Results 1 to 2 of 2
http://idgs.in/777897
  1. #1
    BLOGICTHINK's Avatar
    Join Date
    Jul 2010
    Posts
    203
    Points
    206.14
    Thanks: 2 / 5 / 5

    Default Akankah Gubernur Baru Jakarta Tepati Janji Kampanyenya?

    Dengan adanya masalah perpecahan rasial dan agama, program DP nol rupiah yang dianggap oleh para ekonom tidak realistis dan mahal, serta masalah proyek reklamasi yang tak kunjung usai, akankah Gubernur Jakarta Anies Baswedan mampu menepati janji populisnya saat kampanye? Berikut opini dari Erin Cook.

    Oleh: Erin Cook (Asia Times)

    Gubernur Jakarta Anies Baswedan baru-baru ini menandai 100 hari pertamanya menjabat, setelah kampanye pemilu yang dipenuhi dengan perpecahan agama dan rasial, sambil menjanjikan penduduk berpenghasilan rendah di kota tersebut, program sosial yang sangat murah hati. Sementara dia terus menimbulkan kontroversi yang memecah belah, masih tidak jelas apakah dia akan bisa memenuhi janji-janji populisnya.

    Kampanye Anies Baswedan menawarkan sekilas tentang apa yang mungkin terjadi, di saat Indonesia bersiap menghadapi apa yang diharapkan akan menjadi pemilu parlemen dan pemilu presiden yang sangat panas pada tahun 2019. Dan 100 hari pertamanya mungkin juga memberikan peringatan dini, tentang taktik kebijakan menggunakan umpan kampanye, yang mungkin digunakan oleh para politisi pada tingkat nasional untuk memenangkan suara pada pemilihan tahun depan.

    Anies selama kampanyenya bergabung dengan kelompok garis keras Front Pembela Islam (FPI), yang merupakan sebuah brigade moralitas yang paling dikenal karena menghancurkan bar-bar atas nama nilai-nilai Muslim. Kelompok tersebut berkontribusi dalam demonstrasi massal menentang gubernur Jakarta sebelumnya Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, yang merupakan seorang Kristen Tionghoa—dan menjadi sebuah faktor penentu dalam hasil pemilu.

    Ahok dituduh menghina Al-Qur’an dalam salah satu pidato kampanyenya, di mana dia mengatakan bahwa sebuah ayat dikutip untuk menipu para pemilih dan membenarkan pernyataan bahwa umat Islam tidak boleh dipimpin oleh non-Muslim. Ahok dinyatakan bersalah setelah penistaan pada bulan April lalu, dan sekarang menjalani hukuman dua tahun penjara.

    Hukuman tersebut membuat penduduk etnis Tionghoa menjadi rentan, mengingat serangan kekerasan politik di masa lalu yang telah menargetkan kelompok minoritas, termasuk kerusuhan anti-China di ibu kota pada tahun 1998. Ahok adalah etnis China pertama yang memimpin Jakarta dalam waktu lebih dari setengah abad.

    Beberapa orang merasa bahwa Anies—yang merupakan mantan Menteri Pendidikan di pemerintahan Presiden Joko Widodo, dan sekarang lebih condong dengan politik oposisi—memperparah situasi dengan mengatakan bahwa “pribumi”—yang merupakan sebuah kata yang ditulis secara politis untuk mengacu pada penduduk asli Indonesia—harus memainkan peran lebih besar di negara ini, saat pidato pelantikannya pada tanggal 16 Oktober.

    “Saya merasa aneh bahwa Anies, yang memiliki pengalaman sebelumnya dalam aktivisme terkait pluralisme, memilih satu kata yang memiliki sejarah panjang prasangka rasial, pada hari yang menandai dimulainya pemerintahannya di Jakarta,” kata Christine Susanna Tjhin di Pusat Studi Strategis dan Internasional Jakarta—sebuah wadah pemikir.

    Dia mengatakan bahwa komentar rasial tersebut “tidak banyak meyakinkan orang-orang yang merasa kecewa dengan strategi kemenangannya dalam pemilu.”

    Sampai kampanye tahun lalu, Anies sebagian besar dipandang sebagai Muslim taat tapi moderat, yang jauh lebih peduli dalam mempertahankan moto negara Indonesia, ‘Bhinneka Tunggal Ika’, dibanding bermain dengan kepentingan Islam garis keras.

    Memang, ia mengembangkan reputasi sebagai pendukung setia pluralisme dan Pancasila—yang merupakan ideologi pendirian sekuler dan inklusif negara tersebut—saat menjadi rektor Universitas Paramadina Jakarta.

    Namun, kecenderungan Anies terhadap kepentingan garis keras berlanjut pada fase awal pemerintahannya. Misalnya, pembatalan baru-baru ini tentang peraturan yang melarang aktivitas keagamaan di Monumen Nasional—yang lebih dikenal dengan Monas—di Jakarta Pusat, juga dipandang sebagai kecondongan terhadap mayoritas Muslim di negara tersebut, dengan mengorbankan agama minoritas.

    Lama dilihat sebagai ikon netral dan tidak bersifat politis di pusat kota tersebut, Monas menjadi tuan rumah demonstrasi “anti-Ahok” yang memanas, yang membantu mendorong Anies pada kekuasaan. Walau sekarang terbuka untuk semua agama yang diakui, namun para kritikus mengatakan bahwa Monas akan diprioritaskan untuk acara-acara Islam.

    Sebuah tawaran yang dibuat oleh pemerintahan Anies untuk menyelenggarakan ibadah Natal di monumen tersebut, ditolak oleh Persatuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI)—sebuah kelompok Kristen, yang mengatakan bahwa mereka lebih suka merayakan di aula pameran daripada memperparah sentimen anti-Kristen dalam sebuah upacara peribadatan umum.

    “Terdapat kekhawatiran atas kurangnya inisiatif oleh Anies untuk meredakan—apalagi menghentikan—antusiasme selama kampanye pemilu. Jadi, ketika terdapat tawaran mendadak perayaan Natal di Monas, kenangan tentang demonstrasi anti-Ahok masih segar, dan kekhawatiran dimanipulasi secara politis di ruang publik muncul, “kata Tjhin.

    Kebijakan publiknya juga memicu kontroversi. Sebuah rencana untuk mengubah jalan Jatibaru Raya di kawasan pasar Tanah Abang yang sibuk di ibu kota, menjadi zona pedagang kaki lima dan jalanan bebas mobil, telah membuat frustrasi polisi lalu lintas dan membuat marah para pengguna jalan yang mengatakan bahwa kebijakan tersebut telah memperburuk kemacetan lalu lintas kota.

    Perubahan jalan tersebut merupakan salah satu langkah pertama Gubernur Jakarta itu setelah pelantikannya di bulan Oktober, dan sejak saat itu mendominasi kepemimpinannya. Pekan ini, Anies berjanji untuk melancarkan penyelidikan terhadap laporan vendor tentang jual beli tenda yang disediakan oleh kota tersebut, yang masing-masing seharga empat juta rupiah.

    Ditepatinya janji kebijakan perumahan berpenghasilan rendah yang ditunggu, adalah ujian berikutnya. Ditujukan untuk memecahkan masalah sulitnya mendapatkan perumahan yang terjangkau bagi penerima upah rendah di ibu kota, program tersebut merupakan inti dari janji pemilu Anies. Para analis industri dan bahkan ekonom Bank Indonesia, telah menyoroti program DP nol rupiah ini, dan konstruksi besar-besaran yang tidak realistis dan mahal.

    Sugianto Tandra, seorang peneliti di Pusat Studi Kebijakan Indonesia, mengatakan bahwa program percontohan skala kecil harus dilihat dengan optimis, dan dinilai pada pelaksanaannya.

    “Program ini akan berhasil, sampai batas tertentu, karena proyek perumahan tersebut pada awalnya hanya menyediakan 700 rumah untuk 700 pembeli, jadi harus dikelola,” katanya. “Tujuh ratus pembeli rumah pertama tidak akan sulit ditemukan, jadi hal pertama yang harus dilakukan adalah memastikan bahwa 700 orang pertama dipilih dengan hati-hati.”

    Tandra menekankan bahwa proyek percontohan sangat berbeda dengan janji kampanye Anies, di mana penduduk Jakarta yang berpenghasilan di bawah tujuh juta rupiah sebulan lah yang memenuhi syarat. Awalnya disebut-sebut sebagai solusi untuk sulitnya masalah perumahan di ibu kota bagi penerima upah minimum, kebijakan sekarang lebih jelas menargetkan warga berpenghasilan menengah.

    Dengan upah minimum 3,6 juta rupiah per bulan, keluarga berpenghasilan rendah yang ditargetkan selama kampanye Anies sekarang tidak mungkin dapat berpartisipasi. Pemerintah kota telah berjanji bahwa pilihan lain akan tersedia bagi penduduk miskin pada waktunya, tapi mengarah ke sana akan sulit. “Bisakah dia meningkatkan hal ini, dan jika demikian, seperti apa kebijakan yang dia bayangkan?” Tanya Tandra.

    Rencana Anies untuk menutup proyek reklamasi Teluk Jakarta—yang bertujuan membangun 17 pulau buatan manusia yang dikembangkan di lepas pantai utara Jakarta, yang mirip dengan Pulau Sentosa Singapura—juga tampaknya tidak mungkin dilaksanakan.

    Menteri Koordinator Kelautan Luhut Binsar Pandjaitan dan pejabat pemerintah lainnya, memperingatkan bahwa proyek kontroversial tersebut, yang telah lama terlibat dalam tuduhan korupsi yang melibatkan pejabat kota dan pengembang sektor swasta, akan terus berlanjut tanpa menghiraukan keinginan gubernur Jakarta saat ini.

    Proyek tersebut, yang diluncurkan oleh Gubernur Jakarta sebelumnya Ahok pada tahun 2015 dan dirancang serupa dengan skema di Dubai dan Belanda, bertujuan untuk mencegah agar kota ini tidak tenggelam di bawah permukaan laut.

    Dukungan kuat Anies terhadap aktivis lingkungan yang berpendapat bahwa proyek tersebut akan menghancurkan teluk dan komunitas nelayan di Jakarta Utara, adalah sebuah serangan yang disengaja terhadap Ahok, yang menghadapi demonstrasi terus-menerus atas tuduhan bahwa dia tidak peduli terhadap dampak proyek tersebut terhadap kehidupan penduduk lokal.

    Dengan pemilihan daerah di beberapa wilayah di negara ini yang dijadwalkan pada bulan Juni, dan pemilihan presiden dan parlemen tahun depan, Anies kemungkinan akan diberi ruang untuk menerapkan kebijakan di bulan-bulan mendatang.

    Tapi sudah terkumpul persepsi yang melihat bahwa dia dan wakilnya tahu sejak awal, bahwa janji populis mereka banyak yang tidak mungkin terwujud ketika mereka menjabat.

    Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah milik penulis sendiri dan tidak mencerminkan kebijakan editorial Mata Mata Politik.

    Sumber : Akankah Gubernur Baru Jakarta Tepati Janji Kampanyenya?

  2. Hot Ad
  3. #2
    aliansa's Avatar
    Join Date
    Feb 2020
    Posts
    2
    Points
    0.40
    Thanks: 0 / 0 / 0

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •