Memang sulit untuk dipercaya, namun perang Suriah telah semakin memburuk. Terdapat kesalahan persepsi yang telah berkembang di luar negeri, bahwa perang Suriah mereda. Sebaliknya, pembantaian tersebut justru mencapai puncak yang baru. Sejak Desember, 300 ribu orang telah melarikan diri dari pertempuran baru. Dalam satu periode 48 jam minggu ini, serangan oleh pemerintah menewaskan lebih dari 100 orang—sebagian besar warga sipil. Para pejabat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Selasa (6/2), menyebut situasi ini “ekstrem”, dan meminta agar segera dilakukannya gencatan senjata di seluruh negeri.

BEIRUT, Lebanon—Enam bayi yang baru lahir, berkedip, dan melengkungkan punggung mereka, dibawa dari rumah sakit yang terbakar yang dilanda serangan udara. Sebuah rumah apartemen yang dibom runtuh, mengubur para keluarga. Petugas medis menyiram pasien dengan air, setelah serangan yang diduga klorin, yang merupakan salah satu dari lima serangan di Suriah sejak awal tahun ini.

Itu hanya sebagian kecil dari perang Suriah di minggu ini, menurut para penduduk dan petugas penyelamat, seiring pemerintah Suriah dan sekutu Rusianya meningkatkan perang udara mereka di dua wilayah pemberontak utama terakhir di negara tersebut.

“Semua jenis senjata telah digunakan terhadap kami selama tujuh tahun, dan seluruh dunia sedang menyaksikan,” kata Moaz al-Shami, seorang aktivis anti-pemerintah di kota Saraqeb, Suriah utara, di mana sebuah klinik medis diserang, saat para stafnya sedang merawat orang-orang yang terluka dalam pengeboman di pasar ketika mereka sedang membeli kentang. “Di Saraqeb, kami mati dua kali.”

Sejak kekalahan ISIS pada tahun lalu, dan kemajuan pemerintahan yang mantap dalam melawan kelompok pemberontak lainnya, terdapat kesalahan persepsi yang telah berkembang di luar negeri, bahwa perang Suriah mereda. Sebaliknya, pembantaian tersebut justru mencapai puncak yang baru.

Sejak Desember, 300 ribu orang telah melarikan diri dari pertempuran baru. Dalam perang Suriah yang mencapai puncak barunya, hanya satu periode 48 jam minggu ini, serangan oleh pemerintah menewaskan lebih dari 100 orang—sebagian besar warga sipil—menurut para petugas penyelamat dan petugas medis, di wilayah pinggiran kota yang dikepung pemberontak di sebelah timur ibu kota Damaskus. Ledakan bisa terdengar dan asap terlihat dari bangunan pemerintahan yang berjarak hanya beberapa mil jauhnya.

Para pejabat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Selasa (6/2), menyebut situasi ini “ekstrem” dan meminta agar segera dilakukannya gencatan senjata di seluruh negeri. Komite Palang Merah Internasional mengecam pengeboman yang dilaporkan terhadap fasilitas medis di Provinsi Hama dan Idlib, di mana sebagian besar rumah sakit sudah tidak berfungsi.

Seiring dua serangan pemerintah yang besar terhadap kubu pemberontak semakin intensif, Turki melancarkan serangan mendadak ke daerah perbatasan Kurdi, dan tiba-tiba terdapat tiga wilayah yang terbakar, masing-masing menciptakan sebuah keadaan darurat baru bagi warga sipil.

“Ada beberapa wilayah di mana masyarakat berada dalam bahaya ekstrem tanpa adanya solusi,” kata Asisten Sekretaris Jenderal Panos Moumtzis, koordinator bantuan regional PBB untuk krisis Suriah, pada Selasa (6/2). “Kami belum melihat ini.”

Faktanya adalah bahwa perang Suriah, selama bertahun-tahun, bukanlah satu perang, melainkan konflik terpisah yang saling berpotongan dengan pemeran pejuang yang silih berganti dalam perang Suriah. Sebagian besar dunia menyambut runtuhnya kekhalifahan ISIS pada tahun lalu. Tapi kemenangan itu membuka jalan bagi konflik yang mendasari perang Suriah untuk muncul kembali dengan perasaan balas dendam.

Di Suriah barat, pasukan pemerintah telah mengalihkan fokus mereka ke sebuah pertempuran yang ada sebelum ISIS bangkit: perang melawan serangkaian kelompok pemberontak yang bertujuan untuk menyingkirkan Presiden Bashar al-Assad. Didukung oleh Rusia dan Iran, militer Suriah meningkatkan upaya untuk menghancurkan wilayah pemberontak terbesar yang tersisa, yang diambil alih beberapa tahun yang lalu oleh faksi-faksi, mulai dari pemberontak militer nasionalis, hingga kelompok-kelompok Islamis yang sekarang mendominasi mereka.

Apalagi, perayaan atas kekalahan ISIS mungkin terlalu dini. Banyak para pejuangnya yang masih beroperasi secara sembunyi-sembunyi, bergabung dengan kelompok kecil yang belum aktif, dan kembali menyerang dengan taktik gerilya untuk menyerang wilayah yang dikuasai pemerintah.

Haid Haid, seorang peneliti Suriah di Chatham House—sebuah kelompok penelitian yang berbasis di Inggris—mengatakan bahwa sudah ada tanda-tanda bahwa kelompok pemberontak lainnya juga menggunakan strategi gerilya, memicu ledakan di kota-kota yang dikendalikan pemerintah di Damaskus dan Aleppo. Lebih banyak kelompok akan bergabung dengan barisan tersebut karena mereka kehilangan wilayah, katanya.

“Kita berbicara tentang ribuan orang, bukan ratusan,” katanya.

Dengan berlanjutnya perang Suriah, membuat sebagian besar negara-negara Barat telah melangkah mundur dari pertarungan melawan Assad, dengan diam-diam menerima kepemimpinannya yang terus berlanjut, dan membiarkan Rusia, Iran, dan Turki sebagai kekuatan asing yang paling aktif dalam perang tersebut. Namun Amerika Serikat (AS) tetap bercokol di sebagian besar wilayah timur laut Suriah, yang direbut oleh para militan yang didukung oleh Amerika dan dipimpin Kurdi, dari ISIS.

Untuk saat ini, dua wilayah pemberontak yang sangat berbeda, harus menanggung serangan oleh pasukan pemerintah, yang didukung oleh kekuatan udara Rusia dan milisi yang didukung Iran, termasuk kelompok Hizbullah Lebanon.

Salah satunya adalah provinsi Idlib yang penuh dengan pedesaan, di perbatasan barat laut Suriah, tempat di mana bayi-bayi yang baru lahir dievakuasi dari rumah sakit yang terbakar pada pekan lalu.

Warga menggali parit dan mempertimbangkan apakah akan melarikan diri.

Mohammad Najdat Kaddour (32 tahun), mengatakan bahwa dia hampir putus asa setelah tujuh tahun memprotes pemerintah, menghindari serangan udara, dan mencoba membangun organisasi lokal independen yang menentang kelompok jihad yang telah mendominasi provinsi tersebut.

“Semuanya akan segera hilang,” katanya baru-baru ini, saat pasukan pemerintah menyebar hanya beberapa mil dari kampung halamannya, Binnish. Dia menyalahkan kelompok pemberontak dan kesalahan mereka karena pada awalnya menyambut para jihadis, yang kemudian justru menyerang mereka.

“Kalau Binnish dan Saraqeb jatuh, selamat tinggal Idlib,” katanya. “Tapi kami pantas mendapatkannya.”

Beberapa orang menggambarkan bahwa desa-desa menjadi kosong, dan tampaknya hanya kucing dan terroris yang tersisa.

“Inilah hasilnya, sebuah kota kosong,” kata Shami, mengacu pada Saraqeb. “Jumlah martir hanyalah berita yang tidak disadari, tapi bagi orang-orang di desa ini, ini adalah akhir.”

Sejarah Idlib dalam banyak hal adalah sejarah perang. Provinsi ini merupakan salah satu pusat demonstrasi awal dalam melawan berpuluh-puluh tahun pemerintahan keluarga Assad, dan salah satu tempat pertama di mana, setelah pemerintah menindak protes tersebut, orang mulai mengangkat senjata.

Beberapa kelompok pemberontak di sana memenangkan dukungan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. Tapi para jihadis asing berkerumun, membuktikan bahwa mereka didanai dengan lebih baik dan lebih terorganisasi, dan mereka merekrut masyarakat Suriah. Idlib menjadi salah satu pijakan pertama ISIS. Para pejuang lokal menyingkirkan kelompok tersebut namun kemudian dikuasai oleh sebuah faksi yang terkait dengan Al Qaeda.

Para jihadis tersebut mendukung argumen pemerintah, bahwa mereka memerangi terorisme. Dukungan negara Barat terhadap pemberontak semakin melemah.

Idlib juga memiliki perbedaan lain: Ketika pasukan pemerintah merebut kota-kota pemberontak, mereka sering menawarkan para pemberontak dan warga sipil pilihan untuk menyerah, dan dipindahkan ke Idlib. Provinsi ini sekarang menampung dua juta orang, setengah dari mereka mengungsi dari tempat lain di negara ini.

Yang lainnya, seperti pemilik tanah di Saraqeb bernama Maysara, telah datang dan pergi. Dia pindah ke Turki untuk sementara waktu, lalu kembali dan berinvestasi di pabrik pembotolan air. Idlib dibom oleh pasukan pemerintah pada pekan lalu.

Namun, Maysara—yang meminta agar nama belakangnya disembunyikan karena takut adanya balas dendam—mengatakan bahwa dia akan mengambil alih peluangnya dengan pemerintah, daripada melarikan diri lagi.

“Saya akan tetap di sini,” katanya. “Kami hanya berdoa.”

Kubu pemberontak lainnya yang berada di bawah serangan adalah kelompok kelas pekerja di pinggiran Damaskus, yang dikenal sebagai Ghouta Timur—campuran rumah dan apartemen beton yang tidak terencana, yang telah terputus bertahun-tahun oleh pengepungan pemerintah.

Pertarungan di sana memiliki dinamika yang berbeda, penyerangan dengan garis depan yang sebagian besar statis. Pemerintah telah mengurangi akses terhadap makanan dan obat-obatan untuk populasi yang diperkirakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa sebanyak 400 ribu jiwa, setengah dari mereka adalah anak-anak. “Sebuah kamp konsentrasi,” kata pembelot Suriah sayap kiri Yassin al-Haj Saleh, menyebut situasi di sana.

Tapi pasukan pemerintah tidak dapat maju ke sana akhir-akhir ini, jadi mereka meningkatkan pengepungan dan pengeboman tersebut.

Pada Selasa (6/2) dan Rabu (7/2), salah satu serangan terburuk menimpa wilayah tersebut, menewaskan lebih dari 100 orang. Warga mengunggah foto seorang gadis yang telah terbunuh, menyeringai di depan dinding yang penuh dengan bunga ‘morning glory’; bayi yang menangis dengan kaki kanannya terkena ledakan; dan lebih buruk lagi, seorang reporter Agence France-Presse menggambarkan lima anak laki-laki—termasuk adik laki-lakinya—terbunuh oleh bomb ketika mereka sedang mengambil air.

Pemberontak di Ghouta Timur juga telah membunuh, dalam skala yang lebih kecil. Mereka telah menembaki wilayah Kota Tua Damaskus setidaknya tiga kali tahun ini, menewaskan 13 orang, termasuk beberapa anak, menurut media pemerintah Suriah.

Sejak tahun 2018 dimulai, Ghouta Timur telah menjadi target dalam setidaknya tiga serangan yang dicurigai dengan menggunakan bomb yang mengandung klorin, yang jarang membunuh, tapi membuat orang tercekik. Penggunaan klorin sebagai senjata dilarang menurut hukum internasional.

Ghouta juga merupakan lokasi serangan tahun 2013 di mana sarin—yang merupakan agen saraf terlarang—membunuh 1.400 orang, termasuk lebih dari 400 anak-anak. Serangan sarin menyebabkan dibentuknya kesepakatan Rusia-Amerika, untuk menghapus persenjataan kimia Suriah. Organisasi untuk Larangan Senjata Kimia—yang memantau kepatuhan terhadap perjanjian yang melarang penggunaan senjata kimia—mengatakan bahwa pihaknya menyelidiki serangan klorin yang baru-baru ini dicurigai terjadi.

Menurut UNICEF, 12 persen anak-anak di bawah usia 5 tahun menderita malnutrisi akut di Ghouta Timur. Sebuah gencatan senjata singkat pada bulan lalu memungkinkan 29 orang untuk pergi untuk mendapatkan perawatan medis, namun para pejabat Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan setidaknya 600 orang lainnya memerlukan evakuasi segera. Salah satu dari mereka, Amameh Yassin Darwish (18 bulan) dan menderita kanker, meninggal pada pekan lalu karena kurangnya perawatan, kata dokter.

Bahkan jika pemerintah merebut kembali Idlib dan Ghouta Timur, itu tidak akan mengakhiri perang.

Ketegangan internasional mengancam eskalasi baru yang tidak dapat diprediksi seperti serangan baru-baru ini di perbatasan utara Turki. Turki bertujuan untuk merebut wilayah Afrin dari Kurdi, dan kemudian mengarah ke timur ke Manbij, di mana Turki akan bertemu dengan pasukan Amerika, yang telah bersumpah untuk mempertahankannya. Pertemuan semacam itu bisa menghasilkan konflik bersenjata yang belum pernah terjadi sebelumnya di antara dua sekutu NATO tersebut.

Rusia juga telah meningkat. Risiko ini digarisbawahi pada Kamis (8/2), ketika koalisi pendukung Amerika mengatakan telah menolak “serangan yang tidak beralasan” di Suriah timur pada Rabu (7/2) malam, oleh pasukan milisi yang mendukung pemerintah Assad, dan telah menanggapi dengan serangan udara yang mematikan.

Terdapat jumlah korban yang berbeda-beda, yang berkisar antara tujuh sampai setidaknya 100 korban, yang semuanya diyakini sebagai anggota milisi Syiah pro-Assad Suriah yang berbasis di Provinsi Deir al-Zour, Suriah bagian tenggara. Namun, baik Rusia dan Suriah mengatakan bahwa pihak yang didukung oleh Amerika adalah para penyerang.

Sebuah wilayah pemberontak masih bertahan di selatan, didukung oleh Amerika Serikat dan Yordania; wilayah ini juga merupakan titik pemicu ketegangan antara Israel dan Iran, saat Hizbullah menggali di dekat Dataran Tinggi Golan yang dikuasai Israel.

Banyaknya konflik dan pihak-pihak yang bertikai telah membuat perang menjadi penuh perlawanan terhadap perdamaian internasional. Perundingan damai yang didukung oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa terhenti, dan sebuah “dialog nasional” di Rusia pada pekan lalu dihambat oleh para pendukung pemerintah Assad, dan tampaknya bertujuan untuk meratifikasi sebuah kemenangan militer.

Setelah tujuh tahun pertempuran, diperkirakan 400 ribu orang tewas, dan 11 juta masyarakat Suriah mengungsi dari rumah mereka—yang mencakup lebih dari setengah populasi—banyak pejabat dan analis internasional tampaknya beralih ke pertanyaan, bagaimana membangun kembali Suriah setelah apa yang mereka lihat sebagai kembalinya kepemimpinan Assad yang tak terelakkan.

Beberapa negara Eropa dan Asia sudah merebut kontrak untuk melakukan rekonstruksi bernilai miliaran dolar, dan Rusia dan Iran telah memenangkan konsesi infrastruktur.

Bahkan jika posisi Assad terbukti aman, pertanyaannya adalah, berapa lama lagi dan seberapa mematikan perang ini akan terjadi.

Nada Homsi berkontribusi melaporkan dari Beirut.


Sumber : Memang Sulit Dipercaya, tapi Perang Suriah Semakin Memburuk