Jokowi butuh pasangan politik yang bisa menutupi kelemahannya. Walaupun bukan nama yang santer disebut sebelumnya dalam pemilihan cawapres, keputusan Jokowi untuk memilih Ma’ruf Amin, seorang ulama sangat masuk akal. Walaupun itu artinya, sang presiden harus–lagi-lagi–tak jadi bersanding dengan Mahfud MD, yang sebelumnya difavoritkan untuk jadi cawapres Jokowi.

Oleh: Ericssen (Global Indonesian Voice)

Jokowi tahu bahwa kredensial keislamannya akan selalu menjadi masalah. Dia membutuhkan seorang pasangan politik yang mampu menutupi kelemahan ini. Maka dari itu, ia memutuskan untuk menggunakan kartu “Nasionalis-Religius”.

Dulu, Wakil Presiden Jusuf Kalla dari awal selalu menjadi pilihan pertama Jokowi. Setelah menghadapi kesulitan di awal periode jabatan mereka, keduanya telah menjadi pasanganan kerja yang solid. Jusuf Kalla yang, kredensial Islamnya tidak diragukan, sangat disukai dan diterima oleh partai-partai koalisi yang mendukung pemilihan kembali Jokowi.

Namun, batasan-batasan yang ditetapkan oleh konstitusi dan keputusan yang belum lama ini diambil oleh Mahkamah Konstitusi mengakhiri gagasan Jusuf Kalla mencalonkan diri untuk masa jabatan ketiga.

Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan, telah lama menjadi pilihan kedua Jokowi. Namun, ketika “serangan komunisme” memudar, begitu pula kesempatannya untuk menjadi pasangan Jokowi. Mengingat Gatot Nurmantyo, mantan komandan angkatan bersenjatanya, memiliki peluang yang sangat tipis untuk maju sebagai presiden atau wakil presiden, Presiden berusia 57 tahun itu menghapus Moeldoko dari daftar pilihan.

Jokowi telah memutuskan minggu lalu bahwa dia akan memilih Mahfud MD sebagai pasangannya, seorang ahli hukum dan cendekiawan Islam dengan kredensial platinum.

Mahfud menggabungkan kepercayaan agama dengan rekam jejak politik yang panjang. Ia berasal dari latar belakang Muslim tradisional, tetapi memiliki citra modern. Dia sering berinteraksi dengan netizen melalui Twitter. Hubungannya dengan Nahdlatul Ulama (NU) selalu dilihat sebagai faktor penting. Hakim berusia 61 tahun ini juga merupakan pembela kuat Pancasila.

Mahfud juga pernah bekerja di tiga cabang pemerintahan. Dia sebelumnya pernah menjadi anggota DPR, Menteri Pertahanan, Menteri Hukum, dan Ketua Mahkamah Konstitusi. Pertimbangan utama lainnya adalah reputasinya sebagai anak didik Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Presiden Indonesia ke-4, dan mantan Ketua NU.

Persoalannya adalah koalisi Jokowi tidak sepakat mengenai Mahfud.

Sudah bukan rahasia lagi, Mahfud dipandang sebagai ancaman potensial bagi para pemimpin partai yang menginginkan kursi kepresidenan untuk diri mereka sendiri tahun 2024 nanti. Meskipun wakil presiden tidak memiliki kekuasaan yang jelas, Mahfud akan lebih dekat ke kursi kepresidenan dan dapat menjadi calon presiden yang kuat pada tahun 2024. Ini adalah skenario yang benar-benar tidak disukai oleh para pemimpin partai.

Jokowi tidak mungkin membiarkan ketidakharmonisan dalam koalisi sembilan partai besarnya itu. Seorang Jokowi yang paham politik telah menyiapkan rencana alternatif. Mahfud bukan satu-satunya nama di daftar pilihannya. Ma’ruf Amin, seorang ulama, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Nasaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal adalah pilihan lain Jokowi.

Sang petahana, masih optimis bahwa koalisi yang menentang akan dapat menerima Mahfud, meminta penduduk asli Madura tersebut untuk menyiapkan dokumen yang diperlukan melalui Letnannya yang dipercaya, Menteri Negara Pratikno, dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung.

Pada Kamis pagi (9/8), Pratikno menelepon Mahfud melalui telepon untuk secara resmi menawarkannya posisi cawapres Jokowi dan Mahfud menerima. Baginya, ini adalah “Panggilan Sejarah”

Mahfud yakin bahwa dia akhirnya akan diterima. Dia mengumumkan pencalonannya sebagai wakil presiden tanpa benar-benar mengetahui kuatnya perlawanan terhadap pencalonannya dalam pemilihan cawapres.
Pemilihan Cawapres: Ma’ruf Terpilih, Mahfud Tersingkir

Satu jam sebelum pengumuman pemilihan cawapres jam 4 sore, Jokowi menerima kenyataan bahwa perlawanan dan perpecahan dapat mengacaukan koalisinya. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dua partai Islam moderat, menentang Mahfud. NU secara implisit menyuarakan keberatan mereka kepada Mahfud dalam pemilihan cawapres.

Ketua NU, Said Aqil Siradj, bahkan berkomentar bahwa Mahfud tidak pernah benar-benar menjadi anggota NU. Anggota partai Golkar dilaporkan ada yang setuju dan tidak setuju atas Mahfud.

Jokowi tahu, ada risiko besar PKB mungkin akan meninggalkan koalisi dan bergabung dengan Partai Demokrat yang dipimpin mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membentuk poros ketiga. Pada saat ini, SBY mengalami ketegangan pada rencana koalisinya dengan Gerindra, yang dipimpin Prabowo Subianto.

Jokowi tidak mungkin membiarkan dukungan kritis PKB dan NU hilang begitu saja. Ancaman adanya calon ketiga yang akan menantangnya dan lawannya, Prabowo, dapat secara fatal mengarah pada pemilihan putaran kedua, dan kemungkinan ia akan kalah, mengingatkannya pada apa yang terjadi dengan sekutu politinya—Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Pemilu Gubernur DKI Jakarta.

Menghadapi pilihan sulit dalam pemilihan cawapres ini, Jokowi akhirnya tidak jadi memilih Mahfud dan memilih Ma’ruf Amin, yang langsung diterima oleh semua partai politik sebagai pilihan kompromi yang aman.

Baca Sumber