Mana bisa menyebut Jogja berhati nyaman jika rakyat masih tergusur dari tanahnya sendiri. Berbagai konflik agraria yang melibatkan klaim sepihak Sultan Ground dan Pakualaman Ground harus diakhiri segera.

Bicara tanah Sultan atau Sultan Ground (SG) tak bisa dilepaskan dari keberadaan UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Jogja (UUK). Pasalnya, selain mengatur soal aristokrasi terkait pemilihan gubernur, tata ruang, kelembagaan, dan kebudayaan, UU yang hingga kini menuai kontroversi itu, turut mengatur soal pertanahan.

Masalahnya, mengutip wawancara Tirto dengan Bayu Dardias, Dosen UGM, Kasultanan dan Pakualaman di UUK disebut sebagai Badan Hukum yang, menurutnya justru tidak jelas sama sekali.

“Badan publik bukan, privat bukan. Sehingga, tidak ada yang bisa mengaudit kekayaan tanahnya atau tidak ada kewajiban membayar pajak. Padahal, anggaran sertifikasinya dari Danais (dari APBN). Kasultanan dan Pakualaman juga tidak wajib menyampaikan laporan apapun terkait tanah,” kritiknya.

Dalam hemat Bayu, pengaturan tanah yang semacam itu jelas aneh, lantaran negara seperti macan ompong yang tak punya taring untuk mengontrol kepemilikan properti lembaga di dalamnya.

Sementara itu, jika disewakan ke pihak ketiga, tidak jarang ini memicu gesekan di masyarakat, seperti kasus (penggusuran) PKL Gondomanan dan Pantai Watu Kodok. Negara tidak bisa mengharapkan Keraton dan Pakualam beritikad baik tidak menyelewengkan tanah mereka karena bisa jadi ada oknum yang bermain.

Gesekan pertanahan di Jogja juga tak berhenti sampai di sini. Masih banyak konflik agraria di wilayah yang punya slogan “Yogyakarta Berhati Nyaman” itu. Ini terkait dengan tiga megaproyek di Jogja, yakni, pembangunan bandara internasional di Kulon Progo, pertambangan pasir besi, dan pembangunan pabrik baja (Kulon Progo).

Pembangunan bandara internasional, menurut laporan Mongabay, disebut-sebut pemerintah sebagai proyek strategis nasional. Padahal itu sebenarnya tak lebih dari kegagalan Jogja mempertahankan pertanian pesisir selatan berproduktivitas tinggi dan khas budaya Jogja. Pemerintah Indonesia yang dalam hal ini diwakili PT Angkasa Pura I bekerjasama dengan investor India, GVK Power and Infrastrukture.

Hal yang jadi masalah adalah, pembangunan bandara dilaksanakan lewat proses yang lancung, lantaran penerbitan izin penetapan lokasi oleh Gubernur dan pembebasan lahan keluar, sebelum ada izin lingkungan. Setelah rentetan tak jelas karena cacat prosedur, petani pun tetap dipaksa angkat kaki melalui UU Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum. Hak petani yang menolak proyek seperti paguyuban warga Wahana Tri Tunggal, terabaikan. Uang ganti rugi tetap dititipkan di pengadilan.

Di Bantul, warga Parangkusumo, warga juga menghadapi ancaman penggusuran serupa, karena pemerintah berambisi membangun Parangtritis Geomaritime Science Park, sebuah kawasan konservasi di tanah yang diklaim sebagai Sultan Ground.

Di pesisir Gunung Kidul, warga Watu Kodok, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, berjuang karena terusir investor dengan senjata surat sakti kekancingan keluaran lembaga swasta Kesultanan.

Di Kota Yogyakarta dan Sleman, warga masih kukuh berjibaku menolak pembangunan masif hotel, mal, dan apartemen. Pembangunan itu sendiri sangat merusak tatanan sosial, lingkungan, dan budaya masyarakat.

“Paling terasa, pembangunan menyebabkan air sumur warga kering akibat penyedotan air tanah berlebihan dan tanpa mentaati prosedur,” tulis Mongabay.

Menanggapi konflik agraria yang tak kunjung rampung, Dewi Kartika, Sekjend Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) kepada media ini mengecam keras bentuk-bentuk penggusuran paksa, yang mengorbankan kelompok akar rumput.

Pemerintahan Jogja di sisi lain lebih banyak bersikap lembek dengan dalih hak keistimewaan Yogyakarta. Sikap ini, katanya, mengindikasikan pemerintah turut melanggengkan praktik-praktik feodalisme di Yogyakarta yang menjadi sebab konflik agraria.

Klaim-klaim sepihak atas nama Sultan Ground untuk merampas tanah rakyat jelas harus diakhiri.

“Penggusuran justru pemiskinan struktural. Penting perencanaan dan konsultasi bersama warga. Kebijakan penggusuran tanpa menyiapkan tempat relokasi terlebih dahulu agar warga dapat melanjutkan hidup adalah tindakan sembrono,” sungutnya.

https://www.matamatapolitik.com/musi...-news-polling/