Alex Ferguson, 19 Trofi untuk MU
Hari itu, Selasa pagi 7 November 1986, seorang pria berusia 44 tahun memasuki ruang gym di kompleks Old Trafford yang diperuntukkan khusus untuk para pemain Manchester United. Tak satupun pemain The Red Devils yang ada di ruangan itu mengenal pria tersebut.
Tapi, pria itu, Alex Ferguson, tak peduli. Dengan suara tegas dan wajah penuh keyakinan, dia pun menancapkan kuku kekuasaannya yang pertama di Old Trafford. "Dengar kalian semua, saya tidak peduli kalian siapa, atau reputasi kalian. Saya pelatih baru di klub ini dan saya yang berkuasa disini," tegas Ferguson seperti dikenang kembali Norman Whiteside, bintang muda United saat itu, dalam wawancaranya dengan Sam Wallace dari harian The Independent.
Sehari sebelum datang ke gym itu, Ferguson memang baru saja resmi diangkat sebagai pelatih United menggantikan Ron Atkison. Sebuah keberanian yang luar biasa karena United saat itu tengah terpuruk pada posisi ke-19 klasemen sementara Divisi I (berubah jadi Premiership mulai musim 1992-1993, Red) Liga Inggris. The Red Devils juga mengalami paceklik gelar liga sejak 1967.
Di sisi lain, Fergie-sapaan akrab Ferguson-datang dengan bau harum dari Aberdeen. Selama delapan tahun menangani klub Skotlandia itu, total sembilan gelar berhasil dipersembahkan pria kelahiran Glasgow tersebut.
Tapi, Fergie sadar betul dengan beratnya tantangan yang harus dihadapi. Itu sebabnya, ketika kali pertama beraudiensi dengan Dewan Direksi United, dia langsung menegaskan kalau dia datang ke Old Trafford bukan untuk sekadar mendapatkan gelar.
"Saya datang untuk membangun sebuah tim," tegasnya kala itu seperti dikenang salah satu anggota Dewan Direksi United, Sir Bobby Charlton.
Dan sejak kedatangannya di gym di Selasa pagi itu, dimulailah pekerjaan membangun tim itu dengan sendi utama berupa kerja keras dan kedisiplinan. Fergie tak butuh nama besar, apalagi pemain flamboyan.
Maka, dari semua anggota tim warisan Atkinson, hanya Bryan Robson dan Clayton Blackmore yang bisa bertahan selama lima tahun. Selebihnya rata-rata dibuang Fergie hanya semusim setelah dia berkuasa.
Budaya party dan booze (pesta dan mabuk-mabukan) yang sebelumnya lekat dengan para pemain United dikikisnya habis. Hasilnya memang tidak langsung terasa. Tapi, memang tak ada jalan yang instan untuk urusan membangun tim.
Fergie baru merasakan gelar pertamanya tiga tahun setengah setelah mendarat di Old Trafford. Itupun hanya berupa trofi Piala FA. Tapi, keberhasilan itu menjadi kendaraan yang mengantarkan Fergie menuju sebuah dekade penuh kesuksesan yang bertahan sampai sekarang.
Total, sudah 17 gelar yang berhasil dikumpulkan Fergie selama 20 tahun berada di Old Trafford. Sebuah pencapaian luar biasa untuk sebuah klub yang pernah harus menunggu 26 tahun untuk mendapatkan gelar liga pertamanya.
"Kunci kesuksesannya hanya satu, karena dia begitu mencintai sepak bola," kata kolega Fergie yang kini melatih Portsmouth, Harry Redknapp.
Tentu tak hanya bermodal cinta. Determinasi, kedisiplinan, kecerdasan, dan juga ketegasan turut berperan besar. Fergie adalah sosok yang tak mau kekuasaannya sebagai pelatih ditentang siapa saja, baik manajemen maupun pemain.
Jaap Stam, David Beckham, Roy Keane, dan yang terakhir Ruud van Nistelrooy adalah contoh mereka yang harus hengkang dari Old Trafford karena mencoba melanggar apa yang ditabukan sang pelatih. Di ruang ganti, pelatih yang selama di Aberdeen dijuluki Furious Fergie (Fergie si Pemarah) itu bisa begitu otoriter. Pemain yang tampil buruk atau tak menjalankan instruksinya bakal disemprot habis di depan semua rekan-rekannya. Dan pemain yang bersangkutan sama sekali tak boleh membantah.
Tapi, semua kemarahan Fergie itu selalu disimpan di dalam ruang ganti atau ruang pertemuan. Begitu berhadapan dengan publik, ganti dia yang rela mati demi membela para pemainnya. Tak peduli seberapa salah si pemain.
Itu yang membuat para pemainnya selalu merasa dilindungi. "Kami selalu merasa dia sebagai bapak yang bisa melindungi kami dari siapa saja," kata Paul Scholes, gelandang yang menghabiskan karirnya di United.
Buntutnya, selama 20 tahun di Old Trafford, United menjadi tim yang sangat minim didera konflik internal. Harmoni di dalam tim inilah yang menjadi salah satu kekuatan terbesar United.
Kekuatan besar lainnya? Determinasi yang tak pernah mati. Gelar sebagai pelatih di level klub yang tersukses di sepanjang sejarah Britania Raya tak pernah membuat Fergie puas. "Saya pikir, determinasi Fergie itu yang membuat kami para pemain juga merasa malu jika gagal menang dan gagal merebut gelar," tulis David Beckham dalam otobiografinya, My Side.
Hari ini, 20 tahun setelah melangkah ke gym pada Selasa pagi itu, Fergie mengaku belum tahu kapan saatnya pensiun. "Saya melihat ambisi itu masih ada di matanya," ujar Pelatih Manchester City Stuart Pearce
Mengubah yang Sulit Jadi Mudah ( Carlos Alberto Parreira)
Tidak mudah menangani tim nasional yang dihuni sederet bintang papan atas seperti Brazil. Di tangan Carlos Alberto Parreira, segala kesulitan itu terasa mudah. Pelatih yang sukses membawa Brazil menjadi juara dunia 1994 itu merupakan figur yang sangat dihormati para pemain Brazil.
Parreira memang punya kemampuan mengendalikan ego para pemain Brazil yang rata-rata tinggi. Dia juga ahli strategi yang hebat. Dua alasan inilah yang membuat bintang-bintang Brazil seperti Ronaldo, Ronaldinho, Kaka, dan yang lain sangat respek pada pelatih berusia 63 tahun itu.
Sosok Parreira sendiri, memang sangat fenomenal. Dia termasuk pelatih yang tidak memiliki background sebagai pemain profesional. Karir kepelatihannya dimulai dalam usia yang sangat muda, 24 tahun. Itu pun statusnya hanya sebagai pelatih fisik. "Orang memang sering mempertanyakan kapasitas saya sebagai pelatih. Saya pikir, ini sebuah tantangan. Sebab, saya memang tidak pernah menjadi pemain. Saya sendiri tidak berpikir kalau suatu saat bisa menjadi pelatih sepak bola. Segalanya mengalir hingga akhirnya saya mencapai tahapan seperti sekarang ini," tutur Parreira kepada situs resmi FIFA.
Parreira sudah dipercaya Federasi Sepak Bola Brazil (CBF) untuk terlibat sebagai salah satu ofisial timnas Brazil di Piala Dunia 1970. Statusnya saat itu adalah pelatih fisik. Dua tahun kemudian, dia naik pangkat sebagai asisten pelatih untuk timnas Brazil yang berlaga di Olimpiade 1972.
Parreira menikmati perannya sebagai pelatih kepala di Piala Dunia pada 1982. Ketika itu dia berhasil meloloskan Kuwait ke putaran final. Sayang, Kuwait gagal melangkah ke babak berikutnya. Sebab, Kuwait bergabung dengan tim-tim tangguh seperti Prancis, Inggris, dan Cekoslovakia.
Namun, bagi publik Kuwait, Parreira tetap dianggap sebagai pahlawan. Sukses membawa Kuwait putaran final memaksa CBF memanggil Parreira pulang. Tantangan besar menanti Parreira ketika dia ditugasi menangani Brazil pada 1983. Parreira hanya 14 laga menangani Brazil. CBF menilai Parreira gagal memperbaiki kinerja Brazil.
Dalam 14 laga, Brazil hanya lima kali menang dan tujuh kali seri. Sepuluh tahun kemudian, CBF kembali memberikan kepercayaan pada Parreira untuk menangani Brazil. Sempat diragukan, Parreira akhirnya bisa mempersembahkan trofi Piala Dunia. Kini, tak ada yang meragukan kapabilitas Parreira. Sejak ditunjuk sebagai arsitek Samba pada 2003 lalu, Parreira berhasil mempersembahkan trofi Copa America 2004 dan Piala Konfederasi 2005.
Biodata :
Nama : Carlos Alberto Parreira
Lahir : Rio de Janeiro, 27 Februari 1943
Kebangsaan : Brazil
Karir Pelatih (Timnas):
2003 - : Brazil
1997-1998 : Saudi Arabia
1992-1994 : Brazil
1990 : Uni Emirat Arab
1983 : Brazil
1978-1982 : Kuwait
1967-1968 : Ghana