Spoiler untuk Foto Kerusuhan 1998 :

Pasca kerusuhan Mei 1998 menargetkan keturunan Tionghoa di Indonesia, peneliti memperkirakan ribuan orang telah melarikan diri ke Singapura, Australia, Hong Kong, dan negara lain setelah kerusuhan menewaskan ribuan orang. Kelompok-kelompok hak asasi manusia memperkirakan lebih dari 100 wanita diperkosa dan lebih dari 1.000 orang terbunuh. Pemerintah Taiwan adalah salah satu yang paling vokal menanggapi kekerasan terhadap etnis Tionghoa tersebut, mengancam akan menarik investasinya di Indonesia, yang diperkirakan akan melampaui US $ 13 miliar pada pertengahan tahun 1998.

Tony Thamsir, seorang keturunan etnis Tionghoa dari Indonesia, berada di semester keempat di Universitas Nasional Chengchi di Taipei ketika kerusuhan anti-China pecah di Jakarta dan beberapa kota di Indonesia bulan Mei 1998. Tony, yang kini berusia 42 tahun serta menjadi seorang penyiar radio dan televisi, mengenang panggilan telepon panik dari ibunya yang menggambarkan bagaimana keluarganya berusaha melarikan diri setelah massa membakar sebuah rumah tetangga di Jelambar, sebuah kecamatan di Jakarta Barat yang dihuni banyak warga China.

“‘Kami tidak bisa melakukan apa-apa sekarang, tapi untungnya, ada sungai di depan kami,’ kata ibu saya,” kenang Tony, menjelaskan bahwa penduduk telah memblokir jembatan yang akan memungkinkan massa menyeberangi sungai dan mengakses rumah keluarganya. “Kemudian adik lelaki saya mengambil telepon dan menyuruh saya berhenti berbicara. Dia mengatakan bahwa para anggota keluarga akan bergiliran untuk berpatroli tetapi dia akan menusuk siapa pun yang menerobos masuk.”

Tony, yang sedang belajar ilmu politik, terkejut dan marah dengan meletusnya kekerasan. Generasi ketiga Tionghoa Indonesia yang lahir di Medan dan dibesarkan di Jakarta tersebut telah pindah untuk berkuliah Taiwan karena ibunya ingin dia belajar bahasa China.

Setelah kerusuhan 1998, ia bergabung dengan para demonstran di jalanan Taipei untuk menuntut agar pemerintah Indonesia mengakhiri apa yang ia sebut sebagai “tindakan keji yang berdampak pada komunitas China.” Dia mengetuk pintu kantor perwakilan Indonesia di Taiwan dan Kementerian Luar Negeri Taiwan di Taipei, meminta mereka menghentikan program-program yang menentang etnis Tionghoa, yang merupakan 2 persen dari populasi.

Massa peserta kerusuhan menyerang rumah-rumah dan bisnis-bisnis milik etnis China, diprovokasi oleh desas-desus bahwa mereka menimbun beras selama krisis ekonomi yang semakin mendalam. Kelompok-kelompok hak asasi manusia memperkirakan lebih dari 100 wanita diperkosa dan lebih dari 1.000 orang terbunuh.

Protes terhadap Suharto berlanjut dan beberapa menteri pemerintah menolak untuk berpartisipasi dalam perombakan kabinetnya. Suharto akhirnya setuju untuk mengundurkan diri tanggal 21 Mei 1998, meninggalkan wakil presiden BJ Habibie untuk mengambil alih jabatan dan memungkinkan Indonesia menuju reformasi demokratis.

Dalam laporan bulan September 1998, LSM internasional Human Rights Watch menegaskan bahwa “puluhan ribu etnis Tionghoa” telah melarikan diri dari Indonesia ke Singapura, Australia, Hong Kong, dan negara-negara lain karena khawatir akan terjadi kekerasan lagi. Aihwa Ong, profesor antropologi di University of California, Berkeley, menulis tahun 2003 bahwa 150.000 etnis Tionghoa telah meninggalkan Indonesia karena kerusuhan.

Dua tahun lalu, surat kabar Taipei Times, mengutip kantor legislatif Kuomintang (KMT) Apollo Chen, mengatakan bahwa Chen mendengar dari sebuah sumber mengenai sekitar 1.000 orang Tionghoa Indonesia “yang mengungsi ke Taiwan untuk menghindari kerusuhan dan kekerasan anti-China.”

Tony merupakan salah satu di antara mereka. Ketika dia akhirnya mendengar kabar dari ibunya beberapa hari setelah panggilan pertama, itu adalah percakapan yang menyedihkan. Keluarganya aman tetapi satu-satunya sumber penghidupan mereka, pabrik ayahnya, telah dibakar habis.

Dengan keuangan mereka yang berantakan, Tony yang berusia 21 tahun perlu mengurus dirinya sendiri, kata ibunya. Tony bekerja di sebuah restoran cepat saji dan sebagai penyiar radio paruh waktu untuk menghidupi dirinya sendiri sambil menyelesaikan gelar sarjana. Tetapi, dia berkata, “Saya terus bertanya-tanya, mengapa Indonesia menjadi seperti itu? Mengapa?”

MASIH TERUS PEDULI DENGAN INDONESIA

Tony lulus tahun 2000 dan mendapatkan pekerjaan di pemerintah kota Taipei. Dia menjadi penasihat untuk walikota Ma Ying-jeou saat itu. Tony menggunakan keterampilan bahasa Indonesia dan Mandarin untuk mengatasi masalah yang menimpa para pekerja migran Indonesia. Dia meninggalkan pekerjaan itu tahun 2006 dan sejak itu mengelola majalah berbahasa Indonesia untuk pembaca di Taiwan, memiliki restoran, dan berinvestasi di berbagai bisnis.

Tony saat ini menjadi penasihat di serikat pekerja migran Indonesia di Taiwan (IPIT) dan populer di masyarakat karena ia juga menyelenggarakan program bahasa Indonesia di televisi dan radio Taiwan. Tony kini memiliki 23.000 penggemar di Facebook.

Diperkirakan terdapat 270.000 orang Indonesia di Taiwan, banyak dari mereka yang tinggal di Taipei dan bekerja sebagai perawat dan pembantu rumah tangga. Meskipun kecewa dengan Indonesia, Tony masih memegang paspor Indonesia dan memainkan peran aktif dalam politik Indonesia.

Tony mengambil bagian dalam komite pengawas pemilihan yang diadakan di Taipei untuk Pilpres 2009. Dua tahun lalu, ia mengorganisir flash mob untuk mendukung mantan gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, politisi etnis Tionghoa yang kembali mencalonkan diri untuk masa jabatan kedua dalam Pilkada Jakarta 2017.

Sayangnya, BTP dituduh melakukan penistaan terhadap agama Islam setelah beredarnya sebuah video kampanyenya yang telah disunting sedemikian rupa mengatakan kepada sekelompok pemilih untuk tidak tertipu oleh ayat alquran yang mengatakan bahwa umat Islam tidak boleh memilih pemimpin non-Muslim.

Pernyataan itu menyebabkan unjuk rasa berbagai kelompok Islam garis keras yang menuntut agar ia dipenjara. BTP kemudian dipenjara dan kalah dalam pemilihan gubernur, kemudian dibebaskan bulan Januari 2019.

Tahun 2018, Tony aktif di Banteng Muda Indonesia, sayap pemuda Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang dipimpin oleh mantan Presiden Indonesia Megawati Sukarnoputri.

Tony juga mengerahkan dukungan untuk kandidat presiden petahana Joko “Jokowi” Widodo, yang diperkirakan akan diumumkan sebagai pemenang Pilpres 2019 ketika hasil resmi dirilis KPU pekan depan. “Saya dianggap sebagai orang Indonesia oleh orang Taiwan. Saya belum pernah dipandang sebagai orang Taiwan atau bahkan orang China daratan, walaupun saya terlihat seperti orang China,” kata Tony. “Saya pikir ini menunjukkan betapa saya peduli terhadap Indonesia. Kepedulian saya terhadap negara saya tidak pernah berakhir.”

Seperti Tony, Amina Tjandra memilih untuk tinggal di Taiwan, meninggalkan Indonesia satu tahun setelah kerusuhan. Berasal dari Pontianak di Kalimantan Barat dan memiliki gelar di bidang ekonomi dan manajemen dari Universitas Atma Jaya di Yogyakarta, Amina mengatakan bahwa pergi ke ibu kota Indonesia untuk mencari pekerjaan bukanlah suatu pilihan, mengingat kekerasan yang baru terjadi.

Amina kemudian pergi ke Taiwan untuk tinggal bersama bibinya dan tinggal di Kota Taoyuan setelah menikah dengan pria Taiwan. Sekarang berusia 43 tahun, ia memiliki dua putra berusia delapan dan 13 tahun, dan bekerja sebagai penyiar radio berbahasa Indonesia. Amina mengaku merasa lebih aman berada di antara orang-orang China lainnya di Taiwan daripada berada di Indonesia.

Meski orang Taiwan masih melihatnya berbeda “karena karakteristik wajah saya seperti mata saya, yang lebih besar dan tidak sesipit mata mereka, dan aksen saya,” itu telah memicu rasa ingin tahu, bukan perasaan tidak suka.

“Karena ada perbedaan, mereka ingin tahu lebih banyak tentang Indonesia atau China di Indonesia dan apa pun tentang Indonesia,” katanya. “Itu karena masyarakat Taiwan dapat menerima perbedaan, hidup dengan toleransi. Pemerintah menekankan pentingnya multikulturalisme sehingga masyarakat Taiwan sekarang dapat menerima pendatang baru.”

PERASAAN CAMPUR ADUK TENTANG INDONESIA

Setelah kerusuhan bulan Mei 1998, pemerintah China maupun Taiwan menyuarakan keprihatinan terhadap pemerintah Indonesia tentang perlindungan etnis Tionghoa.

Ketika pemimpin kedua negara, Jiang Zemin dan Habibie, bertemu bulan November 1998, menyusul protes di kedutaan Indonesia di Beijing, Jiang mengatakan, “Kami berpendapat bahwa solusi yang tepat dari masalah orang Tionghoa Indonesia tidak hanya akan mewujudkan stabilitas jangka panjang Indonesia, tetapi juga kelancaran pembangunan hubungan kerja sama yang bersahabat dengan negara-negara tetangga.”

Penulis Jemma Purdey, dalam bukunya Anti-Chinese Violence in Indonesia yang terbit tahun 2006 mengatakan bahwa Taiwan lebih aktif dan vokal dalam menanggapi kerusuhan 1998, “menuntut pemerintah Indonesia untuk menyelidiki dan mengadili para pelaku serta memberikan perlindungan bagi para korban.”

Pemerintah Taiwan, menurut buku itu, mengancam akan menarik investasinya di Indonesia, yang diperkirakan akan melampaui US $ 13 miliar pada pertengahan tahun 1998. Taiwan juga mengancam akan berhenti menerima pekerja migran Indonesia ke Taiwan, yang sudah berjumlah lebih dari 15.000 orang.

Monika Winarnita, akademisi dari Universitas La Trobe Australia, mengatakan bahwa tragedy mengerikan bulan Mei 1998 masih bergema di masyarakat saat ini, terutama di kalangan generasi tua yang sudah “sangat berasimilasi” dan merasa “lebih Indonesia.” Monica memberi contoh orang Tionghoa yang menikah dengan orang-orang dari kelompok etnis yang berbeda, mengadopsi budaya Jawa, maupun praktik budaya lainnya.

Selama masa pemerintahan Orde Baru Suharto dari tahun 1967 hingga 1998, ia memaksa anggota komunitas Tionghoa untuk berasimilasi dengan melarang pengajaran bahasa China, melarang media berbahasa China, melarang perayaan festival China, hingga melembagakan peraturan yang mengharuskan mereka untuk meninggalkan nama tradisional Tionghoa dan menggunakan nama Indonesia.

“Oleh karena itu, kerusuhan Mei 1998 sangat mengejutkan bagi beberapa orang yang telah meninggalkan semua identitas China pasca 1965, mulai dari mengubah nama mereka hingga berhenti berbicara atau membaca bahasa Mandarin,” kata Winarnita. “Mereka seharusnya telah menjadi orang Indonesia seutuhnya, tetapi peristiwa Mei 1998 berarti mereka dibedakan dan diserang berdasarkan karakteristik etnis mereka.”

Bagi Tjandra dan Thamsir, ingatan akan kerusuhan dan kecaman berbau rasial yang mereka alami ketika beranjak dewasa menyebabkan perasaan campur aduk terhadap Indonesia.

Tjandra memandang dirinya sebagai orang Indonesia di Taiwan dan mengatakan dia mungkin ingin kembali ke Tanah Air ketika dia kelak lanjut usia. “Siapa yang tahu? Jadi saya masih memegang paspor Indonesia (setelah tinggal di Taiwan selama sekitar 20 tahun).”

Tjandra menyesalkan bahwa sentimen anti-China masih tumbuh subur di Indonesia. Menjelang Pilpres 2019 baru-baru ini, berita palsu di media sosial tentang peningkatan investasi China dan masuknya pekerja China daratan memicu ketakutan di kalangan warga keturunan Tionghoa bahwa mereka akan menjadi target kekerasan dalam kerusuhan. “Tapi sepertinya ada kemajuan,” kata Tjandra. “Saya yakin bahwa sedikit demi sedikit akan ada perubahan bahwa dalam pola pikir orang Indonesia, bahwa mereka kelak akan menerima perbedaan.”

Thamsir mengatakan bahwa ia memiliki alasan untuk tidak menyukai Indonesia. Namun, faktanya, ia merasa tidak pernah benar-benar terlepas dari Indonesia, mengingat pekerjaannya dengan masyarakat Indonesia di tempat tinggal barunya. “Saya cinta Indonesia,” katanya. “Saya tidak pernah yakin bisa membencinya, meskipun saya punya banyak alasan untuk membencinya.”