu dekade terakhir. Hal itu menyebabkan meningkatnya pertukaran dan pertemuan tingkat tinggi antara para diplomat dan pejabat pertahanan dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun ini, Jepang dan Australia akan melakukan dialog tahunan ke-8 mereka, antara Menteri Luar Negeri dan Pertahanan, yang disebut 2+2. Dalam istilah diplomatik, pengaturan “2+2” adalah dasar yang positif bagi negara-negara tersebut untuk meningkatkan diskusi mereka dan dengan tujuan strategis yang lebih besar.

Pererat hubungan Jepang dan Australia telah menggunakan dialog ini sebagai tempat diplomatik untuk pertumbuhan hubungan keamanan mereka yang lebih nyata dan maju. Salah satu poin utama dalam kunjungan Turnbull pada bulan Januari ke Jepang adalah kemajuan menuju penyelesaian sebuah perjanjian kunjungan pasukan bilateral (visiting forces agreement). Walau terdapat harapan bahwa kesepakatan untuk pererat hubungan tersebut akan diumumkan pada bulan Januari, namun masih terdapat beberapa masalah untuk diselesaikan, dan kemungkinan kesepakatan akan selesai sebelum akhir tahun ini. Perjanjian kunjungan pasukan tersebut akan memungkinkan militer kedua negara untuk beroperasi lebih bebas di wilayah masing-masing, dan memperbaiki kemampuan untuk melakukan operasi gabungan, yang menghasilkan apa yang mereka harapkan adalah kemitraan keamanan dan pertahanan yang lebih mulus. Selain potensi operasi bersama yang lebih mulus, kesepakatan tersebut juga memungkinkan Jepang dan Australia untuk segera mengirimkan pasukan ke wilayah pihak lain jika terjadi bencana alam. Beberapa pengamat menyebut kesepakatan tersebut sebagai tanda lebih lanjut dari “semi-persekutuan” antara Jepang dan Australia.

Mungkin yang lebih penting lagi adalah apa yang menjadi pertanda bagi Jepang, karena ini akan menjadi yang pertama bagi militer Jepang, Pasukan Bela Diri yang dibatasi konstitusi, di luar perjanjian aliansi dengan Amerika Serikat. Dalam arti, ini adalah penghalang lain bagi Tokyo untuk melakukan terobosan, karena secara bertahap menyesuaikan posisi keamanan dan pertahanannya, sama seperti sejak akhir Perang Dunia II, di tengah meningkatnya ancaman dan tantangan di kawasan ini, termasuk Korea Utara yang provokatif dan China yang tegas. Terwujudnya perjanjian kunjungan tersebut akan meningkatkan hubungan keamanan bilateralnya dengan Australia ke tingkat yang lain. Kedua negara itu sudah memiliki kesepakatan keamanan informasi untuk berbagi intelijen. Tahun lalu, mereka menyimpulkan Perjanjian Akuisisi dan Cross-Servicing yang direvisi, yang memungkinkan setiap militer untuk mengangkut peralatan dan pasokan lebih bebas di kedua negara.

Walau penyelesaian perjanjian pasukan kunjungan mungkin memakan waktu beberapa bulan lagi, terdapat komitmen dari kedua belah pihak untuk melakukan kerja sama pertahanan yang lebih nyata. Selama kunjungan Turnbull, dia dan Abe sepakat untuk meluncurkan latihan gabungan pertama antara Royal Australian Air Force dan Angkatan Bela Diri Jepang pada akhir tahun ini di Jepang.

Selain hubungan bilateral mereka sendiri, Canberra dan Tokyo telah bekerja sama secara multilateral—seperti dalam pertemuan gabungan di sela-sela KTT Asia Timur, Forum Regional ASEAN, dan Dialog Shangri-La—dan dalam apa yang disebut kelompok mini-lateral dengan negara-negara regional yang berpikiran sama. Yang paling penting adalah dialog strategis trilateral dengan Amerika Serikat. Pertama kali diumumkan pada tahun 2005, perundingan tiga pihak tersebut telah terbukti menjadi standar emas bagi kerja sama trilateral di Indo-Pasifik, yang menghubungkan AS dengan dua sekutu lamanya yang setia. Melalui dialog tersebut, ketiga belah pihak sering melakukan latihan militer bersama dan memperdalam pembagian informasi dan perencanaan strategis.

Selain kerja sama trilateral, Jepang dan Australia telah bersama-sama melihat ke India, di mana dengan India, mereka bertemu setiap tahun dalam sebuah forum trilateral, yang menawarkan jalan keluar lain untuk keterlibatan dan kesempatan—kadang-kadang yang diinginkan—untuk mendiskusikan isu-isu regional tertentu tanpa Amerika Serikat. Semua ini adalah kebangkitan dari dialog empat pihak pada tahun lalu dengan India dan AS, yang merupakan sebuah perkembangan penting yang telah lama absen selama satu dekade terakhir, karena kekhawatiran di New Delhi dan Canberra bahwa China akan menganggapnya terlalu provokatif.

Langkah-langkah ini sejalan dengan kepentingan nasional di Jepang dan Australia yang semakin menyatu, seperti yang digariskan dalam Kertas Putih terbaru Australia dan Strategi Indo-Pasifik yang Bebas dan Terbuka Jepang. Hubungan mereka akan terus berkembang dalam beberapa bulan mendatang dengan tujuan untuk melengkapi dan memperkuat kehadiran Amerika di Asia, yang harus dipertanyakan oleh kedua belah pihak untuk pertama kalinya selama bertahun-tahun, karena pemerintahan Trump telah meningkatkan prospek penyelarasan strategi AS dan persyaratan persekutuan Amerika yang sudah berjalan lama.

Jika ada pertanyaan dari Washington—atau setidaknya Gedung Putih—tentang peraturan dan norma internasional di Asia, Jepang dan Australia bergerak cepat, bersama-sama, untuk menjunjung tinggi peraturan dan norma tersebut. Kedua negara itu masih ingin dan perlu terlibat secara konstruktif dengan China, namun dengan perluasan militer Beijing dan meningkatnya ketidakpastian mengenai peran Washington, masih banyak yang harus didiskusikan oleh Jepang dan Australia.

Jonathan Berkshire Miller adalah pengamat senior di Japan Institute of International Affairs, yang berbasis di Tokyo. Dia juga merangkap sebagai pengamat senior di Asia Timur untuk Asian Forum Japan yang berbasis di Tokyo dan direktur serta salah satu pendiri Dewan Kebijakan Internasional di Ottawa.


Sumber : Kekhawatiran akan China dan Amerika Pererat Hubungan Jepang dan Australia