-
”A... A... aku tidak percaya!! ITU TIDAK MUNGKIN!!! TIIIDAAKK!!!” tak ada yg benar benar bisa kupikirkan dengan jernih. Semuanya berputar... aku hanya ingin berteriak... aku tidak ingin mempercayainya, tapi mimpi tentang dunia lama sebelum modernisasi, terus saja menggelayuti. Tetapi tak ada kekuatan di dalam tubuhku.;... semuanya hancur...
”Tidak penting bila kau tidak percaya. Yng penting sekarang adalah bagaimana kau menyelamatkan nyawamu. Dan bisa jadi, jika kau tertangkap dan terbawa oleh mereka, dunia pun ikut hancur. Karena orang yang berada di belakang kekasihmu sangat mengerikan.”
Aku menengadah. Agen 9 dan 7 menatapku.
”Wanita ini, merupakan kekasihmu saat kau belum terkapar di mesin pembeku jasad. Dia satu satunya yang kami kenal waktu itu. Kami tak bertemu dengannya. Beberapa hari setelah ”kematian” mu, dia menghilang. Ke tahun ini”
”Perjalanan waktu merupakan kegiatan yang sangat berbahaya karena akan mengganggu keseimbangan waktu dan setiap detil kesalahan, walaupun itu setetes air, yang didapat di masa yang dikunjungi akan menimbulkan perubahan sejarah dan hilangnya suatu ras atau sejarah.” kata Agen 9
”Tunggu, apa setelah perjalanan nya itu, dia kembali??”
”Dia hilang di tahun 2010 dan tak pernah kembali.” kata agen 9.
”Apa dia tertangkap oleh polisi jaman sekarang?”
”Kami tidak tahu, karena kami tidak bisa melihat masa depan.” tukas agen 7. Ah... benar.... aku menanyakan pertanyaan yang bodoh.
”Dia adalah pacarku, kenapa dia memiliki alasan untuk membunuhku??”
”Satu satunya ilmuwan di dunia, sepanjang sejarah, yang mampu membuat mesin waktu adalah Rudolf Ebest Octopusar, Atau Doctor O. ”kata agen 9
”Dr O merupakan ilmuwan hebat, nasionalis idealis, yang memberikan hidupnya pada eksperimen eksperimen gila dan mengerikan. Jika kau pernah melihat golongan mutant, dialah yang membuatnya. Dia juga yang membuat berbagai senjata militer berbahaya seperti laser jarak jauh dan super torpedo yang telah menenggelamkan sebuah pulau. Obsesinya adalah menjadikan negeri ini terhebat di antara yang terhebat.”
”A...a... aku tidak tahu, tetapi itu tetap tidak memberikan penjelasan kenapa dia...” aku tidak menyelesaikan kalimatku karena agen 7 memencet dua tombol di layar hologram. Layar kemudian menampilkan sebuah mesin yang tampaknya amat mengerikan. Sebuah robot perang full weapon.
”Robot ini disebut Autobot. Robot yang dilengkapi dengan senjata perang. Satu satunya yang ada di dunia. Kau seorang yang membuat blue-print robot ini saat perang Indo-Portugal. Dia menyerang Lab mu, tetapi saat itu kau sedang berada di dalam mesin pembeku jasad. Setelah investigasi dilakukan, kami menemukan mu di dalam mesin dan mengetahui bahwa dia mencuri programmu ini. Dan tampaknya dia tidak tahu keberadaan mesin pembeku jasad ini.”
”Menurut analisis kami, dia mengirim kekasihmu ke tahun ini untuk menjemputmu dan menyelesaikan program robot itu. Dokter ini pasti menjanjikan bahwa kekasihmu akan bertemu denganmu. Dan jika kekasihmu berhasil membawamu kembali, maka kalian akan dibiarkan hidup bersama.”
”Sejarah mencatat, bahwa peperangan berakhir dengan damai. Tetapi apabila kau berhasil diangkut kembali ke zaman itu, maka sejarah akan berubah. Dan bisa diprediksi semuanya akan hancur.”
”Jadi, ini tentant kehancuran dunia?”
”Benar...” kata Agen 7. Badanku semakin lemas lunglai. Di kepalaku segera terlintas berbagai hal tentang kehancuran. Dan apa jadinya jika semua ini hanya karena aku? Tanggung jawab sebesar apa yang sekarang ada di pundakku ini?
”Lalu kemana Dr O?” tanyaku lemas. Sesungguhnya aku sudah tak mampu berkata kata, tapi kupaksakan. Aku harus bisa melakukan ini, jika tidak, kehancuran dunia ada di tanganku.
”Setelah labnya hancur dan asisten kesayangannya meninggal saat mesin waktu dijalankan, dia menghilang pula.”
”Karena itu, walaupun jika kami memiliki teknologi mesin waktu dari Dr.O, kemampuan untuk membunuh Dr. O, lalu kembali ke jaman ini, kami tidak bisa melakukannya karena kita tidak tahu apa akibatnya di jaman ini juga terhadap kami. Bisa saja puluhan keturunan Dr O akan mati di tahun ini.”
”Jadi kalian tidak memiliki teknologi mesin waktu?”
”Seorang ahli kami memilikinya, tapi penghapusan ingatan akan efektif padanya.”
”Satu satunya hal yang bisa kami lakukan sementara ini secara konkret adalah melindungimu. Kami tidak bisa mencari wanita itu dengan cepat karena dia hanya teridentifikasi sebagai benda mati oleh teknologi kami.”
”Berbagai cara akan kami lakukan, jadi kau tidak perlu khawatir.” tukas Agen 9.
”Lalu apa yang bisa aku lakukan??” tanyaku.
”Maksudmu??”
”Dari tadi kalian hanya menjelaskan dari sudut pandang kalian. Bagaimana dari sudut pandangku?” Aku tidak mengerti dengan mereka yang sangat menonjolkan diri mereka padahal akulah subject pencarian dari ”kekasihku” itu.
”Kau.... tidak takut dengan keadaan in?”
”Untuk apa? Kalo kalian benar, ini adalah kesalahanku. Kalo kalian salah, bukankah lebih baik jika aku ini membantu kalian,” mereka hanya diam.
”Aku tidak begitu suka birokrasi. Aku tidak peduli dengan sejarah. Tapi ini lebih baik untukku mengtahui apa yang sebenarnya terjadi, agar aku bisa hidup tenang sebagai manusia biasa.” kedua Agen itu pun mengangguk dan tersenyum.
”Baiklah...kami sama sekali tidak mengira kau akan setegar ini akhirnya. Setelah baru saja tampak seperti orang depresi. Tapi itu jauh lebih baik.” cibir Agen 9. Aku hanya tersenyum kecut. Sangat kecut. Bagaimanapun, wajah Agen 9 adalah wajah Tatia, gaya bicaranya, tubuhnya juga. Bagaimana bisa aku melupakan orang yang setiap hari aku tanggapi dingin? Dia memencet tombol di ujung ruangan dekat pintu keluar,dan seketika kamar itu kembali putih.
-
Mereka keluar ruangan terlebih dulu, dan tepat saat mereka keluar mereka berganti baju ke bentuk penyamaran. Agen 9 menjadi Tatia, dan Agen 7 menjadi Tante Nora.
”Loh, biasanya kalo di televisi agen yang tugasnya selesai kembali ke asalnya,” tanyaku sambil menunjuk mereka berdua.
”Siapa bilang tugas kami selesai? Kami masih harus melindungimu kan.” kata Agen 7 alias Tante Nora yang dari tadi lebih banyak diam. Tatia pun mengangguk.
”Tapi di televisi juga diperlihatkan apa yang harus dilakukan oleh seseorang yang mengetahui identitas agen rahasia kan?” Tatia memandangku tajam. Aku mengerti, mereka sedang mengancamku.
”Baik, baik. Aku akan diam tentang identitas kalian. Tapi aku tidak ingin hidupku terkekang oleh peraturan kalian.” kataku sambil berjalan turun. Mereka diam, dan menurutku tanda setuju. Setelah mengambil panci kosong milik mama, aku segera pamit pulang.
”Lalu kenapa kalian harus repot repot memberiku keluarga jika kalian memiliki teknologi manipulasi ingatan?”
”Itu ada alasan khusus. Aku yakin suatu saat kau akan mengetahuinya,” kata Tante Nora.
”Tunggu, ada lagi. Bagaimana dengan teman temanku?” tanyaku begitu sampai di gerbang.
”Mereka dulu adalah teman teman Roy Ryan, anak yg kau gantikan perannya. Kami sudah mengganti memori mereka ketika mereka tidur memori wajah Roy dengan wajahmu. Termasuk temanmu yang tadi kau telepon.” kata Tatia.
Aku termenung... Berarti...
”Jangan kuatir, kau masih memiliki banyak teman dari ingatanmu sendiri. Marissa contohnya?” tambah Tatia. Aku mengangguk.
”Benar benar sudah semuanya?”
”Kami yakin 100%,” kata Tante Nora. Tante Nora cepat cepat pergi ke dapur, sementara Tatia tinggal bersamaku yang masih bingung di atas. Mungkin berjaga jaga, kalau kalau aku ada pertanyaan.
"Tatia dan Tante Nora. Nama yang bagus." kataku.
"Identitas kami dirahasiakan. Tapi kau boleh panggil aku Tatia kapanpun kita bertemu." katanya datar. Aku mengangguk. Memang, bisa panggil apa lagi aku padanya kecuali Tatia.
”Jadi, hubungan pertemanan ”Tante Nora” dan ibuku, serta pertunanganku dengan ”Tatia” juga rekayasa Deppeten.”
”Ya.”
”Kalian tidak tahu kalo itu kejam?” aku agak marah.
”Demi melindungi subjek, kami harus. Bahkan sejak awal kau sudah berada dalam lingkaran ini kan?” Tatia berkata datar. Tapi dia benar. Sejak awal ini adalah kesalahanku. Tugas mereka hanyalah melakukan apa yang diperintahkan. Mau marah seperti apapun tidak akan terjadi apa apa. Yang bisa kulakukan hanya membenahi ini semua, karena ini tanggung jawabku. Bagaimanapun caranya.
”Jadi ini juga alasan kau tidak mau banyak bicara padaku?” tanyaku pada Tatia lagi. Sedikit simpati kulihat diwajahnya saat dia memandangku, tapi dia segera memalingkan muka dan berlalu begitu saja. Tetap dengan wajahnya yang tanpa ekspresi.
Karena sudah merasa ”aman” aku pun pulang. Sebelum pulang aku masih sempat melihat Tatia tersenyum padaku walau sedikit. Mungkin memang didikan agen rahasia menharuskannya bersikap begitu dingin.
Tante Nora sudah mewanti wanti agar aku menganggap hari itu tidak pernah terjadi. Dan melakukan aktivitas senormal mungkin. Sementara mereka akan terus mencari ”kekasih” ku itu. Tapi aku tidak bisa, tetap saja aku memikirkan berbagai kemungkinan di kepalaku. Tentang keluargaku, tentang teman temanku, tentang cita citaku, dan tentang hidupku dulu.
Tiba tiba LCD di dashboardku muncul gambar kartu pos. Kupencet dan muncul tulisan.
Ra, tolong jemput aku di Mal Galaxy. Aku sendirian nih. Kamu ada di dekat sini kan. From : [email protected]
Oh, aku baru ingat jika tidak membawa hp. Untung saja GPRS ku nyala jadi Marissa bisa menghubungiku lewat email. Aku pun segera menghampirinya.
Mal Galaxy yang konon sejak tahun 2010 tidak pernah tersentuh modernisasi dan perubahan, saat itu sangat ramai. Berbagai kendaraan melintas di jalan utama dan Laser Way, jalan maya di angkasa yg dibatasi oleh laser di samping kanan kirinya, sebagai jalur laju bagi mobil mobil terbang.
Semua mobil, mulai mobil konvensional yg beroda, AGMS, WSGS(Wide Space Gravitation System) AGMS yg bisa dipakai di semua medan gravitasi planet, semacam mobil offroad bagi AGMS, bahkan yang terhebat R-1(Rocket 1) Mobil AGMS yang biasa dipakai balapan tingkat ASEAN. Saat ini memang Indonesia menjadi negara dengan kemajuan otomotif terpesat di Asia.
Setelah melewati perempatan depan gedung stasiun tv Indosiar, aku naik laser way dan masuk ke pelataran parkir Mal Galaxy. Akhirnya aku menemukan Marissa dengan wajah manyun di Parkir Utara. Segera aku turun dari Laser Way dan turun di depannya.
”Huuh... lama bgt sih??” tanyanya sambil membuka pintu kiri. Dia melemparkan barang barangnya ke jok belakang, kemudian masuk. Banyak juga barang bawaannya, bahkan sampai jok belakang biasa terisi dengan 3 adikku sekarang semuanya tertutup oleh barang bawaannya. Pandanganku tertuju pada bajunya. Atasannya tank top putih dan bawahnya rok bohemian bermotif batik.
”Wah, ada juga batik yang dibikin bohemian gini ya.” Kataku sambil menunjuk roknya yang beraksen batik berwarna hijau dan hitam.
-
”Loh, kamu bisa perhatian juga?” katanya sambil melirik kejam.
”Ya... bisa lah.... walaupun sama kamu, dikit. Terutama karena gw pecinta budaya.” kataku sembari melaju, masuk ke Laser Way. Dari sudut mataku kulihat dia melirik lagi. Tapi segera kembali menerawang ke jalanan.
”Iya. Aku juga salut ma anak2 jaman sekarang. Mereka kreatif modif batik dan kebaya jadi budaya global yang menyatu sama pop culture. Akhir akhir ini, kelihatan kalo anak anak indonesia bahkan ASEAN suka banget pake kebaya n batik,” katanya sambil membenahi roknya yang agak tersingkap. Aku hanya tersenyum nakal. Dia sedikit salah tingkah.
”Asik juga kalo kita melestarikan budaya gini,” kataku mengalihkan pembicaraan.
”Yang terpenting, kita, anak muda Indonesia jaman sekarang, uda banyak yang ga malu pakai batik jalan jalan ke Mall. Yah, walaupun itu kudu rok motif batik yg mini, atau baju batik tapi ga ada lengan, mereka brani tampil dan bangga. Kita uda hampir lepas dari sentuhan budaya jepang maupun keBarat-baratan.” kata Marissa dengan suara lembut. Membuat otakku mengerti dan nyaman.
”Trus kok ga ada yang jemput? Supir mu mana?”
”Dia lagi sakit. Sakitnya baru aja. Aku juga ga begitu suka disetiri ma robot. Jadi aku jalan jalan sendiri,”
”Trus kamu rencana pulangnya gimana?”
”Nah itulah aku yang ga mikir. Untung ada kamu.”.katanya sambil tersenyum. Walaupun dipaksakan ceria, wajahnya tampak lelah sekali. Jarang sekali dia seperti ini. Aku juga tak bisa konsentrasi menyetir kalo seperti ini.
”Kamu ga papa Ris?”
”Nggak.. Nggak papa kok. Cuma sedikit cape’,”. Aku tahu ini bukan lelah biasa, pasti ada sesuatu yang menyesakkan dihatinya. Otakku segera berpikir mencari sesuatu yang bisa bikin dia ceria. Dan ketemu.
”Eh, gimana dengan Evergreen mu?”. Kulihat dia memandangku heran. Tapi dijawabnya juga.
”Wah... iya.... Progressnya bagus banget. Kamu tahu, Kami sekarang nih, uda bisa hijauin 98% hutan yang gundul di Kalimantan. Keren kan??” katanya bersemangat. Aku hanya mengangguk saja.
”Itu kerja keras papaku selama 10 tahun ini loh. Semenjak aku masih kecil,” dia tampak mengingat ingat.”Dan aku yang menjadi finishingnya sekarang” katanya sambil tersenyum riang.
”Oh ya?” jawabku singkat. Bagiku, ini sudah cukup.
”Sekarang tinggal nyerang sumatra aja supaya kebun kelapa sawit dihentikan perkembangannya.”
Memang ini adalah topik yang paling kami sukai. Marissa adalah anak pengusaha sekaligus aktivis lingkungan Dr. Alfa Rahorte. Jadi Marissa sering ikut kegiatan tentang penyuluhan dan reboisasi hutan dengan ayahnya sejak kecil. Sekarang dia menjadi Sekjen Evergreen di Sektor Wilayah (SekWil) Asia Tenggara yang memang berpusat di Corodon City, yang merupakan bagian dari Surabaya, kota Industri terbesar di Asia Tenggara bagian timur. Dan hasil dari proyek proyek yang diberikan padanya amat sangat memuaskan. Selalu saja dia berhasil menyelesaikan proyek yang diberikan oleh ayahnya.
Sebenarnya aku tidak percaya akan hal ini, tapi sering kali dia masuk di TV, untuk mempresentasikan atau berdebat tentang hasil kerja kerasnya. Sekolah pun bangga, jadi meskipun di harus sering bolos untuk pergi ke Kalimantan, Mars, China, atau Arab, sekolah mengijinkan. Setiap guru dengan senang hati mengirimkan tugas tugas untuknya lewat E mail atau rekaman pengajaran hari itu, bahkan teleconference secara live di kelas. Marissa pun tidak pernah mengecewakan guru gurunya. Nilainya tidak pernah kurang dari 85. Cukup memuaskan. Karena itulah dia menjadi Murid Teladan secara tidak resmi di sekolah kami.
”Trus ada lagi. Kami berhasil menghijaukan koloni Akser 2 di Mars yang terkenal menyukai padang tandus.” lelahnya tampak terhapus dengan senyum yang indah.
-
20 tahun lalu, Mars masih terkenal sebagai ”Red Planet”. Tetapi pada awalnya, sehubungan dengan ditemukannya kandungan Air dan Oksigen, walaupun sedikit, yang berada di dalam planet itu, maka manusia berbondong bondong bermigrasi ke sana. Ini ditunjang oleh penemuan bahan bakar fusi nuklir sebagai pendorong roket laser, dan teknologi warp dengan loncatannya yang menembus kecepatan cahaya.
Sekarang, di Mars, negara dunia berusaha menciptakan ”negara”nya sendiri. Maka dibangunlah di sana kota kota satelit dari masing masing negara. Misal Indonesia membangun Jakarta 2 di Mars. Begitu juga dengan negara lain seperti Jerman membangun Berlin 2, bahkan ada Muenchen 2 yang notabene bukan ibu kota. Indonesia adalah 1 dari 5 negara Asia pertama yg membangun kota satelit di Mars. Serta yg pertama dan satu satunya di Asia Tenggara. Lainnya di Asia adalah Jepang, China, India dan Iran.. Sampai saat ini hanya terdapat sekitar 25 negara yg berhasil membangun kota satelit di Mars. Tapi banyak sekali orang yang sudah mulai ”pindah” ke sana.
Di Mars, awalnya pohon tidak bisa tumbuh, karena kadar asam yang tinggi, sedikitnya air dan tentu saja ketidakadaan Oksigen. Jadi untuk membuat koloni di Mars, yg pertama harus dilakukan adalah membuat kubah khusus, yg terbuat dari ”bahan” yang sama dengan Laser Way, untuk memberikan ”nyawa” pada kota yaitu oksigen. Untuk menanam pohon, awalnya diambil tanah dari bumi. Tetapi Rusia menemukan bahwa Mars memiliki kandungan air di tanahnya. Air ini tercampur oleh metana dan asam sulfat dan diikat oleh zat bernama soprasostanin.
Maka dilakukan riset, dan tidak sampai dalam waktu 7 bulan, ditemukan pupuk khusus untuk tanah di Mars. Biasanya, setelah diberi pupuk itu, maka akan keluar cairan berwarna kuning kemerahan, tanda bahwa zat Soprasostanin bersama metana dan asam sulfat di dalamnya telah keluar. Cairan berwarna kuning kemerahan itu sendiri disebut Sopra-C, dan biasanya dicampur dengan beberapa zat lain menghasilkan zat hara, lebih tepatnya humus, di tanah Mars.
Kita boleh bangga karena pupuk yang mengandung bakter Rozalin itu adalah buatan bangsa Indonesia. Seorang ilmuwan mematenkan temuannya dengan nama ”Atas Nama Bangsa Indonesia” dan hak pakainya diserahkan pada pemerintah Indonesia. Itu bahkan terjadi sekitar tahun 2005. Tak ada 1 pun orang yang mengetahuinya selain ilmuwan itu dan 1 orang dari kantor hak paten internasional.
Di sinilah terlihat keajaiban alam. Karunia Tuhan di alam raya. Mars yang tadinya gersang dan sangat panas, kini dengan pupuk itu ditabur dimana mana, muncul sedikit demi sedikit sumber air dari dalam tanah. Dalam 2 tahun, tanah itu berubah menjadi lautan. Penelitian lebih lanjut mengatakan, pupuk yang ditaburkan di permukaan tanah Mars itu memang hanya bereaksi pada 1 meter tanah Mars, tapi rangsangan selanjutnya ternyata terus menerus ke dalam tanah, sepanjang lapisan tanah merah.
Dalam peristiwa itu manusia benar benar dibuat kerepotan. Setiap hari harus ada minimal 400 pesawat kontainer angkasa (MSV (Mass Space Vehicle)) ukuran terbesar yang mengambil Sopra-C di Mars. Ini harus dilakukan agar tidak terjadi percampuran antara air dan Sopra-C. Penelitian ilmuwan islam di Iran mengatakan apabila Sopra-C dan air tercampur maka bisa mematikan makhluk apapun di dunia, dan mengembalikan air ke asalnya, yaitu keterikatan dengan tanah merah Mars.
Setelah 2 tahun yang melelahkan, masih ada masalah lainnya. Mars seperti tanpa pelindung. Jadi jika ada meteor, harus manusia yang menghentikan, karena tidak memiliki atmosfer. Maka digalakkan program penghijauan di Mars. Tumbuhan dikumpulkan di dalam kota kota terlebih dahulu, kemudian baru dibuat hutan hutan. Oksigen dari tumbuhan Mars ”dikumpulkan”, kemudian diekstrak menjadi O3 alias Ozon.
Mungkin Indonesia ini memang ditakdirkan sebagai negara yang kaya. 20 tahun yg lalu, saat baru pertama kali ditemukan pupuk ini dan tenaga nuklir untuk roket laser dan warp, negara negara maju, terutama Rusia dan Amerika, berlomba lomba sampai ke Mars. 2 tahun kemudian, giliran negara negara Eropa ditambah Afrika Selatan, dan 3 tahun setelah eropa, negara negara Asia termasuk Indonesia. Karena saat itu belum ditemukan alat apapun untuk mendeteksi kandungan yang ada di dalam tanah Mars selain Soprasostanin, maka seluruh dunia, melalui PBB, sepakat bahwa di Mars akan dibentuk garis khayal Lintang dan bujur yang sama dengan di bumi, mengingat Mars hampir sama dengan bumi pada Volume.
Dan tentu saja negara negara yang berhasil dengan teknologinya ini menuju Mars mendapatkan wilayah yang sama dengan wilayah asli negaranya di lintang dan bujur yang sama. Jepang dan Afrika Selatan tampak tidak puas, tapi akhirnya menyerah setelah kalah dalam vote.
Hebatnya, 2 tahun kemudian, koloni Rusia yg menemukan alat untuk menembus lapisan tanah ber-Soprasostanin di Mars ini, menyatakan bahwa kandungan alam terbesar berada di wilayah Indonesia 2, alias Indonesia di Mars. Di antaranya kandungan minyak, berlian (sebagai alat pembuat laser) dan emas. Dan untungnya, Indonesia siap dengan segala peralatan, tidak mengulangi kesalahan yang dulu dulu di Bumi, sehingga diperbatasan selalu ditempatkan tentara tentara agar tidak terjadi penyerobotan terhadap aset negara.
Sedangkan Akser 2 adalah koloni buangan, jauh dari negara negara lain. Jika dihitung dari garis bujur dan lintangnya, mereka ada di tengah tengah samudra pasifik, karena itu tak ada negara di bumi yang protes. Akser 2 ini diisi oleh para penjahat dan gelandangan tetapi menginginkan sebuah negara yang bebas. Negara yang tanpa hukum. Mereka juga menolak penghijauan. Karena itu keberhasilan Evergreen ini merupakan fenomena yang luar biasa.
”Wah, keren tuh.” kataku tulus. Tampaknya harus ganti topik karena dari wajahnya yang semakin ceria dan ceria, bakal semakin panjang saja pembicaraan ini. Dan walaupun kepalaku cukup, tapi tidak dengan ketahanan telingaku terhadap suaranya yang cempreng banget jika sedang ceria. Biasa, keluar manjanya.
”Trus gimana dgn pacarmu itu, sapa... Andra,” aku coba mengingat ingat dan akhirnya ingat. ”Dia pindah waktu aku masuk kan?”
”Aduh, jangan bicarain dia deh,” Marissa kembali cemberut. Benar benar cemberut yang ”tulus”. Kupikir dengan berbicara tentang pacarnya akan membuatnya tambah cerah. Eh, malah sebaliknya.
”Kalian lagi marahan yah?”
”Nggak,” jawabnya singkat. Tak ada angin tak ada hujan, tiba tiba di kejauhan aku melihat sosok itu. Wanita berkerudung hitam berdiri di sekitar pepohonan!!. Tanpa pikir panjang, aku langsung banting setir masuk ke Laser Way.
-
”Loh, kok kesini sih? Kan harusnya ke Corodon City?”
”Ah, nggak. Aku Cuma pingin muter muter aja. Mumpung kamu ada di mobilku,” kataku sambil tersenyum nakal. Mencoba membuatnya tidak cemas.
”Iiihh.. dasar. Udah, aku turun sini.”
”Ya uda... terserah...” kataku cuek sambil menghentikan kendaraanku. Aku melihat ke spion tengah, ”kekasihku” itu sudah pergi. Tak terlihat lagi. Tetap kuhentikan kendaraanku walaupun Laser Way itu jaraknya sekitar 8 meter dr tanah. Dia memandang ke arahku, tapi aku tak peduli. Pintu kiri langsung kubuka.
”Silahkan,” kataku sengit. Eh dia malah diam saja sambil memandang ke arahku dengan wajah melas. Melas, dan tambah melas.... Haaahhh... aku paling ga bisa kalo ada wanita ngeliatin aku kyk gitu. Maka kututup pintu dan kujalankan lagi kendaraanku. Lalu kuantar dia sampai ke rumahnya. Lalu main di rumahnya sampai maghrib. Tentu saja aku sudah menelepon mama agar dia tidak khawatir.
Sekitar jam 7 malam aku pulang dari rumah Marissa. Sampai di rumah, aku melihat ada yang kurang.
”Ma, Karin mana?” kataku saat masuk dan mengucapkan salam.
”Ga tau tuh, keluar ma Aldo.” kata mama santai. Pintu tidak dikunci dan mama sedang duduk membaca koran di ruang tengah.
”Ma...”
”Iya mama tahu... Deadline maksimal pulang jam 9.” Tegas mama lebih santai lagi. Tapi jika sudah digaransi seperti itu akupun menjadi tenang. Aku segera naik ke kamar, shoat isya dan tidur.
MY PATH...
Bangun pagi terasa segar. Apalagi tidak ada PR, jadi semakin segar. Dan walaupun ada PR sebenarnya aku tidak terlalu peduli. Tinggal transfer saja filenya dari Steven dan beres.
Seperti biasa, setelah selesai ganti baju aku turun. Yang tidak biasa, aku mendengar suara seseorang menangis. Ternyata, Karin yang menangis. Dia ada di pelukan mama.
”Loh... loh... napa rin?” tanyaku bingung. Mama menggelengkan kepala. Aku tidak tahu maksudnya.
”Enggh... aku.... aku.... putus ma Aldo....” katanya. Segera saja, aku berteriak....
”YEESSS!!!” teriakku reflek
”Bara!! Hormati sedikit adikmu!! Dia lagi sedih....!!” hardik mama. Aku seketika diam. Karin malah semakin menangis menjadi jadi.
”Sudahlah Rin... ngapain juga sih ditangisin...” kata mama.
”Iya, anak jelek, item, pendek, ngupilan, ngentutan... ga da bagus bagusnya... ” mama langsung memukul tanganku. Matanya mendolo, seperti mau menerkamku.
”Bara.... berangkat!!” usir mama.
”Loh, Karin ga berangkat ma!!”
”Ijinin karin, hari ini dia ga masuk gara gara sakit.”
”Wah, mama ga adil...” kataku. Mama nampak sudah siap menerkamku sekarang. Aku langsung saja berlari keluar. Takut benar benar dicaplok. Di luar, Sandy sedang menyapu teras.
”Kenapa kak Karin?”
”Oh, tenang aja. Dia Cuma terlalu senang, sampai terharu....”
”Boong... kakak yang godain kak karin kan ampe dia nangis?”
”Oooo.... kamu pikir aku n Karin anak TK? Nggodain sampe nangis?” kataku sambil berkacak pinggang. Sandy malah mengangkat bahu. Dasar anak aneh...
Hari ini berangkat sekolah sendirian. Aku disuruh berangkat pagi pagi. Dan Sandy akan diantarkan oleh Mama. Tentu saja ini akibat perbuatanku tadi. Rully sendiri sedang sakit. Apes sudah.
Tidak sampai 10 meter dari rumahku, aku melihat wanita berkerudung itu lagi. Tapi entah apa alasannya, dia hanya memandangku. Mungkin karena di situ adalah daerah perumahanku dia tak bisa, atau tak berani macam macam. Rasa takutku langsung menyergap. Seluruh tubuhku bergetar saat kami bertemu pandang. Matanya yang setajam pedang menusuk nusuk rasa takutku padanya. Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung melajukan sepeda motorku sekencang mungkin. Aku tidak boleh sampai tertangkap dengannya kali ini. Asal aku berada di keramaian pasti aman, begitu pikirku. Aku harus terus berjalan, dan tak menoleh ke belakang.
Setelah beberapa menit ”melarikan diri” akhirnya aku sampai di gerbang SMA 1 Corodon City. Ah... akhirnya tiba di sekolahku tercinta.
Hari itu parkir sudah penuh walaupun baru jam 6.20. Sekolahku memang masuk jam 6.30. Mungkin karena sekarang hari Senin. Kucari tempat parkir, dan setelah menemukan tempat yang enak, ku parkir motorku.
”Woi Ra!!” sapa Razak sambil berlari. Temanku keturunan arab berkulit hitam yang satu tim basket denganku. Aku hanya melambaikan tangan. Maklum, power-forwardku ini larinya sangat cepat.
”Astaga temanku!! Kamu bakal kena masalah hari ini!!” tiba tiba seseorang menarik kerah bajuku dari belakang.
”Eh, sapa nieh?” aku terkejut karena tidak ada org yang terlihat.
”Gue, Steven,” sosok itu akhirnya muncul juga Dia Steven temenku yang jenius tapi rada gila.
”Hmmm... skrg loe mau apa lagi?”
”Satu sekolah uda liat semuanya, kau nganterin pulang Marissa kan? Marissa tadi senyum senyum sendiri, itu semakin menguatkan indikasi kau ngapa ngapain Marissa,” Steven penuh selidik.
”Senyum senyum sendiri?” aku terkejut karena memang aku merasa tidak melakukan sesuatu yang aneh pada Marissa.
”Kamu kudu cepetan minta maap pren!! Ntar kamu kena masalah ma Roger loh!!
”Emangnya sapa yang bakal marahin aku? Gw kan uda pernah ngehajar dia,” jawbaku sewot.
”Kamu ga tau ya! Andra sudah balik lagi loh ke sekolah!” padahal baru saja kemarin dibicarakan, kenapa sekarang sudah ada di sini. Ah, kebetulan yang amat sangat tidak enak
”Aku ga peduli, aku ga salah kok,” jawabku santai.
”Kalo gitu, untuk menghindari pertarungan, kamu harus minum ini nih. Namana Invisible Pill. Kalo pake ini kamu bakal ga keliatan....” dia terus nyerocos dengan bahasa Alien.
”Jadi ujung ujungnya promosi?” kataku sambil jariku membentuk tanda X di mulutnya. Dia hanya nyengir lebar. ”Efek sampingnya apa nieh?”:tanyaku sok penasaran.
”Ini ga...” belum sampai dia menyelesaikan kalimatnya, tiba tiba dari mulutnya keluar busa.
”Euh... hue... hueekk,” dan muncullah gelembung2 balon dari mulutnya. Semua orang tertawa melihat ini. Termasuk aku. Tapi semua orang tahu kalo Steven Rudiasmara ini jagonya bikin barang yang aneh aneh.
-
Akhirnya aku masih hidup setelah tertawa sekian lama.
”Kamu kok gak keliatan tegang sama sekali. Padahal tadi baru saja bertemu dengan ”dia”, Tatia yang berdiri di depan pintu masuk, bukannya kasih salam atau apa, malah memberikan pernyataan aneh.
”Kamu, kok, tahu?”
”Tentu saja. Di sekitar rumah mu banyak di sebar mata mata. Semua teropong angkasa milik indonesia juga diarahkan ke rumahmu.”
”Indonesia ga punya teropong angkasa kali...” nasionalisme terlalu tinggi -_-!. dia tampak terkejut. Mukanya merona.
”Ah, terserah...” jawabnya kesal, sok acuh.”yang jelas, dengan pengamanan ketat di sekitar rumahmu dia masih bisa lolos. Apa kami bisa diam saja dengan keadaan seperti ini?” aku diam saja.
”Bara... kamu dengerin aku kan!!”
”Besok bisa ga rokmu di ganti ma yang panjangan dikit. Pahamu tuh mulus n putih, banyak mata yang suka,” kataku sambil berlalu masuk kelas.
”Ah.... eh.... loh.., jgn mengalihkan pembicaraan,” gagapnya sambil melihat roknya dan ke arahku bergantian tak beraturan.
”Aku ga mengalihkan pembicaraan. Pembicaraan kita sudah selesai, jadi aku ganti dengan topik yang lebih penting.”
”Loh.... bara.. Baraaa.....!!” teriaknya. Tapi tak kudengarkan. Aku memasang headphone kemudian tiduran di bangku.
Pelajaran hari ini sedikit membosankan. Banyak PR memang, tapi sudah kuselesaikan semua. Dan pelajaran dari guru pun sudah kupahami semuanya. Apa lagi tidak ada topik diskusi kelas yang ”seram”, jadi aku lebih banyak melamun. Melamun tentang ”kekasihku” itu. Entah kenapa, sudah 3 kali aku bertemu dia, pandangannya tidak seperti pemburu yang sedang memburu mangsanya. Penuh napsu untuk menangkap, membunuh. Pandangannya lebih tepat seperti orang yang sedang merindu atau menjaga.
”Dambara, tolong soal no 2 dijawab di virtual board sekarang.” Seru bu Anis tiba tiba. Benar benar mengagetkanku. Dan sialnya, soal di virtua board bukan dari bab yang kupelajari. Aku panik, hampir menyerah akan mendapat sanksi dari bu Anis karena tidak memperhatikan pelajarannya. Tiba tiba di kakiku ada sebuah buntelan kertas. Kuambil saja.
”Bagaimana Dambara yang pintar dan jenius? Tidak bisa kan? Makanya saat...” sebelum guru killer ini mengoceh lebih lanjut, aku dengan pandangan percaya diri maju ke depan. Lalu mengedipkan mataku pada Tatia yang dibalasnya dengan senyum simpul yang sangat mempesonaku. Sekali lagi aku berharap, seandainya ini lebih sering terjadi.
Bu Anis tampak shock, karena tampak contekan apapun aku bisa mengerjakan soal dengan baik dan benar. Padahal di telingaku ada earphone mikro dari Tatia yang tadi di kirimkanya melalui buntelan kertas. Tatia mendiktekan semua jawaban dan aku pun lolos dari sanksi.
”Thanks ya, gw seneng banget liat si Anis melongo kayak kuda.” kataku sembari tertawa keras keras pada Tatia waktu istirahat. Tatia hanya mengangguk, kembali dingin.
Siang ini cuaca agak mendung. Jadi aku ajak Tatia naik ke tingkat 5. Di sana, banyak sekali anak anak. Jadi bisa sebagai ”latihan” kemunculannya di keramaian. Sekalian aku juga ingin membenahi hubunganku dengan wanita yang ternyata selama ini melindungiku.
Sebenarnya juga Tatia tidak mau ku ajak kesini. Dia memang penyendiri dan sangat pendiam. Hanya Virnie, teman wanita, satu kelas dengan kami, yang kulihat agak cocok dengan Tatia. Anak anak cowok kelas lain, bahkan program lain seperti IPS dan Bahasa sering mampir ke kelasku untuk godain Tatia. Tapi tak ada yang berhasil.
Untung ada topik yang baik buat di bahas, aku ke dia dan dia ke aku. Jadi, walau keliatan dengan amat sangat terpaksa, dia mau ku ajak jalan. Di tengah jalan, kliatan sekali anak anak, terutama cowok, iri padaku. Tapi lebih banyak lagi yang terkejut melihat Tatia. Seperti melihat murid baru saja. Toh kubiarkan saja. Di lantai 5, Kuajak Tatia bersandar di pagar kawat pembatas. Jauh dari kerumunan anak main basket dan sepak bola.
”Jadi namanya Farah,”
”Benar. Terakhir kali berdomisili di daerah Pakuwon, Surabaya. Anak sebatang kara yang mewarisi harta kekayaan orang tuanya, yaitu beberapa kilang minyak dan pabrik obat obatan. Terakhir kali dia satu rumah dengan paman dan bibinya. Dan usianya, jika tidak menghitung lompatan waktunya, adalah sama dengan kita 18 tahun.”
”Sama dengan kita? Sama dengan aku kali?”
”Maksudmu?”
”Lah, bisa saja kamu orang umur 30-40 tahun yang nyamar jadi anak usia 18 tahun. Kamu kan ag....”
”Bara!!Ssssttt.... ” katanya mendesis kayak ular sambil menutupkan tangan kanan di mulutku dan telunjuk kiri di mulutnya.
”Ommffh..., apa sih!!” aku segera menyingkirkan tangannya. Gengsi. Aslinya sih oke oke saja. Tangannya mulus.
”Kamu tuh ya.”Tatia memandangku dengan sangat jengkel.
”Yah... aku kan Cuma becanda neng. Serius banget sih. Lagian juga uda jelas kan aku yang lebih tua,” kataku memelas. Jari telunjukku ku sentuh sentuhkan di bawah janggut, berlagak seperti kelakuan anime anime jepang saat sedang dimarahi.
”Ga lucu.” sahutnya sengit sambil berbalik dan melemparkan tongkat kecil ke arahku.
”Apa nih?”
”Kamu kan juara VBT (Virtual Battle of Toya, game pertarungan virtual menggunakan toya) se Jatim dan juara 3 se indonesia. Harusnya ini cukup untuk mu melindungi diri." dia akan berlalu begitu saja. Tapi kucegah.
”Tat..”kepegang tangannya yang putih mulus.
”Apa?” dia menarik tangannya kasar. Kuat juga tenaganya.
”Aku tahu kamu agen rahasia yang dididik keras, disiplin, dan tanpa toleransi. Aku tahu kamu wanita yang tidak gampangan. Tapi aku ga suka sama caramu dengan anak anak sini. Kamu acuh sama mereka, bersikap dingin pada siapa saja” kupikir ini saatnya mengatakan segala isi kepalaku selama ini terhadapnya.
”Seandainya itu hanya padaku, aku terima. Tapi kepada teman temanku pun kamu begitu dinginnya. Seandainya kau pun tidak butuh teman, aku gak peduli. Tapi mereka butuh teman, Tat. Mereka dididik sebagai manusia biasa, yang butuh banyak bersosialisasi. Tidak seperti kau dan aku, yang sedikit berbeda. Jadi aku mohon, bersikaplah sedikit lebih wajar.” Dia terus memandangku tanpa ekspresi.
”Terserah. Tapi teman sama sekali tidak bisa membantumu waktu kamu dalam kesulitan.” Tatia menjawab.
”Aku rela melakukan sesuatu yang lebih pada temanku. Karena aku tahu walau mereka tidak membalas, Tuhan akan membalas. Sekalipun tidak ada balasan, aku masih seseorang yang diingat atas budi baikku,”
”Bahkan jika harus mengorbankan nyawa?’
”Jika dalam kondisi yang sesuai dengan norma kebenaran dan keadilan, maka jawabanku adalah iya... ” aku mengangguk mantab. Dan seperti kataku, aku tidak pernah berbuat pecundang pada siapapun.
Maka sepertinya semua kata kataku tidak ada gunanya. Dia langsung berbalik, tanpa berkata apa apa lagi, dan segera menyingkir. Rambutnya panjang yang dikuncir kuda ala samurai melambai lambai tertiup angin. Kemudian dari arah yang sama, yaitu tangga, Marissa muncul dengan pacarnya yg baru datang, lebih tepatnya masuk kembali, Andra dan diikuti sekitar 4 orang berjumper hitam.
Belum selesai bingungku dengan tongkat itu, tiba tiba secara serentak anak anak di lantai atas itu beranjak turun. Pelan, tapi bersamaan. Wajah mereka juga tegang semua.
”Loh, zak, ada apa?” tanyaku pada Razak yang juga berjalan turun bersama dengan teman temannya dari kelas IPS 1.
”Itu, Andra mulai mukulin Marissa lagi,”
”Apa??!! Kok bisa? Bukannya Andra itu pacar Marissa!!”
”Bukannya selalu gitu?”
”Apa maksudmu?”
”Jadi Marissa ga pernah cerita sama kamu?”
”Cerita apa?”
-
”Dulu waktu kelas 1, sebelum kamu masuk sekolah, Marissa sering dipukuli ma Andra. Andra sendiri sejak SMP emang terkenal kyk gitu, tp ga ada yang brani nindak. Sakit jiwa. Aku ndiri ga tau kenapa Marissa, yg dulu 1 kelas ma aku, nerima Andra jadi pacarnya, kira kira di akhir semester 1. Padahal sebelumnya ga ada 1 cewek pun yang mau jadi pacar Andra. Sementara Marissa yang notabene siswi teladan, malah mau. Marissa pun sudah tau dengan track record Andra. Sejak itulah Marissa disakiti, disiksa oleh Andra. Sekolah, gara2 sudah disuap ma ayah Andra yg pengusaha dan pejabat berpengaruh, ga berani nindak. Kamu tahu kan mulai 2 tahun lalu sekolah negeri sudah ga di subsidi pemerintah selain muridnya.”
”Kenapa ga ada yang mengentikan dia!! Ada apa dengan anak anak sekolah ini” Otakku semakin panas saja.
”Ga ada yang berani. Andra bayar anak anak nakal bwat ngelindungin dia.”
”Bagaimana dengan sahabat Marissa?? Jenny, Riska, Ambar, dan lainnya!! Ga ada yang bilangin Marissa!!”
”Semua sahabat Marissa, menjauh gara gara ini. Gara gara Marissa ga mau dengerin omongan mereka. Marissa menjadi pemurung setelah itu. Tapi, semenjak Andra pergi, dan kamu datang, Marissa bisa tersenyum lagi. Dan teman2nya kembali.” kata Razak. Aku diam. Tak bisa menahan emosi. Tapi otakku terus berputar.
”Kalo gitu, aku harus ngembaliin Marissa jadi seperti dulu lagi,” aku memandang Razak dengan tatapan sangat meremehkan. Dia jauh lebih besar daripada aku. Sekitar 195 cm. Tapi bisa bisanya tidak berani dengan anak kecil seperti Andra. Pengecut.
”Woi, Ra!! Mau kemana?!”
”Aku mau nyiksa Andra balik!!” Kataku keras sambil memasukkan tongkat pemberian Tatia ke saku belakangku yg memang cukup dalam.
”Andra, jangan nekat!!”Teriaknya. Aku tak peduli. Aku terus berjalan ke arah gedung parkir sepeda motor.
”DamBara!! Kalau kamu nekat, aku bakal ngeluarin kamu dari tim basket!!” Deg... langkahku terhenti sebentar. Basket....!!Olahraga yang paling kucintai. Yang menyelamatkan sekolahku di IPA dari ancaman DO. Tapi....
”Terserah!!” Aku tak peduli akan dikeluarkan dari sekolah. Aku tak peduli harus menderita sepanjang masa. Sepanjang hari hariku. Ingatanku yang pendek ini, akan ku korbankan untuk sejarah patriotik sekolah sebagai seseorang yang melawan kejahatan di saat yang lain bahkan tak pernah berani berpikir. Sebagai panutan bagi semua, bahwa melindungi temanmu, tidak akan membawa sesuatu yang sia sia. Lebih baik hidup dalam derita dan sengsara daripada menanggung malu kehilangan teman saat kau bisa selamatkan dia..
Segera ku berlari menerjang pintu besar yang menghubungkan lapangan atas dan ruangan parkir. Pemandangan mengerikan terpampang di depanku. Marissa tergeletak di lantai, di injak oleh Andra. Berdarah darah. Wajahnya menengadah padaku. Sangat lemas dan tak berdaya. Pilu hatiku merasakan tatapannya. Mencabik cabik perasaanku. Mereka yang disekitarnya, terutama Andra malah tampak puas.
”B******T!! Lepasin dia !!! ” teriakku. Langsung kuacungkan jari telunjukku.
”Banci!! Maju loe!! Semuanya sekaligus!!” Tak peduli lagi aku dengan diriku. Rasanya mau muntab aku melihat kelakuan mereka semua. Tidak ada lagi yg kuinginkan selain mengahajar mereka.
Ke empat laki laki di sebelah Andra membuka tudung jumper nya kemudian menoleh ke arahku. Ternyata mereka semua adalah musuh lamaku. Roger alias Kampret, Johny, Hadi alias Sumbing, dan Ali.
”Bos, gimana? Itu si Ke****T Dambara,” tanya Ali sambil memandangku dengan pandangan meremehkan.
”Oooohhh.... jadi dia orangnya. Kebetulan banget. Hajar dia, Sisakan bagian penyiksaan buatku,” kata Andra sambil tersenyum jahat, kemudian menginjak punggung Marissa.
”Aaggghhh....” teriak Marissa lemah. Sungguh menyayat hatiku. Pandangannya menatapku penuh iba.
Tiba tiba Ali menerjang ke arahku dengan tinju terkepal. Anak ini berbadan kecil, walaupun kekar. Jadi dengan sekali berkelit, aku bisa menghindar. Kemudian menyambar tangan kanannya dengan tangan kiriku, dan menyikut mukanya dengan tangan kananku. Ali langsung jatuh terjengkang sambil memegangi mukanya.
Tapi Johny dengan sigap memberikan sebuah bogem mentah padaku. Johny yang badannya seimbang denganku terkenal atlet karate di sekolah. Jadi pukulannya amat cepat. 2 pukulan pertama berhasil kuhindari, tapi kakinya menerjang perutku. Saat aku masih terduduk, dia datang sambil mengeluarkan tendangan salto. Entah mendapat ilham dari mana, secara otomatis kupukul belakang dengkulnya, kutarik kakinya, dan balik ku banting. Dia bangkit, tapi aku sudah siap dengan 2 pukulan yang mendarat tepat di pipi kanan dan kirinya bergantian.
”Akhh....” suara mulut Johny saat dia jatuh. Tak dinyana, Kampret dan Sumbing (sebenarnya ini julukan dariku karena bentuk tubuh mereka) menghadangku bersamaan. Aku sudah sering bertarung dengan mereka berdua di luar sekolah, jadi mereka sudah tahu jika aku ahli dalam duel 1 lawan 1.
Aku yg sudah terkejut, tak bisa mengelak dan tubuhku didorong mereka menghantam tembok. Mereka mengunciku bersamaan. Dan langsung perutku di jadikan sasaran hantaman tangan kotor mereka.
”Cukup... cukup..!!” suara perintah Andra menghentikan pukulan Kampret dan Sumbing. Aku sedikit berterima kasih pada Andra, karena hampir saja aku pingsan terkena pukulan mereka. ”Jadi, kau yang sekarang berusaha menentangku hah!!” Andra menyemprotku. Kubalas dengan sebuah pandangan menghina. Kulihat giginya bergemertak.
”Benar bos, dia anak baru yang sering saya peringati supaya tidak dekat dekat Marissa,” kata Roger.
”Maksudmu, kau tak menjaga bonekaku tercinta dengan baik?!!” bentak Andra pada Roger. Roger diam menunduk. Wajah Andra bersungut sungut memerah. Kepalanya yang bundar seperti bola sepak semakin membulat karena pipinya menggembung. Geli aku melihatnya. Mau saja Marissa berpacaran dengan pemuda bodoh kasar dan gendut kayak Andra. Dan dia sebut Marissa Boneka!!
”Dasar bodoh!! Anak kecil sperti dia saja tak bisa kalian bereskan!!” Andra mengoceh lagi. ”Buat apa aku bayar kalian selama ini Hah!!” aku baru tahu jika ternyata perilaku Sumbing dkk ini karena dibayar oleh Andra ”Sini, biar aku yang urus,” Andra mengeluarkan sebuah benda berbentuk palu dari punggungnya. Sebuah benda dengan kekuatan yang tampaknya cukup besar.
”kau akan merasakan kehancuran, Dambara,” Andra mengayunkan palu itu, tepat di perutku. Satu hantaman yang membuat seluruh tubuhku seperti dipukul seribu orang. Perutku hancur berkeping keping. Dan tidak hanya itu, ternyata palu itu mengandung aliran listrik yang dahsyat.
”Aaaaaarrrrrggggghhhhhh......... !!!” aku tak bisa lagi menahan teriakanku. Seketika, seluruh badan ini seperti lumpuh.
Mataku berkunang kunang, tampaknya kesadaranku semakin berkurang. Kepalaku pusing sekali, seperti mau pecah. Tetapi aku masih bisa mendengar Sumbing dan Kampret tertawa puas. Walaupun tadi mereka memegangiku, mereka tampaknya tidak ikut tersetrum karena memakai alat tertentu.
”Rasakan itu pemuda bodoh,” Andra tertawa, lebih tepatnya terbahak, keras sekali. ”Mau lagi?” dia memukul mukulkan palunya di pipiku. Wajahnya tepat di mukaku. Aku sudah muak, dan strike!! Kuludahi dia, tepat di mukanya. Aku langsung tersenyum puas, kejam..
”Ba****T!!” tampaknya Andra marah sekali. Dia langsung mengayunkan palunya ke atas, dan tampaknya sekarang mengincar kepalaku.
-
”A... an.... dra.... to.... long... ber… hen…ti….”
Ha….apa….
An…. Dra…. Ber... he.... nti... to... long....
Aku yang sudah siap menerima pukulan, dikejutkan oleh suara wanita. Biadab!! itu suaranya. Suara Marissa. Saat mataku kubuka, kulihat Marissa berlutut di kaki Andra. Dengan tubuhnya yang tak berdaya, memohon di kaki Andra, kebebasan bagiku. Seluruh badanku bergetar hebat menahan marah yang hampir tak terkendali....
”Kau bonekaku?! Beraninya kau memohon demi Ba****t ini!! Hah!!” Andra menendang Marissa dengan kaki kirinya. Marissa jatuh terguling guling. Tapi Marissa bertahan, mencoba bangkit. Dia mulai merangkak lagi. Walau dengan sangat perlahan. Tapi Andra lebih cepat Sebelum Marissa bisa bergerak, Andra sudah menginjaknya. Lagi... lagi.... dan lagi...
Dadaku mendidih melihat hal itu. Seorang laki laki berani beraninya menyiksa wanita, apalagi sudah tidak berdaya seperti Marissa. Dan, ada ekspresi gembira yang sangat, kekejaman yang tak terkira, di wajah Andra.
Otakku yang hampir mati, kupaksa berfikir. Pokoknya aku harus lepas dari cengkeraman Sumbing dan Kampret. Aku juga muak melihat mereka yang ikut tertawa, gembira, saat Andra menyiksa Marissa.
Tiba tiba aku teringat dengan benda pemberian Tatia tadi. Tongkat itu masih terselip di saku belakang celanaku. Kampret dan Sumbing mencengkeram tanganku dengan melipatnya ke belakang, jadi aku dengan mudah bisa menggapai tongkat biru itu.
Sedikit demi sedikit, akhirnya tongkat itu berada di dalam genggamanku. Kemudian aku diam sebentar, mengumpulkan tenaga sambil melihat situasi. Kulihat pegangan yang diberikan oleh Kampret dan Sumbing padaku sudah kendor. Aku tahu inilah saatnya.
Dengan satu hentakan cepat dan keras, kedua tanganku berhasil keluar dari cengkeraman Kampret dan Sumbing. Tongkat biru itu berada di tangan kiriku. Keduanya langsung diam, terkejut. Aku segera memencet tombol biru. Tiba tiba, tongkat itu memanjang. Keduanya bereaksi akan menangkapku lagi, tapi mereka salah langkah. Satu ujung tongkatku berada di bawah dagu Kampret dan ujung lainnya berada di perut Sumbing. Sebelum mereka sempat bereaksi lebih lanjut, kuayunkan tongkatku ke depan dan ke belakang.
Daakk... dan mereka terjengkang menghantam tembok. Kampret bergerak akan meninjuku, tapi tongkatku lebih cepat menghantam perutnya. Kemudian Sumbing juga berusaha bangkit, tapi sudah kucegah dengan menghantamkan tubuh Kampret ke Sumbing.
Setelah kedua orang itu selesai, pandanganku beralih ke Andra. Memang, Andra sudah tidak memukuli Marissa lagi, tapi aku lihat Marissa sudah pingsan. Emosiku segera tersulut sampai ke ubun ubun. Mataku sudah nanar, tapi tetap kupaksakan untuk paling tidak menghajarnya dengan tongkat ini.
Tanpa banyak bicara lagi, aku langsung berlari menerjangnya. Begitu juga dia berlari menyongsongku dengan palunya yang sudah mengeluarkan kilatan kilatan listrik. Dalam satu gerakan, pandangan kami bertemu, tubuh kami hanya berjarak beberapa centi. Kuayunkan tongkatku mengarah ke kepalanya, tapi dia juga berniat memukulkan palunya ke perutku.
Praakk.... entah darimana suara itu berasal, dari perutku yang remuk atau kepalanya yang pecah. Tapi aku lihat darah mengucur dari bibir Andra. Dan aku tidak tahu apa yang terjadi padaku, tampaknya aku terpental ke udara karena pukulan Andra itu. Aku cukup puas.
Bruukk.... tubuhku jatuh, mencium tanah. Sudah benar benar tidak ada lagi tenaga, bahkan untuk mempertahankan kesadaranku. Dalam pandangan terakhirku, aku melihat Andra jatuh, Marissa tampaknya bangun dari pingsan, dan merangkak ke arahku dan yang terakhir, seseorang berlari dari arah pintu masuk. Seorang wanita.
HOSPITALIZED
Kepalaku pusing sekali. Mataku berat untuk dibuka. Tapi aku harus, aku harus bangun. Apa sebenaranya yang terjadi padaku. Aku ingin tahu.
Rasanya aku baru saja tertidur, mungkin tepatnya pingsan. Ya, pingsan. Pasti setelah pertarungan dengan Andra itu, aku pingsan. Itu sudah pasti, karena bahkan kesadaranku saat itu sudah tak bisa lagi kupertahankan.
Akhirnya mata ini terbuka. Saat pertama kali kulihat barang barang di sekitarku, semuanya serba putih. Tubuhku terselimuti oleh selimut yang tebal, dan di tanganku tertancap jarum infus. Tubuhku rasanya patah semua, sakit dan nyeri dimana mana. Tapi, Dimana ini? Apa yang terjadi padaku sebenarnya?
”Kak... kak Bara... ” suara itu menyadarkanku dari lamunan. Karin berdiri di sampingku. Dia masih memakai seragam sekolah.
”Alhamdulillah... akhirnya kakak sadar, ya allah,” Karin menengadahkan tangannya ke atas, lalu mengusapkannya ke wajahnya. Dia terlihat gembira.
”Aku... dimana?” tanyaku perlahan. Tenggorakan ini masih agak sakit saat dibuat berbicara. Lidahku terasa sedikit kelu, dan bibirku sulit digerakkan.
”Kakak sekarang ada di rumah sakit Dr. Soetomo Surabaya yang baru. Sudah, kakak istirahat saja yah.” Tiba tiba, aku teringat dengan seseorang.
”Dimana Marissa?” wajahnya tiba tiba muincul di kepalaku.
”Oh... Marissa uda siuman, tapi sekarang masih dirawat di kamarnya.” aku lega mendengarnya. Pikiranku yang tadinya tegang, sekarang jadi rileks.
”Rin... tolong ceritakan padaku, apa yang terjadi.” Karin diam. Matanya memandangku tajam. Kemudian dia menunduk, menghela nafas panjang.
”Waktu itu aku masih pelajaran Biologi. Tiba tiba, Kak Sony datang, memanggilku. Dia katakan kakak pingsan. Aku khawatir dan segera berlari mengikutinya. Saat di lapangan parkir, kulihat ada 7 orang yang tergeletak. Salah satunya kakak dan Marissa. Tapi... ”
”Tapi apa?”
”Waktu itu kakak sudah dalam posisi terduduk, bersandar di tembok. Entah siapa yang melakukannya.” aku memang merasa bahwa aku jatuh tertelungkup ke lantai. Sama sekali aku tidak merasakan bahwa aku duduk.
”Menurutmu siapa Rin?”
”Mungkin... mungkin kak Tatia,”
”Kenapa harus dia?” walaupun Tatia agenku, tapi Karin tidak tahu siapa Tatia sebenarnya.
”Waktu aku akan masuk lapangan parkir bersama Kak Sony, Kak Tatia terlihat keluar dari pintu. Dia menyelipkan sebuah benda, keliatannya sapu tangan, ke saku roknya, dan membawa sebuah benda seperti tongkat kecil berwarna biru.” mendengar ini, aku sadar bahwa perkiraan Karin 100% benar. Tidak ada yang tahu tentang tongkat biru itu selain aku dan Tatia.
-
”Berarti Kak Tatia itu baik ya,”
”heh... anak itu ga bisa ditebak,” jawabku singkat.
”Loh, kakak mulai suka sama dia yah?” tanya Karin penasaran.
”Sama dengan Sony ke kamu,”
”Maksudnya?”
”Bukannya kamu tahu Sony tuh suka ma kamu? Makanya dia selalu godain kamu habis habisan.,” kubongkar semua rahasia Sony. Karin hanya diam dan tidak bereaksi. Aku tersenyum tipis. Bukan karena apa apa, tetapi karena lelah dan agak sakit di perut. Walau tidak terlalu parah, tapi untuk bicara sedikit keras saja aku lelah.
Aku mencoba duduk, dan rasanya sudah tidak sakit. Karin berusaha membantuku, tapi kuhentikan. Lalu ku belai rambut Karin sambil tersenyum, berusaha membuatnya tenang. Dia tampak cemas sekali.
Pintu kamarku menginap diketuk beberapa kali. Lalu terdengar suara laki laki mengucapkan salam.
”Rin...” tanpa komando lebih lanjut sudah membukakan pintu. Sony, Ismed dan Steve masuk.
“Pagi Bara...” Ismed menyapa halus. Aku hanya mengedip saja. Sony membawa parsel penuh buah, lalu menaruhnya di meja di sebelah kiriku. Mereka bertiga mengambil kursi lalu duduk di sampingku. Ismed dan Steve, sementara Sony duduk di dekat Karin. Melihat formasi ini, aku tersenyum menggoda pada Karin. Wajahnya langsung memerah.
”Napa senyum senyum ndiri?” tanya Sony bingung.
”Ah nggak.... ” aku ingin meneruskan menggojlok Karin, tapi kepalaku terasa sedikit sakit.
Belum sempat mereka bertanya tanya dan kepalaku membaik, tiba tiba Tatia masuk. Dia beralih ke sebelahku, menggeser posisi Steve dan Ismed, lalu...
.
PLAAAKK.....
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiriku.
”Bodoh!! Apa sebenarnya yang ada di otakmu?! Kenapa kamu nekat ngelawan Andra!! Udah jelas kamu kalah kekuatan dan jumlah, KENAPA!! Apa kamu mau BUNUH DIRI?!” seluruh ruangan tercengang karena perkataan Tatia. Aku bahkan sampai tak bisa bergerak. Tubuhku bergetar hebat.
”Tatia...” aku tidak tahu apa yang harus kukatakan.
”Udah deh,Jangan SOK PAHLAWAN!!” matanya merah. Nanar. Seperti burung gagak siap menerkam mangsanya.
”Kamu tahu, kamu bikin keluargamu cemas. Bikin anak anak se sekolah cemas.... bikin... aku...” airmata mulai menetes, setitik demi setitik. Aku tak pernah melihatnya seperti ini. Tatia melepas semua atribut keangkuhan dan keangkeran yang selama ini dia perlihatkan. Sekarang dia jatuh, jatuh sebagai wanita yang tersakiti. Olehku.
”Semuanya... hanya demi Marissa.... hanya demi dia.... kenapa harus dia? Kenapa?!” Sony, Steve, Ismed, Karin dan aku sendiri, benar benar dibuatnya terpaku. Entah begaimana dengan mereka, untukku, ini adalah perubahan yang benar benar mendadak. Tapi aku segera sadar, ini tidak mungkin Tatia yang asli. Aku yakin ini hanya aktingnya sebagai ”tunangan yang khawatir”. Karena seperti kata Tante Nora, aku tidak boleh berharap terlalu banyak pada Tatia.
”Mbak... udah... ayo,” Karin yang dulunya tidak begitu suka dengan Tatia, tiba tiba berubah. Dia memeluk Tatia untuk menenangkannya. Karin membawanya keluar. Tatia sukses membuat Karin bersimpati padanya. Dalam hati aku sangat takjub dengan kemampuan akting Tatia. Benar benar natural.
”Liat Ra. Dia sayang banget kamu ma kamu. Uda aku bilang dari dulu. Kamu malah selingkuh.” kata Karin begitu dia kembali. Aku mengerti, memang ekspresi seperti ini yang diinginkan oleh Tatia. Jadi aku akan mendukung. Kupasang wajah bersalah, sambil menunduk.
”Dia kenapa Ra?” tanya Sony, Steve dan Ismed.
”Pada saatnya nanti, loe semua bakal gue kasih tau.”
Hari itu, banyak teman temanku yang menjenguk. Mereka memberikan berbagai macam buah buahan. Rully dan Sandy membawa pulang sekitar 5 plastik berisi buah, susu, dan berbagai macam barang. Tidak hanya teman sekelas, adik kelas dan teman kelas lain juga. Mungkin karena aku aktif di OSIS dan basket, jadi punya banyak kenalan.
Malam tiba, aku tidak bisa tidur, mungkin karena bulan yang terlihat di atas begitu terang. Aku jadi tidak bisa tidur. Padahal aku sendiri yang minta untuk dibuka. Secara aku belum bisa jalan juga.
Tiba tiba pintu kamarku dibuka. Tatia masuk. Kali ini sendirian. Sudah tidak tampak kesedihan yang tadi ditunjukkannya. Sekali lagi, ekspresi dingin itu muncul lagi.
Kami saling pandang. Lama sekali. Aku tidak mengerti apa maksudnya, karena tatapannya juga amat dingin, tapi aku tahu ada satu makna diantaranya. Tapi aku tak berencana membukanya sekarangn. Kualihkan pandanganku ke bulan yang sedang purnama.
”Besok lusa akan diadakan persidangan kasusmu dan Andra. Tentunya melalui Depdiknas" otakku serasa berputar cepat. Tindakanku itu direspon begitu rupa, sampai Andra harus dilaporkan ke Depdiknas.
”Kalian akan bergerak atas nama Deppeten?”
”Tidak, yang bergerak nanti adalah ibumu.” kata Tatia.
”Bagaimana bisa?”
”Depdiknas menawari ibumu untuk bersidang melawan Andra, dan direspon positif. Maka kami dari Deppeten, yang sebenarnya paling berkepentingan, telah menyiapkan bukti bukti.” aku melihat kecemasan sedikit tersirat di mukanya.
”Aku jamin kita pasti menang, karena hakimnya sudah dipilih langsung binaan MA (Mahkamah Agung). Dipastikan netral, karena dia hakim diimpor langsung dari Mars. Dan tak pernah ada satu orangpun yang pernah mengetahui identitasnya selain internal Deppeten dan Dephukam.” Kali ini wajahnya menjadi sedikit cerah. Aku pun lega, dan tak berpikir macam macam. ”
”Bagaimana dengan kekasihku?”
”Dia tidak akan datang kesini. Kami masih terus mencarinya, tapi tidak usah khawatir tentang keamananmu disini, deppeten telah memberikan kelas S di sini.” Tatia mengatakan sambil melihat ke arah jendela. Tak ada yang bisa kulakukan selain berdoa dan percaya pada Deppeten.
Tatia menuju ke pintu.
”Tat.... aktingmu tadi bagus banget,” pujiku tulus.
”Ak... akting?” dia tampak bingung. Pastinya aku juga.
”Iya, waktu kamu ngelabrak aku tadi.” tersirat ekspresi ragu di wajahnya. Lalu dia tersenyum. Dan pergi.
Malam itu aku masih memikirkan banyak hal. Tidak hanya persidanganku dengan Andra, tapi juga dengan Farah. Apa yang dia lakukan sekarang, apa yang dia inginkan sekarang.
Belum habis aku berpikir, seseorang membuka jendela kamarku. Selain berbagai pertanyaan lain tentunya.
”Fa... fa.... farah?” seluruh tubuhku bergetar. Ketakutan menjalar dari otakku ke seluruh tubuh, Bagaimana dia bisa masuk ke sini, padahal penjagaan dibawah ketat.
Dia tidak memandangku. Dia memunggungiku, menghadap keluar jendela.
”Dulu kau sering panggil aku lunar... ” dia menoleh ke arahku. Aku seperti tercengang, terus memandangnya. Tak bisa berkata apa apa.
”Kamu cepat sembuh ya... besok aku datang ke sidangmu... aku pergi dulu...” dan dalam satu kedipan mataku, dia telah menghilang lagi.
Galau hati ini campur aduk sekali. Kedatangan Farah benar benar tak terduga. Pertemuan singkat itu seolah olah semakin menegaskan maksud dari kedatangannya ke dunia ini, yang selama ini terpikir olehku.
-
”Itu jelas tidak mungkin... Dia kesini ingin membunuhmu.”
”Oke, itu anggapanmu. Tapi buktinya dia kemarin datang dan berbicara denganku.”
”Kamu mengigau bara... itu bukan Farah... dalam catatan video dan literatur semua petugas Deppeten dan RSUD tidak ada yang terlihat sama sekali di kamarmu pada jam itu,”
”Tapi aku yakin sekali itu Farah...” entah kenapa aku jadi begitu ngotot. Tapi ini memang benar, aku yakin Farah ada di sana.
Tiba tiba pintu kamarku ada yang membuka. Dia, Marissa.
Dia tersenyum kepadaku, kemudian masuk. Aku segera membenahi posisi dudukku.
”Ris, kenapa kamu ada disini?”Tanyaku. Dia diam, hanya memandangku. Tiba tiba dia mulai berkaca kaca, menangis.
”Aku kesal sama kamu bara,,,,” katanya sambil tersedu sedu. Aku bingung hingga tidak bisa menjawab. Padahal aku merasa tidak memiliki kesalahan apapun padanya. Tiba tiba muncul hal lain di kepalaku.
”Kenapa kamu rela dipukuli sama Andra?” tanyaku dengan nada kejam, sedikit marah. Sekali lagi dia tidak menjawab, hanya terus menangis. Aku memegang wajahnya, mengangguk padanya. Ingin meyakinkannya, bahwa tidak apa apa bicara padaku. Tapi reaksinya sungguh lain. Dia langsung mencampakkan tanganku.
”Karena ayah andra adalah rekanan bisnis ayahku yang paling penting.” kembali, pernyataan yang membingungkan mengguncangku. Jadi, ini semua hanyalah masalah ekonomi?
”Jika dia tidak ada di samping ayah, maka Evergreen, kegiatan yang sangat kucintai, akan mati. Kau mengerti Bara?” Dia memandangku seolah ini semua gara gara aku. Apa dia sama sekali tidak memandangku?”:
”Jadi kau mengorbankan dirimu untuk Evergreen? Apa Ayahmu tahu?”
”Tidak. Tentu saja jika dia tahu dia akan lebih memilihku. Tapi aku tahu keuangan ayah tidak akan sama lagi...”
”Bukan kah itu lebih baik daripada kamu harus seperti ini?” nadaku meninggi.
”AKU INI TIDAK PENTING!! Evergreen jauh lebih penting!!” Marissa marah sekali. Tangisnya bercucuran, bukan karena kesedihan, tapi kemarahan yang membuncah dan meledak ledak.
”A.... Apa maksudmu?”
”Kamu tahu, Ibuku mewariskan Evergreen sebagai kenang kenangan terakhir untukku. Aku.... aku harus menjaganya.... apapun yang terjadi....
”A... aku minta maaf”
”Tidak...” dia mengusap airmatanya...”tidak perlu minta maaf Bara. Asalkan... asalkan di persidangan sekolah nanti kau mau mengalah pada Andra... maka kau akan kumaafkan.”
”Itu tidak bisa!! Andra sudah termasuk golongan kriminal”
”Maka aku tidak akan pernah menjadi temanmu lagi!” dia bangkit, keluar sambil membanting pintu.
-
MAXIMALIZER
Pagi yang cerah untuk jiwa yang sepi. Sayangnya matahari tak bersinar menembus ruanganku. Hanya sedikit pantulannya saja yang ada di sini. Badanku sedikit bisa bergerak, jadi kucoba untuk berdiri dan membuka jendela.
Kurasakan segar pagi di tiap sel tubuhku. Merasuk begitu rupa, membuatku sedikit lupa akan peristiwa kemarin. Bahkan ketika tidurku hanya sekitar 4 jam tadi malam, hari ini aku merasa amat bugar. Aku sebenarnya ingin jalan jalan ke bawah, ke taman, tapi selang infus ini kan tidak bisa melayang sendiri.
Ada yang membuka pintu kamarku. Tapi aku tidak peduli. Paling Cuma suster yang rutin membawakan obat.
”Pagi Bara.” terdengar suara yang tidak asing di telingaku.
”Ag... Tante Nora?” Tante Nora datang bersama seorang suster yang membawa beberapa obat obatan dan sarapan. Suster itu segera menyuruhku duduk di tempat tidur dan memberikan beberapa medical check up padaku. Dia memberikan obat obatan apa saja yang harus kuminum, serta memberikan beberapa instruksi. Setelah selesai, suster keluar. Dan Tante Nora tinggal.
”Tidurmu nyenyak?” tanyanya. Tante Nora berpakaian rapi. Sepertinya akn langsung pergi ke Sidang. Dan seharusnya aku tidak perlu menjawab. Pasti dari wajahku sudah terlihat bagaimana kacaunya tidurku.
”Yah, lumayan.” kataku sambil menoleh padanya.”Apa mama tahu Tante disini?”
”Ya. Ini juga atas permintaannya. Ibumu baru bisa datang ke sini pukul 08.00 nanti, karena jalur dari rumahmu, rumah sakit ini, dan tempat persidangan sejalur. Dia juga tidak tahu lokasinya, jadi dia akan menjemputku di sini.”
”Oh... gitu. Sidangnya sekarang?”
”Ya. Pagi ini kami akan bersidang. Vonis akan diputuskan nanti malam dan hukuman bagi yang kalah diberlakukan besok pagi,” katanya.
”Kenapa mendadak sekali?”
”Memang ini cara pengadilan baru di bawah Kejati, yaitu Pengadilan Pendidikan. Mungkin kamu tidak pernah mendengarnya, karena kasus pertama yang ditangani memang kasusmu ini,” Tante Nora mengambil piring sarapanku. Kemudian menyuapkan satu sendok nasi padaku. Jujur awalnya aku risih, tapi dia memaksa. Akhirnya sedikit demi sedikit kubuka mulutku. Saat aku mulai mengecapi makanan, dia tersenyum. Membuatku semakin malu saja.
Rasa dari makanannya standard saja. Tapi sensasi yang kudapat sangat lain. Seingatku, seumur hidup aku tidak pernah sekalipun disuapi seorang ”ibu”. Mungkin wajar jika aku begitu ”bergetar” saat dia akan menyuapiku.
”Lalu, tentang Marissa.” Tante Nora berhenti sebentar. Terlihat dia menunggu reaksi dariku. Tapi aku mengangguk, menandakan bahwa aku siap mendengarkan apa saja. Sudah terlalu banyak hal yang membuatku terganggu. Jadi ditambahi lagi rasanya akan pun sama saja.
”Aku tidak mau kamu terlalu memikirkan dia. Sehingga bisa menganggu pemulihan kesehatanmu. Kamu harus cepat pulang karena di sini tidak aman, karena seperti kamu lihat sendiri, Farah gampang sekali menerobos masuk kan?” aku setuju jika Farah sangat gampang masuk, tapi jika Farah adalah faktor yang disebut ”tidak aman”, aku masih meragukannya. Tapi aku tidak protes, masih terus mendengarkan. Toh hasilnya akan seperti malam tadi, hanya menghabiskan tenagaku tetapi mereka tetap tidak akan merubah pendiriannya. Tante Nora pun tidak lepas menyuapi aku. Sungguh aku merasa aneh, tapi senang, diperlakukan seperti ini.
”Tapi Marissa bilang padaku....”
”Ya, kami sudah mendengar semuanya. Kesimpulan kami, dia akan menjadi batu yang mengganjal. Jangan heran jika besok pagi dia akan menjadi headline semua koran dan televisi.”
-
”Apa maksudnya?”
”Menurut Tatia, Marissa akan melakukan apa saja demi mempertahankan Andra. Bisa jadi, dia melakukan tindakan gila, seperti menjadi saksi kunci untuk membuatmu kalah dalam persidangan. Dia akan memberikan kesaksian palsu. Tapi kami sama sekali tidak gentar, karena kami memiliki rekaman semua kejadian di dalam sana. Rekaman langsung dari Departemen Angkasa. Kami sebut saja itu kebetulan.”
”Bagaimana Departemen Angkasa melakukan itu? Bagaimana mereka tahu tentang pertarunganku?”
”Tatia... dia mengirimkan pesan kepada mereka, dgn membobol kira kira 20 sistem security pemerintah indonesia, belum sistem pertahanan Departemen Angkasa, hanya dengan ponsel, mengancam mereka untuk merekam semua pertarunganmu itu atau diaktifkan sistem peledakan diri otomatis satelit itu. Plus dia sebarkan virus yang bermutasi sendiri setiap detiknya. Aku sendiri tidak tahu dia punya senjata seperti ini. Dan setelah dia rusak ponselnya, aku tinggal memeriksa arsipnya dengan bantuan beberapa menteri yang mengetahui tentang kamu, memberikan antivirus buatan Tatia atas nama Departemen Ristek, dan beres.
"Aku kagum dengannya. Bahkan tanpa instruksi dariku, yang notabene atasannya, dia sudah melakukan tindakan yang sebegini berisiko. Karena bisa saja apabila dalam 1 menit dia tak berhasil menembus semua perisai itu, Brimob terdekat akan datang.” Semua Firewall pemerintah dalam tempo 1 menit? Termasuk 3 lapis Firewall Departemen Angkasa yang masuk dalam Big 5 Unbreakable Internet Security di dunia?? Nyebarin virus anti-deleted??? Semuanya lewat Ponsel ????
Gilaaa.... Gilaaaaa.... bener bener gilaaaa.... aku sama sekali ga pernah denger kemampuan kayak gini, menyerang lewat ponsel, di dunia... Kenapa dia ga jadi hacker or cracker aja? Duit n popularitasnya pasti melejit... Terlalu sia sia dia jadi sekedar agen rahasia yang ga terkenal di dunia...
”Apa yang terjadi jika Marissa benar benar melakukan tindakan gila itu?”
”Dia akan diberi sanksi. Tentunya untuk kelas pelajar. Misalnya tidak diperbolehkan mengikuti organisasi diluar sekolah, pengawasan ekstra selama jangka waktu tertentu, wajib lapor dan sebagainya. Yang jelas bukan hukuman seperti kurungan atau kerja sosial.” entah sudah berapa suapan yang kukecap. Tidak terasa, tiba tiba piringnya sudah kosong. Tapi perutku tidak merasa kenyang. Tante Nora menyodorkan segelas air putih. Aku meneguknya, sambil teringat sesuatu yang sangat penting.
”Tapi, bukankah reputasi Evergreen dan Marissa sendiri akan jatuh?”
”Benar...”
”Tolong jangan. Jangan buat dia semakin tersiksa. Sekurang kurangnya, biarkan dia hidup dalam hukuman, tapi tidak menanggung rasa malu. Tolong Tante, bebaskan sidang itu dari pers.” aku memandang sambil memohon padanya. Lalu aku bersujud padanya. Dia langsung mengangkatku. Tapi aku tidak mau. Aku akan terus begini sampai dia mengatakan ya.
”Tante... aku mohon.” kataku lagi.
”Iya Bara... iya... sudahlah... kami akan mengaturnya. Jadi kamu tenang yah...”
”Kalian berjanji?” aku belum percaya. Dia mengangguk dalam. Aku pun bangkit. Kemudian berterima kasih berkali kali padanya.
Bagiku, Marissa hanyalah korban. Dia korban dari dirinya sendiri, dari sifatnya sendiri. Dari kecintaannya terhadap keluarga dan mendiang ibunya. Jadi tidaklah pantas jika aku merebut semuanya, hidupnya dan Evergreen.
Aku sangat yakin bahwa sidang akan berada dimenangkan oleh kami. Karena yang ada dibelakang ibuku adalah Deppeten dan berbagai organisasi.
-
Aku sangat yakin bahwa sidang akan berada dimenangkan oleh kami. Karena yang ada dibelakang ibuku adalah Deppeten dan berbagai organisasi.
Aku meminta di ajak jalan jalan ke bawah oleh Tante Nora. Dia tidak keberatan, dan membawakan selang infusku. Dia memasangkan alat aneh, bernama 1955, sehingga infus itu melayang sendiri. Saat ada sesuatu yang menghalangi juga, infus bisa menghindar.
Taman dipenuhi oleh orang orang tua dan beberapa pasien berkursi roda yang berjalan jalan. Taman itu bergaya mediteranian. Berbentuk pentagon; ditumbuhii pohon pohon rindang di setiap 72 derajat, dan tumbuhan berwarna warni khas khatulistiwa di pojok pojoknya.
Memang sangat indah. Apalagi mentari belum terlalu tinggi, sehingga sinarnya hangat menembus kulit. Udara pun sangat segar, benar benar suasana yang menenangkan.
Setelah aku berjalan jalan bersama Tante Nora dan bercengkrama bersama beberapa orang tua, aku merasa lelah. Mungkin karena sakitku ini. Kemudian duduk di sebuah kursi taman di bawah sebuah pohon ceres yang rindang.
”Sedari kecil, Tatia uda sama tante?” tanyaku.
”Iya kenapa?”
”Apa sejak kecil sifatnya sudah seperti ini?” tanyaku. Tante Nora memandangku aneh, tapi tak lama berpaling lagi.
”Nggak... dia dulu ceria sekali. Agen muda berkualitas yang memiliki banyak teman. Kalo kerasnya memang dari dulu. Tapi jika yang kamu maksud adalah sikapnya yang sangat dingin kepada semua laki laki, itu terjadi baru baru ini saja.”
”Kenapa itu?”
”Entahlah.... Dulu dia adalah agen junior bimbinganku sendiri. Aku dan dia sudah seperti sekarang ini, ibu dan anak. Sampai dia menjadi agen muda pun, dia masih dekat denganku. Terakhir kali kutahu dia memiliki pacar yang 8 tahun lebih tua. Seorang pilot muda AR yang cukup ganteng. Waktu itu usianya sekitar 16 tahun, waktu dia kelas 1 SMA. Entah kenapa begitu kelas 2 dia berubah menjadi sangat dingin. Dan aku juga tidak pernah melihat pacarnya lagi.”
“Trauma kali? Putus ma pacarnya?” kataku sambil mengangkat bahu.
“Nggak... Tatia bukan cewek kayak gitu. Aku tahu banget. Entahlah, pasti ada sesuatu yang lebih hebat dari sekedar putus.”
Kenapa aku jadi memikirkan Tatia? Padahal urusanku sendiri belum selesai semua. Benar benar bodoh. Pasti Tante Nora dalam pandangannya yang tadi mikir hal yang sama...
Tak lama kemudian, beberapa orang muncul dari arah pintu masuk taman. Dari kejauhan aku melihat, Mama, Karin, Rully, Sandy dan Tatia datang.
”Mama...”
”Bara, Kamu di sini saja. Mama bakal mengusahakan semampu mama untuk memenangkan sidang. Kamu cukup berdoa aja. Oke?” aku mengangguk. Mama mengelus elus rambutku kemudian pergi dengan Tante Nora.
”Ini kak.... ” rupanya Karin membawakan handphone dan laptopku. Senyumnya tidak terlalu jelas, mungkin masih memikirkanku.
”Makasih rin.”
”Ya.” dia juga pergi. Entah kenapa aku merasakan ada yang lain dari tatapannya. Tapi sebelum mereka semua pergi aku menarik tangan Tatia.
”Kamu kok ikut? Ga sekolah?”
”Nggak, aku diijinan ma Tante Nora. Laagian aku juga salah satu saksi yang bakal dipanggil mamamu untuk persidangan.” katanya. Kulihat kunci mobilku di saku celananya.
”Kok mobilku ada di kamu?”
”Mamamu yang nyuruh.” dan Selalu, dengan ekspresi yang datar. Benar juga. Tatia orang pertama yang mendatangi kami saat pertarunganku itu.
Aku segera melepaskan tangannya. Kemudian dia juga pergi.
Maka tinggallah aku sendiri di rumah sakit. Tak lama setelah mereka pergi, aku sendirian kembali ke kamar. Dan Yang bisa kulakukan, seperti kata Mama, hanya menunggu dan berdoa, sementara semuanya berjuang demi aku di persidangan.
Harap harap cemas menghantuiku, tapi bukan tentang aku. Ini lebih tentang Marissa. Apapun, aku merasa iba padanya. Dia korban dari dirinya sendiri. Selain itu, perasaanku selalu mengatakan yang lain. Itu benar benar menggangguku, karena otakku pun belum bekerja penuh. Masih terasa sakit saat diberikan tugas berpikir yang sedikit keras.
”Son, gimana keadaan di kelas? Aman?” karena suntuk, aku menelepon Sony. Tepat waktu jam istirahat.
”Ga ada kamu tambah aman kelas ini.”
’Hah... sialan loe. Kalo ga ada gw kamu kangen kan?”
”Eh, sapa bilang? Kita kan uda putus,” gayanya jadi sok banci. Aku langsung berlagak muntah muntah. Seperti ibu hamil ga keluar anak 3 tahun. Di seberang sana dia ketawa ngakak.
”Kok Tatia juga ga masuk? Loe janjian ya? Uda mau kawin nieh kayaknya....” katanya merujuk ceritaku tentang pertemuan awal aku dan Tatia.
”Janjian Bathukmu!! Gue sekarang di rumah sakit. Tatia dimana juga ga tau.” kataku berbohong.
”Walah jon, jangan jaim gitu lah. Tapi Marissa n Karin juga ga masuk ya.”
”Nah loh, loe pikir gw janjian ma 3 cewe sekaligus? Dan kencan romantis di rumah sakit sama adik sendiri?” dia ketawa lagi. Masak hidup dihabisin ketawa terus.
”Hahahaha.... tapi Ra, gue mau loe jawab jujur.”
”Apa?”
”Loe ada hubungan apa ma Tatia?” Deg... tak kusangka pertanyaan seperti ini yang diajukannya. ”Gue sering lihat, sebenarnya dibalik permusuhan kalian dikelas, kamu sering jalan jalan waktu istirahat ke suatu tempat kan? Berdua aja... Ngaku deh lo...”
sebenarnya, aku tak boleh membicarakan hal sensitif ini. Tapi, baiklah. Toh dia teman baikku. Teman yang sudah sangat kupercaya dan kuhapal sifatnya.
”Gue uda tunangan ma Tatia...”
”APAAAA!!!” suaranya langsung sopran. Serasa memecahkan gendang telinga.
”Hanjrit... jok get get suoromu jon. Rumah sakit iki, gak alun alun.”
”Woh iyo...” dia meminta maaf.
”Tapi....” kujelaskan dari awal bagaimana hubungan mama dan Tante Nora, serta sikap mereka berdua terhadap satu sama lain. Tentu saja bukan hubungan yang ”asli”.
”Oh gitu...”:
”Iya, jadi mama masih bolehin aku jalan ma sapa aja. Tatia juga. Kami seperti ga ada ikatan apa apa. Jangan bilang ma Steve n Ismed, Ya?” dia mengangguk.
”Trus gimana pedekatemu ma Karin bro?” tanyaku mengganti topik. Karena walaupun sudah kujelaskan sedikit, pastinya masih ada yang mengganjal, apalagi jika dia denger omong omonganku dengan Tatia.
”Walah, adikmu sulit banget jon. Uda beragam cara gw coba, hasilnya nihil. Emang sih anaknya asik buat ngobrol, tapi ya gitu, dia sulit nerima cowok. Keliatannya ada yang lain di hatinya.”
Aku tidak heran, karena Karin memang adikku yang paling keras. Tentu melupakan pria yang pernah masuk di hatinya tak akan mudah. Tapi aku sama sekali tidak tahu jika dia memiliki pacar atau paling tidak laki laki dekat lain di sekelilingnya.
”Oh.... sory banget jon. Tapi gw kira dia cocok ma loe,”
”Ya, gw ma dia emang uda cocok. Tapi ya itu tadi, sepertinya masih ada yang ngganjel di hatinya buat nerima gw. Loe kapan masuk?”
”Hari ini juga gw uda bole pulang kok. Besok juga uda masuk.”
”Iya, jangan lupa besok kita mulai training bwat kompetisi. Loe pasti dateng kan? Masak sakit gitu aja ngehalangin loe sih.”
”Ya. Gw pasti dateng.” aku langsung menutup telepon. Kemudian dengan wajah cerah, rebahan di kasur.
Sekarang sudah tidak ada lagi yang ku khawatirkan. Semangatku pun kembali muncul karena aku akan kembali menjadi diriku, duniaku, yaitu basket, besok.
-
wah jarang2 ada yg nulis cerita fiksi bagus kek gini
keep the good work bro!
-
thanks man....
ditunggu terus komen pembaca yang lain... coz itu penambah semangat paling mujarab buat gw... ^^
------------------------------------------------------------------------------
Tiba tiba aku terjengkang. Tidak terasa, ternyata aku tertidur. Kulihat jam, sekarang sudah pukul 12. Tapi kenapa orang orang belum datang?
Aku segera menenggak obat obatan yang dari tadi disiapkan suster pagi tadi. Karena katanya hari ini aku akan check out, aku bersemangat sekali.
Tiba tiba pintu kamar dibuka. Tatia masuk. Entah ada gerangan apa, dia tiba tiba duduk di sampingku. Memandangiku seperti aku orang aneh.
”Apa?” kataku agak parau karena mulutku tersumpal roti.
”Nggak...” aku selalu sangat memperhatikan tiap ekspresi dari Tatia. Karena bagiku membuatnya ber”ekspresi” adalah kemajuan. Entah kemajuan untuk apa, tapi setiap kali melihat dia berekspresi sedikit saja, aku senang sekali. Dan sekarang dia hampir tersenyum.
Kukunyah dan kutelan cepat cepat roti dan setelahnya minum obat.
“Gimana hasil sidangnya?” tanyaku penasaran. Tatia tidak menjawab. Wajahnya kembali datar. Dia berdiri, lalu mengambil alat yang sedari tadi menempel di kantong infusku. Dicantolkannya kembali kantong infus itu di tiangnya. Ternyata baterainya habis, dan sekarang tinggal melayang 2 centi di atas tanah. Pantes kok rasanya aku dehidrasi terus, lah ga masuk infusnya.
”Kita menang.” katanya sembari kembali duduk disampingku. ”Sekarang ibumu dan Tante Nora masih mengurus beragam administrasi di pengadilan pendidikan. Vonis akan dijatuhkan nanti malam, dan hukuman berlaku efektif mulai besok pagi, maksimal 3 hari setelahnya.” jelasnya. Aku sudah menduga ini sebelumnya, karena tentu saja orang orang yang ada di belakang mama sangat kuat. Entah bagaimana caranya, pasti Tante Nora bisa memberikan data data penting tanpa membuka samarannya. Tapi ada satu hal lagi yang ingin kuketahui.
”Kamu kok sudah di sini?”
”Aku disuruh dateng ke sini duluan ma Tante Aline. Ga tau kenapa...”
”Bagaimana dengan Marissa?”
”Jangan nyebut nama dia deh,” nah loh... sekarang 2 cewek ini saling benci??
”Kenapa?”
”Dia bodoh. Seperti perkiraanmu...” wajahnya amat jengkel, bercampur letih. Aku segera mengerti. Harapanku terlalu tinggi pada Marissa. Tidak mungkin rasanya dia akan melakukan hal yang dinalar dulu. Marissa terlalu memainkan perasaan dalam menjalani hidupnya.
”Tapi, kalian gak...”
”Iya... kami sudah melakukan sesuai dengan permintaanmu. Marissa gak diekspos oleh satupun pers.” pandangan Tatia beralih menerawang ke langit di luar.”Berita yang mungkin muncul di sekolah nantinya pun hanya berita tentang kemenanganmu terhadap Andra, tidak akan ada berita tentang Marissa yang bersaksi melawanmu.” aku pun menghela napas panjang. Rasanya lega sekali.
”Tapi kenapa juga sih kamu minta yang kayak gitu? Bukannya lebih baik dia terhukum?” dia bertanya ketus.
”Kamu ga tahu apa apa tentang dia...”
”Maksudmu?”
”Napa kamu tanya kayak gitu?” tanyaku penasaran.
”Ya... enggak... kok kamu segitu perhatian sama dia...” tampaknya dia berkata jujur. Dia berkata begini sambil memalingkan muka. Mungkin, dia mulai berubah sikap terhadapku. Tapi pikiran seperti itu segera kusingkirkan. Aku masih memegang teguh kata kata ”jangan terlalu banyak berharap”.
”Dia cewek pertama yang cocok denganku, dalam 1,5 tahun ingatanku. Itu sebab kenapa aku perhatian terhadapnya. Tapi permintaanku tentang hukumannya, itu murni karena nalarku, tentang kepribadiannya dan masalah masalahnya. Aku sama sekali tak memakai hatiku.” jelasku.
”Kamu.... sudah ga suka dia lagi....”
”Entahlah.... " jawabku setengah hati. Dia diam saja.
Beberapa menit kemudian, Tatia pamit pulang. Akhirnya aku sendiri lagi. Tak ada lagi yang bisa kulakukan selain memencet mencet tombol televisi dan tiduran.
Dari siang itu sampai sore hari, aku melihat televisi terus. Lumayan juga, dapat banyak info gosip artis. Hehehehehe.... tidak.... yang kuinginkan sebenarnya berita tentang Evergreen. Apa pengaruhnya memang seperti yang dikatakan Marissa? Membuat organisasi mulia itu jatuh ambruk seketika?
Ternyata itu benar. Menjelang maghrib, hampir semua stasiun televisi swasta mengabarkan tentang kehampirbangkrutan Evergreen. Di lubuk hatiku, Aku sedikit merasa bersalah, bahwa Evergreen akan segera hancur adalah karena aku secara tak langsung.
Tapi ini semuanya demi menegakkan keadilan. Jika laki laki seperti Andra tidak menerima balasannya, bisa bisa dia akan melukai lebih banyak lagi wanita, dan tidak akan sadar dari kegilaannya. Dan cara yang dilakukan Marissa untuk memajukan Evergreen adalah sepenuhnya salah. Jadi segera kuhapus perasaan bersalah itu sekuat tenaga.
Sekitar jam 7 malam, seorang suster berbaju batik masuk ke kamarku. Dia mengatakan bahwa aku sudah diperbolehkan pulang. Tidak lama Karin dan Rully menjemputku.
”Karin...”
”Ada apa kak?”
”Mana Tatia?”
”Dia ga datang... belajar katanya.” katanya tanpa memandangku. Karena di sini tidak ada barang barangku selain 2 potong kaus dan handuk, aku mengangkutnya sendiri. Setelah suster mencabut infus dan beberapa panel listrik di punggungku, aku berjalan keluar bersama Karin dan Rully. Di luar, kami disambut Tante Nora.
”Mama mana?”
”Dia di rumah sama Sandy. Kan dia ga bisa nyetir, jadi aku yang jemput kamu.” memang, Tante Nora memakai mobil ayah. Aku segera memasukkan semua barang dan beranjak duduk.
Sebelum aku masuk, aku melihatnya. Marissa, keluar dari rumah sakit bersama ayahnya. Di ikuti Andra, dengan ayah ibunya. Mereka semua tampak terburu buru. Aku bertatapan dengan Andra, tapi dia memalingkan muka. Saat kupandang mata Marissa, dia tampak berkaca kaca, tanpa memandangku. Mereka berdua duduk dalam 1 mobil. Bersama ayah dan ibunya masing masing.
Aku kesal sekali. Sampai memukul atap mobil. Kenapa Marissa harus bersama anak itu lagi!! Kenapa dia berbuat seperti itu padaku!! Apa dia sama sekali tidak memandangku, minimal sebagai kawan!! Ingatan ingatan menyebalkan muncul lagi di kepalaku. Hatiku yang tadinya sudah bisa tenang, sekarang mendidih lagi.
”Kak... ” Karin keluar dari mobil, kemudian memegang tanganku. Aku memandangnya dengan marah. Tetapi matanya yang lembut meruntuhkan amarahku. Matanya membuatku tersadar, bahwa aku bagaimanapun, saat ini aku adalah seorang kakak. Haram bagi seorang kakak untuk berlaku lemah dan memberikan contoh tidak baik pada adik adiknya. Maka kucoba sebisanya meredakan gejolak jiwa ini. Setelah sedikit tenang, aku masuk ke mobil.