Untuk berkontribusi pada stabilitas Timur Tengah, Shinzo Abe perlu bertindak sebagai mediator yang dapat dipercaya. Tanpa ragu, Abe perlu mengajukan proposal Jepang sendiri, daripada hanya menyampaikan pesan Trump kepada kepemimpinan Iran. Proposal tersebut harus didasarkan pada pemahaman yang baik tentang keprihatinan masing-masing pihak yang telah berperan dalam memperburuk ketegangan di wilayah tersebut.

Oleh: Sachi Sakanashi (World Eonomic Forum)

Artikel ini adalah bagian dari platform Geostrategy di World Economic Forum.

Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe akhirnya akan melakukan perjalanan ke Iran tanggal 12 Juni 2019. Sejak menjadi perdana menteri pada akhir 2012, setiap kali Abe berusaha mengunjungi Teheran, menurut rumor gagasan itu akhirnya dibatalkan terutama karena ketidaksetujuan Amerika Serikat.

Namun, Abe telah bertemu Presiden Iran Hassan Rouhani tujuh kali, tidak hanya di New York di sela-sela Sidang Umum PBB setiap tahun sejak 2013, tetapi juga pada pertemuan tahunan Konferensi Asia-Afrika keenam puluh di Indonesia tahun 2015. Kunjungan Abe ke Iran akan menjadi pertemuan kedelapan antara Abe dan Rouhani.

Ini akan menjadi kunjungan pertama oleh perdana menteri Jepang sejak tahun 1978. Namun, itu akan menjadi kunjungan kedua Abe ke Iran sejak dia menemani ayahnya Shintaro Abe tahun 1983, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Jepang.

Bagaimana kunjungan ini terjadi dan apa yang bisa dicapai Abe? Menurut rumor, sebenarnya Presiden Amerika Serikat Donald Trump merupakan sosok yang mengemukakan gagasan “mediasi” antara AS dan Iran pada bulan April 2019 selama kunjungan Abe ke Washington.

Kunjungan mendadak oleh Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif ke Jepang pada pertengahan Mei 2019 telah dipahami dilakukan dalam konteks ini, sementara berita kunjungan Abe ke Iran muncul setelah pertemuannya tanggal 24 Mei 2019 dengan Penasihat Keamanan Nasional AS John Bolton di Tokyo, sehari sebelum kunjungan Trump.

Baca Artikel Selengkapnya di sini