KAGET! itulah hal pertama yang kurasakan. Namun, maksud dan pikirannya merasuk dengan cepat kedalam otakku, begitu melihat ekspresi ketakutannya ketika sesaat ia melirik kearah Scarlet.
Gadis berambut hitam disampingku terbangun dari tidurnya, dan mendapati kakakku sedang berdiri didepan ruangan ini. Ia menoleh kearahku untuk minta penjelasan, namun diurungkan niatnya begitu melihat ekspresi wajahku yang sama terkejutnya.
“Apa.. apa maksudmu, kak.”
Ia menarik nafas sejenak, dan mulai berkata, “Guardian, sebentar lagi mereka akan datang... untuk menangkapnya.”
“Ap.. apa? tapi bagaimana mereka..”
Kakakku hanya menggeleng, “Tanpa sengaja aku mendengar beberapa guardian, membicarakannya. Mereka tahu dia ada disini...” Ia tampak kesulitan merangkai kata, tipikalnya saat sedang gelisah. “Mereka berbicara tentang misi... untuk menangkapnya jika saatnya tiba.. setidaknya itu yang kudengar.”
Tubuhku terasa membeku.
Jadi mereka sudah tahu? Tapi, kenapa.. kenapa selama ini membiarkan kami?
Aku termenung ditempat saat itu juga. Berbagai pikiran dan perasaan gelisah mulai datang menyerang. Saat itu juga, waktu diruangan ini terasa berhenti. Tidak ada yang bergerak, tidak ada yang bicara.
Sampai, sebuah sentuhan lembut yang familiar terasa di pundak kananku.
“Hei Gray, kamu sudah berjanji pada gadis ini, kan?”
Aku menatap mata kakakku. Ia kelihatan sedih.
“Anak laki-laki tidak boleh mengingkari janjinya loh..”
Aku tertawa kecil mendengar perkataannya, “Sampai kapan kau mau terus menganggapku anak-anak, kak.”
Aku menggenggam pergelangan tangannya, kemudian menciumnya. Rasanya mataku perih karena ingin menangis, tapi aku tidak boleh. Didepan gadis ini.. didepan Scarlet. Aku sudah berjanji akan melindunginya, tidak boleh ada penyesalan.
“Hati-hati ya, kak,” kataku sambil tersenyum seyakin mungkin.
Kakakku balas tersenyum, air mata yang sejak tadi di tahannya merembes keluar perlahan. Tapi rasa takut di wajahnya sudah pudar sama sekali.
Aku menarik tangan Scarlet dengan perlahan dan menuntunnya berdiri.
“Ayo kita pergi.” Aku berkata dengan lembut.
Scarlet tampak bingung, tapi ia tetap menurut.
Aku berjalan perlahan, melewati kakakku yang sedang berdiri termenung menatap lantai kayu yang dingin. Aku berhenti sejenak didepan pintu dan berkata,
“Aku akan.. “ Aku menggeleng cepat, “Aku pasti pulang, kak.. Aku janji..”
Kepalaku terasa sakit karena serangkaian pikiran yang kembali menyerang, begitu aku melangkahkan kaki keluar dari rumah. Bagaimanapun, aku tidak bisa menyangkalnya. Karena keegoisanku, kakakku tidak mungkin lolos dari hal ini begitu saja begitu mereka mengetahui aku dan Scarlet sudah tidak ada lagi di rumah ini. Belum lagi, May dan Ron, tanpa sadar aku juga sudah melibatkan mereka berdua. Bukannya tidak mungkin mereka akan di curigai bersekongkol denganku karena orang-orang mungkin sudah melihat kami berempat berjalan bersama di tengah desa.
Setidaknya, aku harus memperingatkan mereka.
Aku berbelok di persimpangan yang akan mengarahkan kami ke padang rumput, melewati beberapa gang yang berliku, dan sampai di depan sebuah rumah dengan pagar kayu setinggi 1,5 meter, mengelilingi pekarangan luas yang merupakan kebun bunga pribadi.
“Gray.. rumah ini.”
Aku mengangguk, kemudian berjalan masuk melalui pintu pagar yang tidak terkunci. Aku berjalan ke sisi rumah dan mendapati sebuah jendela kaca yang tertutup gorden dari dalam. Aku mengetuk jendela kaca itu perlahan.
Dalam hitungan detik, gorden yang ada dibalik jendela kaca itu terbuka. Sosok yang membuka gorden itu dari dalam adalah seorang gadis berambut pirang panjang yang dibiarkan tergerai begitu saja, mengenakan sweater putih tanpa lengan yang tampak tidak kontras di kulitnya.
“Gray, kunjungan yang tidak biasa,” kata May sambil membuka jendela kacanya, tampak kaget melihatku berdiri didepan dinding kamarnya bersama Scarlet pada tengah malam seperti ini.
“Maaf mengganggu,” kataku sambil tersenyum canggung. “Aku ingin bicara.”
Ia melompat dengan anggun dari balik jendela itu, dan mendarat didepanku dengan kedua kakinya menapak tanah tanpa bersuara sedikitpun.
“Tengah malam begini?” Ia balas tersenyum.
“Maaf... ini tidak bisa ditunda lagi.”
“Kalau begitu bicaralah,” katanya sambil menatapku. Kedua pasang mata kami hanya berjarak kurang dari 50 sentimeter.
Jadi aku menjelaskan semuanya.
Mata May tampak terbelalak menerima semua informasi yang kubeberkan padanya. Ia terdiam sesaat sambil memandang kosong kearah lain. Aku terus menatap wajahnya dengan sedih, bertanya-tanya apa reaksinya setelah ini. Marah? Kecewa? Keduanya mungkin.. aku sudah membohonginya, mengkhianatinya sebagai teman.
“Sulit dipercaya memang, tapi semua yang kuceritakan barusan sepenuhnya fakta. Maaf sudah membohongimu... May.”
Dia menghela nafas sejenak, kemudian meninju bahuku sambil tersenyum.
“Tidak apa-apa, aku mengerti kok.”
Aku agak terkejut mendengar jawabannya.
“Kamu tidak marah? Aku sudah membohongimu..”
“Tentu saja aku kesal, bodoh!” Ia menusukkan jari telunjuknya pada dahiku, “Tega-teganya kamu merahasiakan hal sepengting ini dari sahabat-sahabatmu.”
“Ma.. maaf.”
“Tapi aku mengerti kok.. kamu mengambil keputusan ini, karena tidak mau melibatkan kami.. karena mengkhawatirkan aku dan Ron, kan?” Ia tersenyum sambil mencondongkan wajahnya padaku.
Aku menoleh kearah lain, kemudian berkata, “Yah.. begitulah.”
“Heheh.. Gray, kamu pintar, tapi ketika dalam kondisi tanpa pertahanan seperti ini, kamu jadi gampang sekali ditebak.”
Aku tersenyum sejenak sambil memandangnya, ”Beritahu Ron tentang hal ini ya, mungkin aku tidak akan sempat mengunjunginya.”
“Tidak sempat atau tidak mau? Dia pasti langsung mengamuk sedetik setelah kamu selesai menjelaskan semuanya.”
“Tidak diragukan lagi.”
Kami berdua tertawa.
“Tetap saja.. kamu serius, mau pergi?”
Aku menoleh kearah Scarlet yang dari tadi berdiri sambil bersandar di pagar kayu.
“Aku sudah berjanji.. ini pilihanku.”
May memandang kearah tanah, entah kenapa ekspresinya tampak sangat kesepian. Sambil tersenyum sedih ia berkata, “Aku mengerti, hanya saja..” Ia menggeleng cepat. “Kalau kamu berjalan dari sini kearah utara menyusuri pagar pembatas sampai jalur mulai menanjak, kamu bisa menemukan lubang dibagian bawah pagar. Cukup untuk dimasuki satu orang.”
Aku terbelalak mendengar informasi itu. Tadinya aku berniat keluar dari desa melalui pintu masuk hutan, dan menghajar Guardian yang sedang berjaga. Spontan aku menggenggam kedua tangannya.
“Terimakasih May, kamu tidak tahu betapa berharganya informasi ini..”
“Tidak ada gunannya menahanmu, kupikir sedikit bantuan seperti ini akan lebih baik.”
“Terimakasih.” Aku tersenyum padanya.
Ekspresi sedih itu masih belum pudar, namun ia balas tersenyum. Aku merasakan genggaman tangan May bergetar sesaat..
Angin berhembus diantara kami. Sepasang mata biru milik May menatap lurus kearah mataku, lagi-lagi tatapan yang sama seperti saat ia menundukkan kepalanya tadi. Ia tidak pernah bertingkah seperti ini sebelumnya.
Dan, sedetik kemudian ia berjinjit untuk menciumku.. MAY MENCIUMKU!!
Semuanya terjadi begitu cepat, aku tidak tahu bagaimana tapi aku tidak dapat menolaknya. Aku tidak bisa tidak melihat wajah beserta kedua matanya yang terpejam saat itu juga.
“A.. aahh..” Kemampuanku untuk berkata-kata entah kenapa hilang begitu saja.
May tidak bisa menyembunyikan wajahnya yang mulai berubah merah, tapi dia tetap menatapku. Kini tangannya bali meremas tanganku.
“Kamu harus pulang, janji?”
Aku terdiam sesaat, butuh waktu empat detik sampai otakku kembali bekerja, aku mengangguk sekali padanya.
“Tentu saja.. Aku janji..”
Ia melepas kedua tangannya, kemudian menoleh kearah Scarlet.
“Semoga beruntung,” katanya sambil tersenyum tulus.
“Lihat, May benar,” kataku sambil menunjuk kebawah.
Kami berdua berhasil merangkak masuk ke celah yang tampaknya sudah ada ditempat ini selama bertahun-tahun. Dibalik pagar ini, adalah hutan belantara tanpa ada jalan setapak. Hutan dimalam hari sangat berbeda, kegelapan malam yang pekat dulu membuatku hampir tidak bisa membedakan warna kayu dan daun. Namun, sekarang mataku sudah cukup terlatih untuk melihat hampir semua objek di kegelapan ini. Tanpa ragu, aku berlari sambil menggandeng tangan Scarlet melewati semak dan pepohonan yang bertebaran di depan kami.
“Maaf,” katanya tiba-tiba.
“Ada yang salah?” tanyaku.
Aku agak penasaran tentang kondisi Scarlet sejak kami meninggalkan rumah May. Biasanya ia memang pendiam, tapi kali ini berbeda. Dia tampak tidak bersemangat, dan ekspresinya tampak lesu.
Aku membayangkan ciumanku dengan May beberapa saat yang lalu, wajahku sesaat berubah merah. Jangan-jangan..
Scarlet menggeleng perlahan, “Karena aku, kalian semua kerepotan begini.”
Oh.. ternyata bukan karena itu.
“Tidak ada gunannya minta maaf, mau kamu katakan seratus kali juga tidak ada yang akan berubah. Semua yang sudah terjadi, terjadilah.” Aku berkata tanpa menoleh kearahnya. “Jadi, aku tidak ingin dengar lagi kata-kata tidak berguna seperti itu dari mulutmu, ini pilihanku, dan kau tidak perlu minta maaf karenanya.”
Genggaman tangannya agak menegang. Aku menoleh kearahnya, namun ia sedang memalingkan wajahnya kebawah. Sekilas, mungkin hanya perasaanku tapi kurasa aku baru saja melihat rona merah diwajahnya.
Aku menuntun Scarlet melompati sederetan batu yang akan membawa kami keseberang sungai. Ia tampak tidak kesulitan melakukannya, tapi akan sangat berbahaya jika kami kehilangan pijakan karena kegelapan ini. Kami baru saja berhasil menyebrangi sungai dan berjalan beberapa meter, sampai sebuah pisau menancap tepat di sebuah pohon yang jaraknya hanya satu meter dari telinga kananku. Spontan, aku menoleh kebelakang, menyusuri dari arah mana pisau ini datang.
Harusnya aku sudah tahu..
“SUDAH KUBILANG, JANGAN LEWATI BATAS SUNGAI!!”
Suara Bruno menggelegar di tengah udara malam.