Selama ini, para pemimpin Amerika Serikat menganggap peningkatan perekonomian sebagai angin lalu, alih-alih sebuah ancaman yang berarti. 40 tahun pasca perbaikan hubungan bilateral, tampaknya Amerika telah memandang China secara realistis dan berurusan dengan ketentuannya sendiri, bukan dengan gambaran masa depan China.

Oleh: Frank Ching (EJInsight)

Saat menjalin kembali hubungan baik antara Amerika Serikat dan China di tahun 1970-an, tujuan China sudah tergambar dengan jelas. China berharap dapat melepaskan diri dari isolasi diplomatik—yang sebagian ditetapkan China sendiri—dalam mengembangkan perekonomian dan meningkatkan status Internasional, bersama dengan tujuan utama reunifikasi nasional China dengan Hong Kong, Macau, dan Taiwan agar kembali “bersatu dengan tanah air.”

Di sisi lain, Amerika Serikat tampaknya tidak memiliki tujuan jangka panjang. Masalah utama Richard Nixon ialah perang Vietnam dan serangkaian protes dalam negeri. Nixon berjanji dalam kampanye menjelang pemilu tahun presiden tahun 1968 untuk mengakhiri perang.

Salah satu alasan yang diajukan kepada China ialah untuk mengupayakan campur tangan dengan Vietnam, meski China kemudian menolak untuk turut terlibat.

Meski demikian, AS memandang China dapat memberi manfaat dalam cara lain, melalui diplomasi triangular, China berhasil membuat Uni Soviet menandatangani perjanjian control senjata meski di bawah keraguan. Tetapi, kebermanfaatan China berakhir dengan perpecahan Soviet. Banyak pihak di AS yang menilai bahwa alasan di balik hubungan AS-China turut lenyap.

Pasca insiden pembunuhan di Lapangan Tiananmen pada tahun 1989, terjadi perdebatan sengit selama bertahun-tahun di AS mengenai kebijakan China. AS mengungkapkan bahwa hubungan kedua negara hanya akan menguntungkan China, bukan AS.

Presiden George Bush senior berkeras melanjutkan hubungan daging secara normal karena perjanjian daging akan mengarah pada “lebih banyak pencarian kebebasan di China.” Hal tersebut merupakan gagasan untuk mengakhiri isolasi China dan menjadikannya sebagai bagian dari sistem Internasional. Terdapat sedikit pembicaraan mengenai pentingnya unsur intrinsik dalam hubungan kedua negara.

Namun China tidak dapat diabaikan. Sebagai negara anggota Dewan Keamanan PBB yang memiliki hak veto, China dapat menggagalkan resolusi Amerika Serikat kapanpun. Kekuatan yang dimiliki China tersebut membantu mengakhiri status rendahnya di mata dunia pasca tragedi Tiananmen.

Pada tahun 1990, Irak menginvasi Kuwait. Amerika Serikat mengajukan lobi atas resolusi dengan mengesahkan upaya penarikan pasukan Irak dari Kuwait “dengan segala cara.” Sebagai ganti tidak mengeluarkan hak veto, Menteri Luar Negeri China, Qian Qichen, diundang ke Washington untuk bertemu dengan Presiden AS, yang kabarnya menghentikan sanksi yang berlaku.

Pada tahun 2005, Wakil Menteri Luar Negeri AS, Robert Zoellick membanggakan kesuksesan kebijakan AS dalam mengintegrasi China ke dalam sistem Internasional dan meyebut China sebagai pemangku kepentingan yang bertanggung jawab.

Zoellick menuturkan bahwa ketika seluruh negara melakukan diplomasi untuk mewujudkan kepentingan nasional masing-masing, pemangku kepentingan menyadari bahwa “sistem Internasional memastikan kesejahteraan mereka dengan damai, sehingga memutuskan untuk mempertahankan sistem tersebut.”

Sayangnya China berkeras menetapkan harga atas kerja sama yang dilakukan.

Karena itu, pada bulan Januari 2010, usai AS mengumumkan persenjataan untuk Taiwan, Kementerian Luar Negeri China merespon bahwa tidaklah terhindarkan bahwa kerjasama antara China dan AS atas isu-isu Internasional dan regional yang penting juga akan turut terpengaruh.

Hal tersebut menegaskan bahwa China hanya fokus kepada kepentingannya sendiri dan telah siap untuk mengorbankan kepentingan negara-negara lain serta sistem Internasional.

Sementara itu, kekuatan perekonomian China masih terus bertumbuh. Pada tahun 1993, Presiden AS Bill Clinton memperingatkan bahwa China memiliki surplus perdagangan dengan AS sebesar US$18 miliar, kedua di bawah Jepang. Di tengah kemungkinan defisit tersebut, China melanjutkan untuk memblokir produk dari AS.

Pada tahun 2001, George W. Bush mulai menjabat dengan gagasan bahwa berkat peristiwa keruntuhan Uni Soviet, China akan menjadi ancaman keamanan selanjutnya bagi AS. Meski demikian, pasca tragedy 9/11, Bush memfokuskan pemerintahannya dalam memerangi terorisme dan bahkan mengajak China untuk turut bekerjasama.

Zoellick menegaskan dalam pidatonya di tahun 2005 bahwa pasar AS secara khusus sangatlah penting bagi China. Tak ada satupun negara lain, menurut Zoellick, yang akan menerima defisit perdagangan bilateral sebesar US$162 miliar. Angka defisit telah meningkat Sembilan kali lipat dalam kurun waktu 12 tahun.

12 tahun kemudian, di tahun 2017, defisit perdagangan AS melonjak drastis hingga US$375 miliar.

Selama bertahun-tahun, para pemimpin politik AS memandang peningkatan perekonomian China dan berkeras bahwa hal tersebut bukanlah ancaman berarti. Namun, seperti yang baru-baru ini ditunjukkan oleh Michael Swaine, administrasi Trump telah mengambil langkah berbeda secara fundamental dengan mengabaikan terorisme dan menekankan persaingan kekuasaan serta ancaman dari China yang kian bertumbuh besar.

Sumber: Opini: Amerika Akhirnya Anggap Serius China