[Cerpen]Antara Perasaan dan Profesionalisme
Jujur aja, judulnya baru saya pikirin pas mau posting sekarang ini. Padahal cerita ini udah selesai dari bbrp tahun yg lalu ^^a
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ada kalanya, kita harus berhadapan dengan suatu situasi dimana muncul pertanyaan :
Mana yang akan kau pilih; Perasaan hati ataukah profesionalisme pekerjaan ?
Suatu pertanyaan yang teramat sulit, apalagi jika keduanya saling bertentangan.
Tidak pernah terbayangkan olehku, malam itu akan menjadi malam paling menyedihkan dalam hidupku. Hanya dalam waktu satu malam, aku kehilangan orang-orang yang sangat berarti bagiku. Pada hari itu, sebagai seorang dokter, seperti biasa aku pulang larut malam akibat banyaknya pasien yang harus kutangani. Sesampai di rumah, aku merasa bingung ketika melihat rumahku dalam keadaan gelap. Apalagi ketika melihat pintu depan rumahku tidak terkunci. Dengan jantung berdebar, aku melangkah masuk ke dalam rumah. Firasatku benar; Di ruang tamu, seisi ruangan berantakan. Aku segera berlari ke ruangan lainnya. Di ruang makan, aku terjatuh akibat tersandung sesuatu. Ketika melihat benda yang menghalangi langkahku, hampir saja aku pingsan. Tubuh putraku yang baru berusia 5 tahun, terbaring di lantai bersimbah darah. Tetapi aku masih dapat menahan diri. Tiba-tiba kudengar suara-suara dari lantai dua. Dengan cepat aku menaiki tangga, lalu langsung menuju ruangan tempat suara tersebut berasal; Yang ternyata adalah kamarku. Ketika membuka pintu kamar, darahku langsung mendidih. Apa yang kulihat benar-benar bukanlah perbuatan seorang manusia. Di dalam keremangan cahaya rembulan yang masuk menembus jendela, aku melihat tubuh istriku terbaring sekarat dalam keadaan tanpa busana, dan ada seseorang yang sedang memperkosanya. Orang itu terkejut ketika melihatku membuka pintu, lalu ia mendorong tubuhku hingga terhempas ke dinding. Aku berhasil menjegalnya, dan kami terlibat pergumulan sesaat, sebelum akhirnya ia berhasil menusuk pinggangku lalu melarikan diri. Karena orang itu memakai penutup kepala, aku tidak dapat melihat wajahnya. Aku hanya sempat melihat sekilas, bahwa orang itu mempunyai bekas luka memanjang di lengannya. Sambil memegang pinggangku yang terluka, aku merangkak menuju tubuh istriku. Melihat luka di perutnya yang begitu dalam, aku sadar, bahwa istriku tidak dapat diselamatkan. Aku hanya dapat memegang tangannya, sementara air mataku mengalir deras.
“Ri..chard, aku.. ta..kut... A..pa aku a..kan ma..ti ?”
“Tidak sayang, kamu akan baik-baik saja. Aku khan dokter, pasti aku dapat menyelamatkanmu.”
“Te..tapi, menga..pa.. semua..nya se..makin ge..lap ? Bah..kan a..ku tidak.. da..pat me..lihat wa.. jahmu.. la..gi ?”
Saat itu, mulutku terkunci. Pikiranku terasa begitu hampa, dan di dalam hati, aku terus bertanya kepada Tuhan; Mengapa Ia begitu kejam membiarkan kejadian ini menimpa keluargaku ?
“Ri..chard, di..ngin.. se..kali... To..long, Rich...”, kalimat itu tidak terselesaikan. Mata istriku menatap kosong ke langit-langit, dan lengannya terkulai dalam genggamanku.
“Ti.. tidak mungkin ! Marie, bangunlah ! Katakanlah padaku, ini bohong khan ? Marie.. Marie.. MARIEE !”, suaraku menggema dalam kesunyian malam.
Upacara pemakaman berlangsung sederhana, ditengah hujan rintik-rintik. Pengunjung yang datang hanya rekan sekerjaku, karena sejak awal, pernikahanku dengan Marie memang tidak direstui oleh keluarga kami masing-masing. Walau upacara telah selesai, aku masih berdiri mematung di depan makam istri dan putraku. Aku masih tidak dapat percaya, mereka telah tiada.
‘Aku tidak tahu, sayang, apakah aku pantas menjadi istrimu. Tetapi, aku akan berusaha.’
‘Papa, Keith mendapat pujian dari Bu guru ! Kata beliau, gambar Keith bagus, dan akan dipajang di dinding kelas.’
‘Aku sangat mencintaimu, Richard.’
Suara-suara itu terus terngiang-ngiang di telingaku. Air mataku kembali mengalir di pipiku, menyatu dengan air hujan. Hingga akhirnya aku jatuh berlutut sambil menutup wajahku.
... Ini tidak adil; Benar-benar tidak adil ! Tuhan, mengapa Engkau merenggut istri dan anakku dari sisiku ?! Apa salahku hingga semua ini menimpa keluargaku ?! ...
Tiba-tiba terdengar sebuah teguran ramah, “Dokter Richard, apa Anda baik-baik saja ?”
Aku menengok; Dokter kepala Lans berdiri di sampingku. Aku menghapus air mata dari pipiku.
“A.. aku baik-baik saja. Walau semua ini terasa berat, tetapi pastilah aku dapat melewatinya.”
“Aku tidak tahu, bantuan apa yang dapat kuberikan padamu. Tetapi jika ada, katakanlah, aku pasti akan membantumu.”
“Terima kasih, Dokter Lans.”
Aku menengok sesaat ke arah kedua makam itu, lalu melangkah pergi bersama Dokter Lans.
Agar tidak terlalu merasa tertekan akibat kejadian itu, aku selalu berusaha menyibukkan diri dalam pekerjaan. Akibatnya, aku harus beristirahat selama beberapa hari karena kelelahan.
“Jangan terlalu memaksakan diri, Dokter Richard. Aku mengerti, apa yang Anda lakukan demi menutupi kesedihan Anda. Tetapi akibatnya, Anda terlalu lelah hingga jatuh sakit. Bukankah ketika itu sudah kukatakan, apabila ada yang dapat kubantu, katakan saja.”
Aku terdiam sejenak, lalu berkata, “Sebenarnya aku sendiri tidak mengerti, mengapa aku tetap hidup. Dua orang yang sangat berarti dalam hidupku telah tiada, dan aku tidak diterima oleh keluarga sendiri, sepertinya apapun yang kulakukan tidak ada gunanya lagi.”
Dokter kepala Lans menarik nafas dalam-dalam
“Jangan berpikir seperti itu, dokter. Apakah Anda telah lupa, mengapa kita memilih jalan hidup sebagai seorang dokter ? Karena dengan kemampuan dan tenaga kita, kita dapat menyelamatkan nyawa orang lain ! Bukankah karena hal tersebut, maka walau sering tidak bisa pulang karena tugas malam dan mendapat penghasilan tidak seberapa, tetapi kita melakukannya dengan tulus ?”
Mendengar kata-kata Dokter Lans, aku tertegun.
... Benar juga. Aku telah melupakan idealisme seorang dokter ...
“Ma.. maaf. Anda benar, aku hanya memikirkan diri sendiri saja.”
Dokter Lans tersenyum.
“Istirahatlah yang cukup. Lalu setelah pulih, Anda bisa kembali bekerja. Tetapi ingatlah, jangan terlalu memaksakan diri.”
Aku mengangguk.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
oK, bagian pertama dulu deh. Nanti baru bagian keduanya...