Sejumlah PNS yang kelak bakal dipindah ke Kalimantan mengaku cemas pindah ke ibu kota baru lantaran belum ada kepastian terkait berbagai fasilitas, terutama pendidikan dan kesehatan. Di sisi lain, jika pemerintah akhirnya memberikan rumah bagi mereka, potensi kecemburuan dan konflik dari warga asli jadi tak terhindarkan.

Wacana pemindahan ibu kota baru dari Jakarta ke Kalimantan dibarengi dengan pemindahan Pegawai Negeri Sipil (PNS atau ASN) kementerian dan lembaga pemerintah pusat. Setidaknya, sebanyak 130.000 dari 180.000 PNS yang ada di Jakarta saat ini diprediksi bakal pindah ke ibu kota baru, Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara pada 2024.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Syafruddin berujar, pihaknya akan menyiapkan berbagai fasilitas untuk para aparatur sipil negara ini.

“Sekitar 180.000 itu tentu sebagian, kira-kira 3 persen tidak kena. Karena mereka itu sebagian akan pensiun. Paling tidak ada yang pensiun tahun ini ada yang pensiun tahun 2021 sampai 2024,” kata Syafruddin kepada BBC Indonesia beberapa waktu lalu.




Fasilitas yang dimaksud, konon selain sarana pendidikan untuk anak, juga rumah tinggal bagi para PNS dan keluarganya.

Ini senada dengan saran Pengamat Birokrasi dan Kebijakan Publik, Mudiyati Rahmatunnisa, “Orang tua inginnya menempatkan ke sekolah yang terbaik untuk anak-anak. Kalau ternyata di tempat nanti tidak sebanding, itu yang membuat mereka pikir dua kali. Makanya ada tren ingin pensiun dini,” ungkap Mudiyati kepada sumber yang sama.

Syafruddin sendiri membenarkan, para aparat sipil negara yang ditempatkan di Pulau Borneo ini akan mendapatkan rumah.

“Kalau fasilitas perumahan sudah disiapkan oleh negara, tidak akan kontrak-kontrak rumah, tidak akan beli-beli rumah seperti sekarang,” tuturnya.

Syafruddin bahkan menyebut, PNS diduga bakal lebih kerasan tinggal di ibu kota baru, karena pusat pemerintahan itu sengaja didesain dengan konsep green city dan smart city. Konsekuensinya, PNS akan tinggal tidak jauh dari kantornya. Transportasi lebih didominasi berjalan kaki atau bersepeda.

“Paling tidak transportasi tidak akan kita pakai, gaji akan utuh, tunjangan akan utuh untuk transportasi. Anak-anak ke sekolah tidak perlu diantar jemput pakai mobil, atau ojek online,” tambah Syafruddin kepada BBC Indonesia.

Menjawab kecemasan dari PNS soal fasilitas penyangga selama bekerja di sana, Syafruddin bilang, di ibu kota baru nanti ketersediaan fasilitas kesehatan, pendidikan, perumahan, rekreasi, dan transportasi akan lebih andal.

“Justru di sana bisa lebih efisien, kalau ASN dan aparat pindah ke sana, akan efisien,” ujarnya.

Meski konon semua fasilitas akan dijamin, justru di sinilah letak masalahnya. Masyarakat di Kalimantan Timur rentan mengalami kecemburuan karena mereka tak diberikan fasilitas serupa seperti kelompok pendatang.

Sosiolog Universitas Gajah Mada (UGM) Sunyoto Usman menuturkan, “Pada tahap-tahap awal terjadi [kecemburuan sosial]. Ada orang yang iri karena ada pendatang [ASN] yang mendapat fasilitas lebih dari mereka [masyarakat lokal],” ujarnya kepada reporter Tirto.

Potensi konflik pun tak terhindarkan jika rumah yang diberikan sebagai fasilitas, mengeksploitasi lahan milik masyarakat lokal.

“Pemerintah jangan hanya memberikan akses kepada pendatang [ASN]. Kalau akses itu hanya diberikan kepada pendatang, akan menimbulkan konflik,” ucapnya lagi kepada sumber serupa.

Ia menjelaskan, untuk mengantisipasi gesekan horizontal, pemerintah harus bisa menguraikan manfaat pemindahan ibu kota kepada masyarakat lokal.

“Pemerintah juga harus meberikan fasilitas yang setara antara ASN dengan masyarakat lokal,” tuturnya lagi.

Mengamini Sunyoto, Peneliti Puslit Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Puguh Prasetyoputra yang diwawancara Tirto juga menyebut, pemerintah perlu memikirkan ekses konflik yang timbul setelah ibu kota dipindah.

Untuk mengantisipasi gesekan sosial baru, ungkap Puguh, perlu ada pendalaman yang ketat terkait kondisi demografi masyarakat. Lantas diprediksi secara ilmiah dampak masuknya pendatang dari Jakarta, serta dirumuskan metode pendekatan terhadap masyarakat lokal.

“Kita harus belajar dengan konflik horizontal yang sudah pernah ada, kondisinya kan nanti ketika ibu kota di Kaltim terdiri dari berbagai macam suku dan budaya. Ketika adanya ASN pindah, belum tentu bisa beradaptasi dengan baik dan belum tentu bisa diterima masyarakat lokal,” katanya.

Di samping menempuh pendekatan sosial dan kultural kepada warga lokal, pemerintah juga harus memastikan, pembangunan wilayah Kalimantan Timur itu akan terasa dampak positifnya bagi warga lokal. Yang ia maksud, yakni pembangunan infrastruktur, sarana, dan prasarana yang sebisa mungkin juga diperuntukan bagi mayarakat lokal. Ini perlu dilakukan agar kecemburuan sosial bisa ditekan.

Jadi, jangan hanya memindahkan ibu kota dengan ceroboh tanpa memikirkan ekses lain yang bakal timbul. Pemindahan PNS adalah soal lain, tapi menjaga agar tidak mengorbankan nasib masyarakat lokal adalah hal yang harus dikaji serius.


Sumber: https://www.matamatapolitik.com/pote...-news-polling/