Diskriminasi lembaga internasional dan hukum internasional; degradasi kepemimpinan moral Barat; pemberdayaan rezim otoriter dan sayap kanan; anarkis, perang multi-dimensi; dan kesengsaraan tak berujung yang dialami oleh jutaan warga sipil yang tidak bersalah—semua adalah alasan kuat untuk percaya bahwa Suriah adalah kegagalan zaman ini, dan bahwa negara Barat telah mengecewakan Suriah.

Oleh: Simon Tisdall (The Guardian)

Pagi itu cerah pada Sabtu 31 Agustus 2013—yang merupakan Hari Buruh pada akhir pekan di Amerika Serikat (AS)—ketika Barack Obama berjalan ke Taman Mawar di Gedung Putih. Hal terakhir yang dipikirkan kebanyakan masyarakat Amerika adalah perang di negara Timur Tengah yang jauh.

Tapi Obama menghadapi dilema. Keputusan yang akan diumumkannya akan menjadi momen yang menentukan bagi kepresidenannya. Ini juga menandai titik kritis untuk keseimbangan kekuatan strategis internasional. Ini adalah saat yang akan mengubah perang sipil di Suriah menjadi kegagalan zaman ini.

Satu tahun sebelum terjadinya kegagalan zaman ini, Obama telah bersumpah bahwa setiap penggunaan senjata kimia oleh Bashar al-Assad—presiden yang diperangi di Suriah—akan melewati “garis merah”, yang menjamin intervensi militer langsung. Sepuluh hari sebelum kegagalan zaman ini, Assad telah melancarkan serangan seperti itu, di Ghouta timur, dekat Damaskus. Gas syaraf sarin yang dijatuhkan dari udara menewaskan lebih dari 1.000 orang, ratusan di antaranya anak-anak.

Wartawan yang menunggu sangat mengharapkan sebuah deklarasi mengenai tindakan AS yang akan segera terjadi. Tapi Obama mundur. Dia mengumumkan bahwa AS tidak akan menyerang rezim Assad—belum. Sebagai ganti dari kegagalan zaman ini, dia pertama-tama akan mencari pemberian wewenang dari Kongres.

Keputusan Obama untuk mengatasi kegagalan zaman ini bahkan mengejutkan para penasihat dekatnya. Tampaknya keputusan tersebut telah dipengaruhi oleh sebuah pemungutan suara yang tak terduga di Dewan Rakyat Inggris dua hari sebelumnya, pada tanggal 29 Agustus, ketika rencana David Cameron untuk memerintahkan pasukan Inggris untuk bergabung dalam aksi militer sekutu di Suriah, ditolak dengan selisih suara yang kecil.

Bagi presiden yang menghindari risiko berjanji untuk mengakhiri perang luar negeri Amerika, keengganan sekutu utamanya untuk mengulangi kesalahan Irak pada tahun 2003 dan terjun ke konflik Timur Tengah terbuka lainnya, adalah sebuah peringatan. Secara hukum, Obama tidak membutuhkan persetujuan Kongres. Tapi pemungutan suara Inggris memberinya alasan yang masuk akal.

Dalam perdebatan berikutnya untuk mengatasi kegagalan zaman ini, menjadi jelas bahwa sebagian besar publik Amerika menentang keterlibatan dalam perang Timur Tengah lainnya. Namun sebelum kegagalan zaman ini menyebar luas, terdapat kejutan lain. Rusia—sekutu Assad—menawarkan untuk menghapus tumpukan senjata kimia rezim tersebut, untuk mencegah serangan semacam itu terjadi lagi. Dengan sepenuh hati, Obama setuju. Akibatnya, dia menarik diri dari perang, ke Moskow.

Itu adalah saat yang penuh dengan tanda-tanda yang mengerikan. Ketidakpedulian Obama terhadap “garis merahnya” sendiri ditafsirkan di Moskow, Teheran, Damaskus, dan ibu kota Arab lainnya, sebagai bentuk penegasan terhadap sebuah perubahan mendasar—bukti bahwa Amerika yang tertindas pasca-Irak terus mundur dari peran polisi globalnya. Keragu-raguan Obama memberi Vladimir Putin—pemimpin Rusia—sebuah awalan. Ini sesuai dengan agenda utamanya: untuk membangun kembali pengaruh Moskow di Timur Tengah, dan membuat Rusia hebat lagi dengan memulihkan jangkauan global era-Soviet.

Masih jauh dari kata jelas, apa dampak intervensi militer pimpinan AS pada tahun 2013. Hal ini bisa memperburuk keadaan warga sipil Suriah, tanpa menjatuhkan rezim atau membatasi perang. Hal itu bisa meningkat secara tak terkendali—meskipun sulit untuk melihat bagaimana keadaan bisa menjadi lebih buruk daripada keadaan sekarang.

Tetapi dengan memutuskan untuk melepaskan tanggung jawab dari kegagalan zaman ini, Obama mengirim pesan lain yang merusak: bahwa AS—yang merupakan satu-satunya negara adikuasa—dan sekutu utama seperti Inggris, tidak siap untuk memperjuangkan Suriah yang bebas dan demokratis, tidak lebih dari demokrasi yang mereka perjuangkan untuk mendukung revolusi kebangkitan Arab lainnya. Mereka mencobanya di Libya pada tahun 2011 dan dengan cepat tersendat.

Dengan hanya melintas secara pasif di Suriah, membatasi diri mereka pada operasi kontra-terorisme dan seruan untuk mewujudkan perdamaian, serta gagal menghukum kejahatan perang, negara-negara demokrasi Barat secara efektif merusak piagam PBB, badan-badan kemanusiaan, dan hukum internasional.

Pada saat yang sama, kurangnya keberanian, perpecahan, dan pengabaian Barat, mendorong terciptanya pemimpin otoriter dari Moskow dan Beijing hingga Ankara dan Riyadh, dan bisa dibilang mendorong pertumbuhan kelompok-kelompok *******.

Ketika AS dan Inggris pada akhirnya melakukan intervensi langsung di Irak dan Suriah, sebagai bagian dari koalisi multinasional pada tahun 2015, hal itu dilakukan untuk melawan ancaman langsung terhadap diri mereka sendiri yang diajukan oleh ISIS, bukan untuk menegakkan nilai-nilai universal yang mereka dukung.

Singkatnya, keputusan yang dibuat pada tahun 2013 memicu bencana strategis yang dampaknya masih dirasakan hingga hari ini yang dimana disebut sebagai “kegagalan zaman ini.” Itulah alasan utama mengapa konflik Suriah—yang dimulai sebagai gangguan kecil yang melibatkan anak-anak nakal di kota Deraa—telah menjadi perang yang menentukan kegagalan zaman ini.

Selalu menjadi kesalahan, untuk mempercayai bahwa konflik Suriah terletak jauh, dan dapat dijaga jaraknya. Kini, karena kerumitannya, ‘umur panjangnya’, dan karakter transnasionalnya, konflik ini menyerang negara lain. Suriah telah mengubah dunia kita secara permanen.

Anggapan bahwa perang ini telah mereda setelah tujuh tahun kekacauan, dipercaya pada tahun 2017. Namun bukti di lapangan menunjukkan hal yang sebaliknya. Menurut pernyataan AS yang putus asa pada minggu lalu, skala penderitaan di seluruh negeri telah mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, di mana akses terhadap bantuan diblokir di tiga pusat penduduk, dan lebih dari 13 juta orang mengungsi dan sangat berkekurangan. Lebih dari 500 ribu orang telah meninggal sejak tahun 2011. Namun pembunuhan tersebut terus berlanjut tanpa henti.

PBB menuntut segera dilakukannya sebuah gencatan senjata, dan menekankan bahwa tidak satu permintaan pun untuk mendapatkan akses ke daerah-daerah yang terkena dampak paling parah, telah diberikan hingga tahun ini. Rusia telah menolak seruan itu. AS mendukungnya.

Penyerangan warga sipil—terutama dari udara—telah menjadi lebih kejam dan lebih rutin dalam beberapa bulan terakhir, seiring rezim Assad mencoba untuk membangun kemajuan selama setahun terakhir. Di Ghouta timur—lokasi serangan sarin tahun 2013—setidaknya 200 warga sipil tewas dalam serangan udara Suriah dan Rusia selama beberapa hari pada pekan lalu.

Lebih banyak korban sipil berasal dari operasi pemerintah yang terus berlanjut di provinsi Idlib, di mana 300 ribu orang telah mengungsi sejak pertengahan Desember saja. Pertarungan yang baru juga menyebar ke Afrin, di sebelah barat laut Suriah, menyusul sebuah serangan oleh pasukan Turki yang didukung oleh pemberontak Tentara Pembebasan Suriah. Sementara itu, terlepas dari kesepakatan Obama dengan Putin pada tahun 2013, laporan penggunaan senjata kimia terus berlanjut dan menjadi semakin sering.

Sejak serangan kimia yang tercatat pada bulan April yang lalu terhadap Khan Sheikhun di provinsi Idlib—ketika lebih dari 80 orang terbunuh—terdapat beberapa insiden di mana gas klorin dilaporkan digunakan untuk melawan warga sipil. Ghouta Timur dikatakan telah mengalami setidaknya tiga serangan kimia skala kecil baru-baru ini, kata laporan yang didukung AS.

Ketidakberdayaan PBB yang semakin meningkat dalam menghadapi bencana kemanusiaan di Suriah, telah diimbangi oleh kegagalannya dalam upaya perdamaian. Usaha berulang untuk menghentikan perang dan menjadi penengah dalam kesepakatan telah gagal sejak tahun 2011. Perundingan yang diselenggarakan oleh PBB di Jenewa runtuh lagi pada bulan Desember, sebagian karena proses perdamaian lainnya juga dilakukan di bawah naungan kepentingan Rusia, Turki, dan Iran. Inisiatif itu juga gagal pada bulan lalu, ketika kelompok oposisi memboikot sebuah pertemuan puncak di Sochi.

Sejumlah rencana untuk membatasi jumlah korban manusia telah gagal, tenggelam tanpa jejak. Rencana itu termasuk pembuatan tempat perlindungan, zona yang tidak boleh dilintasi penerbangan, dan koridor kemanusiaan. Skema terbaru yang didukung Rusia, yang disebut “zona de-eskalasi”, bernasib sedikit lebih baik. Ghouta Timur seharusnya menjadi salah satu zona tersebut. Sejak penetapannya, kekerasan telah meningkat.

Kegagalan untuk mengakhiri perang telah membuat kerusakan besar bagi institusi internasional yang telah membentuk urusan global sejak tahun 1945. Hal ini telah mengubah keseimbangan kekuatan strategis secara mendasar, dan mengubah dunia yang kita tinggali secara permanen.

Dewan keamanan PBB—yang secara teori merupakan wali utama dan penengah negara-negara anggota—telah didiskreditkan dengan buruk. Hal ini sebagian karena veto Rusia terhdap resolusi Suriah.

Ketidakefektifan Dewan Keamanan juga merupakan akibat dari ketidakefisienan struktur. Anggota tetap “lima besar”—AS, China, Rusia, Prancis, dan Inggris—memiliki pengaruh besar. Seringnya, kepentingan pribadi melebihi pertimbangan kebaikan yang lebih besar.

Ketika Donald Trump memerintahkan penyerangan rudal jelajah di fasilitas militer Suriah pada bulan April lalu setelah kekejaman Khan Sheikhun, dia melakukannya tanpa meminta persetujuan PBB. Mengabaikan atau melanggar forum internasional tertinggi di dunia telah menjadi norma dari negara besar, seperti yang pernah terjadi pada Anglo-Amerika di Irak pada tahun 2003.

Kegagalan sistem PBB dan—secara terpisah—Pengadilan Pidana Internasional untuk menegakkan perjanjian yang mengikat seperti Konvensi Senjata Kimia tahun 1993, atau menuntut kejahatan perang yang dituduhkan dan kejahatan terhadap kemanusiaan, juga telah menyebabkan bahaya yang abadi.

Carla Del Ponte, jaksa penuntut kejahatan perang yang berpengalaman, mengundurkan diri karena frustrasi pada Agustus lalu, dari sebuah komisi penyelidikan PBB. Penghalangan oleh Rusia menggagalkan pencarian keadilan, katanya. “Itu semua tentang kelambanan Dewan Keamanan… jika Anda melihat semua laporan yang telah kami terbitkan, kami tidak memperoleh apapun… Ini sangat tidak dapat dipercaya.”

Di luar banyaknya pengorbanan nyawa, intervensi militer Rusia di Suriah pada tahun 2015 atas permintaan Assad telah menjadi keberhasilan strategis bagi Putin dan sebuah kekalahan bagi negara Barat. Intervensi adalah konsekuensi logis dari kebijakan Obama dua tahun sebelumnya, dan sejak itu telah mengubah perang demi kebaikan rezim tersebut.
Baca juga: Perang Suriah Masih Jauh dari Kata Usai

Hal ini telah meyakinkan kehadiran militer Rusia jangka panjang di basis Mediterania Suriah. Ini telah membangun kembali Moskow sebagai pemain Timur Tengah yang berpengaruh. Dan hal ini memiliki dampak negatif bagi hubungan Barat dengan pemain kunci seperti Turki, Iran, dan Mesir.

Persepsi bahwa Assad menang, telah menyebabkan beberapa pemerintah berubah posisi, menjadi tidak lagi mendukung seruan Barat untuk menggulingkan Assad. Salah satu oportunis itu adalah presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, yang merupakan sekutu Barat. Erdoğan sebelumnya menuntut hukuman terhadap Assad. Erdogan terpaksa menerima sejumlah besar pengungsi. Tapi kebijakannya sekarang didikte oleh kepentingan nasional. Jika perang telah membuktikan sesuatu, itu adalah bahwa di antara negara tetangga Suriah, kepedulian terhadap kehidupan, integritas teritorial, identitas nasional, atau pemerintahan Suriah yang demokratis, tidak terlalu besar.

Jadi, fokus utama Erdoğan adalah menahan—dan jika mungkin menghancurkan—pemerintahan Kurdi di Suriah dan Irak—dan mengabaikan Assad serta fakta bahwa orang Kurdi adalah sekutu lokal Barat yang paling efektif dalam melawan ISIS. Dengan menyerang Kurdi Suriah di Afrin pada bulan lalu, Erdogan langsung menantang AS dan NATO, yang merupakan pilar utama keamanan Barat. Namun ini tidak mengejutkan. Keragu-raguan Amerika atas Suriah telah mengundang tindakan pemberontakan semacam itu. Dan bagi NATO, krisis Suriah, seperti di Ukraina pada tahun 2014, telah membuatnya tidak relevan. Bentrokan langsung antara pasukan Turki dan pasukan AS di Manbij, sebelah timur Afrin, sekarang memiliki kemungkinan yang berbeda.

Perang telah memperbaiki nasib dua musuh regional besar, Iran dan Israel. Teheran, seperti Moskow, telah memperluas jangkauan dan pengaruhnya, menghubungkan kekuatannya di Suriah dengan Hizbullah di Lebanon, dan sekutu-sekutunya di wilayah Palestina. Iran juga telah berani menghadapi Arab Saudi di Yaman.

Pemerintah sayap kanan Israel telah dengan cerdik memanfaatkan kekhawatiran akan ancaman Iran, maju melalui Suriah, untuk memaksimalkan dukungan dari Trump, mengesampingkan kemerdekaan Palestina, menjamin aliansi Arab tidak resmi, dan mempromosikan pandangannya bahwa kesepakatan nuklir 2015 dengan Iran adalah salah dan berbahaya. Pada saat yang sama, kekosongan Suriah telah menarik militer Israel dan Iran saling berdekatan, seperti yang ditunjukkan oleh bentrokan udara di mana sebuah pesawat F-16 Israel ditembak jatuh. Insiden tersebut secara dramatis menggambarkan bagaimana negara-negara asing semakin menggunakan wilayah Suriah sebagai medan perang proxy.

Kegagalan Suriah telah membuktikan sebuah bencana keamanan, politik, dan diplomatik bagi Uni Eropa. Meskipun memiliki kehadiran sebagai pemain global, namun Uni Eropa sebagian besar terlihat tidak berdaya.

Sudah terpecah karena aksi militer, negara-negara Uni Eropa terkoyak oleh ketidaksepakatan mengenai bagaimana mengelola pengungsi Suriah yang besar pada tahun 2014-2016. Isu ini tetap belum terselesaikan, bahkan saat migran darurat meningkat. Jerman, Brexit Inggris, dan negara-negara Eropa lainnya, sedang berjuang untuk menavigasi situasi politik yang berubah, yang diguncang oleh sentimen anti-imigran yang meningkat.

Bukan semua kesalahan politisi. Tekanan publik pada pemerintah Barat untuk berbuat lebih banyak untuk membantu, jika ada, ditolak karena perang telah berlangsung tanpa henti. Opini Barat yang penuh simpati telah sirna, karena perasaan putus asa yang meresap. Para aktivis dan kelompok protes seperti Coalition Stop the War cenderung lebih fokus pada target Amerika yang lebih mudah, seperti Trump.

Dan jika Eropa berharap adanya kepemimpinan dari pemerintahan AS yang baru, Eropa pasti kecewa. Selain serangan udara satu tahun yang lalu, Trump tidak menunjukkan minat untuk “menyelesaikan” masalah Suriah.

Butuh waktu setahun bagi Rex Tillerson—Menteri Luar Negeri—untuk menghasilkan dokumen kebijakan yang samar-samar dan koheren. Dan walau aktif dalam perang udara, namun AS selalu menghindari pertarungan pasukan darat—meskipun sebuah bentrokan mematikan pada pekan lalu dengan milisi pro-rezim di bagian timur negara tersebut, menunjukkan bahwa AS perlahan-lahan terlibat.

Bagi Trump, satu-satunya perang yang penting adalah melawan terorisme Islam, sebuah perang yang dia klaim akan ia menangkan. Sayangnya, klaimnya adalah berita palsu. Teror Islam yang berpusat di Suriah tentu berkembang setelah penaklukan ulang oleh koalisi Barat di Raqqa dan Mosul, namun ISIS belum selesai. Memanfaatkan kekacauan yang mendalam, ISIS dilaporkan membentuk kelompok kembali di provinsi Diyala, Mosul, dan Anbar di Irak, sementara kebangkitan al-Qaida mengumpulkan kekuatan di Suriah barat laut.

Jauh dari kekalahan, para ******* Islam memimpikan jihad gelombang kedua. Dan ini juga merupakan akibat lain dari ketidakmampuan bersama masyarakat internasional untuk menghentikan bencana di Suriah. Diskriminasi lembaga internasional dan hukum internasional; degradasi kepemimpinan moral Barat; pemberdayaan rezim otoriter dan sayap kanan; anarkis, perang multi-dimensi; dan kesengsaraan tak berujung yang dialami oleh jutaan warga sipil yang tidak bersalah—semua adalah alasan kuat untuk percaya bahwa Suriah adalah kegagalan zaman ini. Namun, yang lebih menakutkan lagi adalah, pemikiran bahwa Suriah hancur di bawah kekuasaan yang didominasi asing bahkan di saat kita menyaksikannya.

Saat peperangan tidak terkendali, satu kesimpulan yang mengejutkan tidak dapat dihindari: karena negara-negara demokrasi Barat tidak dapat menemukan kemauan atau keberanian untuk memperjuangkan nilai-nilai Barat, demokrasi, dan kebangkitan Suriah, mereka justru telah mendorong keadaan teror permanen tepat di depan pintu Eropa.


Sumber : Kegagalan Zaman Ini: Bagaimana Negara Barat Kecewakan Suriah