Walau hubungan Israel dengan Eropa Timur sedang meningkat, namun belum berarti meningkatnya pula hubungan di tingkat Uni Eropa. Israel melihat Uni Eropa sebagai pasar yang dekat dan besar untuk produknya, sedangkan Uni Eropa melihat Israel sebagai arena untuk menjadi kekuatan dunia diplomatik yang lebih relevan. Israel—sebuah negara kecil dengan hanya delapan juta warga—secara historis memiliki pengaruh terbatas pada Uni Eropa secara ekonomi—yang merupakan blok perdagangan dengan lebih dari 500 juta warga dan mewakili 28 negara. Dengan demikian, Uni Eropa hampir selalu sangat kritis terhadap Israel.

Oleh: Yair Rudick (The Jerusalem Post)

Desember lalu, Israel menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) dengan Yunani, Italia, dan Siprus atas pembentukan “segitiga energi”—sebuah pipa gas bawah laut bersama sepanjang 2.100 km, untuk mengirimkan gas alam Israel ke jantung Eropa.

Bagi Italia, Yunani, dan Siprus—tiga negara yang mengalami kelesuan ekonomi yang substansial—penemuan gas alam Israel dan kemitraan berikutnya dengan Israel menjanjikan untuk memperingan situasi ekonomi mereka.

Negara-negara ini tidak sendirian dalam berusaha membina hubungan dengan negara Yahudi tersebut, yang semakin dilihat sebagai “negara kaya baru di wilayah ini.” Negara-negara Eropa seperti Bulgaria, Latvia, Lithuania, Estonia, dan Kroasia telah mengincar inovasi Israel untuk menyamakan peringkat dengan rekan mereka di Eropa yang lebih kaya. Walau jelas merupakan keuntungan ekonomi bagi Israel, namun nota kesepahaman dan kedekatan baru Israel dengan banyak negara Eropa Timur memiliki potensi untuk mengganggu status quo saat ini, dalam dinamika kebijakan luar negeri Uni Eropa-Israel.

Walau hubungan Israel dengan Eropa Timur sedang meningkat, namun belum berarti meningkatnya pula hubungan di tingkat Uni Eropa. Baru minggu lalu, Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan Federica Mogherini, menyerukan penyelidikan independen terhadap aksi Pasukan Pertahanan Israel (IDF) dalam unjuk rasa di Gaza.

Baru dua tahun yang lalu hubungan antara Uni Eropa dan Israel memburuk secara signifikan atas pelabelan barang-barang yang dibuat di Tepi Barat dan Dataran Tinggi Golan. Sejak awal, posisi kebijakan luar negeri Uni Eropa di Israel sangat penting, dan kebijakan pemerintah sayap kanan Israel—yang berkuasa selama sembilan tahun terakhir—tidak melakukan apa pun untuk memperbaiki situasi.

Ini seharusnya berubah. Mulai tahun 1990-an, Uni Eropa telah mengadakan “kebijakan luar negeri umum,” yang dalam teori, mewakili posisi kebijakan luar negeri kumulatif dari negara-negara anggotanya. Pembentukan “segitiga energi” dan status ekonomi baru Israel telah mengganggu dua hal penting—politik dan ekonomi—dalam kebijakan luar negeri Uni Eropa-Israel.

Israel melihat Uni Eropa sebagai pasar yang dekat dan besar untuk produknya, sedangkan Uni Eropa melihat Israel sebagai arena untuk menjadi kekuatan dunia diplomatik yang lebih relevan. Israel—sebuah negara kecil dengan hanya delapan juta warga—secara historis memiliki pengaruh terbatas pada Uni Eropa secara ekonomi—yang merupakan blok perdagangan dengan lebih dari 500 juta warga dan mewakili 28 negara. Dengan demikian, Uni Eropa hampir selalu sangat kritis terhadap Israel. Namun, tahun-tahun belakangan ini telah menyaksikan Israel menjadi bukan hanya sebagai raksasa ekonomi—yang didorong oleh inovasi Israel—tetapi juga merupakan penghasil energi yang tidak terpisahkan dengan jalur energi Eropa.

Relevansi ekonomi baru Israel dan kedekatan ekonomi dengan negara-negara Eropa Timur akan memungkinkannya mempengaruhi kebijakan luar negeri Uni Eropa dari dalam. Kita perlu melihat perselisihan yang sedang berlangsung atas saluran Nord Stream II untuk memahami pengaruh ekonomi dan gas alam terhadap kebijakan luar negeri Eropa.

Nord Stream II adalah sebuah pipa gas yang ingin dibangun Rusia dan negara-negara Eropa Barat melalui Eropa Timur, untuk memompa lebih banyak gas ke Eropa Barat. Negara-negara Eropa Timur—yang melihat hantu-hantu Perang Dingin di masa lalu—telah maju dan dengan tegas menentangnya, memecah Uni Eropa di sepanjang garis Timur-Barat. Sementara itu, Rusia telah melakukan “pendudukan nyata” di Krimea, namun perpecahan internal yang telah terbentuk, telah membuat kebijakan luar negeri Uni Eropa di Rusia tidak relevan.

Jika situasi Rusia bisa menjadi indikasi, Israel harus memanfaatkan tren pergeseran ini dengan menggunakan hubungan ekonomi yang baru diperolehnya dengan negara anggota Eropa Timur masing-masing, untuk mempengaruhi kebijakan luar negeri Uni Eropa. Pada masa kebijakan luar negeri Uni Eropa yang sangat kritis, Israel harus mendorong mitra barunya untuk mendukungnya.

Pada tahun 2016, Yunani berdiri sendiri menentang pelabelan produk Tepi Barat dan Dataran Tinggi Golan dari Uni Eropa. Jika Israel menggunakan pengaruh yang baru diperoleh, terdapat alasan untuk percaya bahwa selanjutnya, lebih dari satu negara anggota akan berdiri untuk membelanya.

Sumber