Siapapun yang “menodai martabat” parlemen bisa menghadapi tindakan hukum. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia diserang karena mengeluarkan UU MD3 yang memberi mereka kekuatan untuk mengajukan tuntutan terhadap para pengkritik mereka. Petisi yang melawan revisi tersebut telah mengumpulkan ratusan ribu tanda tangan sejak disahkan pada tanggal 12 Februari, dan uji materi ke Mahkamah Konstitusi di Indonesia sudah dipersiapkan.

Oleh: Michael Walsh dan Nurina Savitri (ABC Radio Australia)

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia diserang karena telah mengeluarkan UU MD3 yang memberi wewenang untuk menghalangi penyelidikan korupsi, dan bahkan mengajukan tuntutan terhadap pengkritik mereka.

Revisi undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat tersebut—yang disebut Undang-undang MPR, DPR, DPRD, DPD (MD3) atau UU MD3—juga memungkinkan para anggotanya untuk memaksa polisi untuk membawa para pengkritik ke DPR untuk diinterogasi oleh para politisi.

Petisi yang melawan revisi UU MD3 tersebut telah mengumpulkan ratusan ribu tanda tangan sejak disahkan pada tanggal 12 Februari, dan uji materi ke Mahkamah Konstitusi di Indonesia sudah dipersiapkan.

UU MD3 mulai berlaku pada tanggal 13 Maret, kecuali jika Presiden Joko Widodo—di mana partainya memimpin revisi tersebut—meratifikasinya lebih cepat.

Para pengamat mengatakan bahwa UU MD3 tersebut sebagian besar tidak diketahui karena disahkan bersamaan dengan undang-undang LGBT yang kontroversial.

Dini Purwono, anggota divisi hukum Partai Solidaritas Indonesia, mengatakan kepada ABC bahwa pihaknya telah mengajukan uji materi yang menentang sifat UU MD3 yang “ambigu.”

“Undang-undang ini membahayakan keadilan dan demokrasi, dan bahkan bertentangan dengan konstitusi kita,” kata Dini Purwono.

“Saya merasa kita seperti mundur, ini pada dasarnya adalah otoritarianisme.”

Profesor Tim Lindsey, Direktur Pusat Hukum, Islam, dan Masyarakat Indonesia di Universitas Melbourne, mengatakan bahwa revisi tersebut merupakan “penambahan kekuatan yang sangat dramatis”.

“Ini bertujuan untuk menciptakan sebuah DPR yang mampu melawan kritik, dan menahan kritik, dan yang melindungi anggotanya dari tuntutan,” katanya.

Perubahan UU MD3 ini terjadi saat anggota DPR terus melakukan perang dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia, yang telah melakukan banyak penyelidikan profil tinggi terhadap para politisi.


“Banyak pengkritik DPR di Indonesia yang berbicara tentang berkurangnya demokrasi di Indonesia,” kata Profesor Lindsey.

“Mungkin terlalu cepat untuk mengatakan apakah memang itu yang terjadi, tapi elemen ini bukan pertanda yang baik.”
Para Pengkritik dapat Diperiksa oleh DPR

Pasal yang ditulis secara samar-samar dalam undang-undang yang direvisi tersebut, memungkinkan anggota DPR untuk mengajukan tuntutan kepada siapa pun yang “merusak martabat” Parlemen atau anggotanya.

“Itu memiliki cakupan yang sangat luas,” kata Profesor Lindsey.

“Tampaknya DPR telah memberikan kekuatan yang mungkin cukup luas untuk memungkinkannya melakukan proses pidana melawan para pengkritik, termasuk media atau masyarakat sipil.”

Profesor Lindsey mengatakan bahwa terdapat pasal lain yang mewajibkan polisi untuk membawa orang-orang yang dituntut ke DPR untuk diinterogasi, yang dapat digunakan untuk menyerang para pengkritik atau para penyidik korupsi.

“Rasanya seakan Parlemen Australia menahan orang-orang dan menyeret mereka ke hadapan Senat,” kata Profesor Lindsey.

“DPR memiliki catatan korupsi dan kesalahan yang mengerikan dalam skala besar… jadi jika Anda mencoba mengkritiknya, apakah itu berarti Anda akan menghadapi tantangan hukum dari Mahkamah Kehormatan Dewan?”

Sebuah pasal ketiga yang membahas tentang pemeriksaan, mengharuskan polisi dan penyidik korupsi untuk “mempertimbangkan pandangan” Mahkamah Kehormatan Dewan sebelum menyelidiki seorang anggota DPR.

Mahkamah Konstitusi mencantumkan sebuah pasal serupa dalam undang-undang yang sama di tahun 2014—kalimat aslinya memungkinkan DPR untuk sepenuhnya mencegah penyelidikan.

“Ini lebih longgar dari ketentuan sebelumnya, tapi jelas-jelas berusaha semakin mempersulit dan memperhambat bagi siapa pun untuk memeriksa anggota DPR atas kejahatan, terutama misalnya korupsi,” kata Profesor Lindsey.
Tangan Jokowi ‘Diikat’

Joko Widodo—yang dikenal sebagai Jokowi—belum menandatangani revisi undang-undang tersebut—yang menandakan seberapa besar pertentangan publik terhadap undang-undang tersebut.

“Saya mengerti keresahan masyarakat dalam hal ini, kita semua menginginkan kualitas demokrasi kita meningkat, bukan berkurang,” tulis Jokowi di Twitter pada minggu lalu.

Partai Jokowi, PDIP, adalah salah satu kekuatan utama di balik revisi UU MD3 tersebut, yang didukung oleh delapan partai politik.

Namun Profesor Ian Wilson, seorang peneliti politik Indonesia di Universitas Murdoch, mengatakan bahwa tidak banyak yang bisa dilakukan oleh Jokowi, karena undang-undang tersebut akan mulai berlaku setelah 30 hari, bahkan jika dia tidak meratifikasinya.

“Terdapat banyak pertentangan. Terdapat petisi online. Terdapat pula berbagai organisasi sipil, kelompok advokasi, yang sekarang sebagian besar melobi Presiden agar undang-undang tersebut tidak diratifikasi,” kata Profesor Wilson.

“Pada dasarnya dia memiliki kemampuan untuk tidak meratifikasi undang-undang, tapi itu tidak berarti bahwa undang-undang tersebut tidak akan diloloskan.”

Politik seputar isu ini dipersulit oleh serangkaian pemilihan daerah yang akan diadakan tahun ini, serta pemilihan presiden yang akan dilaksanakan pada bulan April 2019.

“Presiden mungkin akan terlihat berusaha untuk membuat jalan tengah, tidak mengucilkan basis pendukung partainya di DPR, namun pada saat yang sama, terdapat posisi populis yang dapat dia ambil,” kata Profesor Wilson.

“Banyak orang melihat ini sebagai usaha DPR untuk melindungi dirinya sendiri. DPR adalah lembaga yang sangat tidak dipercaya dan umumnya tidak disukai di Indonesia—jajak pendapat terus menunjukkan bahwa masyarakat memiliki sedikit keyakinan atau kepercayaan terhadap DPR.”


Sumber : Loloskan Revisi UU MD3, DPR Serius Targetkan KPK?