PART 360
ini jauh dari kota raja. Kelak, kita dapat saling bertemu di Puncak Awan
Merah di tempat kediaman Tee‐tok Siangkoan Houw, di Pegunungan Taihang‐
san. Nah, kalian pergilah cepat!" Liem Toan Ki menerima bungkusan itu
dengan hati kaget bukan main, juga Swi Nio terkejut dan cepat dia
menyambar tangan kekasihnya. "Mari kita segera pergi!" Kedua orang muda
itu menyelinap lenyap di dalam kegelapan malam. "Hayo kita bantu Ibu dan
Ayahmu!" kata Swat Hong kepada Soan Cu. Soan Cu mengangguk karena
merasa lehernya seperti dicekik oleh sedu‐sedan yang naik dari dalam
dadanya. Ayahnya! Dia akan bertemu dengan ayah kandungnya yang selama
hidupnya belum pernah dia lihat itu. Bertemu dalam keadaan terancam
bahaya maut! Tampak tiga bayangan berkelebat ketika Soan Cu, Swat Hong,
dan Kwee Lun menyerbu ke dalam istana itu. Ketika mereka tiba di dalam,
ternyata Liu Bwee dan Ouw Sian Kok telah dikepung ketat dan kini
pertempuran telah berpindah ke ruang luar yang lebih lega. Agaknya, agar
dapat melakukan perlawanan dengan leluasa dan mendapat kesempatan
untuk meloloskan diri, Liu Bwee dan Ouw Sian Kok telah pindah keluar dari
ruangan dalam yang sempit, dan kini, dengan saling membelakangi, kedua
orang itu mengamuk dengan hebat, dikepung ketat oleh para pengawal
istana, sedangkan The Kwat Lin dan Ouwyang Cin Cu menonton di pinggir.
Ketika Swat Hong dan dua orang kawannya masuk, mereka melihat Kwat Lin
berlari pergi ke dalam istananya. Swat Hong maklum bahwa wanita itu
tentulah hendak memeriksa simpanan pusakanya, maka dia lalu menyentuh
tangan Soan Cu yang sedang bengong memandang kepada laki‐laki setengah
tua yang mengamuk dengan gagahnya itu, dengan mata merah hampir
menangis. Soan Cu sadar dan menengok. "Kita kejar dia! Dialah yang paling
jahat dan berbahaya!" Soan Cu mengangguk dan kedua orang gadis
berkelebat pergi mengejar Kwat Lin. Kwee Lun Sendiri lalu berteriak keras
dan meloncat ke depan, meyerbu para pengeroyok. Sepak terjang pemuda
tinggi besar ini memang hebat, tenaganya yang amat kuat itu membuat dia
sekali turun tangan merobohkan empat orang pengeroyok. tentu saja
kepungan menjadi buyar dan kacau. Dan ketika mereka membalik untuk
mengeroyok Kwee Lun, pemuda yang lihai ini lalu merobah tenaga dahsyat
tadi dengan pukulan‐pukulan Bian‐sin‐kun, pukulan kapas yang kelihatannya
lemah dan lunak namun setiap kali menyentuh tubuh para pengeroyok tentu
membuat dia terguling. "Jiwi‐locianpwe, saya adalah Kwee Lun, sahabat baik
dari Nona Swat Hong dan Nona Soan Cu! Mereka sedang mengejar Si Iblis
Betina!" teriak Kwee Lu dengan suara nyaring. Liu Bwee dan Ouw Sian Kok
terkejut dan girang sekali, terutama Ouw Sian Kok yang mendengar bahwa
puterinya juga datang! Akan tetapi, malang baginya. Karena dia terlampau
girang hendak melihat wajah puterinya, dia menoleh ke sana ke mari
mencari‐cari. "Ouw‐toako, awas....!!" Tiba‐tiba Liu Bwee berteriak dan wanita
ini berusaha untuk menangkis sinar biru dari pedang Ouwyang Cin Cu.
"Trangggg.....aih.....!!" Liu Bwee terlambat dan bergulingan untuk
menyelamatkan diri, sedangkan Ouw Sian Kok terjungkal karena tamparan
tangan kiri Ouwyang Cin Cu mengenai punggungnya. "Plakk! Aughhhh.....!"
PART 361
Ouw Sian Kok muntahkan darah segar dari mulutnya. "Curang....!!" Kwee Lun
membentak dan kipas di tangan kiri serta pedang di tangan kanannya
menyambar ganas. Namun, dia terlalu lunak bagi Ouwyang Cin Cu dan sekali
tangkis kipas itu robek dan pedangnya hampir terpental. "Haiiiitttt.....!!" Ouw
Sian Kok yang marah sekali menerjang maju dengan tangan terbuka. Melihat
serangan ganas ini, Ouwyang Cin Cu terkejut dan cepat dia meloncat mundur.
Sebelum dia didesak oleh tiga orang lawan itu, para pengawal sudah
mengepung lagi dan kini mereka bertiga dikeroyok dan dihujani senjata oleh
puluhan orang pengawal. "Twako..... kau.....terluka....?" Sambil mengamuk
dengan pedangnya, Liu Bwee bertanya. "Tidak apa.... mati pun aku rela....
pusaka telah diselamatkan......." kata Ouw Sian Kok. "Tapi...... tapi anakku....."
Dia tidak dapat melanjutkan kata‐katanya karena harus menghadapi
pengeroyokan banyak pengawal. Sementara itu di dalam istana juga terjadi
pertempuran yang mati‐matian dan hebat sekli. The Kwat Lin yang melihat
datangnya bala bantuan yang dipimpin sendiri oleh Ouwyang Cin Cu, setelah
melihat bahwa dua orang pengacau itu terkepung ketat, lalu teringat akan
pusaka yang tadi dibawa Swat Hong. Dia teringat pula akan puteranya yang
sudah tidur di kamarnya, maka cepat dia meninggalkan tempat pertempuran
untuk memeriksa pusaka dan puteranya. Dilihatnya Bu Ong masih tidur
nyenyak dan terjaga, maka dia cepat lari ke dalam kamarnya sendiri. Seperti
telah diduganya, para penjaga sebanyak lima orang yang berada di kamarnya
tewas semua dan keadaan kamarnya rusak dan kacau. Sekali saja melihat ke
arah peti hitam yang terbuka di depan tempat tidurnya, tahulah dia bahwa
semua pusaka telah dirampas oleh Swat Hong, seperti yang
dikhawatirkannya. "Mencari apa, wanita iblis? Pusaka Pulau Es telah aman!"
The Kwat Lin cepat menengok dan melihat Swat Hong telah berdiri di
ambang pintu bersama seorang gadis lain yang tak dikenalnya. Kemarahan
seperti api membakar dadanya melihat dara ini. Sambil mengeluarkan jerit
melengking nyaring, dia lalu menerjang dan menggerakkan pedang
merahnya. "Cring‐trang....!!" Pedang Swat Hong disusul pedang Coa‐kut‐kiam
di tangan Soan Cu menangkis dan kedua orang dara itu meloncat ke
belakang, ke tempat yang lebih lega. Dengan kemarahan meluap‐luap The
Kwat Lin meloncat keluar dan melanjutkan serangannya. Akan tetapi, setelah
bergerak belasan jurus, wanita ini terkejut dan merasa menyesal mengapa
dia menuruti kemarahan hatinya.
Dia berada dalam bahaya! Kiranya selain Swat Hong yang telah memiliki
kepandaian hebat juga gadis yang gerakan‐gerakannya liar dan ganas itu
amat berbahaya, apalagi cambuk ekor ikan Phi yang meledak‐ledak dahsyat.
Sebentar saja dia tertekan dan terdesak. Beberapa kali dia berusaha untuk
meloloskan diri, akan tetapi sambil mengejek Swat Hong selalu menutup
jalan keluar dan dia terus digulung oleh sinar dua orang gadis lihai itu. The
PART 362
Kwat Lin menjadi nekat. Sambil menggigit bibirnya dia menyerang dahsyat
kepada Swat Hong, mencurahkan daya serangannya kepada anak tiri yang
dibencinya ini. Menghadapi terjangan dahsyat yang bertubi‐tubi itu, Swat
Hong mundur‐mundur juga. Akan tetapi kesempatan baik ini dipergunakan
oleh Sian Cu untuk menyerang dari belakang. Cambuk ekor ikan Phi meledak
dua kali mengancam ubun‐ubun kepala The Kwat Lin, dan ketika wanita ini
mengelak kesamping sambil melanjutkan serangan pedangnya kepada Swat
Hong, Soan Cu menusukkan pedangnya mengarah lambung Kwat Lin.
"Singgg....crat..... aihhhhh!!" Kwat Lin terkejut karena biarpun dia telah
mengelak, tetap saja pedang Coakut‐ kiam (Pedang Tulang Ular) itu melukai
lambungnya, merobek kulit dan mendatangkan rasa nyeri dan panas dan
perih sekali. Akan tetapi, wanita yang lihai ini sudah membalik sambil juga
membalikan pedangnya menyambar leher Soan Cu. Hal ini tidak disangkasangka
oleh gadis Pulau Neraka ini. "Awas Soan Cu.....!!" Swat Hong berseru
dan pedangnya menyambar, yang diarah adalah lengan kanan Kwat Lin
karena hanya dengan jalan itulah dia dapat menolong Soan Cu. "Brettt....
crok..... aughhhh......!!" Soan Cu terhuyung, pundaknya berlumuran darah
karena terluka parah, sedangkan Kwat Lin cepat memindahkan pedang ke
tangan kirinya karena lengan kanannya juga terluka parah, terbacok di
bagian bahu hampir putus! Dengan kemarahan meluap‐luap dia menubruk
Swat Hong, namun gadis Pulau Es ini mengelak ke kiri sambil mengangkat
kaki menendang lutut. "Dukkk! Aduh....!" Kwat Lin terbelalak ketika tahutahu
pedang Coa‐kut‐kiam telah bersarang di perutnya! Kiranya ketika tadi
Swat Hong menendangnya Soan Cu yang terluka dengan kemarahan meluap
menubruk, maka begitu wanita itu terguling, pedangnya cepat menyambar
dan menusuk perut Kwat Lin. "Bedebah kau....!" Tiba‐tiba pedang di tangan
Kwat Lin meluncur. "Soan Cu, awas....!!" Swat Hong berteriak kaget namun
terlambat. Pedang yang terlempar dari jarak dekat dan tak terduga‐duga itu
dilakukan dengan dorongan tenaga terakhir, tak dapat dielakkan dengan baik
oleh Soan Cu dan menancap di bawah pundak sampai dalam! "Soan Cu!" Swat
Hong melompat dan pedangnya membabat. Kwat Lin memekik dan lehernya
hampir putus! Dengan cepat Swat Hong memeluk tubuh soan Cu yang
tersenyum! Pergilah.... Aku.... aku tak berguna lagi....!" katanya. "Omong
kosong!" Swat Hong menghardik, mencabut pedang Ang‐bwe‐kiam dari
pundak Soan Cu. Soan Cu menjerit dan pingsan. Dengan gemas Swat Hong
melempar pedang itu memondong tubuh Soan Cu, dibawanya keluar. Betapa
kagetnya ketika ia tiba di ruangan luar, pertempuran yang masih
berlangsung hebat itu ternyata membuat pihak ibunya terdesak. Bahkan
ibunya kelihatan terluka di beberapa tempat, juga ayah Soan Cu, yang
mengamuk dengan gagah telah berlumuran darah seluruh tubuhnya. Kwee
Lun juga masih mengamuk, dan hanya pemuda inilah yang belum terluka,
karena Ouwyang Cin Cu menujukan serangan‐serangannya kepada Liu Bwee
dan Ouw Sian Kok, karena menganggap ringan kepada Kwee Lun. "Ibu....!!"
Dengan kemarahan meluap‐luap, Swat Hong meloncat, melampau para
pengepung dan menurunkan tubuh Soan Cu ke atas lantai. Lalu gadis ini
PART 363
mengamuk dengan pedangnya, merobohkan beberapa orang pengawal.
Gerakannya demikian hebat sehigga para pengepung terkejut dan gentar,
bergerak mundur. "Ibu.....!" "Ayahhhhh.....!" Ouw Sian Kok menghentikan
amukannya dan menjatuhkan diri berlutut. Tadi dia mengira bahwa
puterinya telah tewas, maka panggilan itu menggetarkan jantungnya dan
membuat dia lemas. "Kau.....kau Soan Cu.....?" "Ayahhhhhhh..... Hu‐hu‐huhuuuuu.....!!"
Soan Cu menangis dalam rangkulan ayahnya yang juga
bercucuran air mata. Baru pertama kali Ouw Sian Kok dapat mencucurkan iar
mata. "Wutttt..... trangggggg......!!" Dua batang golok terpental oleh tangkisan
oleh tangkisan Ouw Sian Kok tanpa menoleh karena dia sedang mendekat
dan menciumi dahi puterinya. "Ayah, aku puas..... dapat bertemu
denganmu.......!" "Soan Cu...... aihhhh, anakku, kauampunkan dosa ayahmu....."
Ouw Sian Kok berkata dengan suara terisak. "Trang‐trang..... dessss!!" Dua
orang pengawal yang berani menyerang roboh oleh tangkisan pedang Ouw
Sian Kok dan mecuatnya kaki Soan Cu yang menendang. "Ah, jangan kau
keluarkan tenaga....." kata Ouw Sian Kok melihat betapa tendangan tadi
membuat napas Soan Cu memburu. "Ayah..... aku.....aku tidak kuat lagi.....kalu
larilah, ayah......." "Soan Cu......! Soan Cuuuu......!!" Sian Kok meraung‐raung
ketika menyaksikan dengan mata sendiri betapa puterinya yang baru
dilihatnya selama hidup puterinya itu, menghembuskan napas di dalam
dekapnya, dengan bibir tersenyum. Laki‐laki gagah perkasa itu masih terus
meraung‐raung, dengan air mata bercucuran ketika dia telah membaringkan
tubuh puterinya ke atas lantai kemudian dia mengamuk seperti seekor naga,
menyebar maut diantara pengeroyoknya! Hujan senjata tidak dirasakannya
lagi pedangnya sampai menjadi merah dari ujung sampai kegagang, bahkan
sampai ke lengannya! Sementara itu Liu Bwee yang sudah banyak kelilangan
darah juga makin lemas gerakannya. kalau tidak ada Swat Hong, tentu dia
roboh oleh Ouwyang Cin Cu. Untung bagi mereka agaknya kakek yang sudah
menjadi Kok‐su ini hanya setengah hati saja bertempur, sering kali dia
sengaja mundur dan membiarkan anak buah pengawal yang mengeroyok.
Hal ini karena dia sebetulnya tidak begitu suka kepada The Kwat Lin yang
dianggapnya berbahaya. Pula, setelah sekarang dia telah memperoleh
kedudukan tinggi, dia tidak membutuhkan kerja sama dengan The Kwat Lin.
Selain itu, juga dia ingin menghindarkan sedapat mungkin permusuhan
dengan orang‐orang lihai, apalagi keluarga dari Pulau Es! "Swat Hong, cepat
kau pergi......!" "Tidak, Ibu!" "Kalau tidak, kau akan mati......!" "Mati
bersamamu merupakan kebahagiaan, Ibu!" "Hushhhh, anak bodoh. Kalau
begitu siapa yang akan mengembalikan pusaka? Kauingat pesan Ayahmu."
"Tapi, Ibu....." "kalau kau membantah dan sampai tewas di sini, Ibumu tidak
akan dapat mati dengan mata meram." "Ibu......!" "Lihatlah, dia.....diapun akan
mati..... Ibu ada seorang teman yang baik......Ibu dan dia.....ah, kami senang
mati bersama.....kau jangan ikut‐ikut......!" Mendengarkan ucapan ini, Swat
Hong terkejut sekali dengan menengok ke arah Ouw Sian Kok yang
mengerikan keadaannya itu.Mengertilah dia bahwa Ibunya dan laki‐laki
perkasa itu telah saling jatuh cinta! Jantungnya seperti ditusuk, teringat dia
PART 364
akan kesalahan ayahnya terhadap ibunya. Ibunya tidak bersalah, sudah
sepantasnya menjatuhkan hati kepada pria lain karena disakiti hatinya oleh
suami yang tergila‐gila kepada wanita lain! "Ibu......" "Pergilah, dan ajak
pemuda gagah itu!" Sambil bercucuran air mata, Swat Hong mengamuk,
memutar pedangnya dan mendekati Kwee Lun yang juga masih mengamuk.
"Toako, hayo kita pergi!!" "Eh? Ibumu? Soan Cu? Ayahnya.......?" "Ayolah.....!!"
"Baik, baik.....!" Mereka berdua membuka jalan darah, akhirnya berhasil
meloncat keluar. "Jangan kejar mereka! kepung saja yang berada di dalam!"
terdengar Ouwyang Cin Cu berseru. Tidak terlalu lama Ouw Sian Kok dan Liu
Bwee dapat bertahan. Mereka sudah kehabisan tenaga, juga terlalu banyak
mengeluarkan darah. Akhirnya, mereka roboh berdekatan, di dekat mayat
Soan Cu. Ouwyang Cin Cu menghela napas panjang, kagum sekali
menyaksikan kegagahan mereka itu. Dia masih belum menduga bahwa tiga
orang yang telah tewas ini adalah orang‐orang yang datang dari tempat yang
hanya didengarnya dalam dongeng! wanita cantik setengah tua itu adalah
bekas permaisuri Raja Pulau Es, sedangkan laki‐laki perkasa dan dara jelita
itu adalah ayah dan anak dari Pulau Neraka, bahkan merupakan tokoh
pimpinan! Dia menghela napas pula ketika melihat bahwa The Kwat Lin juga
tewas dalam keadaan mengerikan. Diam‐diam dia merasa lega, karena dia
maklum betapa dilubuk hati wanita ini tersembunyi cita‐cita yang amat
hebat, yang kelak mungkin membahayakan kedudukan kaisar, dan
kedudukannya sendiri. Setelah membuat laporan kepada Kaisar baru, yaitu
An Lu Shan, tentang kematian The Kwat Lin bekas jenderal ini hanya menarik
napas panjang. "Hemm, sayang sekali, dia merupakan tenaga yang berguna."
Kemudian mengelus jenggotnya dan berkata, "kalau begitu bagaimana
dengan puteranya?" "Menurut pendapat hamba, puteranya itu masih
berdarah Raja Pulau Es yang kabarnya masih mempunyai hubungan keluarga
dengan kerajaan lama. Maka kalau dia dibiarkan saja menjadi pangeran di
sini, kelak kalau sudah dewasa tentu akan merupakan bahaya." An Lu Shan
mengangguk‐angguk. "Habis bagaimana pendapatmu?" Kok Su yang
merupakan penasehat utama itu mengerutkan alisnya yang bercampur uban,
lalu berkata, "Mereka itu datang dari Rawa Bangkai, biarlah dia hamba bawa
kembali ke sana, diberi kedudukan sebagai penguasa di Rawa Bangkai dan
daerahnya. Anak kecil itu tidak tahu apa‐apa, asal diberi kedudukan di sana
mengepalai bekas anak buah ibunya dan Kiam‐mo Cai‐li, tentu kelak akan
senang hatinya." "Baiklah, urusan ini kuserahkan kepadamu untuk
dibereskan." demikianlah, setelah penguburan jenazah ibunya selesai, Han
Bu Ong yang masih kecil itu menurut saja ketika oleh Ouwyang Cin Cu
diberitahu bahwa dia oleh kaisar "diangkat" menjadi "raja muda" yang
berkuasa di Rawa Bangkai, di mana telah dibangun sebuah gedung mewah
lengkap dengan semua pelayan dan perabot. Di tempat ini, Han Bu Ong hidup
cukup mewah. Akan tetapi anak ini memang mempunyai kecerdikan yang
luar biasa. Biarpun dia dicukupi hidupnya, diam‐diam dia mengerti bahwa
dia sengaja setengah "dibuang" oleh Kaisar dan Ouwyang Cin Cu setelah
ibunya tewas. Maka dia mencatat di dalam hatinya bahwa selain Swat Hong
PART 365
dan Kwee Lun yang menjadi musuh besarnya, juga Ouwyang Cin Cu
sebetulnya bukanlah seorang sahabat yang setia dari ibunya. Anak kecil ini
dengan rajin lalu melatih dirinya dengan ilmu‐ilmu peninggalan ibunnya
yang masih ada padanya. Dia harus menggembleng dirinya dan kelak, selain
dia harus membalas kepada musuh‐musuhnya, juga dia akan berusaha untuk
merampas kembali pusaka‐pusaka Pulau Es yang dicuri oleh Swat Hong. Dia
merasa bahwa dia berhak memiliki pusaka itu karena bukankah dia putera
Raja Pulau Es? Dari ibunya dia dahulu mendengar bahwa siapa yang
mewarisi pusaka Pulau Es dan melatih semua ilmu yang terdapat di dalam
kitab‐kitab itu, tentu akan menjadi jago nomer satu di dunia.
Para pembaca yang mengikuti pengalaman Kwa Sin Liong tentu menjadi
penasaran kalau pemuda sakti itu sampai tewas dalam keadaan yang
demikian mengerikan! Tidak, dia tidak mati! Memang nyaris dia tewas
dimakan ratusan ekor ular berbisa yang menjadi penghuni sumur itu. Akan
tetapi kalau orang belum tiba saatnya untuk mati, ada saja penolongnya yang
bisa dianggak tidak masuk akal, kebetulan atau luar biasa. Dalam halnya Sin
Liong tidak ada yang tidak masuk akal atau luar biasa. Memang tubuhnya
yang pingsan itu terlempar ke dalam sumur di mana terdapat ratusan ekor
ular berbisa dari segala jenis, akan tetapi tidak ada seekorpun ular yang
berani menggigitnya. Apalagi menggigit, mendekatipun mereka itu tidak
berani, bahkan begitu tubuh pemuda itu terjatuh, ular‐ular itu cepat
menyingkir ketakutan. Hal ini adalah karena tanpa sengaja di saku baju Sin
Liong terdapat batu mustika hijau dari Pulau Es! Seperti kita ketahui, batu
mustika hijau ini adalah milik Han Swat Hong yang telah menyelamatkan
nyawa gadis ini pula ketika terserang racun. Ketika Sin Liong mengobati
sumoinya itu, dia menyimpan batu mustika ini di dalam saku bajunya
sehingga ketika dia terlempar ke dalam sumur, batu mustika itu ikut terbawa
olehnya dan menjadi penyelamatnya karena tidak ada ular yang berani
mendekatinya. Sebetulnya pemuda ini menderita luka yang amat parah dan
yang akan mematikan akibatnya bagi orang lain. Namun, pemuda ini pada
dasarnya memiliki tubuh yang sempurna, bersih darahnya dan kuat tulang
dan urat‐uratnya, apalagi sejak kecil dia menerima gemblengan ilmu
kesaktian dari Han Ti Ong sehingga dia memilki tubuh yang amat kuat dan
tahan derita. Dua hari dua malam dia rebah pingsan di dasar sumur yang
lembab, tampa diusik oleh ular‐ular itu yang hanya memandang dari jauh
seolah‐olah dia merupakan mahluk yang menakutkan. Pada hari ke tiga,
nampak tanda hidup pada tubuh yang tadinya tak bergerak‐gerak seperti
mati itu dengan suara mengeluh panjang, kemudian tubuh itu bergerak dan
bangkit duduk dengan susah payah. Sejak Sin Liong merasa nanar dan
bingung melihat bahwa dirinya berada di tempat yang amat gelap. Begitu
gelapnya sehingga dengan terkejut dia menyangka bahwa matanya telah
menjadi buta. Akan tetapi, ketika dia menoleh, tampaklah sedikit cahaya di
belakangnya, dan mengertilah dia dengan hati lega bahwa dia tidak buta,
PART 366
melainkan berada di tempat yang amat gelap. Dia tidak tahu bahwa dia
dilempar ke sumur dan sumur itu kini telah tertutup oleh batu‐batu besar
dari atas ketika guha terowongan itu sengaja diruntuhkan oleh Kiam‐mo Caili
dan The Kwat Lin. Melihat cahaya terang di belakangnya, Sin Liong
menggerakan tubuhnya hendak menyelidiki, akan tetapi dia mengeluh
karena begitu bergerak, dadanya terasa nyeri bukan main! Dia teringat akan
pertempuran itu dan mulai mengertilah dia bahwa tentu dia telah tertawan
dan berada dalam tempat tahanan rahasia yang amat gelap.
Maka dia segera duduk bersila mengatur pernapasan di tempat lembab dan
pengap itu, menyalurkan tenaga dan hawa sakti di dalam tubuhnya. Memang
dia memiliki sinkang yang amat kuat berkat latihan di Pulau Es, maka tak
lama kemudian dia telah mengobati luka di dalam tubuhnya dan
menyelamatkan rasa nyeri‐nyeri di tubuhnya. Begitu dia menghentikan
latihannya, terasa betapa perutnya lapar sekali. Dia tidak tahu bahwa sudah
dua hari dua malam perutnya sama sekali tidak diisi apa‐apa. Sin Liong
bangkit berdiri dengan hati‐hati. Tangannya meraih ke atas. kosong. Dia
mencoba meloncat dengan kedua tangannya di atas kepala.Tetap saja
disebelah atasnya kosong, tanda bahwa tempat tahanan itu tinggi bukan
main! Seperti sumur! Betapapun dalamnya sumur itu tentu dia akan
meloncat keluar, pikirnya. Dikerahkan seluruh tenaga dalamnya, kemudian
dengan ilmu ginkangnya yang istimewa, dia melompat lagi ke atas, kedua
tangannya tetap menjaga di atas kepala. "Plakkkkk!" Tubuhnya melayang lagi
ke bawah. Kedua tangannya bertemu dengan batu besar yang amat berat,
yang menutup lubang sumur itu! Beberapa kali Sin Liong menggunakan
kepandaiannya untuk keluar dari dalam sumur, dan sekali meloncat, dia
menggunakan sinkang di kedua tangannya untuk mendorong batu. Akan
teteapi usahanya ini selalu gagal. Tentu saja tidak mungkin bagi seorang
manusia, betapa kuatpun dia, untuk meloncat sambil mendorong tumpukan
batu‐batu besar yang menutup mulut sumur itu, batu‐batu sebesar rumah
dan yang sebongkah saja beratnya ada yang seribu kati! Akhirnya Sin Liong
pun maklum bahwa usahanya meloloskan diri melalui atas tidak mungkin
baginya. Maka dia mulai meraba‐raba di sekelilingnya. Sumur itu tidak
berapa lebar, paling banyak bergaris tengah tiga meter. Ketika dia
mendengar suara mendesis‐desis dan mencium bau hamis, tahulah dia
bahwa di tempat itu terdapat banyak ular berbisa.
Kemudian tampak olehnya melalui cahaya redup tadi bahwa di bagian bawah
terdapat sebuah lubang dan agaknya dari tempat itulah ular‐ular keluar dari
sumur. Begitu dia mendekati lubang ini, tampak olehnya ekor ular berkelebat
di dalam cahaya remang‐remang itu, menjauhkan diri. Dia merasa heran
mengapa binatang‐binatang itu tidak mengganggunya ketika dia pingsan dan
kini kelihatan takut kalau didekatinya. Dia teringat, meraba saku bajunya dan
tersenyum mengeluarkan batu hijau yang mengeluarkan sinar di dalam gelap
PART 367
itu. Inilah penolongku,pikirnya. Hatinya menjadi makin tenang. Dengan
adanya batu mustika hijau ini, tidak perlu takutmenghadapi binatang berbisa
apa pun. Akan tetapi, melihat batu mustika itu, teringatlah dia kepada Swat
Hong dan dia merasa khawatir juga. Musuh demikian lihai, dia sendiri kena
ditangkap dan agaknya dilempar ke sumur ini. Bagaimana nasib Swat Hong?
Dia harus cepat keluar dari tempat ini untuk menolong Swat Hong.
Kekhawatirannya terhadap sumoinya itu membuat dia makin bersemangat
mencari jalan keluar. Lubang dari mana ular‐ular itu keluar dari sumur
terlalu sempit untuk dapat diterobos, maka Sin Liong lalu menggunakan
kedua tangannya untuk membongkar batu di lubang itu, memperlebar
lubang dengan jalan memukul pecah batu‐batu di sekelilingnya. Tidak mudah
pekerjaan ini, karena selain tubuhnya masih lemah, juga batu‐batu di tempat
itu amat kerasa dan hanya dapat digempurnya sedikit demi sedikit. Namun
akhirnya dapat juga dia memperlebar lubang itu sehingga dia dapat
merangkak melalui lubang sambil terus menggempur lubang di depat yang
merupakan terowongan panjang. Melihat betapa makin lama cahayanya dari
seberang terowongan kecil itu makin terang, hatin Sin Ling membesar. Jelas
bahwa di seberang itu terdapat tempat terbuka dari mana sinar matahari
dapat masuk, pikirnya. Akan tetapi pekerjaan menerobos terowongan kecil
yang merupakan liang ular dengan hanya menggunakan kedua tangan
kosong, memakan waktu lama juga. Saking hausnya, dia menengadah untuk
menerima titik‐titk air yang jatuh dari atas, yaitu dari dinding sumur yang
mengeluarkan air. biarpun memakan waktu lama, dapat juga dia mengobati
dahaga dengan meminum secara demikian. Namun perutnya yang lapar
terpaksa harus berpuasa lagi sampai tiga hari! karena setelah tiga hari,
barulah dia berhasil merangkak keluar dari terowongan itu dan tiba di
sebuah ruangan yang cukup luas, akan tetapi juga merupakan tempat
tertutup! Bedanya, kalau sumur pertama merupakan tempat sempit dan
gelap, maka ruangan kedua ini luas sekali, garis tengahnya tidak kurang dari
sepuluh meter, merupakan sebuah ruang dalam tanah yang aneh. Di sebelah
atas, jauh dan tinggi sekali, tertutup oleh tanah atau batu dan ada celah‐celah
yang merupaka retakan batu‐batu dari mana sinar matahari dapat
menerobos masuk. Sin Liong menjatuhkan diri duduk di tengah ruangan
dalam tanah ini dan harapannya kandas sama sekali. Kalau sumur pertama
itu merupakan tahanan yang sukar diterobos adalah tempat ini lebih sukar
lagi untuk meloloskan diri. Ular‐ular yang banyak sekali berbelit‐belit dan
kelihatan ketakutan, ada yang merayap naik, ada pula yang menerobos
terowongan yang sudah melebar itu untuk kembali ke dalam sumur pertama!
Sin Liong termenung. Dari kamar tahanan kecil dia pindah ke kamar tahanan
besar! Hanya lebih lebar dan memperoleh penerangan sinar matahari yang
tidak seberapa. Itulah bedanya! Akan tetapi dia tidak menjadi putus harapan.
Dihadapinya kenyataan ini dengan tabah dan dilenyapkannya kekhawatiran
di dalam hatinya tentang diri sumoinya dengan keyakinan bahwa apa pun
yang akan terjadi, terjadilah tanpa dipengaruhi segala kekhawatiran yang
tiada gunanya! Dia sendiri menghadapi bencana, menghadapi ancaman maut
PART 368
dan inilah yang terutama harus dihadapi dan diatasi lebih dulu. Dia mulai
memeriksa kalau‐kalau ada jalan keluar dari tempat itu. Sama sekali tidak
ada jalan keluar. Akan tetapi, dia menemukan benda‐benda yang sementara
dapat menolongnya dari ancaman kelaparan, yaitu jamur yang agaknya
bertumbuhan dengan subur di tempat itu karena memperoleh sinar
matahari. Perutnya lapar sekali dan pengetahuannya tentang tetumbuhan
meyakinkan hatinya. Maka mulailah dia memilih jamur‐jamur yang tak
mengandung racun, lalu mulai dia makan jamur. Dalam keadaan lapar bukan
main, ternyata jamur‐jamur mentah itu terasa enak juga! Soal minum dia
tidak usah khawatir karena di beberapa tempat pada dinding batu itu
terdapat air yang menetes. Ditampungnya tetesan air itu dengan kedua
tangannya, lalu diminumnya. Luar biasa segarnya air yang disaring oleh
tanah dan batu itu. Setelah yakin benar bahwa tidak ada jalan keluar dari
tempat itu, Sin Liong menerima kenyataan ini dan dia giat berlatih ilmu. Di
dalam kesunyian yang amat hebat itu perasaan dan pikiran Sin Liong menjadi
luar biasa tajamnya. Semua ilmu yang pernah dipelajari dan dibacanya
dahulu sukar dimengerti olehnya karena kitab‐kitab kuno Pulau Es memang
amat sukar diartikan, kini menjadi jelas dan dapat dia selami intinya. Oleh
karena inilah maka diluar dari kesadarannya sendiri, ilmu kesaktiannya
bertambah dengan hebat dan cepatnya. Juga ditempat ini dia mulai mengenal
diri sendiri, mengenal arti hidup yang sesungguhnya. Tanpa disadarinya
sendiri, dari dalam pribadinya timbul kekuatan mujijat, kekuatan yang
dimiliki oleh setiap orang manusia namun yang selalu terpendam dan tetap
tersembunyi sampai saat terakhir dari hidup manusia yang selalu
dipermainkan oleh nafsu yang disebut aku. Tanpa terasa oleh Sin Liong
sendiri yang selama hidup di dalam ruang bawah tanah itu sama sekali tidak
pernah memikirkan atau mengenal waktu, pemuda luar biasa ini telah berada
di tempat itu selama dua tahun! Dia mengerti bahwa tanpa bantuan dari luar,
tidak mungkin dia meloloskan diri dari tempat itu, maka sudah sejak lama dia
tidak lagi berusaha untuk keluar dari situ. Selama itu, yang menjadi temantemannya
hanyalah ular‐ular berbisa! Ternyata oleh pemuda itu bahwa
binatang berbisa seperti ular pun mengenal siapa lawan siapa kawan. Karena
selama itu dia tidak pernah mengganggu mereka, ular‐ular itu pun jinak dan
sama sekali tidak pernah menyerangnya, biarpun dia menjauhkan batu
mustika hijau dari tubuhnya. Binatang‐binatang ini hanya menyerang untuk
menjaga diri saja dari bahaya yang datang mengancam diri mereka. Juga
tanpa disadari sendiri oleh Sin Liong, tubuhnya yang setiap hari hanya
dihidupkan oleh sari jamur yang bermacam‐macam itu, pertumbuhannya
sama sekali berlainan dengan manusia biasa. makanan amat mempengaruhi
tubuh dan sari jamu yang dimakannya selama dua tahun itu mendatang kan
kepekaan luar biasa, dan kepekaan tubuh ini pun mempengaruhi pula
pertumbuhan batinnya. Dia menjadi seorang manusia luar biasa, tidak
menderita apa‐apa, tidak mengharapkan apa‐apa, karena di dalam keadaan
apapun juga, menghadapi keadaan apa adanya, sewajarnya, sebagaimana
adanya yang dianggap sudah semestinya demikian, tidak ada lagi apa yang
PART 369
disebut menyenangkan atau tidak menyenangkan, tidak ada lagi yang disebut
senang atau susah, tidak ada lagi puas atau kecewa. Dalam keadaan seperti
itu, tubuh sehat dan batin tenang, yang ada hanyalah rasa suka ria yang sukar
dilukiskan karena sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kesukaan
atau kegembiraan yang dapat dicari. Suatu nikmat yang bukan datang dari
gairah nafsu atau kesenangan, nikmat hidup yang datang tanpa dicari, yang
terasa hanya setelah batin bebas dari segala ikatan, seperti batin Sin Liong di
waktu itu.
Pada suatu hari, di sebelah atas dari tempat rahasia ini, terjadilah kesibukan
besar. Puluhan orang katai yang tubuhnya pendek akan tetapi besarnya
seperti manusia biasa, bertubuh kuat dan bertenaga besar, dipimpin oleh
seorang pemuda tanggung sedang membongkari reruntuhan batu‐batu di
dalam terowongan bawah tanah itu. Pemuda tanggung yang berpakaian
mewah itu bukan lain adalah Bu Ong, yang kini telah mengumpulkan sisa
orang‐orang kerdil bekas taklukan di Rawa Bangkai dan menjadi pimpinan
mereka. Han Bu Hong kini telah menjadi seorang pemuda tanggung yang lihai
dan tidak ada seorang pun di antara tokoh‐tokoh orang kerdil mampu
melawannya. Agaknya, untuk menjadikan mimpi ibunya sebagai kenyataan,
dia telah mengangkat diri sendiri menjadi ketua atau lebih tepat lagi menjadi
"raja" dari orang‐orang katai ini. Gedung di Rawa Bangkai hanya menjadi
tempat tinggal umum, akan tetapi diam‐diam dia mendirikan "kerajaan kecil"
di bawah tanah. Bahkan dia telah membangun sebuah ruang seperti istana di
bawah tanah, lengkap dengan kursi kebesaran yang dihiasai dengan sebuah
tengkorak di samping hiasan mahal seperti permadani, lukisan dan tulisan
indah. Sering kali dia secara sembunyi mengadakan pertemuan dan rapat
rahasia dengan para tokoh orang katai yang menjadi pembantunya, dan
pemuda tanggung ini diam‐diam merencanakan pekerjaan besar untuk
melanjutkan cita‐cita ibunya. Demikianlah, karena dia ingin menggunakan
terowongan bawah tanah itu sebagai markas partai orang kerdil , dan juga
karena dia ingin mencari kalau‐kalau ada harta atau pusaka peninggalan
Rawa Bangkai di terowongan itu, dia lalu mengerahkan para anak buahnya
untuk membersihkan bagian terowongan yang dahulu diruntuhkan oleh
ibunya dan oleh Kiam‐mo Cai‐li. "Akan tetapi, Siauw‐pangcu (Ketua Cilik),"
seorang pembantu membantah sebelum pembongkaran dilakukan . "Tempat
ini dahulu sengaja diruntuhkan oleh Ibu Pangcu untuk menutupi sumur ular
di mana tubuh musuh Ibu Pangcu dilempar. Karena musuh itu lihai bukan
main, maka Ibu Pangcu bersama Kiam‐mo Cai‐li dan Ouwyang Cin Cu
memutuskan untuk menutup saja tempat ini agar pemuda sakti itu tidak
mampu hidup kembali." Han Bu Ong tertawa. "Ha, ha, mana mungkin Kwa Sin
Liong dapat hidup kembali? Dia sudah di lempar di sumur ular, andaikata dia
tidak mati oleh ular‐ular itu, tentu selama dua tahun dikubur hidup‐hidup di
sumur itu dia kini sudah menjadi ***** tengkorak, tinggal rangkanya saja.
Mengapa khawatir? Hayo bongkar! Kalau tidak dibongkar, terowongan ini
PART 370
tertutup sampai di sini, padahal kita amat membutuhkan sebagai jalan
rahasia yang amat penting bagi perkumpulan kita." Karena alasan yang
dikemukakan ketua cilik ini memang tepat, maka beramai‐ramai para
manusia katai itu segera bekerja keras, membongkari batu‐batu yang besarbesar
dan berat itu, menggunakan alat pendongkel dan lain‐lain. Hiruk pikuk
suara di dalam terowongan itu dan pekerjaan yang berat itu biarpun
dilakukan oleh hampir lima puluh orang, tetap saja memakan waktu yang
cukup lama. Memang sesungguhnyalah bahwa merusak itu mudah
membangun itu sukar, mengotori itu mudah membersihkannya tidak
semudah itu. Setelah bekerja keras selama sepekan, barulah batu besar
terakhir yang menutupi sumur dapat disingkirkan. Han Bu Ong dan para
anak buahnya seperti berlomba lari menghampiri sumur dan melongok ke
dalam sumur yang amat gelap itu. Pada saat itu, terdengar suara angin
menyambar dari bawah dan berkelebatlah bayangan orang yang melayang
dari bawah, Han Bu Ong dan semua orang terkejut. Ketika mereka menoleh
dan memandang bayangan orang yang tadi meloncat melewati kepala
mereka, mereka melihat seorang laki‐laki muda berdiri di situ sambil
tersenyum, seorang pemuda yang berwajah tampan, yang memiliki sepasang
mata yang lembut pandangannya namun bersinar cahayanya, pemuda yang
pakaiannya lapuk dan compang camping. Tidak ada orang kerdil yang
mengenal pemuda ini karena memang keadaannya jauh berbeda dengan
tahun yang lalu. Akan tetapi Han Bu Ong dengan suara gemetar
membentakkan perintah, "Serbu! Bunuh dia...!!" Orang ‐orang katai yang
tadinya bengong terheran‐heran dan ketakutan karena menduga keras
bahwa tentu hanyalah siluman saja yang keluar dari sumur tertutup itu,
ketika mendengar bentakan ini menjadi sadar. Kini mereka pun ingat bahwa
tentu ini pemuda yang dua tahun yang lalu dilempar ke dalam sumur.
Biarpun mereka bergidik ngeri dan gentar mendapat kenyataan bahwa orang
yang dua tahun lalu dilempar ke sumur ular yang tertutup kini ternyata
masih hidup, namun karena maklum bahwa ini adalah musuh mereka dengan
teriakan‐teriakan ganas mereka menyerang orang itu. Memang benar dugaan
Han Bu Ong. Orang ini bukan lain adalah Kwa Sin Liong. Ketika Sin Liong
akhirnya dari bawah mendengar suara hirup pikuk disebelah atas kemudian
melihat cahaya turun melalui terowongan kecil jalan ular, dia menyeberangi
terowongan dan tiba di dasar sumur pertama. akhirnya dia melihat betapa
atap sumur yang tadinya tertutup batu besar itu terbuka dan melayanglah
dia keluar. Karena selama dua tahun dia tidak bertemu orang, begitu melihat
Bu Ong dan orang‐orang kerdil, dia tersenyum girang. Akan tetapi orangorang
kerdil itu dengan bermacam senjata telah menyerangnya. Sin Liong
hanya mengerahkan sinkangnya membiarkan belasan senjata tajam
menimpa tubuhnya. Terdengarlah teriakan‐teriakan kaget karena semua
senjata, baik yang tajam maupun yang tumpul, begitu mengenai tubuh
pemuda itu, membalik seperti mengenai gumpalan karet yang amat kuat.
"Adik Bu Ong...bukankah engkau sute (Adik Seperguruan)...?" Sin Liong
berkata halus sambil memandang kepada Han Bu Ong. "Iblis! Siluman! Bunuh
PART 371
dia...!!"Bu Ong berteriak‐teriak dengan muka pucat dan mata terbelalak.
Biarpun hati mereka gentar sekali, namun orang katai itu kembali menyerbu
dan hujan senjata menyambar tubuh Sin Liong. Kembali senjata‐senjata itu
mental, bahkan ada yang terlepas dari pegangan tangan pemiliknya. Sin
Liong menarik napas panjang, menunduk dan memandang pakaiannya yang
menjadi makin compang‐camping, terkena bacokan senjata‐senajata itu,
kemudian sekali bergerak tubuhnya berkelebat melewati kepala para
pengeroyoknya yang bertubuh pendek dan lenyap. Gegerlah para orang katai.
Akan tetapi Han Bu Ong menyambarkan dan menenangkan hati mereka. Dia
merasa yakin bahwa betapapun lihainya Sin Liong, pemuda itu agaknya tidak
akan mengganggunya. Maka dia melanjutkan rencananya dan melakukan
perundingan dengan para anak buahnya. Seperti juga ibunya dahulu, pemuda
tanggung ini sudah mulai dengan usahanya untuk mencari kedudukan
dengan menghubungi seorang "pangeran" baru yang juga merasa tidak puas
dengan kedudukan yang diperolehnya setelah perjuangan mereka berhasil.
Pangeran ini dahulunya adalah seorang pemberontak rakyat petani yang
bergabung dengan An Lu Shan, bernama Shi Su beng yang kini dianugerahi
pangkat "pangeran" oleh An Lu Shan. Shi Su Beng bermaksud untuk merebut
tahta kerajaan dari An Lu Shan, dan apabila terjadi kegagalan, maka
terowongan bawah tanah milik Han Bu Ong itulah yang akan dijadikan
tempat persembunyian. Setelah selesai mempersiapkan segala‐galanya dan
tempat itu ditinjau sendiri oleh Pangeran Shi Su Beng, Han Bu Hong lalu pergi
ke kota raja bersama sekutunya itu untuk mulai melaksanakan siasat yang
sudah mereka rencanakan lebih dahulu. Memang selama dua tahun itu
terjadi dua hal yang banyak tercatat da Kemenangan An Lu Shan ternyata
tidak mendatangkan kemakmuran atau keamanan, bahkan sebaliknya. Selain
kaisar yang telah melarikan diri ke Secuan dan menyerahkan tahta kerajaan
kepada puteranya itu kini menyusun kekuatan di barat untuk menyerbu dan
merampas kembali kota raja, juga di dalam istana pemerintah baru sendiri
terjadi pertentangan dan perebutan kekuasaan! Semua ini terjadi karena
memang sesungguhnya para pemimpin pemberontak yang dahulu
memberontak terhadap pemerintah dengan dalih "demi rakyat" atau demi
keadilan, demi kebenaran, demi negara dan lain istilah muluk‐muluk lagi itu
sesungguhnya hanyalah "berjuang" demi dirinya sendiri saja! Semua istilah
itu tak lain tak bukan hanyalah untuk dijadikan "modal" perjuangannya
untuk mencari kedudukan dan kemuliaan bagi diri sendiri. Hal ini sudah
terlalu sering terjadi di dunia, berulang‐ulang, namun sampai sekarang
rakyat di seluruh dunia tetap bodoh, mau saja di peralat dan dicatut namanya
oleh orang‐orang yang berambisi untuk diri pribadi. Betapa banyaknya bukti
akan kepalsuan ini dapat dilihat dalam sejarah di negara manapun di dunia
ini. Sekelompok orang berambisi untuk keuntungan mereka sendiri, dengan
siasat cerdik menggunakan nama rakyat untuk mencapai tujuan mereka,
kalau perlu mereka mengorbankan rakyat. Rakyat sudah cukup puas
memperoleh gelar "pahlawan" kalau sampai tewas dalam perjuangan yang
sebenarnya adalah menyalah gunakan demi keuntungan kelompok yang
PART 372
mempergunakan mereka itu. dalam sejarah. Inilah sebabnya maka jika
perjuangan telah berhasil, jika para kelompok pimpinan yang berambisi
sudah memperoleh apa yang mereka kejar‐kejar, maka rakyat pun dilupakan
sudah! Bukan sengaja dilupakan, melainkan karena mereka yang sudah
berhasil merampas kedudukan itu pun harus menghadapi lawan atau
saingan yang juga ingin merebut kedudukan itu. Rakyat adalah orang yang
berada dibawah, dan yang terinjak memang selalu yang berada di bawah.
yang berada di atas tidak akan terinjak, akan tetapi mereka itu saling
berebutan di antara mereka sendiri, memperebutkan kedudukan yang lebih
enak dan empuk dari pada kedudukan yang telah dimilikinya. Demikianlah
pula dengan An Lu Shan dan teman‐temannya yang telah berhasil dalam
"perjuangan" mereka merampas kedudukan tahta kerajaan. Teman‐teman
yang tadinya berjuang bahumembahu, menjadi kawan senasib
sependeritaan, yaitu di waktu mereka memberontak, kini setelah
memperoleh apa yang mereka cita‐citakan , berbalik mencurigai, saling iri!
Memang belum ada yang secara berterang berani menentang An Lu Shan,
bekas panglima yang masih amat kuat kedudukannya, didukung oleh
pasukan‐pasukan inti dan tampaknya semua pembantunya sudah menyetujui
sebulatnya kalau An Lu Shan menjadi Kaisar. Akan tetapi diam‐diam, banyak
yang mepersoalkan pembagian pangkat dan kedudukan. Tentu saja yang
merasa tidak puas adalah mereka yang memperoleh pangkat agak kecil,
sedangkan yang menerima pangkat besar merasa curiga dan hati‐hati
menghadapi bekas teman yang memperoleh pangkat yang lebih kecil. Terjadi
dan berlangsunglah konflik sembunyi diantara mereka. Ke manakah perginya
Swat Hong dan Kwee Lun? Di bagian depan telah diceritakan betapa dua
orang muda ini berhasil menyelamatkan diri, lari keluar dari istana The Kwat
Lin dan terus keluar dari kota raja Tiang‐an. Mereka berlari dengan cepat
mempergunakan kegelapan malam, berhasil keluar dari benteng tembok kota
raja karena para penjaga yang berada dalam suasana pesta kemenangan itu
tidak melakukan penjagaan yang terlampau ketat. Setelah terang tanah dan
mereka tiba di dalam sebuah hutan jauh dari tembok kota raja barulah
keduanya berhenti, terengah‐engah dan Swat Hong menjatuhkan dirinya di
bawah sebatang pohon besar. Wajahnya pucat biarpun muka dan lehernya
penuh keringat yang di usapnya dengan ujung lengan bajunya. Pandang
matanya merenung jauh sekali, dan dia diam saja, sama sekali tidak berkatakata,
sama sekali tidak bergerak, seperti dalam keadaan setengah sadar.
Kwee Lun juga menghapus peluhnya dan dia pun duduk diam, memandang
kepada Swat Hong. beberapa kali dia menggerakan bibir hendak bicara
namun ditahannya lagi. Pemuda yang biasanya bergembira ini merasa betapa
jantungnya seperti diremas‐remas. Dia sendiri merasa kehilangan dan amat
berduka dengan kematian Soan Cu, gadis yang kini dia tahu adalah wanita
yang amat dicintainya. Akan tetapi, melihat keadaan Swat Hong yang
terpaksa harus meninggalkan ibu kandungnya menghadapi kematian, dia
melupakan kedukaan hatinya sendiri dan merasa amat iba kepada Swat
Hong. Melihat betapa Swat Hong seperti orang kehilangan ingatan, Kwee Lun
PART 373
merasa khawatir sekali. Kalau dibiarkan saja, gadis ini bisa jatuh sakit, kalau
hanya sakit badannya masih mending, akan tetapi kalau terserang batinnya
lebih berbahaya lagi. Akhirnya dia memberanikan diri berkata lirih dan halus,
"Mati hidup adalah berada di tangan Thian, kita manusia tak dapat
menguasainya, Nona." Mendengar kata‐kata ini, Swat Hong menengok dan
memandang, akan tetapi pandang matanya tetap kosong, seolah‐olah katakata
itu tidak dimengertinya dan dari mulutnya hanya terdengar suara
meragu, "Hemm....?" Suara ini gemetar dan pandang mata itu menusuk
perasaan Kwee Lun. Maka pemuda ini lalu memberanikan diri melangkah
lebih jauh lagi dengan kata‐kata yang lebih membuka kenyataan, "Ibumu
gugur sebagai seorang yang gagah perkasa." Sepasang mata yang kehilangan
sinar itu terbelalak, seolah‐olah baru sadar dan bibir yang gemetar itu
bergerak, mula‐mula lirih makin lama makin keras, ".....Ibu.....? Ibu...., Ibu....!"
Swat Hong menangis tersedu‐sedu dan memanggil‐manggil ibunya.
"Tenanglah, Nona. Tenanglah....." Kwee Lun menghibur dan berlutut di depan
gadis itu, akan tetapi suaranya sendiri parau dan agak tersedu. "Ibu....!
Mengapa aku meninggalkan ibu mati sendiri....? Ibu....! Hu‐hu‐huuuuuuuk,
Ibuuuuuuuu.....!" Memang menangis merupakan obat terbaik bagi batin gadis
itu, pikir Kwee Lun penuh keharuan, akan tetapi melihat Swat Hong
menjambak‐jambak rambut sendiri, dia merasa khawatir. "Ingatlah, Nona.
Ingatlah pesan Ibumu..... tentang pusaka Pulau Es...." Swat Hong mengangkat
muka dan melihat wajah pemuda itu juga basah air mata, dia menubruk.
"Toako.... ahhhh, Toako....!" Dan menangislah dia tersedu‐sedu di dada
pemuda itu yang dianggapnya merupakan satu‐satunya sahabat di dunia
yang baginya kosong ini. Kwee Lun memejamkan mata dan membiarkan
gadis itu menangis terisak‐isak. Dengan sesenggukan Swat Hong berkata,
"Ibu tewas..... di depan mataku..... dan aku tidak dapat menolongnya..... hu‐huhuuuuuuuhhhh......
dan Ayah pun sudah tiada, Suheng juga...... huhuuuuuuuuuhhh
apa gunanya aku hidup lagi? Apa gunanya aku mencari
pusaka dan mengembalikan ke Pulau Es?' Seperti seorang yang mendadak
menjadi kalap Swat Hong merenggutkan dirinya dari dada Kwee Lun, lalu
melompat bangun mengepal tinju. "Katakan, Kwee‐toako, apa gunanya
semua ini? Ayah ibuku sudah meninggal, dan suheng satu‐satunya orang
yang kucinta..... dia pun tidak ada lagi......! katakan, apa perlunya aku hidup
lebih lama?" Kwee Lun teringat akan kematian Soan Cu yang menghancurkan
perasaannya, akan tetapi dia menekan kedukaannya dan berkata, suaranya
nyaring bersemangat, "Adik Hong, tidak semestinya seorang perkasa seperti
engkau mengeluarkan kata‐kata bernada putus asa seperti itu! Engkau
adalah puteri dari Pulau Es! Kedukaan apa pun yang menimpa dirimu, harus
kau atasi dengan gagah perkasa! Aku dapat memahami pesan mendiang
Ibumu yang mulia dan gagah perkasa itu. Kalau pusaka keluargamu dari
Pulau Es terjatuh ke tangan orang lain, bukankah itu amat sayang, berbahaya
dan juga merendahkan ? Pusaka itu telah diselamatkan oleh Nona Bu Swi Nio
dan Saudara Liem Toan Ki. Sebaiknya kalau kita segera menyusul mereka
dan aku akan membantumu mencari Pusaka Pulau Es." Ucapan penuh
PART 374
semangat itu benar‐benar menyadarkan Swat Hong, menarik gadis itu dari
lembah kedukaan yang hampir mematahkan semangatnya. Dia menahan isak,
menarik napas panjang dan menghapus air matanya, lalu memandang
kepada pemuda itu, memegang tangan Kwee Lun. "Kwee‐toako, terima kasih
atas peringatanmu. Hampir aku lupa akan tugasku. Memang benar, sudah
berani hidup harus berani menghadapi apa pun yang menimpa kita. Engkau
sungguh baik sekali, Toako. Engkau sendiri menderita, kehilangan Soan Cu,
namun masih menghiburku......" Kwee Lun mengangkat mukanya dan
memejamkan mata. "Benar.....aku mencinta Soan Cu....... aku mencintanya......"
"Dan aku mencintai Suheng. Betapa buruk nasib kita, Toako. Engkau sendiri
menderita, kehilangan Soan Cu, namun masih menghiburku......" Kwee Lun
mengangkat mukanya dan memejamkan mata. "Benar.... aku mencinta Soan
Cu.... aku mencintanya........" "Dan aku mencinta Suheng. Betapa buruk nasib
kita, Toako. Akan tetapi, kau masih mempuyai Gurumu, sedangkan aku hanya
seorang diri..... ah, sudahlah. Aku akan pergi, Toako. Semoga engkau akan
dapat menemukan kebahagiaan dalam hidupmu. Engkau baik sekali dan
terima kasih."Swat Hong berkelebat dan meloncat pergi. "Nanti dulu! Hongmoi....
biarlah aku membantumu....." "Tidak usah, Kwee‐toako. Aku akan
menyusul mereka ke Puncak Awan Merah, kemudian aku akan kembali ke
Pulau Es.... untuk.... untuk selamanya. Selamat tinggal!" Swat Hong meloncat
dengan cepat sekali dan sebentar saja dia sudah lenyap meninggalkan Kwee
Lun yang menjadi lemas. Pemuda ini menjatukan dirinya duduk di atas tanah
dan baru sekarang dia tidak dapat menahan bertitiknya air matanya dan baru
sekarang terasa olehnya betapa dia kehilangan Soan Cu, betapa dunia terasa
amat hampa dan sunyi. Berkali‐kali dia menarik napas panjang dan
teringatlah dia kepada gurunya, Lam‐hai Seng‐jin yang seperti orang tuanya
sendiri. Dia harus kembali ke Pulau Kurakura di Lam‐hai dan terbayang
olehnya betapa suhunya itu akan terheran mendengar semua
pengalamannya dengan keluarga Pulau Es! Dengan perasaan yang kosong
dan sunyi, ingatan akan gurunya ini merupakan setitik harapan kegembiraan
hidupnya dan berlahan‐lahan Kwee Lun meninggalkan hutan itu untuk
kembali kepada gurunya yang sudah amat lama ditinggalkannya. Sementara
itu, dengan mata masih merah oleh tangisnya, Han Swat Hong melanjutkan
perjalanan seorang diri dengan cepat untuk mengejar Swi Nio dan Toan KI.
Kalau dia dapat menyusul mereka dan minta kembali Pusaka Pulau Es dia
dapat langsung kembali ke Pulau Es dan selanjutnya...... entah, dia sendiri
tidak tahu apakah dia ada niat untuk kembali ke daratan besar. Tidak, dia
akan tinggal di pulau itu, di mana dia terlahir. Biarpun pulau itu sudah
kosong, dia akan tinggal di tempat kelahirannya itu sampai mati! Bercucuran
pula air matanya ketika dia berpikir sampai di situ dan terkenang kepada
suhengnya. Kalau saja ada suhengnya di sisinya, tentu tidak akan begini
merana hatinya. Akan tetapi, betapapun cepat Swat Hong melakukan
pengejaran, tetap saja dia tidak berhasil menyusul Swi Nio dan Toan Ki.
Bahkan ketika dia tiba di Puncak Awan Merah, tempat tinggal Tee‐tok
Siangkoan Houw, di tempat ini dia hanya disambut oleh Ang‐in Mo‐ko Thio
Share This Thread