Page 25 of 28 FirstFirst ... 152122232425262728 LastLast
Results 361 to 375 of 417
http://idgs.in/730445
  1. #361

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 360
    ini jauh dari kota raja. Kelak, kita dapat saling bertemu di Puncak Awan
    Merah di tempat kediaman Tee‐tok Siangkoan Houw, di Pegunungan Taihang‐
    san. Nah, kalian pergilah cepat!" Liem Toan Ki menerima bungkusan itu
    dengan hati kaget bukan main, juga Swi Nio terkejut dan cepat dia
    menyambar tangan kekasihnya. "Mari kita segera pergi!" Kedua orang muda
    itu menyelinap lenyap di dalam kegelapan malam. "Hayo kita bantu Ibu dan
    Ayahmu!" kata Swat Hong kepada Soan Cu. Soan Cu mengangguk karena
    merasa lehernya seperti dicekik oleh sedu‐sedan yang naik dari dalam
    dadanya. Ayahnya! Dia akan bertemu dengan ayah kandungnya yang selama
    hidupnya belum pernah dia lihat itu. Bertemu dalam keadaan terancam
    bahaya maut! Tampak tiga bayangan berkelebat ketika Soan Cu, Swat Hong,
    dan Kwee Lun menyerbu ke dalam istana itu. Ketika mereka tiba di dalam,
    ternyata Liu Bwee dan Ouw Sian Kok telah dikepung ketat dan kini
    pertempuran telah berpindah ke ruang luar yang lebih lega. Agaknya, agar
    dapat melakukan perlawanan dengan leluasa dan mendapat kesempatan
    untuk meloloskan diri, Liu Bwee dan Ouw Sian Kok telah pindah keluar dari
    ruangan dalam yang sempit, dan kini, dengan saling membelakangi, kedua
    orang itu mengamuk dengan hebat, dikepung ketat oleh para pengawal
    istana, sedangkan The Kwat Lin dan Ouwyang Cin Cu menonton di pinggir.
    Ketika Swat Hong dan dua orang kawannya masuk, mereka melihat Kwat Lin
    berlari pergi ke dalam istananya. Swat Hong maklum bahwa wanita itu
    tentulah hendak memeriksa simpanan pusakanya, maka dia lalu menyentuh
    tangan Soan Cu yang sedang bengong memandang kepada laki‐laki setengah
    tua yang mengamuk dengan gagahnya itu, dengan mata merah hampir
    menangis. Soan Cu sadar dan menengok. "Kita kejar dia! Dialah yang paling
    jahat dan berbahaya!" Soan Cu mengangguk dan kedua orang gadis
    berkelebat pergi mengejar Kwat Lin. Kwee Lun Sendiri lalu berteriak keras
    dan meloncat ke depan, meyerbu para pengeroyok. Sepak terjang pemuda
    tinggi besar ini memang hebat, tenaganya yang amat kuat itu membuat dia
    sekali turun tangan merobohkan empat orang pengeroyok. tentu saja
    kepungan menjadi buyar dan kacau. Dan ketika mereka membalik untuk
    mengeroyok Kwee Lun, pemuda yang lihai ini lalu merobah tenaga dahsyat
    tadi dengan pukulan‐pukulan Bian‐sin‐kun, pukulan kapas yang kelihatannya
    lemah dan lunak namun setiap kali menyentuh tubuh para pengeroyok tentu
    membuat dia terguling. "Jiwi‐locianpwe, saya adalah Kwee Lun, sahabat baik
    dari Nona Swat Hong dan Nona Soan Cu! Mereka sedang mengejar Si Iblis
    Betina!" teriak Kwee Lu dengan suara nyaring. Liu Bwee dan Ouw Sian Kok
    terkejut dan girang sekali, terutama Ouw Sian Kok yang mendengar bahwa
    puterinya juga datang! Akan tetapi, malang baginya. Karena dia terlampau
    girang hendak melihat wajah puterinya, dia menoleh ke sana ke mari
    mencari‐cari. "Ouw‐toako, awas....!!" Tiba‐tiba Liu Bwee berteriak dan wanita
    ini berusaha untuk menangkis sinar biru dari pedang Ouwyang Cin Cu.
    "Trangggg.....aih.....!!" Liu Bwee terlambat dan bergulingan untuk
    menyelamatkan diri, sedangkan Ouw Sian Kok terjungkal karena tamparan
    tangan kiri Ouwyang Cin Cu mengenai punggungnya. "Plakk! Aughhhh.....!"

  2. Hot Ad
  3. #362

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 361
    Ouw Sian Kok muntahkan darah segar dari mulutnya. "Curang....!!" Kwee Lun
    membentak dan kipas di tangan kiri serta pedang di tangan kanannya
    menyambar ganas. Namun, dia terlalu lunak bagi Ouwyang Cin Cu dan sekali
    tangkis kipas itu robek dan pedangnya hampir terpental. "Haiiiitttt.....!!" Ouw
    Sian Kok yang marah sekali menerjang maju dengan tangan terbuka. Melihat
    serangan ganas ini, Ouwyang Cin Cu terkejut dan cepat dia meloncat mundur.
    Sebelum dia didesak oleh tiga orang lawan itu, para pengawal sudah
    mengepung lagi dan kini mereka bertiga dikeroyok dan dihujani senjata oleh
    puluhan orang pengawal. "Twako..... kau.....terluka....?" Sambil mengamuk
    dengan pedangnya, Liu Bwee bertanya. "Tidak apa.... mati pun aku rela....
    pusaka telah diselamatkan......." kata Ouw Sian Kok. "Tapi...... tapi anakku....."
    Dia tidak dapat melanjutkan kata‐katanya karena harus menghadapi
    pengeroyokan banyak pengawal. Sementara itu di dalam istana juga terjadi
    pertempuran yang mati‐matian dan hebat sekli. The Kwat Lin yang melihat
    datangnya bala bantuan yang dipimpin sendiri oleh Ouwyang Cin Cu, setelah
    melihat bahwa dua orang pengacau itu terkepung ketat, lalu teringat akan
    pusaka yang tadi dibawa Swat Hong. Dia teringat pula akan puteranya yang
    sudah tidur di kamarnya, maka cepat dia meninggalkan tempat pertempuran
    untuk memeriksa pusaka dan puteranya. Dilihatnya Bu Ong masih tidur
    nyenyak dan terjaga, maka dia cepat lari ke dalam kamarnya sendiri. Seperti
    telah diduganya, para penjaga sebanyak lima orang yang berada di kamarnya
    tewas semua dan keadaan kamarnya rusak dan kacau. Sekali saja melihat ke
    arah peti hitam yang terbuka di depan tempat tidurnya, tahulah dia bahwa
    semua pusaka telah dirampas oleh Swat Hong, seperti yang
    dikhawatirkannya. "Mencari apa, wanita iblis? Pusaka Pulau Es telah aman!"
    The Kwat Lin cepat menengok dan melihat Swat Hong telah berdiri di
    ambang pintu bersama seorang gadis lain yang tak dikenalnya. Kemarahan
    seperti api membakar dadanya melihat dara ini. Sambil mengeluarkan jerit
    melengking nyaring, dia lalu menerjang dan menggerakkan pedang
    merahnya. "Cring‐trang....!!" Pedang Swat Hong disusul pedang Coa‐kut‐kiam
    di tangan Soan Cu menangkis dan kedua orang dara itu meloncat ke
    belakang, ke tempat yang lebih lega. Dengan kemarahan meluap‐luap The
    Kwat Lin meloncat keluar dan melanjutkan serangannya. Akan tetapi, setelah
    bergerak belasan jurus, wanita ini terkejut dan merasa menyesal mengapa
    dia menuruti kemarahan hatinya.
    Dia berada dalam bahaya! Kiranya selain Swat Hong yang telah memiliki
    kepandaian hebat juga gadis yang gerakan‐gerakannya liar dan ganas itu
    amat berbahaya, apalagi cambuk ekor ikan Phi yang meledak‐ledak dahsyat.
    Sebentar saja dia tertekan dan terdesak. Beberapa kali dia berusaha untuk
    meloloskan diri, akan tetapi sambil mengejek Swat Hong selalu menutup
    jalan keluar dan dia terus digulung oleh sinar dua orang gadis lihai itu. The

  4. #363

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 362
    Kwat Lin menjadi nekat. Sambil menggigit bibirnya dia menyerang dahsyat
    kepada Swat Hong, mencurahkan daya serangannya kepada anak tiri yang
    dibencinya ini. Menghadapi terjangan dahsyat yang bertubi‐tubi itu, Swat
    Hong mundur‐mundur juga. Akan tetapi kesempatan baik ini dipergunakan
    oleh Sian Cu untuk menyerang dari belakang. Cambuk ekor ikan Phi meledak
    dua kali mengancam ubun‐ubun kepala The Kwat Lin, dan ketika wanita ini
    mengelak kesamping sambil melanjutkan serangan pedangnya kepada Swat
    Hong, Soan Cu menusukkan pedangnya mengarah lambung Kwat Lin.
    "Singgg....crat..... aihhhhh!!" Kwat Lin terkejut karena biarpun dia telah
    mengelak, tetap saja pedang Coakut‐ kiam (Pedang Tulang Ular) itu melukai
    lambungnya, merobek kulit dan mendatangkan rasa nyeri dan panas dan
    perih sekali. Akan tetapi, wanita yang lihai ini sudah membalik sambil juga
    membalikan pedangnya menyambar leher Soan Cu. Hal ini tidak disangkasangka
    oleh gadis Pulau Neraka ini. "Awas Soan Cu.....!!" Swat Hong berseru
    dan pedangnya menyambar, yang diarah adalah lengan kanan Kwat Lin
    karena hanya dengan jalan itulah dia dapat menolong Soan Cu. "Brettt....
    crok..... aughhhh......!!" Soan Cu terhuyung, pundaknya berlumuran darah
    karena terluka parah, sedangkan Kwat Lin cepat memindahkan pedang ke
    tangan kirinya karena lengan kanannya juga terluka parah, terbacok di
    bagian bahu hampir putus! Dengan kemarahan meluap‐luap dia menubruk
    Swat Hong, namun gadis Pulau Es ini mengelak ke kiri sambil mengangkat
    kaki menendang lutut. "Dukkk! Aduh....!" Kwat Lin terbelalak ketika tahutahu
    pedang Coa‐kut‐kiam telah bersarang di perutnya! Kiranya ketika tadi
    Swat Hong menendangnya Soan Cu yang terluka dengan kemarahan meluap
    menubruk, maka begitu wanita itu terguling, pedangnya cepat menyambar
    dan menusuk perut Kwat Lin. "Bedebah kau....!" Tiba‐tiba pedang di tangan
    Kwat Lin meluncur. "Soan Cu, awas....!!" Swat Hong berteriak kaget namun
    terlambat. Pedang yang terlempar dari jarak dekat dan tak terduga‐duga itu
    dilakukan dengan dorongan tenaga terakhir, tak dapat dielakkan dengan baik
    oleh Soan Cu dan menancap di bawah pundak sampai dalam! "Soan Cu!" Swat
    Hong melompat dan pedangnya membabat. Kwat Lin memekik dan lehernya
    hampir putus! Dengan cepat Swat Hong memeluk tubuh soan Cu yang
    tersenyum! Pergilah.... Aku.... aku tak berguna lagi....!" katanya. "Omong
    kosong!" Swat Hong menghardik, mencabut pedang Ang‐bwe‐kiam dari
    pundak Soan Cu. Soan Cu menjerit dan pingsan. Dengan gemas Swat Hong
    melempar pedang itu memondong tubuh Soan Cu, dibawanya keluar. Betapa
    kagetnya ketika ia tiba di ruangan luar, pertempuran yang masih
    berlangsung hebat itu ternyata membuat pihak ibunya terdesak. Bahkan
    ibunya kelihatan terluka di beberapa tempat, juga ayah Soan Cu, yang
    mengamuk dengan gagah telah berlumuran darah seluruh tubuhnya. Kwee
    Lun juga masih mengamuk, dan hanya pemuda inilah yang belum terluka,
    karena Ouwyang Cin Cu menujukan serangan‐serangannya kepada Liu Bwee
    dan Ouw Sian Kok, karena menganggap ringan kepada Kwee Lun. "Ibu....!!"
    Dengan kemarahan meluap‐luap, Swat Hong meloncat, melampau para
    pengepung dan menurunkan tubuh Soan Cu ke atas lantai. Lalu gadis ini

  5. #364

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 363
    mengamuk dengan pedangnya, merobohkan beberapa orang pengawal.
    Gerakannya demikian hebat sehigga para pengepung terkejut dan gentar,
    bergerak mundur. "Ibu.....!" "Ayahhhhh.....!" Ouw Sian Kok menghentikan
    amukannya dan menjatuhkan diri berlutut. Tadi dia mengira bahwa
    puterinya telah tewas, maka panggilan itu menggetarkan jantungnya dan
    membuat dia lemas. "Kau.....kau Soan Cu.....?" "Ayahhhhhhh..... Hu‐hu‐huhuuuuu.....!!"
    Soan Cu menangis dalam rangkulan ayahnya yang juga
    bercucuran air mata. Baru pertama kali Ouw Sian Kok dapat mencucurkan iar
    mata. "Wutttt..... trangggggg......!!" Dua batang golok terpental oleh tangkisan
    oleh tangkisan Ouw Sian Kok tanpa menoleh karena dia sedang mendekat
    dan menciumi dahi puterinya. "Ayah, aku puas..... dapat bertemu
    denganmu.......!" "Soan Cu...... aihhhh, anakku, kauampunkan dosa ayahmu....."
    Ouw Sian Kok berkata dengan suara terisak. "Trang‐trang..... dessss!!" Dua
    orang pengawal yang berani menyerang roboh oleh tangkisan pedang Ouw
    Sian Kok dan mecuatnya kaki Soan Cu yang menendang. "Ah, jangan kau
    keluarkan tenaga....." kata Ouw Sian Kok melihat betapa tendangan tadi
    membuat napas Soan Cu memburu. "Ayah..... aku.....aku tidak kuat lagi.....kalu
    larilah, ayah......." "Soan Cu......! Soan Cuuuu......!!" Sian Kok meraung‐raung
    ketika menyaksikan dengan mata sendiri betapa puterinya yang baru
    dilihatnya selama hidup puterinya itu, menghembuskan napas di dalam
    dekapnya, dengan bibir tersenyum. Laki‐laki gagah perkasa itu masih terus
    meraung‐raung, dengan air mata bercucuran ketika dia telah membaringkan
    tubuh puterinya ke atas lantai kemudian dia mengamuk seperti seekor naga,
    menyebar maut diantara pengeroyoknya! Hujan senjata tidak dirasakannya
    lagi pedangnya sampai menjadi merah dari ujung sampai kegagang, bahkan
    sampai ke lengannya! Sementara itu Liu Bwee yang sudah banyak kelilangan
    darah juga makin lemas gerakannya. kalau tidak ada Swat Hong, tentu dia
    roboh oleh Ouwyang Cin Cu. Untung bagi mereka agaknya kakek yang sudah
    menjadi Kok‐su ini hanya setengah hati saja bertempur, sering kali dia
    sengaja mundur dan membiarkan anak buah pengawal yang mengeroyok.
    Hal ini karena dia sebetulnya tidak begitu suka kepada The Kwat Lin yang
    dianggapnya berbahaya. Pula, setelah sekarang dia telah memperoleh
    kedudukan tinggi, dia tidak membutuhkan kerja sama dengan The Kwat Lin.
    Selain itu, juga dia ingin menghindarkan sedapat mungkin permusuhan
    dengan orang‐orang lihai, apalagi keluarga dari Pulau Es! "Swat Hong, cepat
    kau pergi......!" "Tidak, Ibu!" "Kalau tidak, kau akan mati......!" "Mati
    bersamamu merupakan kebahagiaan, Ibu!" "Hushhhh, anak bodoh. Kalau
    begitu siapa yang akan mengembalikan pusaka? Kauingat pesan Ayahmu."
    "Tapi, Ibu....." "kalau kau membantah dan sampai tewas di sini, Ibumu tidak
    akan dapat mati dengan mata meram." "Ibu......!" "Lihatlah, dia.....diapun akan
    mati..... Ibu ada seorang teman yang baik......Ibu dan dia.....ah, kami senang
    mati bersama.....kau jangan ikut‐ikut......!" Mendengarkan ucapan ini, Swat
    Hong terkejut sekali dengan menengok ke arah Ouw Sian Kok yang
    mengerikan keadaannya itu.Mengertilah dia bahwa Ibunya dan laki‐laki
    perkasa itu telah saling jatuh cinta! Jantungnya seperti ditusuk, teringat dia

  6. #365

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 364
    akan kesalahan ayahnya terhadap ibunya. Ibunya tidak bersalah, sudah
    sepantasnya menjatuhkan hati kepada pria lain karena disakiti hatinya oleh
    suami yang tergila‐gila kepada wanita lain! "Ibu......" "Pergilah, dan ajak
    pemuda gagah itu!" Sambil bercucuran air mata, Swat Hong mengamuk,
    memutar pedangnya dan mendekati Kwee Lun yang juga masih mengamuk.
    "Toako, hayo kita pergi!!" "Eh? Ibumu? Soan Cu? Ayahnya.......?" "Ayolah.....!!"
    "Baik, baik.....!" Mereka berdua membuka jalan darah, akhirnya berhasil
    meloncat keluar. "Jangan kejar mereka! kepung saja yang berada di dalam!"
    terdengar Ouwyang Cin Cu berseru. Tidak terlalu lama Ouw Sian Kok dan Liu
    Bwee dapat bertahan. Mereka sudah kehabisan tenaga, juga terlalu banyak
    mengeluarkan darah. Akhirnya, mereka roboh berdekatan, di dekat mayat
    Soan Cu. Ouwyang Cin Cu menghela napas panjang, kagum sekali
    menyaksikan kegagahan mereka itu. Dia masih belum menduga bahwa tiga
    orang yang telah tewas ini adalah orang‐orang yang datang dari tempat yang
    hanya didengarnya dalam dongeng! wanita cantik setengah tua itu adalah
    bekas permaisuri Raja Pulau Es, sedangkan laki‐laki perkasa dan dara jelita
    itu adalah ayah dan anak dari Pulau Neraka, bahkan merupakan tokoh
    pimpinan! Dia menghela napas pula ketika melihat bahwa The Kwat Lin juga
    tewas dalam keadaan mengerikan. Diam‐diam dia merasa lega, karena dia
    maklum betapa dilubuk hati wanita ini tersembunyi cita‐cita yang amat
    hebat, yang kelak mungkin membahayakan kedudukan kaisar, dan
    kedudukannya sendiri. Setelah membuat laporan kepada Kaisar baru, yaitu
    An Lu Shan, tentang kematian The Kwat Lin bekas jenderal ini hanya menarik
    napas panjang. "Hemm, sayang sekali, dia merupakan tenaga yang berguna."
    Kemudian mengelus jenggotnya dan berkata, "kalau begitu bagaimana
    dengan puteranya?" "Menurut pendapat hamba, puteranya itu masih
    berdarah Raja Pulau Es yang kabarnya masih mempunyai hubungan keluarga
    dengan kerajaan lama. Maka kalau dia dibiarkan saja menjadi pangeran di
    sini, kelak kalau sudah dewasa tentu akan merupakan bahaya." An Lu Shan
    mengangguk‐angguk. "Habis bagaimana pendapatmu?" Kok Su yang
    merupakan penasehat utama itu mengerutkan alisnya yang bercampur uban,
    lalu berkata, "Mereka itu datang dari Rawa Bangkai, biarlah dia hamba bawa
    kembali ke sana, diberi kedudukan sebagai penguasa di Rawa Bangkai dan
    daerahnya. Anak kecil itu tidak tahu apa‐apa, asal diberi kedudukan di sana
    mengepalai bekas anak buah ibunya dan Kiam‐mo Cai‐li, tentu kelak akan
    senang hatinya." "Baiklah, urusan ini kuserahkan kepadamu untuk
    dibereskan." demikianlah, setelah penguburan jenazah ibunya selesai, Han
    Bu Ong yang masih kecil itu menurut saja ketika oleh Ouwyang Cin Cu
    diberitahu bahwa dia oleh kaisar "diangkat" menjadi "raja muda" yang
    berkuasa di Rawa Bangkai, di mana telah dibangun sebuah gedung mewah
    lengkap dengan semua pelayan dan perabot. Di tempat ini, Han Bu Ong hidup
    cukup mewah. Akan tetapi anak ini memang mempunyai kecerdikan yang
    luar biasa. Biarpun dia dicukupi hidupnya, diam‐diam dia mengerti bahwa
    dia sengaja setengah "dibuang" oleh Kaisar dan Ouwyang Cin Cu setelah
    ibunya tewas. Maka dia mencatat di dalam hatinya bahwa selain Swat Hong

  7. #366

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 365
    dan Kwee Lun yang menjadi musuh besarnya, juga Ouwyang Cin Cu
    sebetulnya bukanlah seorang sahabat yang setia dari ibunya. Anak kecil ini
    dengan rajin lalu melatih dirinya dengan ilmu‐ilmu peninggalan ibunnya
    yang masih ada padanya. Dia harus menggembleng dirinya dan kelak, selain
    dia harus membalas kepada musuh‐musuhnya, juga dia akan berusaha untuk
    merampas kembali pusaka‐pusaka Pulau Es yang dicuri oleh Swat Hong. Dia
    merasa bahwa dia berhak memiliki pusaka itu karena bukankah dia putera
    Raja Pulau Es? Dari ibunya dia dahulu mendengar bahwa siapa yang
    mewarisi pusaka Pulau Es dan melatih semua ilmu yang terdapat di dalam
    kitab‐kitab itu, tentu akan menjadi jago nomer satu di dunia.
    Para pembaca yang mengikuti pengalaman Kwa Sin Liong tentu menjadi
    penasaran kalau pemuda sakti itu sampai tewas dalam keadaan yang
    demikian mengerikan! Tidak, dia tidak mati! Memang nyaris dia tewas
    dimakan ratusan ekor ular berbisa yang menjadi penghuni sumur itu. Akan
    tetapi kalau orang belum tiba saatnya untuk mati, ada saja penolongnya yang
    bisa dianggak tidak masuk akal, kebetulan atau luar biasa. Dalam halnya Sin
    Liong tidak ada yang tidak masuk akal atau luar biasa. Memang tubuhnya
    yang pingsan itu terlempar ke dalam sumur di mana terdapat ratusan ekor
    ular berbisa dari segala jenis, akan tetapi tidak ada seekorpun ular yang
    berani menggigitnya. Apalagi menggigit, mendekatipun mereka itu tidak
    berani, bahkan begitu tubuh pemuda itu terjatuh, ular‐ular itu cepat
    menyingkir ketakutan. Hal ini adalah karena tanpa sengaja di saku baju Sin
    Liong terdapat batu mustika hijau dari Pulau Es! Seperti kita ketahui, batu
    mustika hijau ini adalah milik Han Swat Hong yang telah menyelamatkan
    nyawa gadis ini pula ketika terserang racun. Ketika Sin Liong mengobati
    sumoinya itu, dia menyimpan batu mustika ini di dalam saku bajunya
    sehingga ketika dia terlempar ke dalam sumur, batu mustika itu ikut terbawa
    olehnya dan menjadi penyelamatnya karena tidak ada ular yang berani
    mendekatinya. Sebetulnya pemuda ini menderita luka yang amat parah dan
    yang akan mematikan akibatnya bagi orang lain. Namun, pemuda ini pada
    dasarnya memiliki tubuh yang sempurna, bersih darahnya dan kuat tulang
    dan urat‐uratnya, apalagi sejak kecil dia menerima gemblengan ilmu
    kesaktian dari Han Ti Ong sehingga dia memilki tubuh yang amat kuat dan
    tahan derita. Dua hari dua malam dia rebah pingsan di dasar sumur yang
    lembab, tampa diusik oleh ular‐ular itu yang hanya memandang dari jauh
    seolah‐olah dia merupakan mahluk yang menakutkan. Pada hari ke tiga,
    nampak tanda hidup pada tubuh yang tadinya tak bergerak‐gerak seperti
    mati itu dengan suara mengeluh panjang, kemudian tubuh itu bergerak dan
    bangkit duduk dengan susah payah. Sejak Sin Liong merasa nanar dan
    bingung melihat bahwa dirinya berada di tempat yang amat gelap. Begitu
    gelapnya sehingga dengan terkejut dia menyangka bahwa matanya telah
    menjadi buta. Akan tetapi, ketika dia menoleh, tampaklah sedikit cahaya di
    belakangnya, dan mengertilah dia dengan hati lega bahwa dia tidak buta,

  8. #367

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 366
    melainkan berada di tempat yang amat gelap. Dia tidak tahu bahwa dia
    dilempar ke sumur dan sumur itu kini telah tertutup oleh batu‐batu besar
    dari atas ketika guha terowongan itu sengaja diruntuhkan oleh Kiam‐mo Caili
    dan The Kwat Lin. Melihat cahaya terang di belakangnya, Sin Liong
    menggerakan tubuhnya hendak menyelidiki, akan tetapi dia mengeluh
    karena begitu bergerak, dadanya terasa nyeri bukan main! Dia teringat akan
    pertempuran itu dan mulai mengertilah dia bahwa tentu dia telah tertawan
    dan berada dalam tempat tahanan rahasia yang amat gelap.
    Maka dia segera duduk bersila mengatur pernapasan di tempat lembab dan
    pengap itu, menyalurkan tenaga dan hawa sakti di dalam tubuhnya. Memang
    dia memiliki sinkang yang amat kuat berkat latihan di Pulau Es, maka tak
    lama kemudian dia telah mengobati luka di dalam tubuhnya dan
    menyelamatkan rasa nyeri‐nyeri di tubuhnya. Begitu dia menghentikan
    latihannya, terasa betapa perutnya lapar sekali. Dia tidak tahu bahwa sudah
    dua hari dua malam perutnya sama sekali tidak diisi apa‐apa. Sin Liong
    bangkit berdiri dengan hati‐hati. Tangannya meraih ke atas. kosong. Dia
    mencoba meloncat dengan kedua tangannya di atas kepala.Tetap saja
    disebelah atasnya kosong, tanda bahwa tempat tahanan itu tinggi bukan
    main! Seperti sumur! Betapapun dalamnya sumur itu tentu dia akan
    meloncat keluar, pikirnya. Dikerahkan seluruh tenaga dalamnya, kemudian
    dengan ilmu ginkangnya yang istimewa, dia melompat lagi ke atas, kedua
    tangannya tetap menjaga di atas kepala. "Plakkkkk!" Tubuhnya melayang lagi
    ke bawah. Kedua tangannya bertemu dengan batu besar yang amat berat,
    yang menutup lubang sumur itu! Beberapa kali Sin Liong menggunakan
    kepandaiannya untuk keluar dari dalam sumur, dan sekali meloncat, dia
    menggunakan sinkang di kedua tangannya untuk mendorong batu. Akan
    teteapi usahanya ini selalu gagal. Tentu saja tidak mungkin bagi seorang
    manusia, betapa kuatpun dia, untuk meloncat sambil mendorong tumpukan
    batu‐batu besar yang menutup mulut sumur itu, batu‐batu sebesar rumah
    dan yang sebongkah saja beratnya ada yang seribu kati! Akhirnya Sin Liong
    pun maklum bahwa usahanya meloloskan diri melalui atas tidak mungkin
    baginya. Maka dia mulai meraba‐raba di sekelilingnya. Sumur itu tidak
    berapa lebar, paling banyak bergaris tengah tiga meter. Ketika dia
    mendengar suara mendesis‐desis dan mencium bau hamis, tahulah dia
    bahwa di tempat itu terdapat banyak ular berbisa.
    Kemudian tampak olehnya melalui cahaya redup tadi bahwa di bagian bawah
    terdapat sebuah lubang dan agaknya dari tempat itulah ular‐ular keluar dari
    sumur. Begitu dia mendekati lubang ini, tampak olehnya ekor ular berkelebat
    di dalam cahaya remang‐remang itu, menjauhkan diri. Dia merasa heran
    mengapa binatang‐binatang itu tidak mengganggunya ketika dia pingsan dan
    kini kelihatan takut kalau didekatinya. Dia teringat, meraba saku bajunya dan
    tersenyum mengeluarkan batu hijau yang mengeluarkan sinar di dalam gelap

  9. #368

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 367
    itu. Inilah penolongku,pikirnya. Hatinya menjadi makin tenang. Dengan
    adanya batu mustika hijau ini, tidak perlu takutmenghadapi binatang berbisa
    apa pun. Akan tetapi, melihat batu mustika itu, teringatlah dia kepada Swat
    Hong dan dia merasa khawatir juga. Musuh demikian lihai, dia sendiri kena
    ditangkap dan agaknya dilempar ke sumur ini. Bagaimana nasib Swat Hong?
    Dia harus cepat keluar dari tempat ini untuk menolong Swat Hong.
    Kekhawatirannya terhadap sumoinya itu membuat dia makin bersemangat
    mencari jalan keluar. Lubang dari mana ular‐ular itu keluar dari sumur
    terlalu sempit untuk dapat diterobos, maka Sin Liong lalu menggunakan
    kedua tangannya untuk membongkar batu di lubang itu, memperlebar
    lubang dengan jalan memukul pecah batu‐batu di sekelilingnya. Tidak mudah
    pekerjaan ini, karena selain tubuhnya masih lemah, juga batu‐batu di tempat
    itu amat kerasa dan hanya dapat digempurnya sedikit demi sedikit. Namun
    akhirnya dapat juga dia memperlebar lubang itu sehingga dia dapat
    merangkak melalui lubang sambil terus menggempur lubang di depat yang
    merupakan terowongan panjang. Melihat betapa makin lama cahayanya dari
    seberang terowongan kecil itu makin terang, hatin Sin Ling membesar. Jelas
    bahwa di seberang itu terdapat tempat terbuka dari mana sinar matahari
    dapat masuk, pikirnya. Akan tetapi pekerjaan menerobos terowongan kecil
    yang merupakan liang ular dengan hanya menggunakan kedua tangan
    kosong, memakan waktu lama juga. Saking hausnya, dia menengadah untuk
    menerima titik‐titk air yang jatuh dari atas, yaitu dari dinding sumur yang
    mengeluarkan air. biarpun memakan waktu lama, dapat juga dia mengobati
    dahaga dengan meminum secara demikian. Namun perutnya yang lapar
    terpaksa harus berpuasa lagi sampai tiga hari! karena setelah tiga hari,
    barulah dia berhasil merangkak keluar dari terowongan itu dan tiba di
    sebuah ruangan yang cukup luas, akan tetapi juga merupakan tempat
    tertutup! Bedanya, kalau sumur pertama merupakan tempat sempit dan
    gelap, maka ruangan kedua ini luas sekali, garis tengahnya tidak kurang dari
    sepuluh meter, merupakan sebuah ruang dalam tanah yang aneh. Di sebelah
    atas, jauh dan tinggi sekali, tertutup oleh tanah atau batu dan ada celah‐celah
    yang merupaka retakan batu‐batu dari mana sinar matahari dapat
    menerobos masuk. Sin Liong menjatuhkan diri duduk di tengah ruangan
    dalam tanah ini dan harapannya kandas sama sekali. Kalau sumur pertama
    itu merupakan tahanan yang sukar diterobos adalah tempat ini lebih sukar
    lagi untuk meloloskan diri. Ular‐ular yang banyak sekali berbelit‐belit dan
    kelihatan ketakutan, ada yang merayap naik, ada pula yang menerobos
    terowongan yang sudah melebar itu untuk kembali ke dalam sumur pertama!
    Sin Liong termenung. Dari kamar tahanan kecil dia pindah ke kamar tahanan
    besar! Hanya lebih lebar dan memperoleh penerangan sinar matahari yang
    tidak seberapa. Itulah bedanya! Akan tetapi dia tidak menjadi putus harapan.
    Dihadapinya kenyataan ini dengan tabah dan dilenyapkannya kekhawatiran
    di dalam hatinya tentang diri sumoinya dengan keyakinan bahwa apa pun
    yang akan terjadi, terjadilah tanpa dipengaruhi segala kekhawatiran yang
    tiada gunanya! Dia sendiri menghadapi bencana, menghadapi ancaman maut

  10. #369

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 368
    dan inilah yang terutama harus dihadapi dan diatasi lebih dulu. Dia mulai
    memeriksa kalau‐kalau ada jalan keluar dari tempat itu. Sama sekali tidak
    ada jalan keluar. Akan tetapi, dia menemukan benda‐benda yang sementara
    dapat menolongnya dari ancaman kelaparan, yaitu jamur yang agaknya
    bertumbuhan dengan subur di tempat itu karena memperoleh sinar
    matahari. Perutnya lapar sekali dan pengetahuannya tentang tetumbuhan
    meyakinkan hatinya. Maka mulailah dia memilih jamur‐jamur yang tak
    mengandung racun, lalu mulai dia makan jamur. Dalam keadaan lapar bukan
    main, ternyata jamur‐jamur mentah itu terasa enak juga! Soal minum dia
    tidak usah khawatir karena di beberapa tempat pada dinding batu itu
    terdapat air yang menetes. Ditampungnya tetesan air itu dengan kedua
    tangannya, lalu diminumnya. Luar biasa segarnya air yang disaring oleh
    tanah dan batu itu. Setelah yakin benar bahwa tidak ada jalan keluar dari
    tempat itu, Sin Liong menerima kenyataan ini dan dia giat berlatih ilmu. Di
    dalam kesunyian yang amat hebat itu perasaan dan pikiran Sin Liong menjadi
    luar biasa tajamnya. Semua ilmu yang pernah dipelajari dan dibacanya
    dahulu sukar dimengerti olehnya karena kitab‐kitab kuno Pulau Es memang
    amat sukar diartikan, kini menjadi jelas dan dapat dia selami intinya. Oleh
    karena inilah maka diluar dari kesadarannya sendiri, ilmu kesaktiannya
    bertambah dengan hebat dan cepatnya. Juga ditempat ini dia mulai mengenal
    diri sendiri, mengenal arti hidup yang sesungguhnya. Tanpa disadarinya
    sendiri, dari dalam pribadinya timbul kekuatan mujijat, kekuatan yang
    dimiliki oleh setiap orang manusia namun yang selalu terpendam dan tetap
    tersembunyi sampai saat terakhir dari hidup manusia yang selalu
    dipermainkan oleh nafsu yang disebut aku. Tanpa terasa oleh Sin Liong
    sendiri yang selama hidup di dalam ruang bawah tanah itu sama sekali tidak
    pernah memikirkan atau mengenal waktu, pemuda luar biasa ini telah berada
    di tempat itu selama dua tahun! Dia mengerti bahwa tanpa bantuan dari luar,
    tidak mungkin dia meloloskan diri dari tempat itu, maka sudah sejak lama dia
    tidak lagi berusaha untuk keluar dari situ. Selama itu, yang menjadi temantemannya
    hanyalah ular‐ular berbisa! Ternyata oleh pemuda itu bahwa
    binatang berbisa seperti ular pun mengenal siapa lawan siapa kawan. Karena
    selama itu dia tidak pernah mengganggu mereka, ular‐ular itu pun jinak dan
    sama sekali tidak pernah menyerangnya, biarpun dia menjauhkan batu
    mustika hijau dari tubuhnya. Binatang‐binatang ini hanya menyerang untuk
    menjaga diri saja dari bahaya yang datang mengancam diri mereka. Juga
    tanpa disadari sendiri oleh Sin Liong, tubuhnya yang setiap hari hanya
    dihidupkan oleh sari jamur yang bermacam‐macam itu, pertumbuhannya
    sama sekali berlainan dengan manusia biasa. makanan amat mempengaruhi
    tubuh dan sari jamu yang dimakannya selama dua tahun itu mendatang kan
    kepekaan luar biasa, dan kepekaan tubuh ini pun mempengaruhi pula
    pertumbuhan batinnya. Dia menjadi seorang manusia luar biasa, tidak
    menderita apa‐apa, tidak mengharapkan apa‐apa, karena di dalam keadaan
    apapun juga, menghadapi keadaan apa adanya, sewajarnya, sebagaimana
    adanya yang dianggap sudah semestinya demikian, tidak ada lagi apa yang

  11. #370

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 369
    disebut menyenangkan atau tidak menyenangkan, tidak ada lagi yang disebut
    senang atau susah, tidak ada lagi puas atau kecewa. Dalam keadaan seperti
    itu, tubuh sehat dan batin tenang, yang ada hanyalah rasa suka ria yang sukar
    dilukiskan karena sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kesukaan
    atau kegembiraan yang dapat dicari. Suatu nikmat yang bukan datang dari
    gairah nafsu atau kesenangan, nikmat hidup yang datang tanpa dicari, yang
    terasa hanya setelah batin bebas dari segala ikatan, seperti batin Sin Liong di
    waktu itu.
    Pada suatu hari, di sebelah atas dari tempat rahasia ini, terjadilah kesibukan
    besar. Puluhan orang katai yang tubuhnya pendek akan tetapi besarnya
    seperti manusia biasa, bertubuh kuat dan bertenaga besar, dipimpin oleh
    seorang pemuda tanggung sedang membongkari reruntuhan batu‐batu di
    dalam terowongan bawah tanah itu. Pemuda tanggung yang berpakaian
    mewah itu bukan lain adalah Bu Ong, yang kini telah mengumpulkan sisa
    orang‐orang kerdil bekas taklukan di Rawa Bangkai dan menjadi pimpinan
    mereka. Han Bu Hong kini telah menjadi seorang pemuda tanggung yang lihai
    dan tidak ada seorang pun di antara tokoh‐tokoh orang kerdil mampu
    melawannya. Agaknya, untuk menjadikan mimpi ibunya sebagai kenyataan,
    dia telah mengangkat diri sendiri menjadi ketua atau lebih tepat lagi menjadi
    "raja" dari orang‐orang katai ini. Gedung di Rawa Bangkai hanya menjadi
    tempat tinggal umum, akan tetapi diam‐diam dia mendirikan "kerajaan kecil"
    di bawah tanah. Bahkan dia telah membangun sebuah ruang seperti istana di
    bawah tanah, lengkap dengan kursi kebesaran yang dihiasai dengan sebuah
    tengkorak di samping hiasan mahal seperti permadani, lukisan dan tulisan
    indah. Sering kali dia secara sembunyi mengadakan pertemuan dan rapat
    rahasia dengan para tokoh orang katai yang menjadi pembantunya, dan
    pemuda tanggung ini diam‐diam merencanakan pekerjaan besar untuk
    melanjutkan cita‐cita ibunya. Demikianlah, karena dia ingin menggunakan
    terowongan bawah tanah itu sebagai markas partai orang kerdil , dan juga
    karena dia ingin mencari kalau‐kalau ada harta atau pusaka peninggalan
    Rawa Bangkai di terowongan itu, dia lalu mengerahkan para anak buahnya
    untuk membersihkan bagian terowongan yang dahulu diruntuhkan oleh
    ibunya dan oleh Kiam‐mo Cai‐li. "Akan tetapi, Siauw‐pangcu (Ketua Cilik),"
    seorang pembantu membantah sebelum pembongkaran dilakukan . "Tempat
    ini dahulu sengaja diruntuhkan oleh Ibu Pangcu untuk menutupi sumur ular
    di mana tubuh musuh Ibu Pangcu dilempar. Karena musuh itu lihai bukan
    main, maka Ibu Pangcu bersama Kiam‐mo Cai‐li dan Ouwyang Cin Cu
    memutuskan untuk menutup saja tempat ini agar pemuda sakti itu tidak
    mampu hidup kembali." Han Bu Ong tertawa. "Ha, ha, mana mungkin Kwa Sin
    Liong dapat hidup kembali? Dia sudah di lempar di sumur ular, andaikata dia
    tidak mati oleh ular‐ular itu, tentu selama dua tahun dikubur hidup‐hidup di
    sumur itu dia kini sudah menjadi ***** tengkorak, tinggal rangkanya saja.
    Mengapa khawatir? Hayo bongkar! Kalau tidak dibongkar, terowongan ini

  12. #371

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 370
    tertutup sampai di sini, padahal kita amat membutuhkan sebagai jalan
    rahasia yang amat penting bagi perkumpulan kita." Karena alasan yang
    dikemukakan ketua cilik ini memang tepat, maka beramai‐ramai para
    manusia katai itu segera bekerja keras, membongkari batu‐batu yang besarbesar
    dan berat itu, menggunakan alat pendongkel dan lain‐lain. Hiruk pikuk
    suara di dalam terowongan itu dan pekerjaan yang berat itu biarpun
    dilakukan oleh hampir lima puluh orang, tetap saja memakan waktu yang
    cukup lama. Memang sesungguhnyalah bahwa merusak itu mudah
    membangun itu sukar, mengotori itu mudah membersihkannya tidak
    semudah itu. Setelah bekerja keras selama sepekan, barulah batu besar
    terakhir yang menutupi sumur dapat disingkirkan. Han Bu Ong dan para
    anak buahnya seperti berlomba lari menghampiri sumur dan melongok ke
    dalam sumur yang amat gelap itu. Pada saat itu, terdengar suara angin
    menyambar dari bawah dan berkelebatlah bayangan orang yang melayang
    dari bawah, Han Bu Ong dan semua orang terkejut. Ketika mereka menoleh
    dan memandang bayangan orang yang tadi meloncat melewati kepala
    mereka, mereka melihat seorang laki‐laki muda berdiri di situ sambil
    tersenyum, seorang pemuda yang berwajah tampan, yang memiliki sepasang
    mata yang lembut pandangannya namun bersinar cahayanya, pemuda yang
    pakaiannya lapuk dan compang camping. Tidak ada orang kerdil yang
    mengenal pemuda ini karena memang keadaannya jauh berbeda dengan
    tahun yang lalu. Akan tetapi Han Bu Ong dengan suara gemetar
    membentakkan perintah, "Serbu! Bunuh dia...!!" Orang ‐orang katai yang
    tadinya bengong terheran‐heran dan ketakutan karena menduga keras
    bahwa tentu hanyalah siluman saja yang keluar dari sumur tertutup itu,
    ketika mendengar bentakan ini menjadi sadar. Kini mereka pun ingat bahwa
    tentu ini pemuda yang dua tahun yang lalu dilempar ke dalam sumur.
    Biarpun mereka bergidik ngeri dan gentar mendapat kenyataan bahwa orang
    yang dua tahun lalu dilempar ke sumur ular yang tertutup kini ternyata
    masih hidup, namun karena maklum bahwa ini adalah musuh mereka dengan
    teriakan‐teriakan ganas mereka menyerang orang itu. Memang benar dugaan
    Han Bu Ong. Orang ini bukan lain adalah Kwa Sin Liong. Ketika Sin Liong
    akhirnya dari bawah mendengar suara hirup pikuk disebelah atas kemudian
    melihat cahaya turun melalui terowongan kecil jalan ular, dia menyeberangi
    terowongan dan tiba di dasar sumur pertama. akhirnya dia melihat betapa
    atap sumur yang tadinya tertutup batu besar itu terbuka dan melayanglah
    dia keluar. Karena selama dua tahun dia tidak bertemu orang, begitu melihat
    Bu Ong dan orang‐orang kerdil, dia tersenyum girang. Akan tetapi orangorang
    kerdil itu dengan bermacam senjata telah menyerangnya. Sin Liong
    hanya mengerahkan sinkangnya membiarkan belasan senjata tajam
    menimpa tubuhnya. Terdengarlah teriakan‐teriakan kaget karena semua
    senjata, baik yang tajam maupun yang tumpul, begitu mengenai tubuh
    pemuda itu, membalik seperti mengenai gumpalan karet yang amat kuat.
    "Adik Bu Ong...bukankah engkau sute (Adik Seperguruan)...?" Sin Liong
    berkata halus sambil memandang kepada Han Bu Ong. "Iblis! Siluman! Bunuh

  13. #372

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 371
    dia...!!"Bu Ong berteriak‐teriak dengan muka pucat dan mata terbelalak.
    Biarpun hati mereka gentar sekali, namun orang katai itu kembali menyerbu
    dan hujan senjata menyambar tubuh Sin Liong. Kembali senjata‐senjata itu
    mental, bahkan ada yang terlepas dari pegangan tangan pemiliknya. Sin
    Liong menarik napas panjang, menunduk dan memandang pakaiannya yang
    menjadi makin compang‐camping, terkena bacokan senjata‐senajata itu,
    kemudian sekali bergerak tubuhnya berkelebat melewati kepala para
    pengeroyoknya yang bertubuh pendek dan lenyap. Gegerlah para orang katai.
    Akan tetapi Han Bu Ong menyambarkan dan menenangkan hati mereka. Dia
    merasa yakin bahwa betapapun lihainya Sin Liong, pemuda itu agaknya tidak
    akan mengganggunya. Maka dia melanjutkan rencananya dan melakukan
    perundingan dengan para anak buahnya. Seperti juga ibunya dahulu, pemuda
    tanggung ini sudah mulai dengan usahanya untuk mencari kedudukan
    dengan menghubungi seorang "pangeran" baru yang juga merasa tidak puas
    dengan kedudukan yang diperolehnya setelah perjuangan mereka berhasil.
    Pangeran ini dahulunya adalah seorang pemberontak rakyat petani yang
    bergabung dengan An Lu Shan, bernama Shi Su beng yang kini dianugerahi
    pangkat "pangeran" oleh An Lu Shan. Shi Su Beng bermaksud untuk merebut
    tahta kerajaan dari An Lu Shan, dan apabila terjadi kegagalan, maka
    terowongan bawah tanah milik Han Bu Ong itulah yang akan dijadikan
    tempat persembunyian. Setelah selesai mempersiapkan segala‐galanya dan
    tempat itu ditinjau sendiri oleh Pangeran Shi Su Beng, Han Bu Hong lalu pergi
    ke kota raja bersama sekutunya itu untuk mulai melaksanakan siasat yang
    sudah mereka rencanakan lebih dahulu. Memang selama dua tahun itu
    terjadi dua hal yang banyak tercatat da Kemenangan An Lu Shan ternyata
    tidak mendatangkan kemakmuran atau keamanan, bahkan sebaliknya. Selain
    kaisar yang telah melarikan diri ke Secuan dan menyerahkan tahta kerajaan
    kepada puteranya itu kini menyusun kekuatan di barat untuk menyerbu dan
    merampas kembali kota raja, juga di dalam istana pemerintah baru sendiri
    terjadi pertentangan dan perebutan kekuasaan! Semua ini terjadi karena
    memang sesungguhnya para pemimpin pemberontak yang dahulu
    memberontak terhadap pemerintah dengan dalih "demi rakyat" atau demi
    keadilan, demi kebenaran, demi negara dan lain istilah muluk‐muluk lagi itu
    sesungguhnya hanyalah "berjuang" demi dirinya sendiri saja! Semua istilah
    itu tak lain tak bukan hanyalah untuk dijadikan "modal" perjuangannya
    untuk mencari kedudukan dan kemuliaan bagi diri sendiri. Hal ini sudah
    terlalu sering terjadi di dunia, berulang‐ulang, namun sampai sekarang
    rakyat di seluruh dunia tetap bodoh, mau saja di peralat dan dicatut namanya
    oleh orang‐orang yang berambisi untuk diri pribadi. Betapa banyaknya bukti
    akan kepalsuan ini dapat dilihat dalam sejarah di negara manapun di dunia
    ini. Sekelompok orang berambisi untuk keuntungan mereka sendiri, dengan
    siasat cerdik menggunakan nama rakyat untuk mencapai tujuan mereka,
    kalau perlu mereka mengorbankan rakyat. Rakyat sudah cukup puas
    memperoleh gelar "pahlawan" kalau sampai tewas dalam perjuangan yang
    sebenarnya adalah menyalah gunakan demi keuntungan kelompok yang

  14. #373

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 372
    mempergunakan mereka itu. dalam sejarah. Inilah sebabnya maka jika
    perjuangan telah berhasil, jika para kelompok pimpinan yang berambisi
    sudah memperoleh apa yang mereka kejar‐kejar, maka rakyat pun dilupakan
    sudah! Bukan sengaja dilupakan, melainkan karena mereka yang sudah
    berhasil merampas kedudukan itu pun harus menghadapi lawan atau
    saingan yang juga ingin merebut kedudukan itu. Rakyat adalah orang yang
    berada dibawah, dan yang terinjak memang selalu yang berada di bawah.
    yang berada di atas tidak akan terinjak, akan tetapi mereka itu saling
    berebutan di antara mereka sendiri, memperebutkan kedudukan yang lebih
    enak dan empuk dari pada kedudukan yang telah dimilikinya. Demikianlah
    pula dengan An Lu Shan dan teman‐temannya yang telah berhasil dalam
    "perjuangan" mereka merampas kedudukan tahta kerajaan. Teman‐teman
    yang tadinya berjuang bahumembahu, menjadi kawan senasib
    sependeritaan, yaitu di waktu mereka memberontak, kini setelah
    memperoleh apa yang mereka cita‐citakan , berbalik mencurigai, saling iri!
    Memang belum ada yang secara berterang berani menentang An Lu Shan,
    bekas panglima yang masih amat kuat kedudukannya, didukung oleh
    pasukan‐pasukan inti dan tampaknya semua pembantunya sudah menyetujui
    sebulatnya kalau An Lu Shan menjadi Kaisar. Akan tetapi diam‐diam, banyak
    yang mepersoalkan pembagian pangkat dan kedudukan. Tentu saja yang
    merasa tidak puas adalah mereka yang memperoleh pangkat agak kecil,
    sedangkan yang menerima pangkat besar merasa curiga dan hati‐hati
    menghadapi bekas teman yang memperoleh pangkat yang lebih kecil. Terjadi
    dan berlangsunglah konflik sembunyi diantara mereka. Ke manakah perginya
    Swat Hong dan Kwee Lun? Di bagian depan telah diceritakan betapa dua
    orang muda ini berhasil menyelamatkan diri, lari keluar dari istana The Kwat
    Lin dan terus keluar dari kota raja Tiang‐an. Mereka berlari dengan cepat
    mempergunakan kegelapan malam, berhasil keluar dari benteng tembok kota
    raja karena para penjaga yang berada dalam suasana pesta kemenangan itu
    tidak melakukan penjagaan yang terlampau ketat. Setelah terang tanah dan
    mereka tiba di dalam sebuah hutan jauh dari tembok kota raja barulah
    keduanya berhenti, terengah‐engah dan Swat Hong menjatuhkan dirinya di
    bawah sebatang pohon besar. Wajahnya pucat biarpun muka dan lehernya
    penuh keringat yang di usapnya dengan ujung lengan bajunya. Pandang
    matanya merenung jauh sekali, dan dia diam saja, sama sekali tidak berkatakata,
    sama sekali tidak bergerak, seperti dalam keadaan setengah sadar.
    Kwee Lun juga menghapus peluhnya dan dia pun duduk diam, memandang
    kepada Swat Hong. beberapa kali dia menggerakan bibir hendak bicara
    namun ditahannya lagi. Pemuda yang biasanya bergembira ini merasa betapa
    jantungnya seperti diremas‐remas. Dia sendiri merasa kehilangan dan amat
    berduka dengan kematian Soan Cu, gadis yang kini dia tahu adalah wanita
    yang amat dicintainya. Akan tetapi, melihat keadaan Swat Hong yang
    terpaksa harus meninggalkan ibu kandungnya menghadapi kematian, dia
    melupakan kedukaan hatinya sendiri dan merasa amat iba kepada Swat
    Hong. Melihat betapa Swat Hong seperti orang kehilangan ingatan, Kwee Lun

  15. #374

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 373
    merasa khawatir sekali. Kalau dibiarkan saja, gadis ini bisa jatuh sakit, kalau
    hanya sakit badannya masih mending, akan tetapi kalau terserang batinnya
    lebih berbahaya lagi. Akhirnya dia memberanikan diri berkata lirih dan halus,
    "Mati hidup adalah berada di tangan Thian, kita manusia tak dapat
    menguasainya, Nona." Mendengar kata‐kata ini, Swat Hong menengok dan
    memandang, akan tetapi pandang matanya tetap kosong, seolah‐olah katakata
    itu tidak dimengertinya dan dari mulutnya hanya terdengar suara
    meragu, "Hemm....?" Suara ini gemetar dan pandang mata itu menusuk
    perasaan Kwee Lun. Maka pemuda ini lalu memberanikan diri melangkah
    lebih jauh lagi dengan kata‐kata yang lebih membuka kenyataan, "Ibumu
    gugur sebagai seorang yang gagah perkasa." Sepasang mata yang kehilangan
    sinar itu terbelalak, seolah‐olah baru sadar dan bibir yang gemetar itu
    bergerak, mula‐mula lirih makin lama makin keras, ".....Ibu.....? Ibu...., Ibu....!"
    Swat Hong menangis tersedu‐sedu dan memanggil‐manggil ibunya.
    "Tenanglah, Nona. Tenanglah....." Kwee Lun menghibur dan berlutut di depan
    gadis itu, akan tetapi suaranya sendiri parau dan agak tersedu. "Ibu....!
    Mengapa aku meninggalkan ibu mati sendiri....? Ibu....! Hu‐hu‐huuuuuuuk,
    Ibuuuuuuuu.....!" Memang menangis merupakan obat terbaik bagi batin gadis
    itu, pikir Kwee Lun penuh keharuan, akan tetapi melihat Swat Hong
    menjambak‐jambak rambut sendiri, dia merasa khawatir. "Ingatlah, Nona.
    Ingatlah pesan Ibumu..... tentang pusaka Pulau Es...." Swat Hong mengangkat
    muka dan melihat wajah pemuda itu juga basah air mata, dia menubruk.
    "Toako.... ahhhh, Toako....!" Dan menangislah dia tersedu‐sedu di dada
    pemuda itu yang dianggapnya merupakan satu‐satunya sahabat di dunia
    yang baginya kosong ini. Kwee Lun memejamkan mata dan membiarkan
    gadis itu menangis terisak‐isak. Dengan sesenggukan Swat Hong berkata,
    "Ibu tewas..... di depan mataku..... dan aku tidak dapat menolongnya..... hu‐huhuuuuuuuhhhh......
    dan Ayah pun sudah tiada, Suheng juga...... huhuuuuuuuuuhhh
    apa gunanya aku hidup lagi? Apa gunanya aku mencari
    pusaka dan mengembalikan ke Pulau Es?' Seperti seorang yang mendadak
    menjadi kalap Swat Hong merenggutkan dirinya dari dada Kwee Lun, lalu
    melompat bangun mengepal tinju. "Katakan, Kwee‐toako, apa gunanya
    semua ini? Ayah ibuku sudah meninggal, dan suheng satu‐satunya orang
    yang kucinta..... dia pun tidak ada lagi......! katakan, apa perlunya aku hidup
    lebih lama?" Kwee Lun teringat akan kematian Soan Cu yang menghancurkan
    perasaannya, akan tetapi dia menekan kedukaannya dan berkata, suaranya
    nyaring bersemangat, "Adik Hong, tidak semestinya seorang perkasa seperti
    engkau mengeluarkan kata‐kata bernada putus asa seperti itu! Engkau
    adalah puteri dari Pulau Es! Kedukaan apa pun yang menimpa dirimu, harus
    kau atasi dengan gagah perkasa! Aku dapat memahami pesan mendiang
    Ibumu yang mulia dan gagah perkasa itu. Kalau pusaka keluargamu dari
    Pulau Es terjatuh ke tangan orang lain, bukankah itu amat sayang, berbahaya
    dan juga merendahkan ? Pusaka itu telah diselamatkan oleh Nona Bu Swi Nio
    dan Saudara Liem Toan Ki. Sebaiknya kalau kita segera menyusul mereka
    dan aku akan membantumu mencari Pusaka Pulau Es." Ucapan penuh

  16. #375

    Join Date
    Nov 2009
    Location
    jakarta
    Posts
    2,685
    Thanks: 34 / 77 / 74

    Default

    PART 374
    semangat itu benar‐benar menyadarkan Swat Hong, menarik gadis itu dari
    lembah kedukaan yang hampir mematahkan semangatnya. Dia menahan isak,
    menarik napas panjang dan menghapus air matanya, lalu memandang
    kepada pemuda itu, memegang tangan Kwee Lun. "Kwee‐toako, terima kasih
    atas peringatanmu. Hampir aku lupa akan tugasku. Memang benar, sudah
    berani hidup harus berani menghadapi apa pun yang menimpa kita. Engkau
    sungguh baik sekali, Toako. Engkau sendiri menderita, kehilangan Soan Cu,
    namun masih menghiburku......" Kwee Lun mengangkat mukanya dan
    memejamkan mata. "Benar.....aku mencinta Soan Cu....... aku mencintanya......"
    "Dan aku mencintai Suheng. Betapa buruk nasib kita, Toako. Engkau sendiri
    menderita, kehilangan Soan Cu, namun masih menghiburku......" Kwee Lun
    mengangkat mukanya dan memejamkan mata. "Benar.... aku mencinta Soan
    Cu.... aku mencintanya........" "Dan aku mencinta Suheng. Betapa buruk nasib
    kita, Toako. Akan tetapi, kau masih mempuyai Gurumu, sedangkan aku hanya
    seorang diri..... ah, sudahlah. Aku akan pergi, Toako. Semoga engkau akan
    dapat menemukan kebahagiaan dalam hidupmu. Engkau baik sekali dan
    terima kasih."Swat Hong berkelebat dan meloncat pergi. "Nanti dulu! Hongmoi....
    biarlah aku membantumu....." "Tidak usah, Kwee‐toako. Aku akan
    menyusul mereka ke Puncak Awan Merah, kemudian aku akan kembali ke
    Pulau Es.... untuk.... untuk selamanya. Selamat tinggal!" Swat Hong meloncat
    dengan cepat sekali dan sebentar saja dia sudah lenyap meninggalkan Kwee
    Lun yang menjadi lemas. Pemuda ini menjatukan dirinya duduk di atas tanah
    dan baru sekarang dia tidak dapat menahan bertitiknya air matanya dan baru
    sekarang terasa olehnya betapa dia kehilangan Soan Cu, betapa dunia terasa
    amat hampa dan sunyi. Berkali‐kali dia menarik napas panjang dan
    teringatlah dia kepada gurunya, Lam‐hai Seng‐jin yang seperti orang tuanya
    sendiri. Dia harus kembali ke Pulau Kurakura di Lam‐hai dan terbayang
    olehnya betapa suhunya itu akan terheran mendengar semua
    pengalamannya dengan keluarga Pulau Es! Dengan perasaan yang kosong
    dan sunyi, ingatan akan gurunya ini merupakan setitik harapan kegembiraan
    hidupnya dan berlahan‐lahan Kwee Lun meninggalkan hutan itu untuk
    kembali kepada gurunya yang sudah amat lama ditinggalkannya. Sementara
    itu, dengan mata masih merah oleh tangisnya, Han Swat Hong melanjutkan
    perjalanan seorang diri dengan cepat untuk mengejar Swi Nio dan Toan KI.
    Kalau dia dapat menyusul mereka dan minta kembali Pusaka Pulau Es dia
    dapat langsung kembali ke Pulau Es dan selanjutnya...... entah, dia sendiri
    tidak tahu apakah dia ada niat untuk kembali ke daratan besar. Tidak, dia
    akan tinggal di pulau itu, di mana dia terlahir. Biarpun pulau itu sudah
    kosong, dia akan tinggal di tempat kelahirannya itu sampai mati! Bercucuran
    pula air matanya ketika dia berpikir sampai di situ dan terkenang kepada
    suhengnya. Kalau saja ada suhengnya di sisinya, tentu tidak akan begini
    merana hatinya. Akan tetapi, betapapun cepat Swat Hong melakukan
    pengejaran, tetap saja dia tidak berhasil menyusul Swi Nio dan Toan Ki.
    Bahkan ketika dia tiba di Puncak Awan Merah, tempat tinggal Tee‐tok
    Siangkoan Houw, di tempat ini dia hanya disambut oleh Ang‐in Mo‐ko Thio

Page 25 of 28 FirstFirst ... 152122232425262728 LastLast

Posting Permissions

  • You may not post new threads
  • You may not post replies
  • You may not post attachments
  • You may not edit your posts
  •