-
ada bbrp artikel yg pernah g baca, emang global warming ini terjadi karna alami, dan manusia hny 3% menimbulkan karbon dioksida yg mengakibatkan global warming... g c ga stuju, mungkin menurut g bisa lebih manusia menciptakan karbon dioksida, karna liat lah manusia2 sekarang yg mempercepat global warming ini (kalian tw kan apa yg bikin cpt global warming??), ga mungkin kan cm 3% dari manusia sendiri ??
mk na sekarang harus melakukan cara2 kyk menanam poon bwt memperlambat terjadi na global warming.. ini jg berguna bwt generasi2 qta selanjut nya low :D
matahari hny beberapa persen menimbulkan global warming jadi dampak na jg kena d planet2 lain.. tp cm d bumi yg kyk na lbh parah.. :D
g rasa pernyataan dari prof2 itu cm bwt bikin agar ga panik atw semacam na gitu d... :)
-
Matahari Tidur, Bumi Membeku
YUNI IKAWATI
Cuaca dingin ekstrem melanda kawasan lintang tinggi bumi. Fenomena ini, antara lain, disebabkan oleh matahari yang tidur berkepanjangan. Dampaknya menjadi terasa berat karena semakin diperparah oleh adanya pemanasan bumi dan perubahan iklim global.
Sejak Desember lalu, suhu ekstrem terus melanda kawasan Lintang Utara, yaitu mulai dari benua Amerika, Eropa, hingga Asia. Di Eropa, suhu dingin bulan lalu pernah mencapai minus 16 derajat celsius di Rusia dan minus 22 derajat celsius di Jerman. Bagi Inggris, ini suhu ekstrem terdingin dalam 30 tahun terakhir. Jalur transportasi ke Perancis lumpuh.
Amerika Serikat pun mengalami hal yang sama. Serbuan cuaca ekstrem ini berdampak pada kegagalan panen di Florida dan menyebabkan dua orang meninggal di New York.
Kejadian luar biasa yang berskala global ini diyakini para pengamat meteorologi dan astronomi berkaitan dengan kondisi melemahnya aktivitas matahari yang ditandai menurunnya kejadian bintik matahari atau sunspot .
Bintik hitam yang tampak di permukaan matahari melalui teropong bila dilihat dari sisi samping menyerupai tonggak yang muncul dari permukaan matahari. Tonggak itu terjadi akibat berpusarnya massa magnet di perut matahari hingga menembus permukaan.
Akibat munculnya bintik hitam berdiameter sekitar 32.000 kilometer atau 2,5 kali diameter rata-rata bumi, suhu gas di fotosfer dan khromosfer naik sekitar 800 derajat celsius dari normalnya. Hal ini dapat mengakibatkan badai matahari dan ledakan cahaya yang disebut flare.
Namun, yang terjadi beberapa tahun terakhir ini adalah matahari non-aktif. Menurunnya aktivitas matahari itu berdasarkan pantauan Clara Yono Yatini, Kepala Bidang Matahari dan Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), mulai terlihat sejak tahun 2000.
Para pakar astrofisika matahari di dunia menyebutkan, tahun 2008 sebagai tahun dengan hari tanpa bintik matahari yang tergolong terendah dalam 50 tahun terakhir. Mereka memperkirakan beberapa tahun sesudah 2008 akan menjadi tahun-tahun yang dingin, kata Mezak Ratag, pakar astrofisika yang tengah merintis pendirian Earth and Space Science Institute di Manado, Sulawesi Utara.
Pengukuran kuat medan magnet bintik matahari dalam 20 tahun terakhir di Observatorium Kitt Peak Arizona menunjukkan penurunan. Dari medan magnet maksimum rata-rata 3.000 gauss pada awal 1990-an turun menjadi sekitar 2.000 gauss saat ini.
Penurunan sangat signifikan ini merupakan bukti bahwa hingga beberapa waktu ke depan matahari masih akan pada keadaan malas, kata Mezak. Ia memperkirakan kalau aktivitas maksimumnya terjadi pada sekitar tahun 2013, tingkatnya tidak akan setinggi maksimum dalam beberapa siklus terakhir.
Matahari dan iklim
Saat matahari redup berkepanjangan, musim dingin ekstrem berpotensi terjadi. Karena mataharisumber energi bagi lingkungan tata suryaadalah penggerak mesin iklim di bumi.
Sejak 1865, data di Lapan menunjukkan kecenderungan curah hujan berkurang saat matahari tenang. Demikian pula musim dingin parah sejak akhir 2009 terjadi saat matahari amat tenang ( deep minimum ) mirip kejadian 1995 -1996, urai Thomas Djamaluddin, Kepala Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim Lapan.
Bukti keterkaitan dengan perilaku matahari ini ditunjukkan oleh fenomena kebalikannya, yaitu musim dingin minim salju, saat matahari aktif pada tahun 1989. Musim dingin sangat panjang terjadi saat minimum Maunder tahun 1645-1716 dan minimum Dalton awal 1980-an.
Kondisi serupa terjadi pada 1910-1914. Itu banyak dikaitkan dengan dinginnya laut pada musibah tenggelamnya Titanic pada April 1912. Normalnya, waktu itu sudah musim semi.
Sementara itu, Mezak berpendapat, pola aktivitas matahari minimum saat ini mirip dengan kejadian tahun 1880, 1890, 1900, dan 1910. Jadi, siklus matahari tidak hanya menunjukkan siklus sebelas tahun. Ada siklus lebih panjang dengan periode sekitar 100 tahunsiklus Gleisberg. Dalam catatan meteorologis, saat terjadi siklus itu banyak cuaca ekstrem dingin, tetapi tidak seekstrem Minimum Maunder.
Cuaca dan GRK
Efek aktivitas matahari minimum lebih banyak memengaruhi daerah lintang tinggi. Aktivitas matahari sejak sekitar tahun 2007 hingga kini memperbesar peluang terjadinya gradien suhu yang besar antara lintang tinggi dan lintang rendah. Akibatnya, kecepatan komponen angin arah utara-selatan (meridional) tinggi.
Prof CP Chang, yang mengetuai Panel Eksekutif Monsun Badan Meteorologi Dunia (WMO), berkesimpulan, aktivitas monsoon lintas-ekuator yang dipicu gradien suhu yang besar di arah utara-selatan akhir-akhir ini meningkat secara signifikan dibanding dengan statistik 50 tahun terakhir.
Hal ini memperkuat dugaan, aktivitas matahari minimum yang panjang berkaitan erat dengan cuaca ekstrem dingin. Di Indonesia, kejadian angin berkecepatan tinggi lintas ekuator menjadi penyebab utama munculnya gelombang-gelombang tinggi dari Laut China Selatan ke perairan Laut Jawa.
Adanya gas rumah kaca di atmosfer, lanjut Thomas, juga meningkatkan suhu udara yang menyebabkan perubahan iklim. Efek gabungannya cenderung tingkatkan kerawanan bencana terkait iklim, kata Thomas.
Teori pemanasan global mengatakan, atmosfer yang memanas membuat partikel-partikel udara menjadi semakin energetik dan berpotensi menghasilkan cuaca ekstrem.
http://www.fisikanet.lipi.go.id/
-
Bukan Hanya Bumi yang Mengalami...
http://stat.k.kidsklik.com/data/phot...24/154926p.jpg
Citra inframerah dan foto biasa badai di atmosfer Jupiter
Senin, 24 Agustus 2009 | 07:42 WIB
Oleh Yulvianus Harjono
KOMPAS.com - Dalam 100 tahun terakhir, temperatur global di planet Bumi meningkat 0,6 derajat celsius. Yang mencengangkan, kondisi senada—pemanasan—ternyata juga terjadi di planet-planet lain dalam sistem Tata Surya dalam waktu yang hampir bersamaan.
Temuan ini merupakan hasil pengamatan yang dilakukan para ilmuwan: astronom dan astrofisikawan, selama dua dasawarsa terakhir pada planet-planet tetangga Bumi yang ada di orbit Matahari, sumber energi utama kehidupan di Bumi.
Neptunus, planet intersolar terjauh dengan jarak rata-rata 4.450 juta kilometer dari Matahari, adalah salah satu yang mengalami fenomena turbulensi iklim ini. Dari hasil fotometri rutin oleh Observatorium Lowell di Amerika Serikat, sejak 1980 hingga sekarang Neptunus makin terlihat cemerlang.
Dari hasil pemantauan inframerah, seperti diungkapkan HB Hammel dan GW Lockwood, permukaan planet berwarna biru ini terus memanas dalam kurun waktu dua dasawarsa terakhir. Fotometri menunjukkan kenaikan signifikan. Dari sebelumnya 7,97 magnitude (mag) pada 1950 menjadi 7,81 mag di 2004. Semakin rendah angka magnitude, semakin cemerlang planet yang diamati.
Gejala sama terjadi di Triton, satelit alamiah terbesar yang mengelilingi Neptunus. Terhitung sejak 1989, suhu di permukaan Triton memanas signifikan hingga 5 persen dari skala temperatur absolut planet ini—setara kenaikan 22 derajat Fahrenheit.
Berdasarkan pemantauan wahana Voyager pada 1989, Triton memiliki suhu dingin ekstrem, yaitu rata-rata minus 392-389 derajat Fahrenheit (minus 200-198 derajat celsius). Namun, tren pemanasan ini mengakibatkan sebagian permukaan Triton yang terdiri dari nitrogen beku berubah menjadi gas. Ini membuat atmosfernya yang terkenal tipis menjadi kian tebal.
Seperti dikutip dari jurnal Nature, James L Elliot, astronom dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), mengungkapkan, perubahan iklim di salah satu bulan Neptunus ini terjadi sekali dalam beberapa ratus tahun akibat perubahan absorpsi energi solar di kutub-kutub es Triton.
Badai raksasa di Yupiter
Tren perubahan iklim juga terjadi di Yupiter, planet terbesar tata surya. Science Daily, Mei 2008, melaporkan, dalam dua tahun terakhir sebelum laporan dirilis, terjadi peningkatan aktivitas badai raksasa di atmosfer Yupiter. Teleskop Hubble menangkap citra yang menunjukkan terbentuknya titik merah (red spot) baru di planet ini.
Badai besar berukuran hingga 0,5 miliar mil ini kemudian disebut ilmuwan sebagai ”Red Spot Jr”. Badai yang tergolong langka ini terbentuk dari hasil penggabungan tiga badai oval berwarna putih pada kurun waktu 1998-2000. Hal serupa pernah terjadi seabad lalu, yaitu ketika terbentuk ”Great Red Spot” berukuran dua kali Bumi.
Menurut Phillip S Marcus, profesor dinamika fluida dari University of California, Berkeley, Yupiter mengalami perubahan iklim, yaitu suhu permukaan meningkat sebesar 10 derajat celsius. Kawasan ekuator menghangat, sementara wilayah di dekat kutub selatan semakin dingin. ”Aktivitas awan di sana dalam dua setengah tahun terakhir menunjukkan hal yang dramatis, sesuatu yang tidak lazim telah terjadi,” ujar Phillip.
Saat belum ada penjelasan yang utuh dan menyeluruh soal benang merah terjadinya perubahan iklim di planet-planet intersolar ini, astronom juga mengungkapkan, planet kerdil (Pluto) mengalami tren perubahan iklim senada. Apalagi, Pluto yang dicoret statusnya sebagai planet terletak sangat jauh dari Matahari, yaitu 6 miliar kilometer atau sekitar 40,5 satuan astronomi atau sekitar 40 kali jarak Matahari-Bumi. Tekanan atmosfer Pluto diketahui meningkat tiga kali lipat sejak akhir 1980-an. Diperkirakan, suhu permukaan ikut meningkat rata-rata 2 derajat celsius.
Padahal, tidak ada aktivitas manusia yang menimbulkan efek rumah kaca di sana. Lantas, apa penyebab perubahan temperatur di sejumlah planet dan obyek tata surya ini dalam waktu yang hampir bersamaan?
Matahari disalahkan
Mencoba memberikan benang merah, Habibullo Abdussamatov, Kepala Bidang Penelitian Luar Angkasa di Observatorium Astronomi St Petersburg, Rusia, mengklaim, aktivitas Matahari-lah yang memengaruhi perubahan temperatur di Bumi dan sejumlah planet.
”Efek rumah kaca yang ditimbulkan manusia berkontribusi pada pemanasan di Bumi dalam beberapa tahun terakhir. Tetapi, itu tidak bisa menyamai dampak akibat meningkatnya iradiasi Matahari,” tuturnya.
Abdussamatov merujuk kepada pengalaman di Mars untuk memperkuat dalilnya yang kontroversial ini. Puluhan tahun terakhir ini permukaan Mars diketahui memanas dengan sangat cepat, yaitu empat kali dari laju pemanasan global di Bumi.
Mars, seperti halnya Bumi, diketahui pernah mengalami zaman es. Namun, lapisan es yang menyimpan karbon dioksida (CO) dalam jumlah besar di wilayah dekat kutub selatan Mars telah mencair sangat cepat. Dari 1970 hingga 1990 tercatat, temperatur udara di Mars meningkat 0,65 derajat celsius.
Hammel dan Lockwood juga ikut memperkuat koneksi faktor iradiasi Matahari dengan gejala perubahan iklim di Neptunus. Menurut mereka, koefisien relevansi antara tingkat iradiasi Matahari dan angka kecemerlangan Neptunus mencapai 0,90 atau nyaris sempurna.
Korelasi ini ikut dihubungkan dengan gejala anomali perubahan temperatur di Bumi. Data yang mereka peroleh menunjukkan, variasi perubahan iradiasi Matahari ternyata berbanding lurus pula dengan tren kenaikan suhu di Bumi.
Perubahan energi yang dipancarkan Matahari termasuk beragam variasinya, baik ultraviolet, kosmik, dan inframerah, sangat berkorelasi dengan perubahan temperatur di tiap planet, termasuk Bumi.
Dampak di tiap planet ditentukan faktor lokal, yaitu variasi kemiringan orbit, albedo (kemampuan merefleksikan kembali radiasi sinar ke atmosfer), dan aktivitas geologis seperti erupsi gunung berapi. Aktivitas manusia, yaitu efek rumah kaca, termasuk faktor lokal ini.
Meskipun demikian, mayoritas peneliti menolak anggapan sesuai uraian di atas.
Michaell Mann, meteorolog dari Penn State, Amerika Serikat, menuturkan, perubahan aktivitas Matahari dan segala variasinya hanya memengaruhi 0,1-1 persen iklim di Bumi. Tak cukup kuat untuk memicu perubahan iklim dramatis di Bumi.
Apalagi, tingkat keaktifan Matahari memiliki periode tiap 11 tahun dan saat ini masih dalam fase nonaktif. Sangat jarang terlihat bintik Matahari, salah satu indikator turunnya keaktifan Matahari, akhir-akhir ini.
”Mereka yang tidak bisa menerima eksistensi faktor antropologis (aktivitas manusia) terhadap perubahan iklim, terus mencoba mengarahkannya ke aktivitas Matahari,” ucap Penn.
http://sains.kompas.com/read/2009/08...yang.mengalami...
-
Angin yang lebih dingin dari biasanya dan salju yang dibawa oleh badai Daisy menyebabkan sebagian besar dataran Eropa tertutup oleh tebalnya salju yang mencapai 3 meter, seperti yang terjadi di Pulau Fehmann, Jerman. Badai Daisy yang biasanya hanya membawa salju, sekarang membawa angin dingin yang suhunya mencapai -50 C di pagi hari dan -180 C di malam hari. Badai yang terjadi merupakan badai terdingin dalam 31 tahun terakhir. Kombinasi salju tebal dan angin dingin merupakan kombinasi mematikan yang menghambat kehidupan di sebagian besar daratan Eropa. Hampir semua aspek kehidupan di daratan Eropa terganggu akibat datangnya badai Daisy ini. Mulai dari transportasi, pendidikan, dan lain-lain. Salju yang menutupi jalan, landasan pacu dan rel kereta menyebabkan semua aspek transportasi terganggu. Badai ini juga menyebabkan banyak korban tewas akibat tidak tahan menahan suhu yang dingin. Kebanyakan korban adalah orang tua. Fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di Eropa, namun di seluruh Belahan Utara, seperti badai salju yang menerjang Washington D.C. pada Februari 2010, atau badai salju yang terjadi di **** hingga menewaskan ribuan ternak.
Dari yang saya tangkap dalam beberapa artikel dari bro sariayu, fenomena cuaca dingin ekstrim yang melanda kawasan lintang tinggi bumi diduga merupakan dampak dari matahari yang “tidur” berkepanjangan. Aktivitas matahari dikatakan melemah, yang ditandai dengan menurunnya kejadian bintik matahari. Matahari dikatakan bersifat elektromagnetis. Inilah yang menyebabkan munculnya bintik matahari. Namun, ketika dilakukan pengukuran kuat medan magnet bintik matahari di Observatorium Kitt Peak Arizona, terjadi penurunan, dari 3000 gauss hingga 2.000 gauss pada saat ini.
Terus, dari first postnya Mimihitam, Habibullo Abdussamatov, kepala Observatorium Astronomikal Pulkovo St. Petersburg di Rusia, mengemukakan teorinya bahwa pemanasan global disebabkan oleh perubahan aktivitas matahari. Teori tersebut dibuat berdasarkan observasi terhadap pemanasan di Planet Mars. Abdussamatov lalu menambahkan bahwa setelah pemanasan, akan muncul proses pendinginan selama 15-20 tahun. Teori Abdussamatov didukung dengan adanya laporan bahwa terjadi pemanasan di Planet Mars, Venus, Yupiter, Neptunus, Pluto dan Bulan Triton. Hal ini dibuktikan dengan terbentuknya Red Spot Jr. di Yupiter, Neptunus yang terlihat lebih terang, peningkatan suhu di Pluto, serta berubahnya nitrogen beku menjadi gas di Triton.
Anyway, saya pernah baca, ada ilmuwan yang memberikan hipotesa bahwa Bumi saat ini seperti kulkas, di luar panas namun di dalam dingin, sehingga menimbulkan fenomena seperti badai Daisy. Ekstrimnya, beberapa sumber yang masih merupakan pseudoscience menyatakan bahwa kita sedang menuju zaman es, bukan pemanasan global. Muncul juga prediksi dari ilmuwan bahwa Belahan Utara akan beku akibat terjadinya desalinasi air Samudera Atlantik yang menyebabkan kenaikan air laut di Samudera Atlantik. North Atlantic Current berubah, menyebabkan zaman es kedua.
Terlepas dari kebenaran hipotesa dan teori tersebut, serta konspirasi-konspirasi yang ada, Go Green is a Must, lingkungan yang sehat juga enak dilihat kan? :)
-
"Matahari Tenang" Menyebabkan Cuaca Ekstrem
Kamis, 24 Desember 2009 | 04:46 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Cuaca ekstrem di lintang utara, antara lain, Eropa dan Amerika bagian utara yang terjadi beberapa hari terakhir ini terkait dengan kondisi ”Matahari tenang” yang berkepanjangan. Selain itu, disebabkan oleh perubahan iklim global.
Hal ini dijelaskan Kepala Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin, Rabu (23/12/2009) di Jakarta.
Thomas mencatat beberapa musim dingin yang minim salju terkait dengan kondisi Matahari aktif dan sebaliknya musim dingin bersuhu ekstrem di Bumi terkait dengan Matahari tenang, yaitu sedikit hingga tanpa adanya bintik Matahari.
Menurut pemantauan Clara Yono Yatini, Kepala Bidang Matahari dan Antariksa Lapan, penurunan kejadian bintik Matahari mulai terlihat sejak 2000.
Bintik hitam yang tampak di permukaan Matahari melalui teropong dilihat dari sisi samping menyerupai tonggak-tonggak yang muncul dari permukaan Matahari. Tonggak itu terbentuk dari aktivitas massa magnet yang terpelintir atau berpusar di perut Matahari hingga menembus permukaan.
Bintik hitam Matahari itu berdiameter sekitar 32.000 kilometer atau 2,5 kali diameter rata-rata Bumi. Akibat munculnya bintik Matahari, suhu gas di fotosfer dan kromosfer di atasnya dapat naik sekitar 800 derajat celsius dari normal. Hal itu mengakibatkan gas ini memancarkan sinar lebih besar dibandingkan gas di sekelilingnya.
Di atas bintik Matahari, yaitu di daerah kromosfer dan korona juga dapat terjadi badai Matahari dan ledakan cahaya yang disebut flare.
Cuaca Bumi
Lonjakan massa gas bersuhu tinggi ini tidak hanya memengaruhi magnet Bumi, tetapi juga cuaca di atmosfer Bumi, lanjut Thomas, pakar astronomi dan astrofisik. Kondisi Matahari juga berefek pada intensitas curah hujan di Indonesia.
Data Lapan menunjukkan ada kecenderungan curah hujan berkurang saat Matahari tenang. Secara global, efek aktivitas Matahari mengemisikan gas rumah kaca, terutama CO. Akibatnya, iklim ekstrem dapat lebih sering terjadi dengan intensitas yang cenderung menguat. (YUN)
http://sains.kompas.com/read/2009/12....Cuaca.Ekstrem
-
Saudara-saudara serta pengusaha-pengusaha sekalian :D sayang sekali, upaya kalian untuk menyalahkan matahari agar niaga tetap jalan itu: GAGAL
Gue gak bisa bantah kalo emang tercatat anomali suhu di Mars, Yupiter, Triton, Neptunus, dan Pluto. Tapi ada kesesatan di sini! Penggunaan benda-benda langit tersebut sebagai pembuktian merupakan suatu kesesatan yang bisa disebut sebagai "metik buah". Di tata surya kita, ada banyak sekali benda langit. Phobos, Deimos, sebutlah satu per satu, tetapi kenapa yang dicatat "memanas" hanya benda-benda tersebut? Apabila memang matahari adalah penjahatnya, pastilah yang lain juga akan ikut memanas. Apa karena yang lain memang tidak memanas? Hehehe, ibarat ada ribuan buah ceri, ada lima yang busuk, lalu lu petik lima yang busuk itu, dan lu katakan, "semua buah cerinya busuk!"
Nah, coba gue analisis satu per satu secara singkat
* Mars
Diakibatkan siklus Milankovitch yang muncul 100ribu tahun sekali (Bisa dicari di google)
* Yupiter pun badai-badai merupakan siklus
* Di Pluto dan Triton? Logika sederhananya, kalau sinar matahari bisa mencairkan es di benda langit yang segitu jauh, bayangin bumi kayak apa nanti o_O
Jangan lupa, jangan tampik fakta, kalau ada data statistik dari satelit bahwa energi yang keluar dari atmosfer berkurang. Ada juga hakikat pemanasan... kalau CO2 banyak, stratosfer akan mendingin, sementara pemanasan oleh matahari akan memengaruhi troposfer. Sekarang? Stratosfer mendingin berdasarkan statistik dari balon udara :D dan yang paling fatal yang akan memotong leher argumen matahari adalah: siklus matahari.
http://upload.wikimedia.org/wikipedi...ot_Numbers.png
Ini data siklus bintik matahari, yang diduga berkaitan dengan aktivitas matahari. Sayang sekali saudara2, dasawarsa terakhir matahari sedang menurun aktivitasnya, dan diperkirakan baru akan naik lagi tahun 2012. Nah selama turun itu kok suhu bumi malah tercatat naik? Hancurlah sudah argumen matahari ini.
Lain kali hati-hati dalam memilah informasi, banyak pengusaha yang nggak rela protokol Kyoto akan mengganggu bisnis mereka :)
-
Mengenai Pemanasan Global di Planet lain di Tata Surya, saya pikir diakibatkan dari rotasi dan revolusi terhadap benda atau planet dalam tata surya itu...
Coba ambil contoh, kamu putar sebuah gangsing/batu, lama-kelamaan batu itu memanas, dikarenakan gesekan dengan alas/benda lain yang menyanggahnya...
Keadaan tersebut saya rasa hampir serupa dengan rotasi/revolusi planet terhadap tata surya/galaksi...
Rotasi/perputaran pada porosnya, mengakibatkan penggesekan halus antara udara/atmosfer dengan sekitar, karena gravitasi dan subtitusi antar planet ke pusat tata surya, yaitu matahari...
Sedangkan khusus untuk galaksi Bimasakti, dimana Matahari sebagai pusat tata suryanya...
Jadi, analisa saya mengatakan bahwa matahari tersebut tadinya tidak sepanas itu...
Semakin bertambahnya gesekan dari tarikan gravitasi yang mengikat antar planet dengan matahari...
Apa alasan mengapa Bumi mengalami Global Warming?
Alasan pertama dikarenakan efek rumah kaca...
Alasan kedua, dikarenakan polusi udara, dan pembakaran hutan, dll sejenisnya...
Itu dari info yang menyebar...
Sedangkan, menurut saya, bumi mengalami global warming dikarenakan rotasi dan revolusi antara bumi, bulan dan matahari...
Dan pada posisi tertentu, yaitu gerhana bulan dan matahari...
Dimana pada posisi gerhana bulan, langit gelap, bulan tertutup oleh bumi, sedangkan bumi merasakan panas langsung dari matahari...
Pada saat itu, bumi mengalami panas beberapa kali, dibandingkan panas normal... Karena tidak ada penyangganya/tidak ada bulan...
Sebagian bumi, mengalami panas, ditambah rotasi bumi yang mengakibatkan bumi semakin menyerap panas dari matahari...
Sedangkan pada saat gerhana matahari, matahari menyinari kira2 setengah bagian bulan...
Panas tersebut tersimpan oleh bulan, lalu diakibatkan oleh rotasi, bulan menjadi semakin panas...
Kira2 begitu analisa kecil saya...
Kalau salah, mhn dimaafkan...
Just IMHO...
:bthx:
-
tetapi manusia juga mempengaruhi gan..
efek rumah kaca menyebabkan atmosfer semakin berkurang..
jadi semakin mudah / cepat pemanasan global itu terjadi