Ada hikmah di balik gerakan politik akhir-akhir ini. Figur Gus Dur ternyata
telah mampu mencairkan kebekuan antar idiologi politik di Indonesia. Padahal
pada awalnya, partai-partai saling berkelahi secara idiologis mirip jaman
Nasakom dulu. Yang mengatakan partai Islam sibuk menjegal capres dari partai
Nasionalis dengan berbagai senjata politik. Yang sebaliknya juga terjadi.
Pertempuran tak hanya terjadi di forum wacana politik tetapi juga di
jalan-jalan. Sementara ribuan orang pro idiologi Islam turun ke jalan
meneriakkan yel-yel anti Mega, massa Mega di Bundaran HI mengumandangkan
"Megawati atau Revolusi".
Sekarang kejadiannya benar-benar di luar dugaan. Mereka yang dulu
habis-habisan menjegal Mega justru ingin mengantarkan Mega ke kursi
presiden. Terlepas dari motivasi politik di balik itu, itu merupakan
perkembangan yang luar biasa. Pencairan idiologi! Apakah ini pertanda "the
end of idiology"? Idiologi nasionalisme dan agama menjadi mendekat dan
sebagian berimpit. Proses deidiologisasi politik ini patut disambut, karena
lebih menjamin kestabilan politik Indonesia di masa mendatang. Proses ini
akan menjadi setingkat lebih matang apabila sistem pemilu mendatang
menggunakan sistem campuran antara distrik dan proporsional.
Perkembangan ini bisa dikatakan prestasi Gus Dur dalam demokratisasi di
Indonesia, di samping prestasinya dalam demiliterisasi politik,
sekularisasi, pluralisme, serta deorbanisasi Indonesia. Tak bisa dipungkiri
Gus Dur telah memberi sumbangan yang berarti bagi nation character building,
meskipun masih belum tuntas.
Tapi figur seseorang hanya cocok untuk kebutuhan jaman tertentu. Apakah Gus
Dur sudah tidak cocok untuk jaman di mana good governance sangat diperlukan?
Ataukah jaman masih membutuhkan Gus Dur untuk membuka frontier baru? Bisa
jadi keduanya benar. Tinggal sekarang bagaimana para elit politik
menjembataninya.
Sumber :
http://www.library.ohiou.edu/indopub...3/08/0010.html