Contoh lain yang mengganggu dari “budaya pemerkosaan” di Korea Selatan (Korsel) adalah tuntutan publik atas tindakan pemerintah.

Sekitar 20 orang telah ditangkap di Korea Selatan pada 19 Maret, karena diduga menjadi dalang penyebar konten pornografi berbayar pada layanan ruang obrolan Telegram. Menurut situs Nate, kepolisian Seoul melaporkan, tersangka yang umumnya pria tersebut telah menipu hingga lebih dari 70 perempuan.

Praktik ini dijalankan dengan iming-iming pekerjaan paruh waktu bergaji tinggi. Namun, para perempuan yang jadi korban justru dijebak dan dipaksa untuk mengirimkan video asusila dirinya sendiri. Polisi juga menuturkan, beberapa korban yang menjadi sasaran pelaku masih berusia di bawah umur. Dugaan sementara polisi, yakni lebih dari 260.000 pria di seluruh penjuru negeri telah menjadi pelanggan yang membeli video-video ini.

Di antara para tersangka, yang paling terkenal adalah Cho yang dijuluki “Dokter Telegram”. Cho dianggap sebagai distributor terbesar dan paling aktif dari konten video ilegal di layanan ini, dengan lebih dari 260.000 pengikut.

Dikutip dari The Diplomat, ia juga diduga mengamankan informasi pribadi tentang para korban dan anggota ruang pesan Telegram melalui pembantu administrasi di kantor pemerintah setempat. Dia kemudian menggunakan informasi itu untuk memeras para korban. Dia bahkan diduga memaksa para korban untuk mengukir kata “budak” di tubuh mereka dan berpose dengan gerakan khusus, untuk membuktikan kepada para pengikutnya bahwa mereka “milik” dia.




Cho dan tersangka lainnya kemungkinan akan menghadapi hukuman berat. Pasalnya, beberapa korban adalah anak di bawah umur. Tersangka dapat menghadapi hukuman penjara jika terbukti bersalah atas tuduhan tersebut. Para pengikut Cho dan tersangka lainnya juga bakal dikenai hukuman. Polisi berencana untuk mengidentifikasi orang-orang yang memiliki dan mendistribusikan klip video ilegal terlebih dahulu.

Berita tentang penangkapan Cho dan tersangka lainnya jadi angin segar bagi negara yang kerap diwarnai insiden pelecehan perempuan itu. Namun, publik percaya masih banyak yang harus dilakukan untuk memberantas kejahatan serupa di negara itu, dan mencegahnya agar tak terulang lagi di masa depan.

Seo Seung-hee, Kepala Pusat Respons Seksual Dunia Maya Korea, paling vokal mengkritik ini. Selama wawancara dengan pers lokal, Seo menunjukkan, Korea Selatan tidak memiliki undang-undang yang relevan untuk menghukum kejahatan yang terkait dengan layanan olah pesan seluler seperti Telegram.

Karena tidak ada klausul yang secara tepat mencakup insiden seperti itu, hukuman akan diputuskan oleh pengadilan, kata Seo. Ia menekankan, hukuman yang cukup harus diberikan kepada semua kaki tangan yang terlibat dalam kegiatan ini.

Menurutnya, undang-undang baru untuk menghukum kepemilikan semua materi ***** harus dibuat, seraya mengutip fakta, pengikut Cho yang seenak udel menikmati materi ilegal.

Seo juga menunjukkan, selain penting untuk memutuskan hukuman, kejahatan tersebut dapat terulang selama “budaya pemerkosaan” terus ada di masyarakat Korea Selatan.

Istilah “budaya pemerkosaan” mengacu pada lingkungan di mana pemerkosaan merajalela dan norma-norma media dan budaya pop menoleransi kekerasan seksual terhadap perempuan.

“Struktur industri yang mendorong orang untuk percaya, mereka dapat menghasilkan uang dengan memperdagangkan perempuan dan melabeli korban ‘perempuan nakal’ terus menyebabkan masalah seperti itu,” tambahnya.

Dalam kasus insiden Telegram, Seo mengatakan, itu adil untuk mengatakan ada “budaya” di antara tersangka yang ingin melihat video dan foto ilegal. Oleh karenanya mereka menciptakan sebuah platform untuk menghasilkan uang dari permintaan konsumen.

“Belum lagi mereka membuat lebih mudah untuk memeras korban dengan memberi label mereka perempuan nakal,” keluhnya.

Saran Seo dapat segera terwujud. Di tengah meningkatnya kemarahan publik di negara itu, Presiden Korea Selatan Moon Jae-in bereaksi terhadap kasus ini. Ia mengatakan kesetujuannya tentang urgensi menyelidiki semua pengikut Cho dan tersangka lain di Telegram.

Menyebut insiden itu “kejam,” Moon menuntut agar pihak berwenang menyelidiki kasus ini dengan saksama sambil berjanji memberikan bantuan yang diperlukan bagi para korban.

Secara terpisah, sumber yang tidak disebutkan namanya dari Gedung Biru Presidensial mengatakan kepada pers, kasus ini dapat memicu pemerintah untuk meninjau kembali undang-undang saat ini, dan mencari revisi demi mencegah kejahatan serupa terjadi di masa depan.

Meskipun tersangka utama, termasuk Cho, telah ditangkap, publik tampaknya menginginkan lebih. Tidak puas dengan tuntutan hukuman yang lebih berat dan investigasi yang lebih luas ke jaringan pornografi lainnya di Telegram, banyak yang sekarang mendesak pihak berwenang untuk mengungkap identitas lengkap para tersangka.

Pada 23 Maret, lebih dari 2,3 juta orang telah berbondong-bondong ke saluran petisi online resmi Korea Selatan ‘Petisi Nrh Room’ untuk mengajukan tuntutan tersebut. Sementara sekitar 1,6 juta orang menandatangani petisi terpisah yang meminta pengungkapan informasi pribadi semua pengikut para tersangka, termasuk Cho. Jumlahnya kini terus bertambah.

Sumber: https://www.matamatapolitik.com/peti...rsel-in-depth/