Berita tentang bendungan lembah yang berisi puluhan ribu mayat itu muncul, usai penyintas genosida yang keluar dari penjara menjelaskan kemungkinan pemakaman massal di sana.

Sebuah bendungan lembah yang berisi sekitar 30 ribu mayat akibat genosida 25 tahun silam telah ditemukan baru-baru ini. NY Post menulis, penemuan ini disebut sebagai yang paling penting dalam bertahun-tahun lamanya. Namun, hingga kini, baru ada 50 mayat yang berhasil digali di tengah keterbatasan Afrika Timur seiring dengan perintah lockdown virus corona dari otoritas setempat.

Pada Selasa (7/4), dilansir dari NY Post Rwanda menandai peringatan ke-26 tahun genosida, tetapi karena negara itu dalam kondisi lockdown, maka sebagian besar dari mereka hanya bisa mengikuti acara peringatan di televisi dan media sosial.

Berita tentang bendungan lembah yang berisi puluhan ribu mayat itu muncul, usai penyintas genosida yang keluar dari penjara menjelaskan kemungkinan pemakaman massal di sana. Informasi lain tentang bendungan itu berasal dari penduduk yang berada di sekitarnya.

Naphtal Ahishakiye, sekretaris eksekutif organisasi korban genosida yang selamat, mengatakan kepada The Associated Press, “Tantangan yang kami hadapi sekarang adalah bendungan lembah berisi air, tetapi kami berusaha mengeringkannya.”

Lembah itu berada di luar ibu kota, Kigali, di timur negara itu.

Pihak berwenang Kigali sendiri mengatakan, bendungan itu digali bertahun-tahun sebelum genosida guna menyediakan air bagi pertanian padi.

Sekarang ketika kuburan korban genosida ditemukan, beberapa orang yang selamat mempertanyakan apakah rekonsiliasi sejati dapat diwujudkan jika para pelaku pembunuhan menyembunyikan informasi tentang di mana orang-orang dikuburkan, tulis NY Post.

Menggali mayat selama pandemi virus corona sangat menantang karena orang tidak bisa berkumpul, kata Ahishakiye.

“Namun, kami mencoba yang terbaik agar kami memberikan penguburan yang layak kepada orang mati.”

Menurut catatan Alan Cowell di The New York Times, genosida Rwanda merupakan serangan mendadak tak terduga yang menuliskan babak-babak baru dalam catatan sejarah genosida, menyoroti kegagalan para penjaga perdamaian internasional untuk memastikan situasi tetap kondusif.

Dua puluh lima tahun lalu, tanggal 7 April 1994, Hutu yang mendominasi Rwanda melakukan kekerasan yang direncanakan dengan baik terhadap minoritas Tutsi yang mereka anggap sebagai pengkhianat. Seratus hari kemudian, ketika pembunuhan akhirnya berhenti, jumlah kematian mencapai satu juta korban jiwa, kebanyakan merupakan orang Tutsi, tetapi juga termasuk beberapa orang Hutu moderat yang menentang pertumpahan darah.

Skala korban jiwanya mengejutkan, tetapi lebih banyak korban jatuh ketika pembunuhan melanda negara tetangga, Republik Demokratik Kongo, yang memicu pertikaian bertahun-tahun di wilayah Danau-Danau Besar Afrika. Di sepanjang sejarah yang berlumuran darah tersebut, kekerasan seksual menjadi terjalin dalam kengerian perang. Perempuan menjadi korban pemerkosaan massal yang tak terungkap, hingga akhirnya mempercepat penyebaran AIDS. Keturunan yang dihasilkan dari para korban pemerkosaan dicap sebagai “anak-anak para pembunuh.”

Genosida ini sendiri dulunya dilakukan dengan pengaturan yang cermat. Daftar lawan-lawan pemerintah dibagikan kepada milisi yang pergi dan membunuh mereka, bersama dengan semua keluarga mereka. Tetangga membunuh tetangga, dan beberapa suami bahkan membunuh istri Tutsi mereka, dan mengatakan mereka akan dibunuh jika mereka menolak.

Pada saat itu, KTP mencantumkan kelompok etnis orang-orang, sehingga milisi membangun penghalang di mana Tutsi dibantai, sering kali dengan parang yang disimpan kebanyakan orang Rwanda di sekitar rumah.

Sumber: https://www.matamatapolitik.com/pulu...i-rwanda-news/