Mungkin sekarang belum terlihat, tetapi lahan seluas 1.800 hektar di ujung timur Jawa melambangkan masa depan Indonesia.

Lokasi ini, di pintu masuk Selat Madura yang ramai, akan menjadi tuan rumah dari taman industri terbesar di Jawa Timur—Kawasan Industri dan Pelabuhan Terpadu Jawa. Saat ini lokasi tersebut tergolong masih sepi, tetapi konstruksi semakin ramai. Dan itu hanyalah salah satu dari puluhan proyek pelabuhan yang bermunculan di seluruh negeri, seiring Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendorong untuk mengubah nusantara menjadi poros perdagangan maritim.

“Mengapa saya menyukai daerah ini? Karena ini adalah daerah terpadu—memiliki pelabuhan dan zona industri,” kata Jokowi pada upacara pembukaan tahap pertama perkebunan di Jawa pada bulan Maret. “Dengan diintegrasikannya pelabuhan laut dalam, taman ini akan memiliki akses langsung ke pasar domestik dan internasional.”

Setelah menjabat pada Oktober 2014, Joko Widodo menyetujui rencana selama lima tahun senilai Rp700 triliun ($50,6 miliar) untuk membangun sektor maritim. Jumlah ini termasuk Rp243 triliun untuk mengembangkan 24 “pelabuhan strategis.”

Kemajuan di paruh pertama masa kepresidenannya lamban, tetapi pembangunan infrastruktur semakin cepat tahun lalu. Sekarang, pelabuhan-pelabuhan tua sedang diubah, dan pelabuhan baru sedang dibangun seiring dengan upaya Indonesia untuk mengatasi biaya logistik yang sangat tinggi dan menjadi pusat pengiriman yang mampu menantang dominasi Singapura.

Pelabuhan di kawasan tersebut akan memiliki panjang dermaga total 6,4 kilometer. Beberapa bagian akan cukup dalam untuk menampung kapal kargo besar dengan kapasitas hingga 100 ribu ton bobot mati. Pelabuhan ini diharapkan dapat mengurangi muatan di Pelabuhan Tanjung Perak di dekat lokasi tersebut—pelabuhan tersibuk kedua di Indonesia dan pintu gerbang logistik utama ke provinsi-provinsi timur Indonesia.

“Sekarang di Tanjung Perak, delapan kapal di waktu yang sama harus antre untuk berlabuh (di satu tempat),” kata direktur proyek kawasan tersebut pada bulan Mei. “Kapal sering harus menunggu seminggu di luar (pelabuhan) sebelum berlabuh. Kita seharusnya (membangun pelabuhan baru) tiga atau lima tahun yang lalu.”

Kawasan terintegrasi itu saat ini menjadi tuan rumah bagi tujuh produsen kecil, melayani kebutuhan logistik mereka dengan dermaga 200 meter. Tujuannya adalah untuk menyelesaikan kawasan itu pada tahun 2030, di mana saat itu para pengembang—operator pelabuhan milik negara Pelindo III dan mitra swasta AKR Corporindo—berharap untuk menjadi tuan rumah bagi hampir 200 perusahaan.

Freeport Indonesia—unit lokal penambang Amerika Serikat (AS), Freeport-McMoRan—dilaporkan mendambakan lokasi tersebut sebagai lokasi potensial untuk lokasi peleburan logam kedua di negara tersebut.

Joko Widodo mengatakan bahwa dia ingin lebih banyak kawasan yang menghubungkan pabrik dan pelabuhan, karena ini akan menurunkan biaya logistik yang setara dengan 24 persen dari produk domestik bruto Indonesia. Angka itu jauh lebih tinggi daripada angka untuk sebagian besar negara lain di kawasan ini.

Pemerintah Joko Widodo ingin menurunkan jumlahnya menjadi 19 persen pada tahun depan.

Logistik sangat mahal di provinsi-provinsi timur, di mana infrastruktur tertinggal jauh dari provinsi-provinsi lain di negara ini. Proyek-proyek pelabuhan di kota-kota terpencil seperti Makassar dan Sorong dimaksudkan untuk mengatasi tantangan ini. Peningkatan diperlukan untuk memberi ruang bagi kapal kargo—termasuk kapal-kapal yang dioperasikan di bawah program khusus presiden yaitu Tol Laut—yang secara teratur mengirim barang ke pelabuhan yang ditunjuk secara nasional dengan biaya bersubsidi.

17 ribu pulau di Indonesia merupakan rumah bagi lebih dari 1.200 pelabuhan—termasuk sekitar 110 pangkalan kargo yang dikelola oleh empat perusahaan milik negara, Pelindo I hingga IV. Tetapi pembangunan infrastruktur sebelumnya sangat terfokus pada jalan, menyebabkan banyak pelabuhan tua dengan kapasitas yang tidak mencukupi. Transportasi laut saat ini hanya menyumbang 6 persen dari lalu lintas pengiriman Indonesia, versus 45 persen oleh darat dan 30 persen melalui udara.

Bank Dunia mempelajari 18 pelabuhan di Indonesia dan—dalam sebuah catatan yang dikeluarkan pada bulan Januari—mengatakan bahwa pelabuhan-pelabuhan tersebut mengalami “kesenjangan infrastruktur yang kritis.”

“Kualitas infrastruktur pelabuhan di seluruh negeri merupakan faktor lemah dalam daya saing negara secara keseluruhan,” tulis Bank Dunia.

Kualitas pelabuhan Indonesia berada di urutan ke-72 dalam Indeks Daya Saing Global terbaru yang dikeluarkan oleh World Economic Forum—di bawah tetangganya Singapura, Malaysia, dan Thailand.

Terdapat tanda-tanda bahwa Indonesia bergerak ke arah kemajuan. Menteri Perhubungan Budi Sumadi mengatakan bahwa Tanjung Priok—pelabuhan tersibuk di Jakarta—telah mengalami peningkatan pengiriman sebesar 1 juta unit setara dengan 20 kaki setahun, setelah selesainya fase perluasan pertamanya.

“Dan setelah Kuala Tanjung mulai beroperasi, target saya adalah meningkatkan pengiriman (Indonesia) sebesar 3 juta TEU tahun ini,” kata Sumadi bulan lalu, mengacu pada pelabuhan lain di Sumatera Utara. Dia menambahkan bahwa beberapa volume tambahan diharapkan datang dari Singapura dan Malaysia.

Selama dua tahun terakhir, Indonesia juga telah mengembangkan pusat-pusat logistik terikat di seluruh negeri—menawarkan untuk menghilangkan bea impor untuk barang-barang yang disimpan di pusat-pusat itu. Kepala kantor bea dan cukai mengatakan pada bulan April bahwa kebijakan baru telah menarik persediaan senilai $606 juta dari Singapura.

Zaldy Masita, ketua Asosiasi Logistik Indonesia, mengatakan bahwa pusat-pusat itu menyebabkan semakin banyaknya perusahaan yang memindahkan gudang dari negara-kota tersebut. “Kami telah menerima informasi dari mitra kami bahwa mereka telah menawarkan diskon untuk (menyimpan kargo mereka) di Singapura,” kata Masita kepada wartawan pada bulan April. “(Kebijakan itu) mulai mengubah kondisi logistik di Asia Tenggara.”

Namun, terdapat masalah pendanaan.

Pemerintah telah mengatakan bahwa anggaran negara hanya dapat menutupi sepertiga dari infrastruktur senilai Rp4.800 triliun yang dibutuhkan pada periode tahun 2015 hingga 2019. Para pejabat di pemerintahan Indonesia telah secara aktif mengundang negara lain untuk berinvestasi di pelabuhan-pelabuhan.

Otoritas Pelabuhan Rotterdam Belanda memberikan konsultasi kepada Pelindo I pada tahap pengembangan pertama Kuala Tanjung, dan dilaporkan berencana untuk berinvestasi pada tahap berikutnya. November lalu, pemerintah Jepang menandatangani pinjaman 118,9 miliar yen ($1 miliar) untuk pembangunan pelabuhan laut dalam Patimban, dengan konsorsium perusahaan Jepang dan Indonesia yang mendaratkan kontrak konstruksi. Operator pelabuhan Singapura PSA International telah terlibat dalam satu proyek dan akan segera bergabung dengan proyek lainnya.

Tetapi inisiatif infrastruktur Sabuk dan Jalan China mungkin adalah harapan terbesar Indonesia.

Joko Widodo telah berulang kali mengatakan bahwa visi maritimnya dapat melengkapi proyek Sabuk dan Jalan itu. Pemerintah China telah menyatakan minatnya dalam investasi pelabuhan: Ningbo Zhoushan Port dan China Communications Construction Engineering Indonesia telah menandatangani nota kesepahaman dengan operator pelabuhan Indonesia untuk bersama-sama mengembangkan Priok Baru dan Pelabuhan Internasional Kendal.

Namun belum diketahui apakah ada investasi yang telah dibuat. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Panjaitan dikirim ke Beijing pada bulan April untuk menegaskan kembali permintaan untuk berinvestasi di pelabuhan pusat internasional Kuala Tanjung dan Bitung. Dia mengatakan bahwa dia membawa pulang kesepakatan senilai $23,3 miliar—tetapi tidak untuk proyek pelabuhan.

Beberapa analis menganggap Indonesia bukan prioritas di proyek Sabuk dan Jalan. “China memiliki insentif yang lebih mendesak untuk memperkuat jalur perdagangannya di negara-negara tetangganya terlebih dahulu yang tidak dipisahkan oleh lautan,” kata jasa perantara Reliance Sekuritas Indonesia dalam sebuah catatan.

Namun demikian, Massimiliano Cali—ahli ekonomi senior untuk perdagangan makro dan investasi di Bank Dunia—mengatakan bahwa pendanaan mungkin bukan masalah utama untuk proyek-proyek besar seperti Kuala Tanjung dan Patimban.

“Meskipun benar bahwa ini adalah proyek-proyek besar, namun pendanaan proyek-proyek itu seharusnya tidak menjadi kendala utama sejauh mereka layak secara komersial,” kata Cali kepada Nikkei Asian Review. “Dan kedua proyek itu tampaknya memiliki potensi untuk mendapat lalu lintas substansial, yang pada akhirnya memungkinkan pembayaran kembali biaya pengembangan.”

Terlepas dari berbagai kekhawatiran, Joko Widodo memiliki alasan lain untuk mendorong proyek-proyek pelabuhan: pemilihan presiden pada April 2019.

Pemerintah ingin sekali menunjukkan kemajuan nyata sebelum pemilu. Meskipun ada penundaan dalam pembangunan awal, sebagian dari proyek Patimban senilai $3 miliar, yang terletak 120km timur Jakarta, seharusnya dibuka bulan Maret mendatang.

Sumber: Berusaha Saingi Singapura, Indonesia Tingkatkan Proyek Pelabuhan