Page 13 of 28 FirstFirst ... 39101112131415161723 ... LastLast
Results 181 to 195 of 417
http://idgs.in/730445
  1. #181

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 180
    hawa arak, pemuda perkasa ini melepaskan kancing bajunya sehingga
    tampak rambut halus ditengah dadanya yang bidang dan kokoh kuat itu.
    Tiba‐tiba seorang pelayan menghampiri meja Kwee Lun. pelayan ini tadi
    melihat ketidak wajaran pada kedua tukang pukul yang duduk berhadapan
    dengan pemuda itu. Mengapa mereka tidak bergerak‐gerak dan duduk
    dengan lemas, dan ketika dia bertemu pandang, tukang pukul yang gendut
    pendek itu mengejapkan mata kepadanya sedangkan dari kedua mata tukang
    pukul kurus pucat itu keluar dua titik air mata. Maka dia cepat menghampiri
    dan melihat dari dekat. "mau apa kau? pergi!" Kwee Lun membentak dan
    pelayan itu kaget sekali, lalu lari pergi masuk ke dalam untuk melaporkan
    keanehan itu kepada kepala tukang pukul yang lain. Kwee Lun bukanlah
    seorang yang bodoh. Dan maklum bahwa pelayan itu telah melihat keadaan
    dan tentu akan melapor ke dalam. Maka dia memandang ke sekeliling dan
    mencari akal. Ketika dia melihat segulung tambang yang besar dan kuat,
    timbullah akalnya. Dia bangkit berdiri, melangkah lebar ke dekat meja
    pengurus, menyambar gulungan tambang itu dan berkata dengan suara
    lantang yang ditujukan kepada para tamu yang duduk di ruangan restoran
    itu, "Semua orang yang berada di dalam restoran ini harap lekas pergi!
    Restoran ini akan ambruk!" Kemudian sekali melompat tubuhnya telah
    berada di luar restoran. Di ikatkan ujung tambang ke pilar di depan, pilar
    yang ikut menyangga atap, kemudian dia membawa ujung tambang yang lain
    ke jalan depan restoran. Dengan memegang ujung tambang, mulailah
    pemuda raksasa ini menarik tambang, melalui atas pundak kanannya yang
    menonjolkan otot besar yang amat kuatnya. Tambang besar itu menegang,
    kemudian terdengar suara berkerotok. Orang‐orang sudah mulai lari keluar
    rumah makan itu dan mereka ada yang ketawa‐tawa geli menyaksikan
    pemuda itu menarik tambang. Tentu pemuda itu sudah mabok, pikir mereka.
    Mana mungkin merobohkan bangunan yang besar itu dengan cara demikian?
    Menarik tambang yang diikatkan pada pilar yang demikian besar dan
    kuatnya. Kalau tidak mabok tentu sudah gila! Memang membutuhkan tenaga
    gajah untuk dapat menumbangkan pilar yang sedemikian kokohnya. Kwee
    Lun mengerahkan tenaga, matanya terbelalak, dahinya penuh keringat dan
    mulutnya mengeluarkan gerengan yang langsung keluar dari dalam
    pusarnya, seluruh tubuhnya menarik tambang dengan pemusatan perhatian
    dan tenaga. "Krakkk....!" Pilar yang kokoh kuat itu patah tengahnya! Orangorang
    berteriak kaget dan mulai berlari‐lari ketakutan. Terdengar bunyi
    hiruk pikuk ketika akhirnya, atap rumah makan itu runtuh ke bawah dan
    menyusul debu mengebul tinggi dibarengi teriakan‐teriakan mengerikan dari
    dalam di mana masih banyak pekerja restoran itu yang teruruk. Di antara
    suara hiruk pikuk ini terdengar suara ketawa dari Kwee Lun yang masih
    memegang tamban besar itu di kedua tangannya. Tali besar itu sudah
    terlepas dari pilar dan kini menjadi senjata di kedua lengan yang dilingkari
    otot itu. Tempat itu menjadi sunyi dan biarpun banyak sekali penduduk kota
    yang berlari‐larian datang, mereka hanya menonton dari jauh saja, tidak ada
    yang berani mendekati restoran yang sudah runtuh itu. Belasan orang tukang

  2. Hot Ad
  3. #182

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 181
    pukul datang berlarian, dari belakang restoran yang roboh dan dari rumah
    judi yang berada di sebelah kanan restoran. "Itu orangnya....!" Seorang
    pelayan restoran yang berhasil menyelamatkan diri menuding ke arah Kwee
    Lun. "Tangkap penjahat....!" "Serbu....!" "Bunuh....!" Lima belas orang tukang
    pukul dengan bermacam senjata di tangan mereka, belari‐lari datang
    menyerbu dan mengurung Kwee Lun. Pemuda ini masih tersenyum lebar, tali
    tambang tadi masih melingkar‐lingkar di kedua lengan, kdua kakinya
    terpentang lebar dan sikapnya gagah sekali, membuat lima belas orang
    tukang pukul itu merasa gentar dan ragu‐ragu untuk mendahului maju
    menyerang. Seorang yang telah meruntuhkan sebuah bangunan seperti
    restoran itu, sudah jelas memiliki tenaga gajah! Apalagi melihat sikap yang
    demikian gagah. "Ha‐ha‐ha, hayo majulah! Mengapa ragu‐ragu? Hayo
    keroyoklah aku! Memang aku datang untuk membasmi komplotan yang
    merajalela di Leng‐sia‐bun. Kalian ini anak buah si ******* Ciu Bo Jin, bukan?
    Mana itu hartawan Ciu jahanam, si penculik gadis orang! Suruh dia keluar,
    biar kuhancurkan kepalanya!" "Serbu....!!" Kepala tukang pukul, seorang she
    Ma yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi dan menjadi tangan kanan Ciuwangwe,
    berseru setelah diam‐diam dia mengutus seorang anak buahnya
    untuk melaporkan kepada Ciu‐wangwe di hotel, dan seorang anak buah lagi
    disuruh minta bala bantuan di markas keamanan! Tiga belas orang tukang
    pukul, dipimpin oleh Ma Siu menyerbu dengan senjata mereka. Akan tetapi,
    Kwee Lun tertawa bergelak dan begitu kedua lengannya bergerak, tali besar
    yang panjang menyambar dan menjadi gulungan sinar yang besar panjang.
    Setiap senjata pengeroyok yang terbentur tali itu terlepas dari pegangan
    pemiliknya sehingga terdengarlah teriakan‐teriakan kaget karena dalam
    segebrakan saja, lima orang tukang pukul kehilangan senjata mereka dan dua
    orang lagi terpelanting roboh dan tak dapat bangun kembali karena tulang
    punggung dan tulang iga mereka patah oleh hantaman tambang! Ma Siu
    menjadi marah sekali dan dengan nekat dia bersama sisa anak buahnya
    menyerbu dan menghujankan senjata mereka kepada Kwee Lun. Namun
    pemuda Pulau Kura‐kura ini sambil tertawa melakukan perlawanan
    seenaknya. Teringat dia oleh perbuatan Swat Hong yang menyingkirkan
    pedang dan kipasnya, karena andaikata dia menggunakan dua senjata itu,
    agaknya sekarang semua tukang pukul sudah roboh kehilangan nyawa
    mereka! Dan dia tahu bahwa biang keladi semua kejahatan adalah orang She
    Ciu, adapun para tukang pukul ini hanya orang‐orang yang mencari nafkah
    mengandalkan ilmu silat mereka! Biarpun cara mencari nafkah dengan
    menjadi tukang pukul adalah perbuatan sesat yang menimbulkan kekejaman,
    namun andaikata tidak ada Hartawan Ciu yang menjadi sumber maksiat,
    agaknya mereka tidak akan berani mengacaukan sebuah kota besar seperti
    Leng‐sia‐bun. Diam‐diam dia membenarkan tindakan Swat Hong dan teringat
    dia akan nasehat suhunya bahwa di dalam perantauannya, dia tidak boleh
    sembarangan membunuh orang! Sementara itu, di dalam hotel juga terjadi
    keributan hebat. Dengan dua batang pedang tergantung di punggung dan
    kipas gagang perak di tangan, Swat Hong memasuki hotel besar di sebelah

  4. #183

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 182
    kiri restoran. Gedung yang lebih megah dan besar daripada restoran itu.
    Dengan sikap tenang dia berjalan menaiki anak tangga di depan hotel.
    Beberapa orang pelayan segera menyambutnya dengan wajah berseri.
    Biarpun dara ini membawa pedang di punggung namun kecantikannya yang
    luar biasa menyenangkan hati para pelayan. "Apakah Nona mencari kamar,?"
    tanya seorang pelayan dengan senyum manis. "Bukan mencari kamar, akan
    tetapi aku mencari Ciu‐wangwe," jawab Swat Hong tanpa memperdulikan
    senyum itu. Wajah para pelayan itu berubah dan pandang mata mereka
    membayangkan kecurigaan, "Tidak semudah itu mencari Loya, Nona,. Pula,
    kami tidak tahu dimana adanya Ciu‐wangwe sekarang ini...." kata seorang di
    antara mereka dengan suara hati‐hati. "Aihhh, kalian tidak perlu membohong
    lagi. Aku mengenal Ciu‐wangwe dan kedatanganku adalah atas undangannya.
    Aku tahu bahwa dia sedang menjamu kepala Daerah di ruangan belakang
    hotel ini, bukan? Kalau kalian tidak membawaku menemuinya sekarang juga,
    bukan hanya dia akan marah kepada kalian, akan tetapi aku pun akan
    kehabisan sabar!" Mendengar ini, para pelayan itu saling pandang, lalu
    seorang di antara mereka memanggil tukang pukul. Dua orang tukang pukul
    datang berlari. Mereka adalah bekas‐bekas perampok yang tentu saja dapat
    menduga bahwa wanita ini tentulah seorang kang‐ouw, maka mereka segera
    memberi hormat dan bertanya, "Ada urusan apakah Lihiap hendak bertemu
    dengan Ciu‐wangwe?" Swat Hong memandang tajam dan mengambil sikap
    marah. Eh, pangkat kalian di sini apa sih berani bertanya‐tanya urusan antara
    aku dan Ciu‐wangwe? Lekas bawa aku menemuinya!" "Tapi... tapi.... Loya
    sedang menjamu ***‐jin, tidak boleh diganggu!" "Siapa mau mengganggu?
    Aku justru datang memenuhi panggilannya untuk meramaikan pesta! Kalau
    dia marah, biar aku yang tanggung jawab, akan tetapi kalau kalian berani
    menolak aku, dia akan marah kepada kalian!" Dua orang tukang pukul itu
    saling pandang, kemudian mereka berkata, "Baiklah mari kami antarkan
    Lihiap ke dalam." Mereka telah mengambil keputusan dengan isyarat mata
    untuk mengawal dan menjaga wanita cantik ini. Kalau wanita ini mempunyai
    niat buruk, masih belum terlambat untuk merobohkannya. Siapa tahu,
    melihat kecantikannya yang luar biasa, sangat boleh jadi kalau dia ini adalah
    seorang yang dikenal oleh Ciu‐wangwe dan benar‐benar dipesan datang
    untuk menghibur pembesar! Dengan langkah tenang sambil mengipasi
    lehernya dengan kipas gagang perak, Swat Hong diiringkan dua orang tukang
    pukul itu melalui gang yang berliku‐liku, melalui kamar‐kamar di mana
    terdapat wanitawanita cantik yang rata‐rata wajah layu dan bermata sayu,
    ada yang duduk sendiri, ada pula yang sedang berduaan dengan seorang
    tamu pria karena terdengar suara ketawa laki‐laki di dalam kamar itu,
    kemudian tibalah mereka di ruangan belakang yang luas dan terjaga oleh
    belasan orang prajurit pengawal yang bercampur dengan para tukang pukul.
    Ketika mereka bertiga muncul, tentu saja para penjaga dan pengawal itu
    memandang Swat Hong dengan penuh perhatian. Dua orang tukang pukul itu
    agaknya bangga dapat mengawal nona cantik jelita ini maka sambil
    mengacungkan ibu jari, mereka berkata, "Barang baru! Pesanan khusus!"

  5. #184

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 183
    Maka tertawa‐tawalah para pengawal dan tukang pukul itu memasuki pintu
    besar yang menembus ke dalam ruangan. Karena mereka yang duduk
    mengitari meja besar terdiri dari belasan orang berpakaian serba indah dan
    masing‐masing dilayani dan dirubung wanita‐wanita muda dan cantik, Swat
    Hong tidak mau bertindak sembrono. Dia tidak tahu siapa Ciu‐wangwe dan
    yang mana pula kepala daerah, maka dia menanti dan membiarkan dua orang
    tukang pukul itu melapor. Akan tetapi sebelum kedua orang yang sudah
    menjura penuh hormat itu sempat membuka mulut, seorang yang berpakaian
    serba biru, berusia lima puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan matanya
    besar sebelah, telah bangkit berdiri dan membentak, "Haii! Mengapa kalian
    lancang....?" Dia tidak melanjutkan ucapannya karena matanya telah dapat
    melihat Swat Hong dan kini dia memandang heran. Swat Hong sudah
    melangkah ke dalam, mendekati meja lalu bertanya kepada laki‐laki
    berpakaian biru itu, "Apakah aku berhadapan dengan Ciu‐wangwe?" Laki‐laki
    itu memang benar Ciu Bo Jin. Dia merasa curiga sekali, akan tetapi karena dia
    mengandalkan ilmu kepandaiannya sendiri, pula dia berada di tempatnya
    sendiri yang terjaga oleh para anak buahnya, bahkan disitu terdapat pula
    pasukan pengawal Gu‐taijin, maka sambil tersenyum lebar dia melangkah
    maju dan berkata, "Benar, aku adalah orang she Ciu yang kau cari. Nona
    siapakah dan .... heiiittt...." Dia cepat mengelak ke kiri ketika melihat nona
    cantik itu sudah menerjang maju, menggunakan tangan kirinya
    mencengkeram ke arah pundaknya. Gerakan Ciu‐wangwe cukup cekatan dan
    memang dia telah memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi sekali ini dia
    berhadapan dengan seorang dara perkasa yang luar biasa lihainya, maka
    baru saja dia mengelak, tahu‐tahu ujung gagang kipas terbuat dari perak itu
    telah menotok jalan darah di punggungnya dan dia terpelanting roboh
    dengan tubuh lemas! Peristiwa ini terjadi sedemikian cepatnya sehingga
    tidak terduga sama sekali, maka terjadilah keributan hebat. Seorang yang
    tubuhnya gendut dan mukanya merah sekali, agaknya sudah mabok, bangkit
    berdiri dengan tiba‐tiba sehingga dua orang ******* cantik yang tadinya
    duduk di atas kedua pahanya terpelanting jatuh sambil menjerit. Orang ini
    berpakaian mewah dan sikapnya agung‐agungan, sambil berdiri dia berseru,
    "Hai... pengawal....! Tangkap pengacau...!!" Pintu depan terbuka dan para
    pengawal serta tukang pukul berlompatan masuk. Swat Hong girang sekali
    karena dia dapat menduga bahwa Si Gendut itulah tentu yang menjadi kepala
    daerah, orang she Gu yang diperalat oleh Ciu‐wangwe. Maka dia sudah
    meloncat ke dekat orang itu, mencabut pedangnya dan menempelkan pedang
    telanjang di leher Gu‐taijin sambil menghardik, "Gu‐taijin! Cepat kau
    menyuruh mundur semua orangmu! Kalau tidak, pedang ini akan
    menyembelih lehermu!" Swat Hong menahan geli hatinya melihat tubuh yang
    gendut itu menggigil semua dan dia menahan jijiknya karena terpaksa
    menggunakan tangan kanan mencengkeram leher baju. Apalagi ketika
    melihat betapa lantai di bawah pembesar gendut ini tiba‐tiba menjadi basah,
    tersiram air yang membasahi celana, dia makin jijik. Ingin dia membacokkan
    pedangnya saja agar manusia tiada guna ini tewas seketika kalau saja dia

  6. #185

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 184
    tidak teringat bahwa jalan satu‐satunya untuk membantu Kwee Lun
    membereskan urusannya hanyalah menangkap pembesar ini hidup‐hidup.
    Biarpun manusia gendut ini tidak ada gunanya, akan tetapi manusia yang
    bagaimana pun pengecut dan lemahnya, sekali menduduki pangkat besar,
    menjadi seorang yang sewanang‐wenang dan jahat! Makin pengecut dan
    makin rendah watak orang itu makin celakalah kalau dia memperoleh
    kedudukan tinggi, karena kerendahan akalnya akan membuat dia makin
    jahat, mempergunakan kekuasaannya yang kebetulan melindunginya. "Am...
    ampun...!" Gi‐taijin dengan sukar sekali mengeluarkan suara. Mendengar
    betapa lehernya akan disembelih, apalagi disembelih berlahan‐lahan dan
    sedikit demi sedikit, membayangkan betapa lehernya akan terasa perih dan
    nyeri, berlepotan darah, betapa dia akan mati dan meninggalkan semua
    kemewahan dan kesenangan hidupnya, hampir dia pingsan! "Suruh mereka
    mundur...!" Kembali Swat Hong membentak dan tangan kirinya
    mencengkeram tengkuk. "Ouwwhhh...!" Pembesar itu menjerit, mengira
    tengkuknya disembelih, padahal hanyalah jari‐jari saja yang
    mencengkeramnya. "Heii, mundur kalian! ***** semua! Mundur kataku, dan
    jangan membantah... Li... Lihiap...!" Para pengawal menjadi bingung dan
    dengan muka pucat dan mata terbelalak lebar mereka mundur sambil
    memandang penuh kesiapsiagaan. Pada saat itu, seorang tukang pukul telah
    berhasil membebaskan totokan Ciu‐wangwe dan kini hartawan itu dengan
    marahnya berteriak kepada tukang pukulnya, "Cepat serbu iblis betina itu....!"
    Swat Hong kembali mencengkeram tengkuk Gu‐taijin. "Suruh jahanam Ciu itu
    menyerah!" "Ouughh... Ciu‐wangwe... jangan...! jangan melawan....!" Ciuwangwe
    yang melihat betapa kepala daerah itu telah ditangkap, sejenak
    menjadi bingung sekali. Akan tetapi tentu saja dia tidak sudi menyerah dan
    pada saat itu terdengar suara hiruk pikuk di sebelah luar hotel. Tahulah Swat
    Hong bahwa Kwee Lun tentu telah turun tangan pula mulai bereaksi, maka
    dia berkata, "Orang she Ciu! Kejahatanmu berakhir di hari ini juga!" Selagi
    Ciu‐wangwe kebingungan, tiba‐tiba datang seorang tukang pukulnya dari
    luar dan berteriak‐teriak, "Celaka... Loya.... ada orang merobohkan restoran
    kita....!" Akan tetapi orang ini terbelalak memandang ke dalam dengan muka
    pucat. Dia melihat kepala daerah berada dalam cengkeraman wanita cantik
    itu dan melihat Ciu‐wangwe berdiri bingung. Mendengar ini, Ciu‐wangwe
    menjadi kaget dan mengira bahwa tentu banyak musuh yang datang
    menyerbunya. Dia tidak mau mempedulikan Gu‐taijin lagi. Dalam keadaan
    seperti itu, yang terbaik baginya adalah berada di luar dan berusaha
    mengerahkan seluruh anak buahnya untuk menghadapi para penyerbu.
    Keselamatan Gu‐taijin tentu saja tidak dipedulikannya lagi. Maka tanpa
    berkata apa‐apa lagi dia lalu berlari hendak keluar dari ruangan besar itu.
    "Hendak kemana engkau?" Swat Hong cepat menotok roboh Gu‐taijin dan
    meloncat ke depan. Tubuhnya melayang dan Ciu‐wangwe hanya melihat
    sesosok bayangan berkelebat dan tahu‐tahu wanita cantik itu telah berdiri di
    depannya! "Serbu....!" Bentaknya dan dia sendiri yang sudah mencabut
    goloknya membacok dengan cepat sambil mengerahkan seluruh tenaganya.

  7. #186

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 185
    "Sing‐sing‐singggg....!!" Bertubi‐tubi golok itu menyambar dan kini anak
    buahnya juga sudah membantunya. Swat Hong cepat memutar pedangnya
    dan mengerahkan sinkang disalurkan kepada pedang itu. "Cringcring‐ trangtrang‐
    trang....!!" Sebatang golok di tangan Ciu‐wangwe dan empat batang
    pedang terlepas dari pegangan pemiliknya, dan tiga orang pengeroyok roboh
    terkena totokan kipas perak di tangan kirinya! Melihat kelihaian wanita ini,
    bukan main kagetnya hati Ciu‐wangwe. Dia sudah berpengalaman dan
    tahulah dia bahwa kalau dia melanjutakn, dia sendiri akan roboh di tangan
    wanita lihai ini. Maka jalan terbaik baginya adalah lari keluar untuk
    mengerahkan anak buahnya dan kalau perlu melarikan diri! Melihat orang
    yang hendak ditangkapnya itu lari, Swat Hong hendak mengejar, akan tetapi
    pada saat itu dia melihat tubuh gendut Gu‐taijin sedang dibantu oleh
    beberapa orang meninggalkan tempat itu. Celaka, pikirnya. Dia harus dapat
    menangkap pembesar itu , kalau tidak, tentu akan sukar menundukan semua
    orang. Maka dia lalu mengerahkan tenaga pada tangan kanan, tangan kanan
    itu bergerak dan pedangnya meluncur seperti kilat menyambar ke depan.
    Terdengar jerit mengerikan dan tubuh Ciu‐wangwe terjungkal ke depan,
    dadanya ditembusi pedang dari punggung dan dia tewas seketika! Swat Hong
    telah melompat dan tangan kanannya kembali sudah mencabut pedang, kini
    pedang milik Kwee Lun yang dicabutnya. Kipas di tangan kirinya
    merobohkan empat orang pengawal yang tadi membantu Gutaijin dan
    mereka roboh tertotok, kemudian sebelum pembesar itu sempat bergerak,
    dia sudah mencengkeramnya lagi, bahkan yang dicengkeram adalah
    pundaknya sambil mengerahkan tenaga. "Aughhh... add... duh... duh...duhhh...
    ampun, Lihiap....!" Gu‐taijin berteriak‐teriak seperti seekor **** disembelih.
    "Hayo cepat suruh mereka semua mundur!" bentak Swat Hong, kembali
    pedang telanjang ditekankan di tengkuk pembesar itu. "Mundur kalian
    semua! *******! Kurang ajar kalian! Disuruh mundur tidak cepat mentaati
    perintah! Apa minta dihukum gantung semua!" Mendengar pembesar ini
    dengan suara galak sekali, seperti biasanya, membentak‐bentak, semua
    pengawal dan anak buah Ciu‐wangwe terbelalak ketakutan dan mundur.
    Apalagi mereka melihat betapa Ciu‐wangwe sudah tewas. Para ******* yang
    tadi melayani perjamuan itu, menjerit‐jerit dan lari pontang‐panting,
    kemudian bersembunyi di kolong‐kolong meja dan belakangbelakang lemari.
    Swat Hong mendengar suara ribut‐ribut diluar, suara pertempuran. Tahulah
    dia bahwa Kwee Lun sedang dikeroyok. Cepat dia menarik tubuh pembesar
    Gu keluar dari hotel, kemudian dengan mencengkeram punggung baju, dia
    membawa pembesar gendut itu meloncat ke atas genteng. Semua orang
    memandang heran melihat betapa seorang gadis cantik dan muda seperti itu
    mampu meloncat sambil mencengkeram tubuh seorang laki‐laki bertubuh
    gendut dan berat seperti pembesar itu! Swat Hong masih mencengkeram
    punggung Gu‐taijin yang pucat sekali wajahnya, menggigil kedua kakinya.
    Tentu saja dia merasa ngeri berdiri di atas genteng, di pinggir sekali.
    Terpeleset sedikit saja dia tentu akan melayang jatuh ke bawah, tubuhnya
    akan remuk! Selama hidupnya tentu saja belum pernah dia naik ke atas

  8. #187

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 186
    genteng. Akan tetapi karena dia ditodong dan merasa takut sekali kepada
    wanita perkasa yang mencengkeram punggungnya, dia mentaati perintah
    Swat Hong dan dengan suara lantang dia berteriak‐teriak dari atas. "Haiii....
    mundur semua...!" Dia melihat pasukan keamanan sudah berada di situ,
    dipimpin oleh Bhongciangkun, perwira yang mengepalai pasukan keamanan.
    "Bhong‐ciangkun, suruh semua pasukan mudur!" Pada saat itu, Kwee Lun
    sedang mengamuk. Tadinya yang mengeroyoknya hanyalah para tukang
    pukul anak buah Ciu‐wangwe dan dia sudah berhasil merobokan belasan
    orang dengan tambang di tangannya yang kini sudah berlepotan darah. Akan
    tetapi dia kewalahan juga ketika pasukan keamanan datang. Pasukan yang
    jumlahnya hampir seratus orang itu tentu saja tidak mungkin dapat dia
    lawan seorang diri hanya mengandalkan segulung tambang! Maka dalam
    amukannya itu, dia sudah menerima pula beberapa bacokan senjata tajam
    yang melukai pinggul dan punggungnya, membuat pakaiannya berlepotan
    darah pula. Namun, sedikit pun semangatnya tidak menjadi kendur, bahkan
    darah dipakaiannya itu seolah‐olah membuat dia makin bersemangat lagi!
    Melihat betapa atasannya berada di atas genteng dan mengeluarkan perintah
    itu, Bhong‐ciangkun terkejut dan cepat dia mengeluarkan aba‐aba menyuruh
    pasukannya mundur. Kwee Lun ditinggalkan seorang diri, berdiri dengan
    kedua kakinya terbentang lebar, pakaian dan tambangnya berlumuran darah,
    gagah bukan main sikapnya. Sisa anak buah Ciu‐wangwe tidak ada lagi yang
    berani maju setelah para pasukan itu diperintahkan mundur. Apalagi ketika
    mereka itu mendengar bisikan teman‐teman bahwa Ciuwangwe telah tewas
    oleh dara di atas genteng itu! Ketika Kwee Lun melihat betapa Swat Hong
    telah berdiri di atas gentang sambil membawa Gu‐taijin, diam‐diam dia
    menjadi kagum bukan main. Kiranya gadis itu amat cerdiknya. Tahulah dia
    bahwa dara perkasa itu hendak menggunakan kekuasaan Gu‐taijin untuk
    membasmi kejahatan yang merajalela di Lengsia‐ bun! Maka sambil tertawa
    bergelak dia pun melompat dan tubuhnya melayang ke atas genteng di mana
    dia berdiri di samping Swat Hong dan berkata mengejek, "Hong‐moi,
    bagaimana kalau kita orong ton kotoran ini ke bawah saja dan melihat
    perutnya berhamburan di bawah sana?" "Jangan.... jangan ... aduh, ampunkan
    saya...." Gu‐taijin berkata memohon dengan rasa takut menghimpit hatinya.
    "Kalau begitu, hayo kau membuat pengumunan dan perintah, menurutkan
    kata‐kataku." Swat Hong berbisik di belakang pembesar itu. Gu‐taijin
    mengangguk‐angguk, kemudian terdengarlah suaranya lantang mengikuti
    perintah yang dibisiki oleh Swat Hong. "Hai, dengarlah baik‐baik semua
    pembantuku dan semua penduduk Leng‐sia‐bun! Hari ini, dengan bantuan
    Kwee‐taihiap dari Pulau Kura‐kura, aku baru mengetahui bahwa di kota ini
    terdapat komplotan penjahat yang diketuai oleh Hartawan Ciu Bo Jin! Mereka
    mendirikan rumah judi, hotelpelacuran, dan rumah makan di mana terjadi
    segala macam kejahatan perjudian curang, pemaksaan terhadap gadis‐gadis
    yang diculik untuk dijadikan ******* dan penyogokan terhadap para petugas
    pemerintah! Sekarang Ciu‐wangwe telah tewas! Anak buahnya akan
    diampuni asal saja mulai sekarang mau merobah watak dan tidak lagi

  9. #188

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 187
    melakukan kejahatan ! Dan semua wanita yang dipaksa menjadi *******,
    akan dibebaskan dan dikirim pulang ke rumah masing‐masing dengan
    mendapat bekal masing‐masing seratus tail perak! Semua ini harus
    dijalankan sebaiknya. Kalau ada yang melanggar dia akan dihukum sesuai
    dengan hukuman pemerintah, dan selain itu, juga Kwe‐taihiap sendiri akan
    selalu mengawasi dan memberi hukuman terhadap mereka yang tidak
    mentaati perintah kami ini!" Tiba‐tiba terdengar sorak‐sorai penduduk dan
    terjadi keributan karena beberapa tukang pukul yang pernah berbuat
    sewenang‐wenang, tiba‐tiba dikeroyok oleh penduduk! Sekali ini, para
    pasukan pemerintah tidak ada yang berani melindunginya para tukang pukul
    itu sehingga mereka mengaduh‐aduh dan tidak berani melawan, mengalami
    pemukulan penduduk sampai babak belur! Dan para wanita ******* yang
    berasal dari keluarga baik‐baik dan yang dipakasa menjadi ******* dengan
    berbagai ancaman dan siksaan, sudah menangis riuh‐rendah, menangis
    saking girang, terharu, dan juga duka. "Awas kau, Gu‐taihiap. Kalau sampai
    semua ucapanmu tadi tidak kau laksanakan, kami akan melaporkan bahwa
    engkau sebagai seorang kepala daerah telah diperalat oleh orang jahat
    dengan jalan sogokan, dan selain itu, kami akan datang kembali khusus untuk
    menyembelih lehermu!" Swat Hong berbisik dengan nada penuh ancaman.
    Pembesar itu mengangguk‐anggukkan kepalanya seperti seekor ayam
    mematuki gabah. Ketika dia mengangkat muka memandang, ternyata kedua
    orang itu telah lenyap dan dia hanya berdiri sendiri saja di atas genteng yang
    begitu tinggi. Tentu saja dia menjadi ngeri sekali. "Bhong‐ciangkun.... tolong....
    tolong saya turun....!" Bhong‐ciangkun telah melihat bayangan kedua orang
    itu berkelebat, maka dia lalu meloncat naik ke atas genteng dan membawa
    pembesar itu turun. "Bagaimana, apakah hamba harus mengejar mereka?"
    Bhong‐ciangkun berbisik. "Hushhh...! Bodoh! Masih untung kita...." Pembesar
    itu berbisik kembali kemudian berkata lantang. "Hayo laksanakan perintahku
    tadi!" Demikianlah, peristiwa itu menjadi semacam dongeng sampai
    bertahun‐tahun di kalangan penduduk Lengsia‐ bun, dan betapa pun orang
    mencari kedua orang pendekar itu, tak pernah lagi mereka melihat mereka.
    Memang Swat Hong dan Kwee Lun telah melarikan diri dari kota itu dan
    melanjutkan perjalanan mereka dengan hati puas. Hebat kau, Hong‐moi!"
    Kwee Lun memuji. "Luar biasa sekali! Kalau tidak ada engkau yang
    membantuku dengan siasat yang cerdik itu, tentu akan lain jadinya! Aku
    masih sangsi apakah aku akan mampu menaklukkan mereka! Tentu akan
    menjadi banjir darah, dan mungkin aku sendiri akhirnya mati dikeroyok."
    "Ah, sudalah, Kwee‐twako. Kau yang hebat, menggunakan tali merobohkan
    restoran dan dengan hanya bersenjatakan tambang dapat menghadapi
    pengeroyokan puluhan orang!" "Tidak ada artinya dibandingkan dengan
    sepak terjangmu, Moi‐moi. Engkau telah membantuku sehingga tugasku
    selesai dengan hasil baik. Tak pernah aku akan dapat melupakan ini! Dan
    sebagai balasannya, aku akan membantumu mencari ibumu dan suhengmu
    sampai berhasil pula!" Wajah Swat Hong menjadi suram, dan dia menarik
    napas panjang. "Hemm... Ibu dan Suheng pergi tanpa meninggalkan jejak. Ke

  10. #189

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 188
    mana aku harus mencarinya?" "Jangan khawatir, Moi‐moi. Kalau memang
    Ibumu dan Suhengmu mendarat tentu kita akan dapat mencari mereka.
    Tempat yang paling tepat untuk mencari seseorang adalah kota raja. Memang
    belum tentu mereka berada di sana, akan tetapi setidaknya, di kota raja
    merupakan sumber segala keterangan sehingga kita dapat mendengardengar
    kalau‐kalau ada berita dari dunia Kang‐ouw tentang mereka." Swat
    Hong Menyetujui pendapat ini Memang dia pun bermaksud mengunjungi
    kota raja, karena bukankah nenek moyangnya dahulunya juga seorang
    anggauta keluarga raja? Mereka melanjutkan perjalanan dari luar kota Lengsia‐
    bun. Makin lama melakukan perjalan bersama Kwee Lun, setelah lewat
    sebulan kurang lebih, makin sukalah Swat Hong kepada pemuda itu. Dia
    makin mengenal Kwee Lun, sebagai seorang yang benar‐benar jantan, keras
    hati, teguh dan tidak mempunyai sedikit pun pikiran menyeleweng, suka
    bergurau, kasar akan tetapi kekasaran yang bukan bersifat kurang ajar
    melainkan karena terbawa oleh kejujurannya yang wajar dan tak pernah mau
    menyembunyikan sesuatu. Pendeknya, pemuda itu benar‐benar seorang lakilaki
    yang gagah perkasa lahir bathinnya. Di lain pihak, Kwee Lun juga merasa
    kagum kepada Swat Hong setelah dia mengenal sifat‐sifat temanya ini yang
    amat cerdik, periang, jenaka namun keras hati dan kadang‐kadang tampak
    keagungan sikapnya sebagai seorang puteri kerajaan! Namun dara itu sama
    sekali tidak angkuh atau sombong, sungguhpun kini dia harus mengakui
    bahwa ilmu kepandaiannya sedikitnya kalah dua tingkat dibandingkan
    dengan dara Pulau Es ini! Oleh karena inilah maka ada keseganan di dalam
    hatinya sehingga biarpun dia yang selalu memimpin perjalanan dan menjadi
    petunjuk jalan, namun dalam segala hal, sampai dalam memilih makanan dan
    penginapan yang selalu dibayar oleh Kwee Lun, pemuda ini selalu minta
    pendapat dan keputusan Swat Hong! Pada suatu hari tibalah kedua orang ini
    di kaki Pegunungan ***‐hang‐san yang amat luas dan memanjang dari
    selatan ke utara. Tujuan mereka adalah Tiang‐an ibu kota Kerajaan Tang. Di
    dusun ini mereka berhenti untuk makan di sebuah warung nasi sederhana.
    Mereka memesan nasi, mi, dan arak, Kwee Lun minta air hangat untuk Swat
    Hong agar nona ini dapat mencuci muka setelah melakukan perjalanan yang
    panas berdebu. Ketika Swat Hong sedang bercuci muka dengan air hangat,
    menggosok mukanya dengan air bersih sampai kedua pipinya kemerahan,
    dia mendengar percakapan menarik dari arah dapur warung itu. "Bukan
    main ramenya !" terdengar suara seorang laki‐laki, agaknya pekerja di dapur
    itu. "Lebih ramai daripada kalau melihat dua orang jago silat berkelahi!
    Bayangkan saja! Harimau mengaum sampai bumi tergetar, lalu menubruk
    dan mencakar ke arah biruang itu. Akan tetapi si biruang juga tidak kalah
    lihainya, dia menggereng dan aku yakin engkau sendiri tentu akan
    terkencing‐kencing mendengar gerengan itu! Dia dapat menangkis dengan
    kaki depannya dan balas menggigit. Mereka saling cakar, saling gigit, mulamula
    saling menangkis lalu bergumul! Bukan main!" "Ahhh, sudahlah. Siapa
    percaya omonganmu? Paling‐paling kau melihat ornag mengadu jangkerik
    dan kau kalah bertaruh lagi! Lebih baik lekas masak air, tehnya hampir

  11. #190

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 189
    habis." Swat Hong cepat menghampiri Kwee Lun dan berbisik, "Agaknya di
    sini ada jejak suhengku!" "Ehhh....? Kwee Lun bertanya heran. "Ada orang di
    dapur tadi bercerita tentang pertandingan antara harimau dan biruang, dan
    kalau tiadk salah perasaan hatiku, itu biruang kepunyaan suheng." "Eh?
    Suhengmu memelihara biruang?" Kwee Lun bertanya makin heran lagi.
    "Belum kuceritakan kepadamu, Twako. Ketika aku berpisah dari suheng, dia
    sedang mengobati seekor biruang terluka. Tentu biruang itu menjadi jinak
    dan menjadi binatang peliharaannya." "Aduh! Suhengmu tentu hebat sekali,
    berani mengobati seekor biruang!" "Sudahlah, Twako. Kalau kelak dapat
    bertemu, engkau dapat berkenalan dengan suheng sendiri. Sekarang harap
    kau suka tanyakan kepada pekerja di dapur tentang biruang yang
    diceritakannya tadi." "Mengapa tidak panggil saja dia ke sini? Hei, Bung
    pelayan!" Pelayan itu segera menghampiri. "Tolong kau panggilkan sahabat
    yang tadi berbicara tentang biruang, dia bekerja di dapur. Cepat!" Pelayan itu
    terheran‐heran, akan tetapi dia masuk juga ke dalam dan tak lama kemudian,
    dia kembali ke situ bersama seorang laki‐laki muda yang kelihatan takuttakut.
    Laki‐laki ini kurus kecil dan memakai pakaian koki, agaknya dialah
    tukang atau pembantu tukang masak di warung itu. "Saya.... saya tidak tahu
    apa‐apa...." begitu tiba di dekat meja, orang itu berkata. Kwee Lun
    menggerakkan tangannya tak sabar. "Aahh, mengapa takut? Kami hanya
    tertarik mendengar cerita biruang bertanding dengan harimau. Di manakah
    kejadian itu dan bagaimana asal mulanya?' Kwee Lun mengeluarkan
    sepotong uang dan memberikan kepada orang itu. "Nah, ceritakanlah! Jangan
    takut‐takut, ini hadiahnya." Orang itu menerima hadiah dan setelah
    memandang ke kanan kiri dia bercerita. "Pagi tadi, sebelum masuk bekerja
    saya menemani Saudara Misan saya mengantar segorobak kayu bakar ke atas
    sana...." dia menuding ke luar warung. "Ke atas mana?" "Di Puncak Awan
    Merah, tempat tinggal Siangkoan Lo‐enghiong. Kami berdua mengantarkan
    kayu bakar dan melihat ribut‐ribut di sana. Mendengar gerengan‐gerengan
    dahsyat, saya lalu menyelinap dan mendahului saudara saya, mengintai.
    Ternyata di sana sedang diadakan permainan yang luar biasa, yaitu adu
    harimau dan biruang! Entah milik siapa biruang itu, akan tetapi harimau itu
    saya kenal sebagai harimau peliharaan Siangkoan Lo‐engkeng yang biasanya
    di dalam kerangkeng. Bukan main ramenya dan saya takut sekali. Agaknya di
    tempat Siangkoan Lo‐enghiong ada tamu yang membawa biruang...." "Siapa
    tamunya? Bagaimana macam orangnya?" Swat Hong mendesak penuh
    ketegangan hati. Akan tetapi orang itu menggeleng kepala. "Bagaimana saya
    bisa tahu? Di atas sana banyak orang, muridmurid Lo‐enghiong dan orangorang
    seperti kami tidak mempunyai hubungan dengan Puncak Awan Merah,
    kami tidak diperbolehkan naik kecuali kalau ada pesanan dari sana. Hanya
    kadang‐kadang saja Siocia atau murid Lo‐enghiong yang turun ke sini.
    Melihat pertandingan yang amat dahsyat itu, saya ketakutan dan cepat lari
    turun lagi...." Swat Hong mengerutkan alisnya. Mungkinkah suhengnya
    "kesasar" sampai di tempat ini? Tiba‐tiba Kwee Lun bertanya, "Yang
    kausebut Siangkoan Lo‐enghiong itu, apakah dia bernama Siang‐koan

  12. #191

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 190
    Houw?" Nama lengkapnya mana saya tahu?" Orang itu menggeleng kepala,
    kelihatannya takut‐takut. "Julukannya Tee Tok (Racun Bumi), bukan?" Orang
    itu makin ketakutan, akan tetapi dia mengangguk. "Pernah saya mendengar
    muridnya bicara menyebut julukan itu.... harap Ji‐wi maafkan, saya masih
    banyak pekerjaan di dapur." Dia tidak menanti jawaban, kembali ke dapur
    dengan sikap ketakutan. "Aihh, kiranya Teek‐tok sekarang tinggal di tempat
    ini!" kata Kwee Lun. "Twako, siapakah racun bumi itu?" "Hemm, seorang
    yang luar biasa! Dapat dikatakan saingan suhu, menurut cerita suhu, sukar
    dikatakan siapa yang lebih unggul. Dia adalah seorang di antara tokoh‐tokoh
    dunia kang‐ouw yang sudah terkenal sekali. Aku sendiri baru mendengar
    namanya dari suhu saja. Menurut suhu, dia adalah seorang yang gagah
    perkasa dan jujur, akan tetapi sayang sekali, hati ganas dan kejam terhadap
    orang yang tak disukainya dan dia amat lihai dan berbahaya sebagai seorang
    ahli racun yang mengerikan. Karena itu julukannya adalah Racun Bumi.
    Sungguh tidak dinyana bahwa kita bakal bertemu dengan orang seperti dia!"
    "Hemm... kalau begitu engkau sudah merencanakan untuk mengunjungi
    Puncak Awan Merah, Twako?" "Tidak begitukah kehendakmu? Agaknya
    sangat boleh jadi biruang itu milik suhengmu. hong‐moi, karena di tempat
    tinggal seorang seperti teek‐tok, segala apa mungkin saja terjadi. Tentu saja
    amat mencurigakan dan hatiku tidak akan merasa puas kalau belum
    menyelidiki ke sana. Kalau ternyata suhengmu tidak berada di sana kita
    turun lagi karena aku tidak mempunyai urusan dengan Tee‐tok." Swat Hong
    mengangguk. "Baiklah, kalau begitu mari kita berangkat. Entah mengapa,
    betapa pun sedikit kemungkinannya bahwa suheng berada di sana, akan
    tetapi hatiku merasakan sesuatu yang aneh. Kita harus menyelidiki ke sana."
    Setelah membayar harga makanan berangkatlah kedua orang itu ker Pulau
    Awan Merah, tentu saja diikuti pandang mata penuh keheranan dan
    kegelisahan oleh pelayan warung yang mereka tanyai di mana adanya
    puncak itu. Setelah mereka mendekati bukit dan tiba di lereng atas,
    tampaklah bangunan besar di puncak yang dimaksudkan itu. Mereka tidak
    mengerti mengapa puncak itu disebut Puncak Awan Merah, padahal ketika
    mereka tiba di situ di siang hari itu, awannya tidak berwarna merah
    melainkan biru dan putih seperti biasa. "Twako, kedatangan kita hanya
    menyelidiki apakah suheng berada di sana. Oleh karena itu, tidak baik kalau
    kita datang berterang, bisa menimbulkan kecurigaan orang dan kita tidak
    berniat mencari perkara dengan tokoh kang‐ouw itu, bukan? Maka,
    sebaiknya kita berpencar dan kau menyelidiki dengan memutar dari kiri, aku
    dari kanan, sampai kita saling bertemu dan kalau suheng tidak ada di sana,
    dan biruang itu bukan biruangnya, kita segera kembali ke dusun tadi dan
    bermain saja di sana." "Baik, Hong‐moi, dengan demikian, penyelidikan dapat
    dilakukan lebih leluasa dan lebih cepat." Mereka mendaki terus dan setelah
    tiba di luar pagar tembok gedung besar di puncak itu, mereka berpencar.
    Swat Hong yang mengambil jalan dari kanan menyelinap di atas pohonpohon
    dan batu gunung. Tak lama kemudian dia mendengar suara orang dan
    cepat dia menghampiri dan mengintai. Apa yang dilihatnya membuat dia

  13. #192

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 191
    hampir berteriak saking kagetnya! Dapat dibayangkan betapa heran dan
    kagetnya ketika dia melihat suhengnya, Kwa Sin Liong, terbelenggu kedua
    pergelangan tangannya dan setengah tergantung pada pohon! Tubuh atas
    suhengnya itu telanjang dan hanya celana dan sepatunya saja yang menutupi
    tubuhnya. Sin Liong kelihatan tenang saja biarpun dahinya berpeluh, dan
    agaknya pemuda itu memang sengaja membiarkan dirinya terbelenggu,
    karena Swat Hong yakin sekali bahwa apabila dikehendaki oleh suhengnya
    itu, apa sukarnya membebaskan diri dari belenggu seperti itu? Tentu ada
    sesuatu yang aneh telah terjadi di sini! Swat Hong menahan kemarahannya
    yang membuat dia ingin menyerbu, dan dia memandang kepada orang‐orang
    lain itu. Dua orang yang berpakaian seragam, memakai topi aneh, menjaga di
    belakang pohon dan tangan mereka meraba gagang golok. Seorang kakek
    yang tinggi besar, brewok dan matanya lebar, dengan marah‐marah
    menghampiri Sin Liong, tangan kanannya memegang senjata yang aneh.
    Bukan senjata, pikir Swat Hong, melainkan tanduk rusa yang agaknya hendak
    dipakai sebagai senjata. Tanduk rusa seperti itu saja apa artinya bagi
    suhengnya? Yang membuat dia terheran‐heran adalah melihat suhengnya
    berada di tempat itu dan mudah saja dibelenggu dan dihina! Apa yang telah
    terjadi? Seperti telah kita ketahui, Sin Liong meninggalkan Pulau Neraka
    bersama Ouw Soan Cu, gadis Pulau Neraka yang hendak mencari ayahnya.
    Sebetulnya, mencari ayahnya ini hanya merupakan alasan yang dicari‐cari
    saja oleh Ouw Kong Ek, ketua Pulau Neraka. Puteranya Ouw Sin Kok, ayah
    kandung Soan Cu, telah menghilang selama belasan tahu, tak pernah kembali
    dan tidak pula ada kabarnya sehingga menimbulkan dugaan besar bahwa
    Ouw Sian Kok telah meninggal dunia. Selain itu, andaikata masih hidup, tak
    seorang pun mengetahui di mana tempat tinggalnya. Soan Cu ditinggal ayah
    kandungnya sejak bayi bagaimana mungkin dia dapat mencari ayahnya yang
    belum pernah dilihatnya dan tak diketahui ke mana perginya itu? Kalau Ouw
    Kong Ek mengunakan alasan ini dan mendesak kepada Sin Liong agar
    membawa dara itu bersama, keluar dari Pulau Neraka, adalah karena
    sebenarnya dia ingin agar cucunya itu dapat berjodoh dengan Sin Liong. Dia
    sering kali mengingat akan nasib cucu yang di cintanya itu. Jauh dari dunia
    ramai, akhirnya cucunya itu terpaksa hanya akan berjodoh dengan seorang
    penghuni Pulau Neraka! Maka munculnya Sin Liong untuk pertama kalinya
    itu sudah mendatangkan harapan untuk menjodohkan cucunya dengan
    pemuda itu. Apalagi ketika Sin Liong datang untuk kedua kalinya, bahkan
    pemuda itu telah menolong Soan Cu, dan menolong Pulau Neraka yang
    diserbu bajak laut. Tentu saja dia tidak dapat memaksa pemuda itu untuk
    menjadi calon suami cucunya, akan tetapi dengan kesempatan melakukan
    perantauan bersama, dia harap akan timbul cinta di dalam hati pemuda itu
    terhadap cucunya yang dia tahu merupakan seorang gadis yang cantik jelita
    dan berilmu tinggi, juga berwatak baik. JILID 12 Demikianlah, Sin Liong
    meninggalkan Pulau Neraka bersama Soan Cu dan juga biruang raksasa yang
    menjadi jinak itu. Dengan sebuah perahu yang disediakan oleh Ouw Kong Ek,
    berangkatlah mereka meninggalkan Pulau Neraka, berlayar melalui pulau

  14. #193

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 192
    pulau di daerah itu. Akhirnya, karena tidak berhasil menemukan Swat Hong
    yang dicari‐carinya, juga tidak tampak seorang pun manusia tinggal di daerah
    lautan berbahaya itu, Sin Liong mengemudikan perahunya menuju ke arah
    barat, ke daratan besar. "Besar kemungkinan Sumoi mendarat, dan kalau
    sampai belasan tahun ayahmu tidak pernah pulang dan tidak ada beritanya,
    juga bukan tidak mungkin Ayahmu tinggal di sana," katanya kepada Soan Cu.
    "Mari kita mencari jejak mereka di daratan besar." Soan Cu tidak membantah
    dan demikianlah, akhirnya mereka mendarat dan hanya beberapa hari lebih
    dulu dari pendaratan yang dilakukan oleh Swat Hong yang tersesat jalan dan
    mendarat jauh di selatan sehingga dia bertemu dengan Kwee Lun. Karena
    dari pantai ke barat banyak melalui daerah yang sunyi, pegunungan dan
    hutan, maka adanya biruang bersama meraka tidak terlalu mengganggu
    benar. Pula, binatang itu sudah jinak sekali, bahkan dapat disuruh untuk
    mencari buah‐buahan, pandai pula mencari air di dalam hutan yang lebat.
    Pada suatu hari, tibalah mereka di pegunungan ***‐hang‐san. Tanpa mereka
    ketahui, mereka tiba di lereng puncak Awan Merah, daerah kekuasan Teetok.
    Ketika mereka memasuki sebuah hutan besar, tiba‐tiba terdengar auman
    harimau yang amat keras sehingga suara itu menggetarkan hutan.
    Mendengar auman ini, biruang menjadi marah sekali. Sin Liong cepat
    memegang dan memeluk binatang itu, khawatir kalau‐kalau biruang itu akan
    lari dan berkelahi dengan harimau yang mengaum itu. "Hai.......! Ada harimau!
    Biar kutangkap dia!" Sian Cu sudah berlari‐lari membawa senjatanya yang
    aneh dan istimewa, yaitu sebatang cambuk berduri yang menjadi senjata
    kesayangannya disamping pedang. Dia tertawa‐tawa gembira sehingga Sin
    Liong tidak tega untuk melarangnya. Dara itu masih remaja, masih bersifat
    kanak‐kanak dan hanya kadang‐kadang saja tampak kedewasaanya. Dia
    maklum bahwa gadis yang sejak bayi dibesarkan di tempat seperti Pulau
    Neraka itu, tentu saja memiliki sifat‐sifat liar, akan tetapi dia pun mengenal
    dasar‐dasar baik dari hati Soan Cu. Selain membiarkan gadis itu bergembira,
    juga dia percaya penuh bahwa ilmu kepandaian Soan Cu sudah tinggi sekali,
    cukup tinggi untuk melindungi diri sendiri. Soan Cu berlari cepat sekali dan
    dalam berlari ini timbullah kegembiraan yang luar biasa di dalam hatinya. Di
    depan Sin Liong, dia selalu harus menekan perasaannya karena sikap
    pemuda ini sungguh penuh wibawa dan membuat dia tunduk, takut dan
    hormat seolah‐olah pemuda itu menjadi pengganti kakeknya. Akan tetapi
    sesunguhnya semenjak dia meninggalkan Pulau Neraka, ada perasaan
    gembira yang disembunyikannya dan baru sekarang dia memperoleh
    kesempatan untuk melepaskan kegembiraannya yang meluap‐luap. Ingin dia
    bersorak gembira kalau saja tidak takut terdengar oleh Sin Liong! Maka
    kegembiraannya itu disalurkannya lewat kedua kakinya yang berloncatan
    dan berlari‐lari menuju ke arah suara harimau yang mengaum. Karena
    auman harimau itu keras sekali, mudah saja bagi Soan Cu untuk menuju ke
    tempat itu dan akhirnya dia melihat seekor harimau yang amat besar dan
    kuat, berbulu indah sekali, loreng‐loreng hitam kuning berdiri memandang
    ke arah seorang laki‐laki yang berdiri ketakutan. Harimau itu membuka‐buka

  15. #194

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 193
    moncongnya, seperti seorang anakkecil yang menggoda kakek itu,
    menakutnakutinya, kadang‐kadang mengaum dan tiap kali dia mengaum,
    kedua kaki orang itu menggigil dan terdengar suara terputus‐putus dan dia
    mencoba untuk bersembunyi di belakang sebatang pohon, "Kakak harimau
    yang baik..... saya..... saya..... A‐siong pedagang kayu bakar..... hendak mengirim
    kayu bakar kepada Lo‐enghiong....... harap jangan mengganggu saya......"
    Harimau itu sebetulnya adalah harimau peliharaan Tee‐tok dan biasanya
    dikurung dalam kerangkeng dan hanya pada waktu‐waktu tertentu saja
    dibiarkan berkeliaran di hutan. Agaknya penjaga harimau pada hari itu
    terlupa sehingga harimau itu tetap berkeliaran pada waktu A‐siong sedang
    mengirim kayu bakar ke Puncak Awan Merah. A‐siong adalah seorang di
    antara pedagang‐pedagang kayu bakar yang suka menjual kayu bakar di
    tempat itu. Melihat harimau itu, Soan Cu lalu berseru, "Kucing besar, kau
    nakal sekali!" Harimau itu menggereng dan menoleh. Ketika dia melihat
    seorang wanita memengang cambuk, dia menggereng dan cepat sekali,
    berlawanan dengan tubuhnya yang besar, dia sudah membalik dan
    menubruk. "Celaka......!" A‐siong berseru kaget, memeluk batang pohon dan
    menahan napas, membelalakan matanya. Akan tetapi, tanpa mengelak Soan
    Cu sudah menggerakan cambuknya. "Tar‐tar!" ujung cambuk itu menyambar
    dan membelit kaki depan kanan harimau itu dan sekali tarik, tubuh harimau
    yang sedang meloncat itu terbanting ke atas tanah. Harimau itu menggereng
    dan kelihatan marah sekali. Kembali dia menubruk, akan tetapi sekali ini,
    Soan Cu yang sedang gembira meloncat ke kiri dan melihat tubuh harimau itu
    menyambar lewat, dengan tangan kirinya dia menangkap ekor harimau yang
    panjang dan sekali tubuhnya bergerak, dia telah berada di atas punggung
    harimau! Sambil tersenyum‐senyum dan membuat gerakan seperti orang
    menunggang kuda, Soan Cu menggerak‐gerakan ujung cambuk menyabeti
    moncong harimau itu. Tentu saja harimau itu merasa kesakitan karena ujung
    cambuk itu berduri. Dengan kemarahan meluap harimau itu berusaha
    mencakar dan menggigit ujung cambuk yang mungkin dikira seekor ular
    yang ganas, namun tak pernah berhasil bahkan bagaikan buntut seekor ular,
    ujung cambuk itu terus melecuti hidung dan bibirnya sampai berdarah!
    "Hiyooooo.... kucing binal, hayo jalan baik‐baik!" Seperti seorang pemain
    sirkus yang mahir, Soan Cu menunggang harimau, tangan kiri mencengkeram
    kulit leher, tangan kanan mempermainkan cambuknya dan harimau itu yang
    mengejar ujung cambuk yang digerak‐gerakan, melangkah perlahan‐lahan!
    A‐siong yang menonton sambil berusaha menyembunyikan diri di balik
    batang pohon, terbelalak dan hampir tak percaya kepada matanya sendiri.
    Beberapa kali tangan kirinya menggosok kedua matanya dengan ujung
    lengan baju karena dia mengira bahwa dia sedang dalam mimpi, akan tetapi
    tetap saja penglihatan yang luar biasa itu masih tampak oleh kedua matanya.
    "Soan Cu, turunlah......!!" Tiba‐tiba terdengar teguran dan mengenal suara Sin
    Liong, lenyaplah semua kegembiraan yang liar dari gadis itu. Dia masih
    tersenyum, akan tetapi matanya kehilangan sinar yang berapi‐api dan liar
    tadi, dan dia berkata, "Liong‐koko, dia.... dia hendak menerkam orang....."

  16. #195

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 194
    ucapannya ini bersifat membela diri karena dia ketakutan oleh pemuda itu
    sedang mengganggu harimau. "Turunlah berbahaya sekali permainanmu
    itu!" Soan Cu meloncat turun dan tentu saja harimau yang marah itu cepat
    mencakar dengan kecepatan luar biasa. Namun dia hanya mencakar tempat
    kosong kerena gerakan Soan Cu lebih cepat lagi. Dara ini telah meloncat ke
    dekat Sin Liong dan mengejek ke arah harimau dengan meruncingkan
    mulutnya dan mengeluarkan bunyi, "Hiii.....! Hiiiiii!!" Sementara itu, biruang
    yang tadinya sudah dapat ditenangkan oleh Sin Liong dan dijak menyusul
    Soan Cu, setelah kini melihat harimau, timbul kembali kemarahannya,
    bahkan lebih hebat dari pada tadi. Pada saat Sin Liong lengah karena
    menegur gadis itu, tiba‐tiba biruang itu melompat ke depan dan menggereng
    sambil memperlihatkan taringnya, memandang harimau dengan mata merah.
    Harimau itu agaknya tidak merasa gentar menghadapi tantangan ini. Dia pun
    menggereng dan menubruk. Akan tetapi biruang itu sudah siap. Ketika
    harimau itu menubruk dengan kedua kaki depan lebih dulu, dia
    menggerakan kaki depan kanan yang amat kuat, memukul dari samping dan
    menangkis kedua kaki depan harimau . Karena tubuh harimau itu berada di
    udara, tentu saja dia kalah kuat dan tubuhnya terlempar ke bawah. Akan
    tetapi dia sudah meloncat lagi dan siap untuk melanjutkan serangannya.
    "Hushhh....! Biruang yang baik, jangan berkelahi!" Sin Liong sudah
    menangkap kaki depan biruangnya dan mengelus kepalanya,
    menenangkannya. Akan tetapi sekali ini agak sukar karena biruang itu marah
    sekali, meronta‐ronta dan apa lagi melihat harimau itu masih menggereng
    hendak menyerangnya. "Ihh, kucing licik! Hayo mundur kau!" Soan Cu
    melangkah maju, menggerakan cambuknya ke depan untuk menghalau
    harimau itu. "Tar‐tar‐tarr.....!!" Harimau merasa jerih menghadapi cambuk,
    akan teapi bukan berarti dia takut karena dia masih menggereng‐gereng
    memperlihatkan taringnya dan matanya merah bersinar‐sinar. "Hayo pergi!
    Kalau tidak akan kuhajar kau!" Soan Cu membentak. "Siapa dia berani kurang
    ajar hendak mengganggu harimau kami?" Tiba‐tiba terdengar seruan nyaring
    dan muncullah banyak orang di tempat itu. Serombongan orang yang
    berpakaian seragam telah bergerak mengurung tempat itu, dan orang yang
    berseru tadi, seorang kakek tinggi besar yang brewok, pakaiannya ringkas,
    tubuhnya membayangkan tenaga yang kuat, matanya lebar membayangkan
    kekerasan dan kejujuran, akan tetapi tarikan bibirnya membayangkan
    kekejaman. Di sampingnya berjalan seorang gadis yang cantik sekali, dengan
    pakaian yang mewah dan indah, rambutnya ditekuk ke atas dan diikat
    dengan kain kepala dari sutera merah, dihias dengan bunga emas permata,
    pakaian yang indah itu membungkus ketat tubuhnya sehingga
    membayangkan lekuk lengkung tubuhnya yang padat dan ramping, di
    pinggang yang kecil ramping itu melibat sehelai sabuk sutera merah.
    Telinganya terhias anting‐anting batu kemala panjang berwarna hijau,
    menambah kemanisan wajahnya yang mendaun sirih bentuknya itu. Sin
    Liong cepat menjura dengan hormat dan berkata halus, "Harap Locian‐pwe
    sudi memaafkan kami yang secara tidak sengaja memasuki daerah ini, "kata

Page 13 of 28 FirstFirst ... 39101112131415161723 ... LastLast

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •