Memindahkan Ibukota dari Jakarta?
Memindahkan Ibukota dari Jakarta?
Posted under:
* Opinion
at 01:37
Kalau kita perhatikan semuanya ada di Jakarta, mulai dari ibukota negara, kantor-kantor pemerintahan, kantor-kantor pusat BUMN, pusat perdagangan, konsentrasi populasi, pusat perindustrian dan lain-lain. Kondisi ini tentu tidak ideal, fungsi yang satu seringkali menghambat fungsi yang lain. Idealnya, beberapa fungsi tersebut perlu dipindahkan ke kota lain. Memindahkan aktivitas perekonomian akan sangat sulit, tapi bukan tidak mungkin fungsi sebagai ibukota dipindahkan ke kota lain.
Memindahkan ibukota bukan hal baru. Indonesia pernah terpaksa memindahkan ibukotanya ke Yogyakarta dan Bukittinggi akibat perang kemerdekaan. Rencana untuk memindahkan ibukota juga bukan tidak ada. Pemerintah Hindia Belanda pernah mempersiapkan Bandung sebagai ibukota negara untuk menggantikan Batavia, tetapi rencana ini gagal akibat Perang Dunia II. Mantan Presiden Soekarno juga pernah merencanakan Palangkaraya sebagai ibukota negara, tetapi belum sempat terealisasi.
Kalau memang ada niat untuk memindahkan ibukota, maka ada dua pilihan: memanfaatkan kota yang sudah ada, atau merancang daerah khusus ibukota sejak awal. Wikipedia mencatat ada beberapa ibukota negara yang dirancang khusus sebagai daerah ibukota, misalnya Brasilia, New Delhi, Canberra dan Washington, DC. Kelebihan kota-kota ini adalah bahwa kota-kota ini didesain khusus dari awal sebagai daerah ibukota, tidak seperti Jakarta yang terbentuk akibat urbanisasi.
Selain itu, beberapa negara memiliki lebih dari satu ibukota. Sebagai contoh Malaysia memiliki dua kota yang berfungsi sebagai ibukota: Kuala Lumpur dan Putrajaya, atau Belanda yang memiliki Amsterdam dan Den Haag. Bahkan Afrika Selatan memiliki tiga buah ibukota sekaligus: Pretoria, Cape Town dan Bloemfontein.
Kemudian ada pilihan untuk menggunakan lahan di dekat ibukota lama, atau memakai lahan di tempat yang sama sekali baru yang posisinya berada lebih di tengah Indonesia. Pilihan pertama memiliki kelebihan dapat memanfaatkan prasarana yang sudah ada di ibukota yang lama. Yang diperlukan hanyalah transportasi yang memadai dari ibukota lama ke ibukota yang baru. Sedangkan pilihan kedua jauh lebih mahal karena semua infrastruktur harus dibuat dari awal, tetapi lebih baik secara politis karena letaknya berada di tengah-tengah negara.
Pilihan pertama dilakukan oleh Malaysia yang sedikit demi sedikit memindahkan fungsi ibukota dari Kuala Lumpur ke Putrajaya. Selain itu Filipina juga melakukannya untuk Quezon City. Sementara itu Brazil memilih pilihan kedua dengan membuat kota Brasilia di tengah-tengah negara. Kabarnya, pilihan Brazil ini sempat melilit negara ini ke dalam jeratan hutang. Tetapi saat ini Brasilia adalah salah satu kota terbaik di Brazil, dan pembangunan Brazil menjadi lebih merata.
Usulan pemindahan ibukota Indonesia kini mulai terdengar lagi. Berdasarkan pencarian di Internet, kandidat-kandidatnya adalah: Jonggol, Palangkaraya, Batulicin, Subang, dan Sukabumi. Kandidatnya memang sudah ada, tapi rasanya realisasinya masih lama sekali.
Masih layakkah Jakarta sebagai ibu kota negara?
Kondisi Jakarta sebagai Ibu Kota
Masalah banjir Jakarta memang sulit diatasi tanpa ada suatu usaha menyeluruh dan terpadu. Amblesan tanah akibat penurapan airtanah yang berlebih menjadi salah satu penyebab daerah menjadi sasaran banjir. Secara alami, Jakarta memang rawan terhadap banjir karena terletak pada kipas aluvial yang berkembang dari Selatan (Bogor) dan dialiri oleh 13 sungai dengan daerah hulunya bercurah hujan tinggi, yang sebagian lahannya telah terbangun.
Faktor alami lainnya adalah di bagian Utara terdapat beting gisik (beach ridges) yang dapat menghambat aliran ke laut Teluk Jakarta. Sebenarnya pada beting gisik itupun terdapat cekungan antar beting yang dapat berfungsi sebagai penampung air, namun itupun sudah terbangun. Demikian juga sebagian besar situ-situ yang berfungsi sebagai penampung dan pengendali air hujan lokal itupun sudah menjadi lahan permukiman.
Hampir setiap tahun terjadi banjir yang besarnya bervariasi. Banjir yang terjadi pada tahun 2007 merupakan yang terbesar, hampir mencakup 70% wilayah Jakarta. Akibat banjir 2007 tersebut menimbulkan pemikiran atau gagasan untuk memindahkan Ibu Kota Jakarta. Banjir dijadikan salah satu pemicu ide untuk memindahkan ibu kota.
Gagasan untuk memindahkan ibu kota negara telah mengemuka dalam berbagai kesempatan, antara lain tanggal 20 Mei 1988 ketika berlangsung gerakan reformasi. Waktu itu kondisi Jakarta sangat mengkhawatirkan sehingga muncul gagasan spontan, agar Yogya untuk menerima kembali fungsi ibu kota pemerintahan.
Pemikiran untuk memindahkan ibu kota negara juga datang dari Ketua DPR Agung Laksono dengan argumentasi sedikit berbeda, dan menyatakan bahwa Jakarta sudah saatnya kantor presiden yang menjadi pusat pengendali pemerintahan dipindahkan ke tempat yang lebih kondusif.
Secara keruangan Jakarta sudah terlalu padat penduduk, sebagai pusat pemerintahan, perdagangan, perindustrian, pariwisata dan tata ruangnya semrawut, pemanfaatan lahan yang saling kontradiktif banyak terjadi. Pembangunan fisik terus dipacu tanpa arah yang jelas.
Mungkinkah Jakarta saat ini dinilai sudah kelebihan beban, baik secara ekonomi maupun sosial, sehingga Jakarta sudah bersifat multi fungsi ?
Masih layakkah Jakarta sebagai ibu kota negara?
Kondisi umum tersebut memunculkan beberapa pertanyaan.
Ibu kota negara menjadi simbol suatu negara untuk menunjukkan jati diri dan harga diri suatu bangsa dan negara. Kondisi umum yang mencitrakan Jakarta sebagai ibu kota negara adalah tata ruangnya yang semrawut, banyak terjadi kemacetan lalu lintas, tingginya ketimpangan sosial ekonomi, tata guna lahan tumpang tindih, terjadi pencemaran udara dan air, dan sering dilanda bencana banjir.