Setelah berbulan-bulan spekulasi dari berbagai pihak, pasangan kandidat presiden dan wakil presiden yang akan berlaga dalam Pilpres 2019 akhirnya terungkap. Merupakan suatu hal yang tidak mengherankan bahwa kandidat presiden petahana Joko “Jokowi” Widodo akan bertarung dengan pesaing utamanya Prabowo Subianto untuk kedua kalinya setelah Pemilu 2014. Kejutan justru datang dari nama pasangan wakil presiden yang mendampingi masing-masing kandidat.

Dalam serangkaian peristiwa dramatis, Presiden Jokowi dan Prabowo mengabaikan berbagai harapan, dan pada akhirnya tidak memilih wakil yang justru telah diharapkan secara luas untuk dipilih.

Mahfud MD, mantan hakim agung Mahkamah Konstitusi dan cendekiawan Muslim yang dihormati sebelumnya diperkirakan akan menjadi pilihan utama kandidat wakil presiden Jokowi hingga saat-saat terakhir sebelum pengumuman. Namun sebaliknya, serta yang sangat mengejutkan banyak orang, Jokowi akhirnya menyatakan bahwa ulama konservatif Islam Ma’ruf Amin yang akan mendampinginya di Pilpres 2019.

Ma’ruf Amin adalah ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), badan ulama Islam tertinggi di Indonesia, sekaligus Rais Aam atau ketua dewan penasehat Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia.

Gelombang keterkejutan yang menyusul diumumkannya nama Ma’ruf Amin berkaitan dengan sosok pasangan Jokowi-MA yang tampaknya tidak sesuai. Jokowi dianggap sebagai sosok Muslim moderat yang mengusung pluralisme, sementara cawapres ulama konservatif Islam MA, sebagai pemimpin terkemuka MUI, bertanggung jawab atas dikeluarkannya beberapa fatwa yang dianggap terlalu konservatif dan mendukung intoleransi beragama.

Cawaopres ulama konservatif Islam Ma’ruf Amin juga merupakan tokoh kunci dalam aksi damai 212 pada tanggal 2 Desember 2016 melawan mantan Gubernur Jakarta yang saat itu masih menjabat, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. MA kemudian menjadi saksi ahli dalam persidangan yang pada akhirnya menjatuhkan hukuman penjara terhadap Ahok atas tuduhan penistaan Islam.

Menariknya, Ahok merupakan sekutu politik Jokowi, yang pernah bersama-sama memimpin Provinsi Jakarta sebagai pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur.

Namun, berpasangan dengan seseorang yang memiliki kredensial Islam yang sempurna, Jokowi hampir tidak dapat diserang melalui kampanye hitam yang menuduhnya terlalu sekuler dan tidak cukup “Islami.”

Isu tersebut menjadi masalah yang mengganjal kampanye pada Pemilu 2014, ketika Jokowi melakukan ibadah haji di akhir masa kampanyenya untuk menangkis berbagai tuduhan yang menimpanya.

Baru-baru ini, tuntutan hukum terhadap Rizieq Shihab, pendiri kelompok konservatif Front Pembela Islam telah menyebabkan kampanye kotor di seluruh media sosial yang menuduh pemerintah Jokowi “mengkriminalisasi” ulama.

Dengan demikian, pencalonan Bapak Ma’ruf Amin menunjukkan bahwa Jokowi menghormati dan bahkan mempercayai ulama untuk menjadi bagian dari pemerintahannya pada periode berikutnya, sebagai upaya menutup kesenjangan yang tampaknya tidak terjembatani antara “ulama” dan “umara” (pemimpin pemerintahan atau pemegang kekuasaan).

Selain itu, dengan menjadikan cawapres ulama konservatif Islam MA sebagai rekannya di garis depan pemilihan, kampanye Jokowi akan mengambil alih panggung ideologis Prabowo, yang sejauh ini berfungsi sebagai titik utama kampanye politik bagi kelompok Islam konservatif. Koalisi Prabowo, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang sama mengusung ideologi Islam, akan merasa lebih sulit untuk memobilisasi suara berdasarkan agenda Islam semata.

Tak hanya Jokowi, kejutan juga datang dari nama kandidat wakil presiden yang mendampingi Prabowo.

Setelah mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Demokrat yang dipimpinnya memberikan dukungan kepada koalisi Prabowo, harapan SBY ialah putra sulungnya, Agus Harimurti Yudhoyono, yang akan mendapatkan tiket sebagai kandidat wakil presiden mendampingi Prabowo.

Namun, Prabowo akhirnya memilih sesama kader Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Sandiaga Salahuddin Uno. Sandiaga merupakan seorang multi-jutawan yang baru-baru ini terjun menjadi politisi dan pada tahun 2017 saat terpilih sebagai Wakil Gubernur Jakarta.

Sementara pesaing utama untuk Pilpres 2019 tetap tidak berubah dari ajang lima tahun lalu, pilihan pasangan yang mendampingi Jokowi dan Prabowo menunjukkan bahwa drama kampanye tidak akan hanya mengulang kisah yang sama tahun 2014.

Pilihan Jokowi yang strategis atas cawapres ulama Ma’ruf Amin telah secara efektif melawan kartu truf Islam yang biasanya diandalkan Prabowo, dan bahkan dapat membalik keadaan di provinsi-provinsi konservatif yang selama ini mendukung Prabowo, seperti Provinsi Banten dan Jawa Barat.

Meskipun terdapat kekhawatiran bahwa memilih cawapres ulama konservatif Islam MA dapat mengasingkan konstituen agama dan etnis minoritas yang telah berdiri kokoh di belakang Jokowi, tampaknya mereka juga tidak akan begitu saja berbondong-bondong memilih Prabowo yang lebih konservatif. Namun, pilihan ini dapat menyebabkan tingkat golput yang lebih tinggi dalam rangka mengekspresikan kekecewaan di kalangan pemilih dan pendukung Jokowi.

Dengan garis pertahanan kuat yang telah ditarik pada isu agama, Jokowi memiliki peluang untuk menyerang lewat kebijakan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi di bawah kepemimpinannya telah meningkat sekitar 5 persen, kurang dari 7 persen yang ditargetkan selama masa kampanye pada Pemilu 2014.

Mengembangkan proyek infrastruktur menjadi dorongan kebijakan utama pemerintahan Jokowi, meski membutuhkan waktu lama dan belum memberikan hasil yang signifikan.

Namun isu kesejahteraan dan mata pencaharian justru rentan memberikan serangan telak bagi Jokowi. Jajak pendapat menunjukkan bahwa masyarakat sangat tidak puas dengan pemerintahan Jokowi dalam hal harga kebutuhan dasar serta ketersediaan lapangan kerja.

Hingga kini, telah terdapat kampanye #2019GantiPresiden di media sosial, gerakan dari kubu Prabowo yang telah memanfaatkan keluhan-keluhan dari rakyat terhadap pemerintahan Jokowi. Tidak akan mengherankan jika kampanye Prabowo dalam beberapa bulan ke depan akan mengangkat isu-isu dalam pemerintahan Jokowi yang mengecewakan bagi kalangan rakyat.

Dengan seorang pengusaha yang memiliki kesuksesan luar biasa seperti Sandiaga Uno sebagai wakilnya, Prabowo memiliki juru bicara yang siap dan dapat dipercaya untuk mengangkat isu kesengsaraan ekonomi Indonesia.

Dengan mengesampingkan serangan konvensional, kedua kandidat presiden yang berlaga harus menyusun taktik baru agar dapat memenangkan suara 80 juta kelompok usia millennial, 10 juta di antaranya baru akan memilih untuk pertama kalinya. Angka tersebut menunjukkan prosentase lebih dari 40 persen dari sekitar total 196,5 juta pemilih sah.

Tidak dapat disangkal, dibandingkan dengan cawapres ulama konservatif Islam Ma’ruf Amin yang berusia 75 tahun, Sandiaga Uno yang berusia 49 tahun dan secara rutin mengikuti olahraga lari maraton dengan penuh semangat, diharapkan akan lebih menarik bagi generasi millennial. Namun, Jokowi juga dapat berupaya menarik pemilih muda melalui seniman dan selebriti populer, seperti yang dilakukannya pada pemilu sebelumnya. Apa yang tampaknya menentukan ialah kemampuan kedua kandidat untuk menangani aspirasi generasi millennial secara langsung.

Walau Jokowi mungkin tidak harus berhati-hati dengan kredibilitas agama, sebagai kandidat petahana, Jokowi harus menghasilkan catatan prestasi yang meyakinkan bagi para pemilih agar dapat dipilih kembali untuk masa jabatan kedua. Tantangannya ialah untuk segera menangani masalah lapangan pekerjaan dan kesejahteraan, seperti melalui beberapa langkah-langkah jeda jangka pendek, serta menawarkan harapan bagi pemilih muda bahwa aspirasi mereka akan terpenuhi.

Apakah hal tersebut dapat dilakukan serta dengan cara apa tampaknya akan segera menjadi jelas dalam beberapa bulan ke depan.

Baca Sumber