Ini kisah Wong dan anak-anak milenial lainnya yang berada di garda depan, memimpin protes Hong Kong dalam beberapa tahun terakhir.

“Saya tidak punya harapan terhadap pemerintah. Namun, saya masih memiliki harapan di masyarakat,” ujar Joshua wong, salah satu garda depan gerakan demokrasi Hong Kong, dilansir dari The Sidney Morning Herald.

Menurut milenial tersebut, protes Hong Kong hanya mengambil jeda sementara. Aksi yang lebih besar, imbuhnya, bakal meletus, seiring krisis kepercayaan publik atas pemerintah terkait penanganan wabah corona.

“Setelah wabah virus berakhir, orang-orang akan turun ke jalan dengan protes besar-besaran, seperti yang dilakukan 1 juta orang pada Januari silam,” tandasnya.

Wong memperkirakan, gelombang demo yang didorong ketidakpuasan anyar ini akan berlangsung lebih sengit. Ini tak lepas dari lembeknya pemerintah mengatasi penebaran virus mematikan yang belakangan dinamai COVID-19. Saat toko-toko di Hong kehabisan masker wajah, pembersih tangan, dan kertas toilet, Kepala Eksekutif Carrie Lam kukuh menolak penutupan penuh perbatasan. Padahal, sebagian besar warga Hong Kong menginginkan perbatasan ditutup sepenuhnya untuk puluhan ribu penumpang yang menyeberang setiap hari dari dan ke China. Karena ulah Lam, ujar Wong, Hong Kong kini menjadi daerah dengan tingkat infeksi tertinggi corona kedua di dunia

Tak sabar menanti inisiatif pemerintah, kelompok Wong lantas mengamankan 100.000 topeng dari AS untuk dibagikan kepada mereka yang rentan dan membutuhkan di Hong Kong. Dia mengatakan, kegagalan pemerintah bukan sekadar ketidakmampuan, melainkan sifat dari aturan otoriter.

Kekurangan masker wajah secara langsung terkait dengan tindakan keras pemerintah terhadap protes yang membuat pasokan barang yang masuk jadi terbatas. Bahkan, penggunaannya di depan umum dilarang untuk menghambat kemampuan pengunjuk rasa menyembunyikan identitas mereka dari pengawasan.

“Mereka tak paham apa yang telah mereka lakukan. Ketika pemerintah abai tak mengantongi dukungan rakyat, maka mereka pun santai saja berlaku tak transparan dan menutup akses informasi,” ujarnya.

Jurnalis The Sidney Morning Herald berbicara dengan Wong lewat panggilan Facetime ke kantornya di Hong Kong, di mana dia sedang mempersiapkan persidangan yang akan datang (dia telah dua kali dipenjara karena kegiatannya) karena menangani distribusi topeng.

Dia juga menerima telepon dari seluruh dunia untuk mempublikasikan buku baru bertajuk “Unfree Speech”, ancaman terhadap demokrasi global dan urgensi untuk bertindak sekarang.

Menjawab telepon dengan suara lelah, Wong yang baru berusia 23 tahun laiknya angin segar seperti halnya Greta Thunberg bagi aktivisme iklim. Ia adalah suara muda yang berusaha menginspirasi anak-anak seumurnya.

“Masa depan adalah milik generasi berikutnya, tidak boleh didominasi oleh elit kelas atas yang melayani kepentingan pemerintahan otoriter,” katanya.

“Itulah alasan bagi saya untuk menulis buku ini, agar generasi muda di seluruh dunia bisa lebih aktif terlibat dalam politik, untuk menjadi perubahan yang ingin kita lihat. Saya ingin menginspirasi generasi milenial, bahkan generasi yang lebih muda dari saya. Sehingga, mereka dapat terinspirasi untuk mengambil tindakan dan terlibat dalam pengembangan masyarakat sipil,” terangnya lagi.

Seperti yang ia tuliskan dalam buku “Unfree Speech”, gerakan-gerakan akar rumput kini lebih banyak dipimpin oleh kalangan milenial dan generasi Z, karena mereka paling sering geram menyaksikan kelambanan dari generasi yang lebih tua.

Dalam kata pengantar buku disebutkan, seniman dan pembuat film Ai Weiwei memuji Wong sebagai “generasi baru pemberontak”, serta menyitir keterangan gubernur terakhir Inggris di Hong Kong Chris Patten, yang memperingatkan, “Anda tidak dapat mengalahkan sebuah ide dengan mengunci para pendukungnya.”

Ini terdiri atas tiga bagian yang berubah mood-nya, dari anekdot ke tesis. Pertama, Wong menceritakan kisahnya sendiri, perjalanan yang luar biasa dari seorang anak laki-laki yang menderita disleksia dengan dorongan untuk mempertanyakan otoritas yang dijuluki “dokuo”–seorang pria tanpa pacar–di sekolah dan yang menikmati kehidupan soliter bermain video game.

Wong masih santai bermain PS4 dengan teman-temannya. Namun, tema dominan masa remajanya adalah pemberontakan: pada usia 13 ia mulai pergi ke demonstrasi anti-pemerintah. Kemudian, ia dan seorang temannya meluncurkan Scholarism, sebuah gerakan pro-demokrasi yang dengan cepat menarik ribuan pengikut. Dia berumur 14 tahun saat itu.

Tak lama, muncul “revolusi payung” pada 2017. Salah satu suara utama gerakan demokrasi Hong Kong ini pernah berseru agar para demonstran menduduki Civic Square. Ia ditangkap untuk pertama kalinya.

Waktu itu adalah “pergeseran paradigma”, tulis Wong, “Selamanya akan mengubah hubungan antara negara dan warga, penindas dan yang tertindas.”

“Kami melakukan yang terbaik yang kami bisa dalam situasi seperti itu.”

Bagian kedua buku itu menyimpan surat-suratnya dari penjara, di mana setiap hari ia diminta berteriak, “Selamat pagi, Tuan! Saya, Joshua Wong, nomor penjara 4030XX, telah dihukum karena melanggar hukum. Terima kasih, Pak!”

Saat ini dia dilabeli sebagai “Wajah Protes” dalam majalah Time, bersanding dengan “50 pemimpin terhebat” versi Fortune, dan seorang penulis op-ed The New York Times.

Namun, dia juga seorang tahanan muda di penjara remaja, yang selalu melewatkan teh susu buatan ibunya, tidur di papan kayu tanpa kasur, cucian lipat, dan ikut serta dalam pawai tanpa akhir yang dipentaskan bagi para pengunjung VIP. Ia menggosok toilet dan menonton TV, pun, membaca dengan lahap (pada hari pembebasannya ia mencapai halaman terakhir memoar Malala Yousafzai. Red).

Bagian terakhir dari buku ini adalah panggilan politik Wong bagi para demonstran untuk mempersenjatai diri di seluruh dunia.

“Jika perusahaan multinasional, pemerintah internasional, dan memang warga negara biasa tidak mulai memperhatikan Hong Kong dan memperlakukan cerita kami sebagai sinyal peringatan dini, tidak akan lama sebelum semua orang merasakan invasi kebebasan sipil yang sama dengan yang dialami warga Hong Kong dan menentang setiap hari di jalan-jalan, selama dua dekade terakhir,” tulisnya.

Ketika protes baru dan penumpasan yang lebih keras berkobar di jalan-jalan Hong Kong, Wong menyalahkan pemerintah untuk eskalasi kekerasan di kedua sisi.

Buku Wong sendiri menjadi suram menjelang akhir. Di Hong Kong, ia menulis, “Toko buku lokal menjual Panduan Hong Kong untuk Membuka Kafe di Taiwan dan Emigrasi ke Eropa untuk Si Bodoh.”

Di sekitar meja makan dan mesin minuman kantor, orang bertanya, “Bagaimana cara kerja sistem imigrasi Australia? Apakah nilai saya akan naik jika saya membeli properti?”

Sementara itu, ia memetakan “kebangkitan China yang tampaknya tak terhentikan untuk dominasi ekonomi dan politik.”

“Hong Kong adalah garis pertahanan pertama yang menghentikan atau setidaknya memperlambat kebangkitan berbahaya negara adikuasa totaliter,” tulisnya.

“Seperti kenari di tambang batu bara atau sistem peringatan dini di garis pantai yang rawan tsunami, kami mengirimkan sinyal marabahaya ke seluruh dunia, sehingga tindakan pencegahan dapat dilakukan sebelum terlambat.”

Dia sendiri mengaku belum menyerah. Dia “tidak punya rencana” untuk mencari suaka politik, meskipun ada prospek lebih banyak di luar penjara. Ia memilih menghadapi satu dekade di penjara dengan mendengar cerita-cerita tentang peluru tajam yang ditembakkan pada para pengunjuk rasa.

Dia menyerukan kepada pemerintah Australia untuk “mengakui kemerosotan nilai-nilai universal dan mendukung Hong Kong”.

Pun, dia memanggil orang-orang muda di mana saja untuk memobilisasi, secara politis sadar hak-hak mereka, dan turun langsung jika dibutuhkan.

“Gerakan ini masih berkembang,” katanya. “Saya sudah dipenjara, dan saya masih terus berjuang. Sebagai warga Hong Kong, saya berharap kita dapat menentukan nasib kita sendiri,” pungkasnya.

Sumber: https://www.matamatapolitik.com/kenapa-milenial-ramai-ramai-ikut-protes-hong-kong-in-analisis/