Sultan makin percaya diri karena Negara pun secara resmi mengakui, kepemilikan Sultan atas tanah di Jogja adalah sah.

Konflik agraria hanya kerikil kecil bagi Sultan Hamengkubuwono (HB) X yang mengklaim tanah di Jogja adalah milik Keraton. Sehingga, warga tak berhak mengakui kepemilikannya atas tanah-tanah yang kebanyakan akan disulap menjadi proyek-proyek mercusuar Sultan.

Apalagi, Sultan memiliki berbagai perangkat hukum seperti UUK Nomor 13 Tahun 2012 yang diperkuat dengan Peraturan Daerah Istimewa di bidang pertanahan. Pun, sejarah panjang soal kepemilikan lahan di Kota Gudeg tersebut.

Sultan makin percaya diri karena Negara pun secara resmi mengakui, kepemilikan Sultan atas tanah di Jogja adalah sah. Menteri Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Ferry Mursyidan Baldan menegaskan, Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960 bahkan tidak sepenuhnya berlaku di DIY. Sebab, daerah ini telah memiliki payung hukum sendiri berupa Undang-undang Keistimewaan (UUK).

“Kalau di DIY punya payung hukum, Keistimewaan,” katanya kepada Tribun, di Yogyakarta.

Menurutnya, jika ada aturan ikhwal pertanahan yang ternyata masih belum diatur di UUK DIY, maka itu bisa mengacu pada UUPA.

Regulasi antara UUK dengan UUPA berbeda pemberlakuannya. UUK merupakan lex spesialis, sedangkan UUPA lex generalis yang berlaku secara umum kecuali di daerah yang memiliki kekhususan seperti DIY.

“Itulah kekhususan utamanya, sama seperti Provinsi Papua atau Aceh,” ujarnya.

“Jangan kita pertentangkan dengan konflik regulasinya (antara UUK dengan UUPA), tapi bagaimana pemberian Keistimewaan,” sambungnya kepada media yang sama.

Ia juga menerangkan, sesuai ketentuan yang terdapat dalam UUK DIY, keberadaan tanah milik Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Puro Pakualaman masih ada, dan Negara mengakuinya.

“Sultan Ground (SG) dan Pakualaman Ground (PAG) itu masih ada,” tandasnya.

Berangkat dari pernyataan itu, posisi rakyat yang mendaku diri menjadi pemilik tanah mereka pun jadi tak sah, selama status SG dan PAG masih diakui pemerintah.

Kepala Biro Tata Pemerintah (Tapem) Setda DIY, Benny Suharsono berujar, pihaknya menghormati aspirasi masyarakat terkait pertanahan. Namun, dia memastikan proses pendataan tanah SG dan PAG tetap berjalan.

“Kami menghormati tuntutan yang berkembang, namun kami juga berkewajiban terus menjalankan proses pendataan tanah SG dan PAG karena itu amanah UUK,” katanya.

Hingga saat ini, terdata setidaknya 10 ribu bidang tanah Kasultanan dan Kadipaten se-DIY. Sementara, untuk ukuran dan luas tanah tersebut saat ini baru dihitung.

“Masih kita hitung secara pasti. Setiap bidang bervariasi ada yang 500 meter sampai lebih dari satu hektar,” ungkapnya.

Mengamini Benny, Kepala Biro Hukum Setda DIY, Dewo Isnu Broto IS, menjelaskan, UUK telah memberikan kepastian hukum atas pengaturan tanah SG dan PAG. Tertulis dalam UUK Bab X tentang pertanahan, Pasal 32 dan 33.

Sebagai informasi, Sultan Ground adalah Tanah Keraton yang belum diberikan haknya kepada penduduk maupun kepada pemerintah desa, masih merupakan milik keraton. Sehingga, siapa pun yang akan menggunakannya harus meminta izin kepada pihak Keraton. Tanah di Yogyakarta dengan status Sultan Ground, menurut laporan IVAA, merupakan kesinambungan antara masa lalu dan masa kini untuk menghormati Kasultanan Yogyakarta. Pemerintah Republik Indonesia pada 19 Agustus 1945 dengan Piagam Kedudukan Sri Paduka Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan HB IX, secara resmi mengakui keberadaan Keraton Yogyakarta, termasuk tanah tanahnya yang berstatus sebagai keprabon dalem dan dede keprabon dalem.

Walaupun tanah tanah itu telah mengalami perkembangan dalam penguasaan dan penggunaannya, namun status hukumnya senantiasa disesuaikan dengan konsep kerajaan, di mana Sultan adalah penguasa tunggal. Berdasarkan Rijksblaad Kasultanan 1918 Nomor 16 jo. Risjkblaad 1915 Nomor 23, dilakukan reorganisasi dengan tujuan memberikan hak atas tanah kepada rakyat biasa dengan hak hak yang kuat.

SG dibagi dua, yaitu Crown Domain atau Tanah Mahkota dan Sultanaad Ground. Crown Domain atau Tanah Mahkota tidak bisa diwariskan, sebab itu yang merupakan atribut pemerintahan Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat, di antaranya Keraton, Alun-alun, Kepatihan, Pasar Ngasem, Pesanggrahan Ambarukmo, Pesanggrahan Ambarbinangun, Hutan Jati di Gunungkidul, Masjid Besar dan sebagainya. Sementara tanah Sultanaad Ground (tanah milik Kasultanan) adalah tanah-tanah yang bisa diberikan dan dibebani hak. Tanah tersebut merupakan wilayah kerajaan Ngayogyokarto Hadiningrat yang tanahnya bisa dikuasai oleh rakyat. Tanah-tanah yang tidak ada tanda bukti haknya adalah tanah Sultan Ground/Paku Alaman Ground, yang perlu pengaturan lebih lanjut

Dengan demikian, publik sebaiknya tak perlu lagi menambah gaduh berita-berita soal SG dan PAG lagi.

https://www.matamatapolitik.com/demi...-news-polling/