PART 180
hawa arak, pemuda perkasa ini melepaskan kancing bajunya sehingga
tampak rambut halus ditengah dadanya yang bidang dan kokoh kuat itu.
Tiba‐tiba seorang pelayan menghampiri meja Kwee Lun. pelayan ini tadi
melihat ketidak wajaran pada kedua tukang pukul yang duduk berhadapan
dengan pemuda itu. Mengapa mereka tidak bergerak‐gerak dan duduk
dengan lemas, dan ketika dia bertemu pandang, tukang pukul yang gendut
pendek itu mengejapkan mata kepadanya sedangkan dari kedua mata tukang
pukul kurus pucat itu keluar dua titik air mata. Maka dia cepat menghampiri
dan melihat dari dekat. "mau apa kau? pergi!" Kwee Lun membentak dan
pelayan itu kaget sekali, lalu lari pergi masuk ke dalam untuk melaporkan
keanehan itu kepada kepala tukang pukul yang lain. Kwee Lun bukanlah
seorang yang bodoh. Dan maklum bahwa pelayan itu telah melihat keadaan
dan tentu akan melapor ke dalam. Maka dia memandang ke sekeliling dan
mencari akal. Ketika dia melihat segulung tambang yang besar dan kuat,
timbullah akalnya. Dia bangkit berdiri, melangkah lebar ke dekat meja
pengurus, menyambar gulungan tambang itu dan berkata dengan suara
lantang yang ditujukan kepada para tamu yang duduk di ruangan restoran
itu, "Semua orang yang berada di dalam restoran ini harap lekas pergi!
Restoran ini akan ambruk!" Kemudian sekali melompat tubuhnya telah
berada di luar restoran. Di ikatkan ujung tambang ke pilar di depan, pilar
yang ikut menyangga atap, kemudian dia membawa ujung tambang yang lain
ke jalan depan restoran. Dengan memegang ujung tambang, mulailah
pemuda raksasa ini menarik tambang, melalui atas pundak kanannya yang
menonjolkan otot besar yang amat kuatnya. Tambang besar itu menegang,
kemudian terdengar suara berkerotok. Orang‐orang sudah mulai lari keluar
rumah makan itu dan mereka ada yang ketawa‐tawa geli menyaksikan
pemuda itu menarik tambang. Tentu pemuda itu sudah mabok, pikir mereka.
Mana mungkin merobohkan bangunan yang besar itu dengan cara demikian?
Menarik tambang yang diikatkan pada pilar yang demikian besar dan
kuatnya. Kalau tidak mabok tentu sudah gila! Memang membutuhkan tenaga
gajah untuk dapat menumbangkan pilar yang sedemikian kokohnya. Kwee
Lun mengerahkan tenaga, matanya terbelalak, dahinya penuh keringat dan
mulutnya mengeluarkan gerengan yang langsung keluar dari dalam
pusarnya, seluruh tubuhnya menarik tambang dengan pemusatan perhatian
dan tenaga. "Krakkk....!" Pilar yang kokoh kuat itu patah tengahnya! Orangorang
berteriak kaget dan mulai berlari‐lari ketakutan. Terdengar bunyi
hiruk pikuk ketika akhirnya, atap rumah makan itu runtuh ke bawah dan
menyusul debu mengebul tinggi dibarengi teriakan‐teriakan mengerikan dari
dalam di mana masih banyak pekerja restoran itu yang teruruk. Di antara
suara hiruk pikuk ini terdengar suara ketawa dari Kwee Lun yang masih
memegang tamban besar itu di kedua tangannya. Tali besar itu sudah
terlepas dari pilar dan kini menjadi senjata di kedua lengan yang dilingkari
otot itu. Tempat itu menjadi sunyi dan biarpun banyak sekali penduduk kota
yang berlari‐larian datang, mereka hanya menonton dari jauh saja, tidak ada
yang berani mendekati restoran yang sudah runtuh itu. Belasan orang tukang
PART 181
pukul datang berlarian, dari belakang restoran yang roboh dan dari rumah
judi yang berada di sebelah kanan restoran. "Itu orangnya....!" Seorang
pelayan restoran yang berhasil menyelamatkan diri menuding ke arah Kwee
Lun. "Tangkap penjahat....!" "Serbu....!" "Bunuh....!" Lima belas orang tukang
pukul dengan bermacam senjata di tangan mereka, belari‐lari datang
menyerbu dan mengurung Kwee Lun. Pemuda ini masih tersenyum lebar, tali
tambang tadi masih melingkar‐lingkar di kedua lengan, kdua kakinya
terpentang lebar dan sikapnya gagah sekali, membuat lima belas orang
tukang pukul itu merasa gentar dan ragu‐ragu untuk mendahului maju
menyerang. Seorang yang telah meruntuhkan sebuah bangunan seperti
restoran itu, sudah jelas memiliki tenaga gajah! Apalagi melihat sikap yang
demikian gagah. "Ha‐ha‐ha, hayo majulah! Mengapa ragu‐ragu? Hayo
keroyoklah aku! Memang aku datang untuk membasmi komplotan yang
merajalela di Leng‐sia‐bun. Kalian ini anak buah si ******* Ciu Bo Jin, bukan?
Mana itu hartawan Ciu jahanam, si penculik gadis orang! Suruh dia keluar,
biar kuhancurkan kepalanya!" "Serbu....!!" Kepala tukang pukul, seorang she
Ma yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi dan menjadi tangan kanan Ciuwangwe,
berseru setelah diam‐diam dia mengutus seorang anak buahnya
untuk melaporkan kepada Ciu‐wangwe di hotel, dan seorang anak buah lagi
disuruh minta bala bantuan di markas keamanan! Tiga belas orang tukang
pukul, dipimpin oleh Ma Siu menyerbu dengan senjata mereka. Akan tetapi,
Kwee Lun tertawa bergelak dan begitu kedua lengannya bergerak, tali besar
yang panjang menyambar dan menjadi gulungan sinar yang besar panjang.
Setiap senjata pengeroyok yang terbentur tali itu terlepas dari pegangan
pemiliknya sehingga terdengarlah teriakan‐teriakan kaget karena dalam
segebrakan saja, lima orang tukang pukul kehilangan senjata mereka dan dua
orang lagi terpelanting roboh dan tak dapat bangun kembali karena tulang
punggung dan tulang iga mereka patah oleh hantaman tambang! Ma Siu
menjadi marah sekali dan dengan nekat dia bersama sisa anak buahnya
menyerbu dan menghujankan senjata mereka kepada Kwee Lun. Namun
pemuda Pulau Kura‐kura ini sambil tertawa melakukan perlawanan
seenaknya. Teringat dia oleh perbuatan Swat Hong yang menyingkirkan
pedang dan kipasnya, karena andaikata dia menggunakan dua senjata itu,
agaknya sekarang semua tukang pukul sudah roboh kehilangan nyawa
mereka! Dan dia tahu bahwa biang keladi semua kejahatan adalah orang She
Ciu, adapun para tukang pukul ini hanya orang‐orang yang mencari nafkah
mengandalkan ilmu silat mereka! Biarpun cara mencari nafkah dengan
menjadi tukang pukul adalah perbuatan sesat yang menimbulkan kekejaman,
namun andaikata tidak ada Hartawan Ciu yang menjadi sumber maksiat,
agaknya mereka tidak akan berani mengacaukan sebuah kota besar seperti
Leng‐sia‐bun. Diam‐diam dia membenarkan tindakan Swat Hong dan teringat
dia akan nasehat suhunya bahwa di dalam perantauannya, dia tidak boleh
sembarangan membunuh orang! Sementara itu, di dalam hotel juga terjadi
keributan hebat. Dengan dua batang pedang tergantung di punggung dan
kipas gagang perak di tangan, Swat Hong memasuki hotel besar di sebelah
PART 182
kiri restoran. Gedung yang lebih megah dan besar daripada restoran itu.
Dengan sikap tenang dia berjalan menaiki anak tangga di depan hotel.
Beberapa orang pelayan segera menyambutnya dengan wajah berseri.
Biarpun dara ini membawa pedang di punggung namun kecantikannya yang
luar biasa menyenangkan hati para pelayan. "Apakah Nona mencari kamar,?"
tanya seorang pelayan dengan senyum manis. "Bukan mencari kamar, akan
tetapi aku mencari Ciu‐wangwe," jawab Swat Hong tanpa memperdulikan
senyum itu. Wajah para pelayan itu berubah dan pandang mata mereka
membayangkan kecurigaan, "Tidak semudah itu mencari Loya, Nona,. Pula,
kami tidak tahu dimana adanya Ciu‐wangwe sekarang ini...." kata seorang di
antara mereka dengan suara hati‐hati. "Aihhh, kalian tidak perlu membohong
lagi. Aku mengenal Ciu‐wangwe dan kedatanganku adalah atas undangannya.
Aku tahu bahwa dia sedang menjamu kepala Daerah di ruangan belakang
hotel ini, bukan? Kalau kalian tidak membawaku menemuinya sekarang juga,
bukan hanya dia akan marah kepada kalian, akan tetapi aku pun akan
kehabisan sabar!" Mendengar ini, para pelayan itu saling pandang, lalu
seorang di antara mereka memanggil tukang pukul. Dua orang tukang pukul
datang berlari. Mereka adalah bekas‐bekas perampok yang tentu saja dapat
menduga bahwa wanita ini tentulah seorang kang‐ouw, maka mereka segera
memberi hormat dan bertanya, "Ada urusan apakah Lihiap hendak bertemu
dengan Ciu‐wangwe?" Swat Hong memandang tajam dan mengambil sikap
marah. Eh, pangkat kalian di sini apa sih berani bertanya‐tanya urusan antara
aku dan Ciu‐wangwe? Lekas bawa aku menemuinya!" "Tapi... tapi.... Loya
sedang menjamu ***‐jin, tidak boleh diganggu!" "Siapa mau mengganggu?
Aku justru datang memenuhi panggilannya untuk meramaikan pesta! Kalau
dia marah, biar aku yang tanggung jawab, akan tetapi kalau kalian berani
menolak aku, dia akan marah kepada kalian!" Dua orang tukang pukul itu
saling pandang, kemudian mereka berkata, "Baiklah mari kami antarkan
Lihiap ke dalam." Mereka telah mengambil keputusan dengan isyarat mata
untuk mengawal dan menjaga wanita cantik ini. Kalau wanita ini mempunyai
niat buruk, masih belum terlambat untuk merobohkannya. Siapa tahu,
melihat kecantikannya yang luar biasa, sangat boleh jadi kalau dia ini adalah
seorang yang dikenal oleh Ciu‐wangwe dan benar‐benar dipesan datang
untuk menghibur pembesar! Dengan langkah tenang sambil mengipasi
lehernya dengan kipas gagang perak, Swat Hong diiringkan dua orang tukang
pukul itu melalui gang yang berliku‐liku, melalui kamar‐kamar di mana
terdapat wanitawanita cantik yang rata‐rata wajah layu dan bermata sayu,
ada yang duduk sendiri, ada pula yang sedang berduaan dengan seorang
tamu pria karena terdengar suara ketawa laki‐laki di dalam kamar itu,
kemudian tibalah mereka di ruangan belakang yang luas dan terjaga oleh
belasan orang prajurit pengawal yang bercampur dengan para tukang pukul.
Ketika mereka bertiga muncul, tentu saja para penjaga dan pengawal itu
memandang Swat Hong dengan penuh perhatian. Dua orang tukang pukul itu
agaknya bangga dapat mengawal nona cantik jelita ini maka sambil
mengacungkan ibu jari, mereka berkata, "Barang baru! Pesanan khusus!"
PART 183
Maka tertawa‐tawalah para pengawal dan tukang pukul itu memasuki pintu
besar yang menembus ke dalam ruangan. Karena mereka yang duduk
mengitari meja besar terdiri dari belasan orang berpakaian serba indah dan
masing‐masing dilayani dan dirubung wanita‐wanita muda dan cantik, Swat
Hong tidak mau bertindak sembrono. Dia tidak tahu siapa Ciu‐wangwe dan
yang mana pula kepala daerah, maka dia menanti dan membiarkan dua orang
tukang pukul itu melapor. Akan tetapi sebelum kedua orang yang sudah
menjura penuh hormat itu sempat membuka mulut, seorang yang berpakaian
serba biru, berusia lima puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan matanya
besar sebelah, telah bangkit berdiri dan membentak, "Haii! Mengapa kalian
lancang....?" Dia tidak melanjutkan ucapannya karena matanya telah dapat
melihat Swat Hong dan kini dia memandang heran. Swat Hong sudah
melangkah ke dalam, mendekati meja lalu bertanya kepada laki‐laki
berpakaian biru itu, "Apakah aku berhadapan dengan Ciu‐wangwe?" Laki‐laki
itu memang benar Ciu Bo Jin. Dia merasa curiga sekali, akan tetapi karena dia
mengandalkan ilmu kepandaiannya sendiri, pula dia berada di tempatnya
sendiri yang terjaga oleh para anak buahnya, bahkan disitu terdapat pula
pasukan pengawal Gu‐taijin, maka sambil tersenyum lebar dia melangkah
maju dan berkata, "Benar, aku adalah orang she Ciu yang kau cari. Nona
siapakah dan .... heiiittt...." Dia cepat mengelak ke kiri ketika melihat nona
cantik itu sudah menerjang maju, menggunakan tangan kirinya
mencengkeram ke arah pundaknya. Gerakan Ciu‐wangwe cukup cekatan dan
memang dia telah memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi sekali ini dia
berhadapan dengan seorang dara perkasa yang luar biasa lihainya, maka
baru saja dia mengelak, tahu‐tahu ujung gagang kipas terbuat dari perak itu
telah menotok jalan darah di punggungnya dan dia terpelanting roboh
dengan tubuh lemas! Peristiwa ini terjadi sedemikian cepatnya sehingga
tidak terduga sama sekali, maka terjadilah keributan hebat. Seorang yang
tubuhnya gendut dan mukanya merah sekali, agaknya sudah mabok, bangkit
berdiri dengan tiba‐tiba sehingga dua orang ******* cantik yang tadinya
duduk di atas kedua pahanya terpelanting jatuh sambil menjerit. Orang ini
berpakaian mewah dan sikapnya agung‐agungan, sambil berdiri dia berseru,
"Hai... pengawal....! Tangkap pengacau...!!" Pintu depan terbuka dan para
pengawal serta tukang pukul berlompatan masuk. Swat Hong girang sekali
karena dia dapat menduga bahwa Si Gendut itulah tentu yang menjadi kepala
daerah, orang she Gu yang diperalat oleh Ciu‐wangwe. Maka dia sudah
meloncat ke dekat orang itu, mencabut pedangnya dan menempelkan pedang
telanjang di leher Gu‐taijin sambil menghardik, "Gu‐taijin! Cepat kau
menyuruh mundur semua orangmu! Kalau tidak, pedang ini akan
menyembelih lehermu!" Swat Hong menahan geli hatinya melihat tubuh yang
gendut itu menggigil semua dan dia menahan jijiknya karena terpaksa
menggunakan tangan kanan mencengkeram leher baju. Apalagi ketika
melihat betapa lantai di bawah pembesar gendut ini tiba‐tiba menjadi basah,
tersiram air yang membasahi celana, dia makin jijik. Ingin dia membacokkan
pedangnya saja agar manusia tiada guna ini tewas seketika kalau saja dia
PART 184
tidak teringat bahwa jalan satu‐satunya untuk membantu Kwee Lun
membereskan urusannya hanyalah menangkap pembesar ini hidup‐hidup.
Biarpun manusia gendut ini tidak ada gunanya, akan tetapi manusia yang
bagaimana pun pengecut dan lemahnya, sekali menduduki pangkat besar,
menjadi seorang yang sewanang‐wenang dan jahat! Makin pengecut dan
makin rendah watak orang itu makin celakalah kalau dia memperoleh
kedudukan tinggi, karena kerendahan akalnya akan membuat dia makin
jahat, mempergunakan kekuasaannya yang kebetulan melindunginya. "Am...
ampun...!" Gi‐taijin dengan sukar sekali mengeluarkan suara. Mendengar
betapa lehernya akan disembelih, apalagi disembelih berlahan‐lahan dan
sedikit demi sedikit, membayangkan betapa lehernya akan terasa perih dan
nyeri, berlepotan darah, betapa dia akan mati dan meninggalkan semua
kemewahan dan kesenangan hidupnya, hampir dia pingsan! "Suruh mereka
mundur...!" Kembali Swat Hong membentak dan tangan kirinya
mencengkeram tengkuk. "Ouwwhhh...!" Pembesar itu menjerit, mengira
tengkuknya disembelih, padahal hanyalah jari‐jari saja yang
mencengkeramnya. "Heii, mundur kalian! ***** semua! Mundur kataku, dan
jangan membantah... Li... Lihiap...!" Para pengawal menjadi bingung dan
dengan muka pucat dan mata terbelalak lebar mereka mundur sambil
memandang penuh kesiapsiagaan. Pada saat itu, seorang tukang pukul telah
berhasil membebaskan totokan Ciu‐wangwe dan kini hartawan itu dengan
marahnya berteriak kepada tukang pukulnya, "Cepat serbu iblis betina itu....!"
Swat Hong kembali mencengkeram tengkuk Gu‐taijin. "Suruh jahanam Ciu itu
menyerah!" "Ouughh... Ciu‐wangwe... jangan...! jangan melawan....!" Ciuwangwe
yang melihat betapa kepala daerah itu telah ditangkap, sejenak
menjadi bingung sekali. Akan tetapi tentu saja dia tidak sudi menyerah dan
pada saat itu terdengar suara hiruk pikuk di sebelah luar hotel. Tahulah Swat
Hong bahwa Kwee Lun tentu telah turun tangan pula mulai bereaksi, maka
dia berkata, "Orang she Ciu! Kejahatanmu berakhir di hari ini juga!" Selagi
Ciu‐wangwe kebingungan, tiba‐tiba datang seorang tukang pukulnya dari
luar dan berteriak‐teriak, "Celaka... Loya.... ada orang merobohkan restoran
kita....!" Akan tetapi orang ini terbelalak memandang ke dalam dengan muka
pucat. Dia melihat kepala daerah berada dalam cengkeraman wanita cantik
itu dan melihat Ciu‐wangwe berdiri bingung. Mendengar ini, Ciu‐wangwe
menjadi kaget dan mengira bahwa tentu banyak musuh yang datang
menyerbunya. Dia tidak mau mempedulikan Gu‐taijin lagi. Dalam keadaan
seperti itu, yang terbaik baginya adalah berada di luar dan berusaha
mengerahkan seluruh anak buahnya untuk menghadapi para penyerbu.
Keselamatan Gu‐taijin tentu saja tidak dipedulikannya lagi. Maka tanpa
berkata apa‐apa lagi dia lalu berlari hendak keluar dari ruangan besar itu.
"Hendak kemana engkau?" Swat Hong cepat menotok roboh Gu‐taijin dan
meloncat ke depan. Tubuhnya melayang dan Ciu‐wangwe hanya melihat
sesosok bayangan berkelebat dan tahu‐tahu wanita cantik itu telah berdiri di
depannya! "Serbu....!" Bentaknya dan dia sendiri yang sudah mencabut
goloknya membacok dengan cepat sambil mengerahkan seluruh tenaganya.
PART 185
"Sing‐sing‐singggg....!!" Bertubi‐tubi golok itu menyambar dan kini anak
buahnya juga sudah membantunya. Swat Hong cepat memutar pedangnya
dan mengerahkan sinkang disalurkan kepada pedang itu. "Cringcring‐ trangtrang‐
trang....!!" Sebatang golok di tangan Ciu‐wangwe dan empat batang
pedang terlepas dari pegangan pemiliknya, dan tiga orang pengeroyok roboh
terkena totokan kipas perak di tangan kirinya! Melihat kelihaian wanita ini,
bukan main kagetnya hati Ciu‐wangwe. Dia sudah berpengalaman dan
tahulah dia bahwa kalau dia melanjutakn, dia sendiri akan roboh di tangan
wanita lihai ini. Maka jalan terbaik baginya adalah lari keluar untuk
mengerahkan anak buahnya dan kalau perlu melarikan diri! Melihat orang
yang hendak ditangkapnya itu lari, Swat Hong hendak mengejar, akan tetapi
pada saat itu dia melihat tubuh gendut Gu‐taijin sedang dibantu oleh
beberapa orang meninggalkan tempat itu. Celaka, pikirnya. Dia harus dapat
menangkap pembesar itu , kalau tidak, tentu akan sukar menundukan semua
orang. Maka dia lalu mengerahkan tenaga pada tangan kanan, tangan kanan
itu bergerak dan pedangnya meluncur seperti kilat menyambar ke depan.
Terdengar jerit mengerikan dan tubuh Ciu‐wangwe terjungkal ke depan,
dadanya ditembusi pedang dari punggung dan dia tewas seketika! Swat Hong
telah melompat dan tangan kanannya kembali sudah mencabut pedang, kini
pedang milik Kwee Lun yang dicabutnya. Kipas di tangan kirinya
merobohkan empat orang pengawal yang tadi membantu Gutaijin dan
mereka roboh tertotok, kemudian sebelum pembesar itu sempat bergerak,
dia sudah mencengkeramnya lagi, bahkan yang dicengkeram adalah
pundaknya sambil mengerahkan tenaga. "Aughhh... add... duh... duh...duhhh...
ampun, Lihiap....!" Gu‐taijin berteriak‐teriak seperti seekor **** disembelih.
"Hayo cepat suruh mereka semua mundur!" bentak Swat Hong, kembali
pedang telanjang ditekankan di tengkuk pembesar itu. "Mundur kalian
semua! *******! Kurang ajar kalian! Disuruh mundur tidak cepat mentaati
perintah! Apa minta dihukum gantung semua!" Mendengar pembesar ini
dengan suara galak sekali, seperti biasanya, membentak‐bentak, semua
pengawal dan anak buah Ciu‐wangwe terbelalak ketakutan dan mundur.
Apalagi mereka melihat betapa Ciu‐wangwe sudah tewas. Para ******* yang
tadi melayani perjamuan itu, menjerit‐jerit dan lari pontang‐panting,
kemudian bersembunyi di kolong‐kolong meja dan belakangbelakang lemari.
Swat Hong mendengar suara ribut‐ribut diluar, suara pertempuran. Tahulah
dia bahwa Kwee Lun sedang dikeroyok. Cepat dia menarik tubuh pembesar
Gu keluar dari hotel, kemudian dengan mencengkeram punggung baju, dia
membawa pembesar gendut itu meloncat ke atas genteng. Semua orang
memandang heran melihat betapa seorang gadis cantik dan muda seperti itu
mampu meloncat sambil mencengkeram tubuh seorang laki‐laki bertubuh
gendut dan berat seperti pembesar itu! Swat Hong masih mencengkeram
punggung Gu‐taijin yang pucat sekali wajahnya, menggigil kedua kakinya.
Tentu saja dia merasa ngeri berdiri di atas genteng, di pinggir sekali.
Terpeleset sedikit saja dia tentu akan melayang jatuh ke bawah, tubuhnya
akan remuk! Selama hidupnya tentu saja belum pernah dia naik ke atas
PART 186
genteng. Akan tetapi karena dia ditodong dan merasa takut sekali kepada
wanita perkasa yang mencengkeram punggungnya, dia mentaati perintah
Swat Hong dan dengan suara lantang dia berteriak‐teriak dari atas. "Haiii....
mundur semua...!" Dia melihat pasukan keamanan sudah berada di situ,
dipimpin oleh Bhongciangkun, perwira yang mengepalai pasukan keamanan.
"Bhong‐ciangkun, suruh semua pasukan mudur!" Pada saat itu, Kwee Lun
sedang mengamuk. Tadinya yang mengeroyoknya hanyalah para tukang
pukul anak buah Ciu‐wangwe dan dia sudah berhasil merobokan belasan
orang dengan tambang di tangannya yang kini sudah berlepotan darah. Akan
tetapi dia kewalahan juga ketika pasukan keamanan datang. Pasukan yang
jumlahnya hampir seratus orang itu tentu saja tidak mungkin dapat dia
lawan seorang diri hanya mengandalkan segulung tambang! Maka dalam
amukannya itu, dia sudah menerima pula beberapa bacokan senjata tajam
yang melukai pinggul dan punggungnya, membuat pakaiannya berlepotan
darah pula. Namun, sedikit pun semangatnya tidak menjadi kendur, bahkan
darah dipakaiannya itu seolah‐olah membuat dia makin bersemangat lagi!
Melihat betapa atasannya berada di atas genteng dan mengeluarkan perintah
itu, Bhong‐ciangkun terkejut dan cepat dia mengeluarkan aba‐aba menyuruh
pasukannya mundur. Kwee Lun ditinggalkan seorang diri, berdiri dengan
kedua kakinya terbentang lebar, pakaian dan tambangnya berlumuran darah,
gagah bukan main sikapnya. Sisa anak buah Ciu‐wangwe tidak ada lagi yang
berani maju setelah para pasukan itu diperintahkan mundur. Apalagi ketika
mereka itu mendengar bisikan teman‐teman bahwa Ciuwangwe telah tewas
oleh dara di atas genteng itu! Ketika Kwee Lun melihat betapa Swat Hong
telah berdiri di atas gentang sambil membawa Gu‐taijin, diam‐diam dia
menjadi kagum bukan main. Kiranya gadis itu amat cerdiknya. Tahulah dia
bahwa dara perkasa itu hendak menggunakan kekuasaan Gu‐taijin untuk
membasmi kejahatan yang merajalela di Lengsia‐ bun! Maka sambil tertawa
bergelak dia pun melompat dan tubuhnya melayang ke atas genteng di mana
dia berdiri di samping Swat Hong dan berkata mengejek, "Hong‐moi,
bagaimana kalau kita orong ton kotoran ini ke bawah saja dan melihat
perutnya berhamburan di bawah sana?" "Jangan.... jangan ... aduh, ampunkan
saya...." Gu‐taijin berkata memohon dengan rasa takut menghimpit hatinya.
"Kalau begitu, hayo kau membuat pengumunan dan perintah, menurutkan
kata‐kataku." Swat Hong berbisik di belakang pembesar itu. Gu‐taijin
mengangguk‐angguk, kemudian terdengarlah suaranya lantang mengikuti
perintah yang dibisiki oleh Swat Hong. "Hai, dengarlah baik‐baik semua
pembantuku dan semua penduduk Leng‐sia‐bun! Hari ini, dengan bantuan
Kwee‐taihiap dari Pulau Kura‐kura, aku baru mengetahui bahwa di kota ini
terdapat komplotan penjahat yang diketuai oleh Hartawan Ciu Bo Jin! Mereka
mendirikan rumah judi, hotelpelacuran, dan rumah makan di mana terjadi
segala macam kejahatan perjudian curang, pemaksaan terhadap gadis‐gadis
yang diculik untuk dijadikan ******* dan penyogokan terhadap para petugas
pemerintah! Sekarang Ciu‐wangwe telah tewas! Anak buahnya akan
diampuni asal saja mulai sekarang mau merobah watak dan tidak lagi
PART 187
melakukan kejahatan ! Dan semua wanita yang dipaksa menjadi *******,
akan dibebaskan dan dikirim pulang ke rumah masing‐masing dengan
mendapat bekal masing‐masing seratus tail perak! Semua ini harus
dijalankan sebaiknya. Kalau ada yang melanggar dia akan dihukum sesuai
dengan hukuman pemerintah, dan selain itu, juga Kwe‐taihiap sendiri akan
selalu mengawasi dan memberi hukuman terhadap mereka yang tidak
mentaati perintah kami ini!" Tiba‐tiba terdengar sorak‐sorai penduduk dan
terjadi keributan karena beberapa tukang pukul yang pernah berbuat
sewenang‐wenang, tiba‐tiba dikeroyok oleh penduduk! Sekali ini, para
pasukan pemerintah tidak ada yang berani melindunginya para tukang pukul
itu sehingga mereka mengaduh‐aduh dan tidak berani melawan, mengalami
pemukulan penduduk sampai babak belur! Dan para wanita ******* yang
berasal dari keluarga baik‐baik dan yang dipakasa menjadi ******* dengan
berbagai ancaman dan siksaan, sudah menangis riuh‐rendah, menangis
saking girang, terharu, dan juga duka. "Awas kau, Gu‐taihiap. Kalau sampai
semua ucapanmu tadi tidak kau laksanakan, kami akan melaporkan bahwa
engkau sebagai seorang kepala daerah telah diperalat oleh orang jahat
dengan jalan sogokan, dan selain itu, kami akan datang kembali khusus untuk
menyembelih lehermu!" Swat Hong berbisik dengan nada penuh ancaman.
Pembesar itu mengangguk‐anggukkan kepalanya seperti seekor ayam
mematuki gabah. Ketika dia mengangkat muka memandang, ternyata kedua
orang itu telah lenyap dan dia hanya berdiri sendiri saja di atas genteng yang
begitu tinggi. Tentu saja dia menjadi ngeri sekali. "Bhong‐ciangkun.... tolong....
tolong saya turun....!" Bhong‐ciangkun telah melihat bayangan kedua orang
itu berkelebat, maka dia lalu meloncat naik ke atas genteng dan membawa
pembesar itu turun. "Bagaimana, apakah hamba harus mengejar mereka?"
Bhong‐ciangkun berbisik. "Hushhh...! Bodoh! Masih untung kita...." Pembesar
itu berbisik kembali kemudian berkata lantang. "Hayo laksanakan perintahku
tadi!" Demikianlah, peristiwa itu menjadi semacam dongeng sampai
bertahun‐tahun di kalangan penduduk Lengsia‐ bun, dan betapa pun orang
mencari kedua orang pendekar itu, tak pernah lagi mereka melihat mereka.
Memang Swat Hong dan Kwee Lun telah melarikan diri dari kota itu dan
melanjutkan perjalanan mereka dengan hati puas. Hebat kau, Hong‐moi!"
Kwee Lun memuji. "Luar biasa sekali! Kalau tidak ada engkau yang
membantuku dengan siasat yang cerdik itu, tentu akan lain jadinya! Aku
masih sangsi apakah aku akan mampu menaklukkan mereka! Tentu akan
menjadi banjir darah, dan mungkin aku sendiri akhirnya mati dikeroyok."
"Ah, sudalah, Kwee‐twako. Kau yang hebat, menggunakan tali merobohkan
restoran dan dengan hanya bersenjatakan tambang dapat menghadapi
pengeroyokan puluhan orang!" "Tidak ada artinya dibandingkan dengan
sepak terjangmu, Moi‐moi. Engkau telah membantuku sehingga tugasku
selesai dengan hasil baik. Tak pernah aku akan dapat melupakan ini! Dan
sebagai balasannya, aku akan membantumu mencari ibumu dan suhengmu
sampai berhasil pula!" Wajah Swat Hong menjadi suram, dan dia menarik
napas panjang. "Hemm... Ibu dan Suheng pergi tanpa meninggalkan jejak. Ke
PART 188
mana aku harus mencarinya?" "Jangan khawatir, Moi‐moi. Kalau memang
Ibumu dan Suhengmu mendarat tentu kita akan dapat mencari mereka.
Tempat yang paling tepat untuk mencari seseorang adalah kota raja. Memang
belum tentu mereka berada di sana, akan tetapi setidaknya, di kota raja
merupakan sumber segala keterangan sehingga kita dapat mendengardengar
kalau‐kalau ada berita dari dunia Kang‐ouw tentang mereka." Swat
Hong Menyetujui pendapat ini Memang dia pun bermaksud mengunjungi
kota raja, karena bukankah nenek moyangnya dahulunya juga seorang
anggauta keluarga raja? Mereka melanjutkan perjalanan dari luar kota Lengsia‐
bun. Makin lama melakukan perjalan bersama Kwee Lun, setelah lewat
sebulan kurang lebih, makin sukalah Swat Hong kepada pemuda itu. Dia
makin mengenal Kwee Lun, sebagai seorang yang benar‐benar jantan, keras
hati, teguh dan tidak mempunyai sedikit pun pikiran menyeleweng, suka
bergurau, kasar akan tetapi kekasaran yang bukan bersifat kurang ajar
melainkan karena terbawa oleh kejujurannya yang wajar dan tak pernah mau
menyembunyikan sesuatu. Pendeknya, pemuda itu benar‐benar seorang lakilaki
yang gagah perkasa lahir bathinnya. Di lain pihak, Kwee Lun juga merasa
kagum kepada Swat Hong setelah dia mengenal sifat‐sifat temanya ini yang
amat cerdik, periang, jenaka namun keras hati dan kadang‐kadang tampak
keagungan sikapnya sebagai seorang puteri kerajaan! Namun dara itu sama
sekali tidak angkuh atau sombong, sungguhpun kini dia harus mengakui
bahwa ilmu kepandaiannya sedikitnya kalah dua tingkat dibandingkan
dengan dara Pulau Es ini! Oleh karena inilah maka ada keseganan di dalam
hatinya sehingga biarpun dia yang selalu memimpin perjalanan dan menjadi
petunjuk jalan, namun dalam segala hal, sampai dalam memilih makanan dan
penginapan yang selalu dibayar oleh Kwee Lun, pemuda ini selalu minta
pendapat dan keputusan Swat Hong! Pada suatu hari tibalah kedua orang ini
di kaki Pegunungan ***‐hang‐san yang amat luas dan memanjang dari
selatan ke utara. Tujuan mereka adalah Tiang‐an ibu kota Kerajaan Tang. Di
dusun ini mereka berhenti untuk makan di sebuah warung nasi sederhana.
Mereka memesan nasi, mi, dan arak, Kwee Lun minta air hangat untuk Swat
Hong agar nona ini dapat mencuci muka setelah melakukan perjalanan yang
panas berdebu. Ketika Swat Hong sedang bercuci muka dengan air hangat,
menggosok mukanya dengan air bersih sampai kedua pipinya kemerahan,
dia mendengar percakapan menarik dari arah dapur warung itu. "Bukan
main ramenya !" terdengar suara seorang laki‐laki, agaknya pekerja di dapur
itu. "Lebih ramai daripada kalau melihat dua orang jago silat berkelahi!
Bayangkan saja! Harimau mengaum sampai bumi tergetar, lalu menubruk
dan mencakar ke arah biruang itu. Akan tetapi si biruang juga tidak kalah
lihainya, dia menggereng dan aku yakin engkau sendiri tentu akan
terkencing‐kencing mendengar gerengan itu! Dia dapat menangkis dengan
kaki depannya dan balas menggigit. Mereka saling cakar, saling gigit, mulamula
saling menangkis lalu bergumul! Bukan main!" "Ahhh, sudahlah. Siapa
percaya omonganmu? Paling‐paling kau melihat ornag mengadu jangkerik
dan kau kalah bertaruh lagi! Lebih baik lekas masak air, tehnya hampir
PART 189
habis." Swat Hong cepat menghampiri Kwee Lun dan berbisik, "Agaknya di
sini ada jejak suhengku!" "Ehhh....? Kwee Lun bertanya heran. "Ada orang di
dapur tadi bercerita tentang pertandingan antara harimau dan biruang, dan
kalau tiadk salah perasaan hatiku, itu biruang kepunyaan suheng." "Eh?
Suhengmu memelihara biruang?" Kwee Lun bertanya makin heran lagi.
"Belum kuceritakan kepadamu, Twako. Ketika aku berpisah dari suheng, dia
sedang mengobati seekor biruang terluka. Tentu biruang itu menjadi jinak
dan menjadi binatang peliharaannya." "Aduh! Suhengmu tentu hebat sekali,
berani mengobati seekor biruang!" "Sudahlah, Twako. Kalau kelak dapat
bertemu, engkau dapat berkenalan dengan suheng sendiri. Sekarang harap
kau suka tanyakan kepada pekerja di dapur tentang biruang yang
diceritakannya tadi." "Mengapa tidak panggil saja dia ke sini? Hei, Bung
pelayan!" Pelayan itu segera menghampiri. "Tolong kau panggilkan sahabat
yang tadi berbicara tentang biruang, dia bekerja di dapur. Cepat!" Pelayan itu
terheran‐heran, akan tetapi dia masuk juga ke dalam dan tak lama kemudian,
dia kembali ke situ bersama seorang laki‐laki muda yang kelihatan takuttakut.
Laki‐laki ini kurus kecil dan memakai pakaian koki, agaknya dialah
tukang atau pembantu tukang masak di warung itu. "Saya.... saya tidak tahu
apa‐apa...." begitu tiba di dekat meja, orang itu berkata. Kwee Lun
menggerakkan tangannya tak sabar. "Aahh, mengapa takut? Kami hanya
tertarik mendengar cerita biruang bertanding dengan harimau. Di manakah
kejadian itu dan bagaimana asal mulanya?' Kwee Lun mengeluarkan
sepotong uang dan memberikan kepada orang itu. "Nah, ceritakanlah! Jangan
takut‐takut, ini hadiahnya." Orang itu menerima hadiah dan setelah
memandang ke kanan kiri dia bercerita. "Pagi tadi, sebelum masuk bekerja
saya menemani Saudara Misan saya mengantar segorobak kayu bakar ke atas
sana...." dia menuding ke luar warung. "Ke atas mana?" "Di Puncak Awan
Merah, tempat tinggal Siangkoan Lo‐enghiong. Kami berdua mengantarkan
kayu bakar dan melihat ribut‐ribut di sana. Mendengar gerengan‐gerengan
dahsyat, saya lalu menyelinap dan mendahului saudara saya, mengintai.
Ternyata di sana sedang diadakan permainan yang luar biasa, yaitu adu
harimau dan biruang! Entah milik siapa biruang itu, akan tetapi harimau itu
saya kenal sebagai harimau peliharaan Siangkoan Lo‐engkeng yang biasanya
di dalam kerangkeng. Bukan main ramenya dan saya takut sekali. Agaknya di
tempat Siangkoan Lo‐enghiong ada tamu yang membawa biruang...." "Siapa
tamunya? Bagaimana macam orangnya?" Swat Hong mendesak penuh
ketegangan hati. Akan tetapi orang itu menggeleng kepala. "Bagaimana saya
bisa tahu? Di atas sana banyak orang, muridmurid Lo‐enghiong dan orangorang
seperti kami tidak mempunyai hubungan dengan Puncak Awan Merah,
kami tidak diperbolehkan naik kecuali kalau ada pesanan dari sana. Hanya
kadang‐kadang saja Siocia atau murid Lo‐enghiong yang turun ke sini.
Melihat pertandingan yang amat dahsyat itu, saya ketakutan dan cepat lari
turun lagi...." Swat Hong mengerutkan alisnya. Mungkinkah suhengnya
"kesasar" sampai di tempat ini? Tiba‐tiba Kwee Lun bertanya, "Yang
kausebut Siangkoan Lo‐enghiong itu, apakah dia bernama Siang‐koan
PART 190
Houw?" Nama lengkapnya mana saya tahu?" Orang itu menggeleng kepala,
kelihatannya takut‐takut. "Julukannya Tee Tok (Racun Bumi), bukan?" Orang
itu makin ketakutan, akan tetapi dia mengangguk. "Pernah saya mendengar
muridnya bicara menyebut julukan itu.... harap Ji‐wi maafkan, saya masih
banyak pekerjaan di dapur." Dia tidak menanti jawaban, kembali ke dapur
dengan sikap ketakutan. "Aihh, kiranya Teek‐tok sekarang tinggal di tempat
ini!" kata Kwee Lun. "Twako, siapakah racun bumi itu?" "Hemm, seorang
yang luar biasa! Dapat dikatakan saingan suhu, menurut cerita suhu, sukar
dikatakan siapa yang lebih unggul. Dia adalah seorang di antara tokoh‐tokoh
dunia kang‐ouw yang sudah terkenal sekali. Aku sendiri baru mendengar
namanya dari suhu saja. Menurut suhu, dia adalah seorang yang gagah
perkasa dan jujur, akan tetapi sayang sekali, hati ganas dan kejam terhadap
orang yang tak disukainya dan dia amat lihai dan berbahaya sebagai seorang
ahli racun yang mengerikan. Karena itu julukannya adalah Racun Bumi.
Sungguh tidak dinyana bahwa kita bakal bertemu dengan orang seperti dia!"
"Hemm... kalau begitu engkau sudah merencanakan untuk mengunjungi
Puncak Awan Merah, Twako?" "Tidak begitukah kehendakmu? Agaknya
sangat boleh jadi biruang itu milik suhengmu. hong‐moi, karena di tempat
tinggal seorang seperti teek‐tok, segala apa mungkin saja terjadi. Tentu saja
amat mencurigakan dan hatiku tidak akan merasa puas kalau belum
menyelidiki ke sana. Kalau ternyata suhengmu tidak berada di sana kita
turun lagi karena aku tidak mempunyai urusan dengan Tee‐tok." Swat Hong
mengangguk. "Baiklah, kalau begitu mari kita berangkat. Entah mengapa,
betapa pun sedikit kemungkinannya bahwa suheng berada di sana, akan
tetapi hatiku merasakan sesuatu yang aneh. Kita harus menyelidiki ke sana."
Setelah membayar harga makanan berangkatlah kedua orang itu ker Pulau
Awan Merah, tentu saja diikuti pandang mata penuh keheranan dan
kegelisahan oleh pelayan warung yang mereka tanyai di mana adanya
puncak itu. Setelah mereka mendekati bukit dan tiba di lereng atas,
tampaklah bangunan besar di puncak yang dimaksudkan itu. Mereka tidak
mengerti mengapa puncak itu disebut Puncak Awan Merah, padahal ketika
mereka tiba di situ di siang hari itu, awannya tidak berwarna merah
melainkan biru dan putih seperti biasa. "Twako, kedatangan kita hanya
menyelidiki apakah suheng berada di sana. Oleh karena itu, tidak baik kalau
kita datang berterang, bisa menimbulkan kecurigaan orang dan kita tidak
berniat mencari perkara dengan tokoh kang‐ouw itu, bukan? Maka,
sebaiknya kita berpencar dan kau menyelidiki dengan memutar dari kiri, aku
dari kanan, sampai kita saling bertemu dan kalau suheng tidak ada di sana,
dan biruang itu bukan biruangnya, kita segera kembali ke dusun tadi dan
bermain saja di sana." "Baik, Hong‐moi, dengan demikian, penyelidikan dapat
dilakukan lebih leluasa dan lebih cepat." Mereka mendaki terus dan setelah
tiba di luar pagar tembok gedung besar di puncak itu, mereka berpencar.
Swat Hong yang mengambil jalan dari kanan menyelinap di atas pohonpohon
dan batu gunung. Tak lama kemudian dia mendengar suara orang dan
cepat dia menghampiri dan mengintai. Apa yang dilihatnya membuat dia
PART 191
hampir berteriak saking kagetnya! Dapat dibayangkan betapa heran dan
kagetnya ketika dia melihat suhengnya, Kwa Sin Liong, terbelenggu kedua
pergelangan tangannya dan setengah tergantung pada pohon! Tubuh atas
suhengnya itu telanjang dan hanya celana dan sepatunya saja yang menutupi
tubuhnya. Sin Liong kelihatan tenang saja biarpun dahinya berpeluh, dan
agaknya pemuda itu memang sengaja membiarkan dirinya terbelenggu,
karena Swat Hong yakin sekali bahwa apabila dikehendaki oleh suhengnya
itu, apa sukarnya membebaskan diri dari belenggu seperti itu? Tentu ada
sesuatu yang aneh telah terjadi di sini! Swat Hong menahan kemarahannya
yang membuat dia ingin menyerbu, dan dia memandang kepada orang‐orang
lain itu. Dua orang yang berpakaian seragam, memakai topi aneh, menjaga di
belakang pohon dan tangan mereka meraba gagang golok. Seorang kakek
yang tinggi besar, brewok dan matanya lebar, dengan marah‐marah
menghampiri Sin Liong, tangan kanannya memegang senjata yang aneh.
Bukan senjata, pikir Swat Hong, melainkan tanduk rusa yang agaknya hendak
dipakai sebagai senjata. Tanduk rusa seperti itu saja apa artinya bagi
suhengnya? Yang membuat dia terheran‐heran adalah melihat suhengnya
berada di tempat itu dan mudah saja dibelenggu dan dihina! Apa yang telah
terjadi? Seperti telah kita ketahui, Sin Liong meninggalkan Pulau Neraka
bersama Ouw Soan Cu, gadis Pulau Neraka yang hendak mencari ayahnya.
Sebetulnya, mencari ayahnya ini hanya merupakan alasan yang dicari‐cari
saja oleh Ouw Kong Ek, ketua Pulau Neraka. Puteranya Ouw Sin Kok, ayah
kandung Soan Cu, telah menghilang selama belasan tahu, tak pernah kembali
dan tidak pula ada kabarnya sehingga menimbulkan dugaan besar bahwa
Ouw Sian Kok telah meninggal dunia. Selain itu, andaikata masih hidup, tak
seorang pun mengetahui di mana tempat tinggalnya. Soan Cu ditinggal ayah
kandungnya sejak bayi bagaimana mungkin dia dapat mencari ayahnya yang
belum pernah dilihatnya dan tak diketahui ke mana perginya itu? Kalau Ouw
Kong Ek mengunakan alasan ini dan mendesak kepada Sin Liong agar
membawa dara itu bersama, keluar dari Pulau Neraka, adalah karena
sebenarnya dia ingin agar cucunya itu dapat berjodoh dengan Sin Liong. Dia
sering kali mengingat akan nasib cucu yang di cintanya itu. Jauh dari dunia
ramai, akhirnya cucunya itu terpaksa hanya akan berjodoh dengan seorang
penghuni Pulau Neraka! Maka munculnya Sin Liong untuk pertama kalinya
itu sudah mendatangkan harapan untuk menjodohkan cucunya dengan
pemuda itu. Apalagi ketika Sin Liong datang untuk kedua kalinya, bahkan
pemuda itu telah menolong Soan Cu, dan menolong Pulau Neraka yang
diserbu bajak laut. Tentu saja dia tidak dapat memaksa pemuda itu untuk
menjadi calon suami cucunya, akan tetapi dengan kesempatan melakukan
perantauan bersama, dia harap akan timbul cinta di dalam hati pemuda itu
terhadap cucunya yang dia tahu merupakan seorang gadis yang cantik jelita
dan berilmu tinggi, juga berwatak baik. JILID 12 Demikianlah, Sin Liong
meninggalkan Pulau Neraka bersama Soan Cu dan juga biruang raksasa yang
menjadi jinak itu. Dengan sebuah perahu yang disediakan oleh Ouw Kong Ek,
berangkatlah mereka meninggalkan Pulau Neraka, berlayar melalui pulau
PART 192
pulau di daerah itu. Akhirnya, karena tidak berhasil menemukan Swat Hong
yang dicari‐carinya, juga tidak tampak seorang pun manusia tinggal di daerah
lautan berbahaya itu, Sin Liong mengemudikan perahunya menuju ke arah
barat, ke daratan besar. "Besar kemungkinan Sumoi mendarat, dan kalau
sampai belasan tahun ayahmu tidak pernah pulang dan tidak ada beritanya,
juga bukan tidak mungkin Ayahmu tinggal di sana," katanya kepada Soan Cu.
"Mari kita mencari jejak mereka di daratan besar." Soan Cu tidak membantah
dan demikianlah, akhirnya mereka mendarat dan hanya beberapa hari lebih
dulu dari pendaratan yang dilakukan oleh Swat Hong yang tersesat jalan dan
mendarat jauh di selatan sehingga dia bertemu dengan Kwee Lun. Karena
dari pantai ke barat banyak melalui daerah yang sunyi, pegunungan dan
hutan, maka adanya biruang bersama meraka tidak terlalu mengganggu
benar. Pula, binatang itu sudah jinak sekali, bahkan dapat disuruh untuk
mencari buah‐buahan, pandai pula mencari air di dalam hutan yang lebat.
Pada suatu hari, tibalah mereka di pegunungan ***‐hang‐san. Tanpa mereka
ketahui, mereka tiba di lereng puncak Awan Merah, daerah kekuasan Teetok.
Ketika mereka memasuki sebuah hutan besar, tiba‐tiba terdengar auman
harimau yang amat keras sehingga suara itu menggetarkan hutan.
Mendengar auman ini, biruang menjadi marah sekali. Sin Liong cepat
memegang dan memeluk binatang itu, khawatir kalau‐kalau biruang itu akan
lari dan berkelahi dengan harimau yang mengaum itu. "Hai.......! Ada harimau!
Biar kutangkap dia!" Sian Cu sudah berlari‐lari membawa senjatanya yang
aneh dan istimewa, yaitu sebatang cambuk berduri yang menjadi senjata
kesayangannya disamping pedang. Dia tertawa‐tawa gembira sehingga Sin
Liong tidak tega untuk melarangnya. Dara itu masih remaja, masih bersifat
kanak‐kanak dan hanya kadang‐kadang saja tampak kedewasaanya. Dia
maklum bahwa gadis yang sejak bayi dibesarkan di tempat seperti Pulau
Neraka itu, tentu saja memiliki sifat‐sifat liar, akan tetapi dia pun mengenal
dasar‐dasar baik dari hati Soan Cu. Selain membiarkan gadis itu bergembira,
juga dia percaya penuh bahwa ilmu kepandaian Soan Cu sudah tinggi sekali,
cukup tinggi untuk melindungi diri sendiri. Soan Cu berlari cepat sekali dan
dalam berlari ini timbullah kegembiraan yang luar biasa di dalam hatinya. Di
depan Sin Liong, dia selalu harus menekan perasaannya karena sikap
pemuda ini sungguh penuh wibawa dan membuat dia tunduk, takut dan
hormat seolah‐olah pemuda itu menjadi pengganti kakeknya. Akan tetapi
sesunguhnya semenjak dia meninggalkan Pulau Neraka, ada perasaan
gembira yang disembunyikannya dan baru sekarang dia memperoleh
kesempatan untuk melepaskan kegembiraannya yang meluap‐luap. Ingin dia
bersorak gembira kalau saja tidak takut terdengar oleh Sin Liong! Maka
kegembiraannya itu disalurkannya lewat kedua kakinya yang berloncatan
dan berlari‐lari menuju ke arah suara harimau yang mengaum. Karena
auman harimau itu keras sekali, mudah saja bagi Soan Cu untuk menuju ke
tempat itu dan akhirnya dia melihat seekor harimau yang amat besar dan
kuat, berbulu indah sekali, loreng‐loreng hitam kuning berdiri memandang
ke arah seorang laki‐laki yang berdiri ketakutan. Harimau itu membuka‐buka
PART 193
moncongnya, seperti seorang anakkecil yang menggoda kakek itu,
menakutnakutinya, kadang‐kadang mengaum dan tiap kali dia mengaum,
kedua kaki orang itu menggigil dan terdengar suara terputus‐putus dan dia
mencoba untuk bersembunyi di belakang sebatang pohon, "Kakak harimau
yang baik..... saya..... saya..... A‐siong pedagang kayu bakar..... hendak mengirim
kayu bakar kepada Lo‐enghiong....... harap jangan mengganggu saya......"
Harimau itu sebetulnya adalah harimau peliharaan Tee‐tok dan biasanya
dikurung dalam kerangkeng dan hanya pada waktu‐waktu tertentu saja
dibiarkan berkeliaran di hutan. Agaknya penjaga harimau pada hari itu
terlupa sehingga harimau itu tetap berkeliaran pada waktu A‐siong sedang
mengirim kayu bakar ke Puncak Awan Merah. A‐siong adalah seorang di
antara pedagang‐pedagang kayu bakar yang suka menjual kayu bakar di
tempat itu. Melihat harimau itu, Soan Cu lalu berseru, "Kucing besar, kau
nakal sekali!" Harimau itu menggereng dan menoleh. Ketika dia melihat
seorang wanita memengang cambuk, dia menggereng dan cepat sekali,
berlawanan dengan tubuhnya yang besar, dia sudah membalik dan
menubruk. "Celaka......!" A‐siong berseru kaget, memeluk batang pohon dan
menahan napas, membelalakan matanya. Akan tetapi, tanpa mengelak Soan
Cu sudah menggerakan cambuknya. "Tar‐tar!" ujung cambuk itu menyambar
dan membelit kaki depan kanan harimau itu dan sekali tarik, tubuh harimau
yang sedang meloncat itu terbanting ke atas tanah. Harimau itu menggereng
dan kelihatan marah sekali. Kembali dia menubruk, akan tetapi sekali ini,
Soan Cu yang sedang gembira meloncat ke kiri dan melihat tubuh harimau itu
menyambar lewat, dengan tangan kirinya dia menangkap ekor harimau yang
panjang dan sekali tubuhnya bergerak, dia telah berada di atas punggung
harimau! Sambil tersenyum‐senyum dan membuat gerakan seperti orang
menunggang kuda, Soan Cu menggerak‐gerakan ujung cambuk menyabeti
moncong harimau itu. Tentu saja harimau itu merasa kesakitan karena ujung
cambuk itu berduri. Dengan kemarahan meluap harimau itu berusaha
mencakar dan menggigit ujung cambuk yang mungkin dikira seekor ular
yang ganas, namun tak pernah berhasil bahkan bagaikan buntut seekor ular,
ujung cambuk itu terus melecuti hidung dan bibirnya sampai berdarah!
"Hiyooooo.... kucing binal, hayo jalan baik‐baik!" Seperti seorang pemain
sirkus yang mahir, Soan Cu menunggang harimau, tangan kiri mencengkeram
kulit leher, tangan kanan mempermainkan cambuknya dan harimau itu yang
mengejar ujung cambuk yang digerak‐gerakan, melangkah perlahan‐lahan!
A‐siong yang menonton sambil berusaha menyembunyikan diri di balik
batang pohon, terbelalak dan hampir tak percaya kepada matanya sendiri.
Beberapa kali tangan kirinya menggosok kedua matanya dengan ujung
lengan baju karena dia mengira bahwa dia sedang dalam mimpi, akan tetapi
tetap saja penglihatan yang luar biasa itu masih tampak oleh kedua matanya.
"Soan Cu, turunlah......!!" Tiba‐tiba terdengar teguran dan mengenal suara Sin
Liong, lenyaplah semua kegembiraan yang liar dari gadis itu. Dia masih
tersenyum, akan tetapi matanya kehilangan sinar yang berapi‐api dan liar
tadi, dan dia berkata, "Liong‐koko, dia.... dia hendak menerkam orang....."
PART 194
ucapannya ini bersifat membela diri karena dia ketakutan oleh pemuda itu
sedang mengganggu harimau. "Turunlah berbahaya sekali permainanmu
itu!" Soan Cu meloncat turun dan tentu saja harimau yang marah itu cepat
mencakar dengan kecepatan luar biasa. Namun dia hanya mencakar tempat
kosong kerena gerakan Soan Cu lebih cepat lagi. Dara ini telah meloncat ke
dekat Sin Liong dan mengejek ke arah harimau dengan meruncingkan
mulutnya dan mengeluarkan bunyi, "Hiii.....! Hiiiiii!!" Sementara itu, biruang
yang tadinya sudah dapat ditenangkan oleh Sin Liong dan dijak menyusul
Soan Cu, setelah kini melihat harimau, timbul kembali kemarahannya,
bahkan lebih hebat dari pada tadi. Pada saat Sin Liong lengah karena
menegur gadis itu, tiba‐tiba biruang itu melompat ke depan dan menggereng
sambil memperlihatkan taringnya, memandang harimau dengan mata merah.
Harimau itu agaknya tidak merasa gentar menghadapi tantangan ini. Dia pun
menggereng dan menubruk. Akan tetapi biruang itu sudah siap. Ketika
harimau itu menubruk dengan kedua kaki depan lebih dulu, dia
menggerakan kaki depan kanan yang amat kuat, memukul dari samping dan
menangkis kedua kaki depan harimau . Karena tubuh harimau itu berada di
udara, tentu saja dia kalah kuat dan tubuhnya terlempar ke bawah. Akan
tetapi dia sudah meloncat lagi dan siap untuk melanjutkan serangannya.
"Hushhh....! Biruang yang baik, jangan berkelahi!" Sin Liong sudah
menangkap kaki depan biruangnya dan mengelus kepalanya,
menenangkannya. Akan tetapi sekali ini agak sukar karena biruang itu marah
sekali, meronta‐ronta dan apa lagi melihat harimau itu masih menggereng
hendak menyerangnya. "Ihh, kucing licik! Hayo mundur kau!" Soan Cu
melangkah maju, menggerakan cambuknya ke depan untuk menghalau
harimau itu. "Tar‐tar‐tarr.....!!" Harimau merasa jerih menghadapi cambuk,
akan teapi bukan berarti dia takut karena dia masih menggereng‐gereng
memperlihatkan taringnya dan matanya merah bersinar‐sinar. "Hayo pergi!
Kalau tidak akan kuhajar kau!" Soan Cu membentak. "Siapa dia berani kurang
ajar hendak mengganggu harimau kami?" Tiba‐tiba terdengar seruan nyaring
dan muncullah banyak orang di tempat itu. Serombongan orang yang
berpakaian seragam telah bergerak mengurung tempat itu, dan orang yang
berseru tadi, seorang kakek tinggi besar yang brewok, pakaiannya ringkas,
tubuhnya membayangkan tenaga yang kuat, matanya lebar membayangkan
kekerasan dan kejujuran, akan tetapi tarikan bibirnya membayangkan
kekejaman. Di sampingnya berjalan seorang gadis yang cantik sekali, dengan
pakaian yang mewah dan indah, rambutnya ditekuk ke atas dan diikat
dengan kain kepala dari sutera merah, dihias dengan bunga emas permata,
pakaian yang indah itu membungkus ketat tubuhnya sehingga
membayangkan lekuk lengkung tubuhnya yang padat dan ramping, di
pinggang yang kecil ramping itu melibat sehelai sabuk sutera merah.
Telinganya terhias anting‐anting batu kemala panjang berwarna hijau,
menambah kemanisan wajahnya yang mendaun sirih bentuknya itu. Sin
Liong cepat menjura dengan hormat dan berkata halus, "Harap Locian‐pwe
sudi memaafkan kami yang secara tidak sengaja memasuki daerah ini, "kata
Share This Thread