Umat Budha Jakarta Kecam Junta Myanmar
JAKARTA - Solidaritas terhadap aksi para biksu Budha di Myanmar masih terus mengalir. Forum Komunikasi Umat Budha (FKUB) Jakarta menilai tindakan brutal junta militer Myanmar telah melanggar hak asasi manusia (HAM).
"Kami menyesalkan tindakan brutal Junta Militer Myanmar membubarkan aksi damai para Bhiksu dan warga sipil tersebut dan jelas-jelas Pemerintah Myanmar telah melanggar HAM," tegas Budiman Sudharma, Ketua FKUB DKI Jakarta dalam rilis yang diterima okezone, Minggu (1/10/2007).
Untuk itu, pihaknya mengharapkan tindakan brutal junta Myanmar tidak berlanjut. Sebab, biksu merupakan simbol Sangha dalam agama Buddha. "Aaksi damai yang mereka lakukan sebagai wujud kepedulian mereka kepada warga sipil dan negaranya," paparnya.
FKUB juga mengharapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberikan sanksi tegas kepada pemerintah Myanmar.
4 Jurnalis Ditahan & 10 Cedera di Myanmar
BANGKOK – Lembaga advokasi media Reporters Without Borders menyatakan, sedikitnya empat jurnalis ditahan dan 10 lainnya cedera dan selama bentrokan antara pengunjuk rasa prodemokrasi dengan militer Myanmar.
Seperti dilansir Associated Press (AP), Senin (1/10/2007), situs berita Thailand Irrawaddy menyebutkan, tiga jurnalis Myanmar telah hilang selama beberapa hari. Mereka diyakini ditahan militer Myanmar saat membubarkan demonstrasi.
Mereka adalah Kyaw Zeya Tun (23) yang bekerja untuk surat kabar The Voice, Nay Lin Aung (20) yang bekerja untuk mingguan 7 Days News, serta seorang jurnalis Weekly Eleven News yang belum teridentifikasi.
Sebelumnya, jurnalis terkemuka Myanmar, Min Zaw (56), dibawa oleh militer Myanmar dari rumahnya. Sebuah kelompok pers di negeri itu telah mengirimkan surat untuk membebaskan Min karena alasan kesehatan.
Reorters Without Borders juga menyatakan sebuah departemen sensor Myanmar yang dikenal dengan nama Divisi Registrasi dan Penelitian Pers, menciptakan kegelisahan terhadap sejumlah redaktur agar tidak memuat isu Myanmar di majalah atau surat kabar mereka.
Selain itu, sejumlah terbitan milik swasta di Myanmar tidak muncul atau ditutup sejak bentrokan dimulai. Bahkan, koresponden asing dari kantor berita asing seperti Reuters dan AFP mengalami serangan fisik oleh militer.
"Padahal, korban dari media mencoba melindungi demonstrasi prodemokrasi pada saat itu,” ungkap Reporter Without Borders.
Jepang Tekan Myanmar
YANGON – Wakil Menteri Luar Negeri Jepang Mitoji Yabunaka telah menuju Myanmar dan berharap dapat bertemu sejumlah menteri senior pemerintahan junta.
Kedatangan Yabunaka ini terkait tewasnya seorang jurnalis Jepang oleh timah panas militer Myanmar dalam aksi unjuk rasa. Yabunaka dilaporkan telah meninggalkan Tokyo, kemarin, menuju Myanmar untuk melakukan "perhitungan penuh" atas insiden berdarah tersebut.
"Saya ingin mengatakan pada mereka (junta) untuk menggelar dialog dengan kekuatan pro-demokrasi dan melapangkan jalan untuk demokrasi," ungkap Yabunaka, kemarin.
Jepang selama ini menjadi salah satu negara yang memiliki hubungan penting dengan Myanmar. Negeri Matahari Terbit ini menjadi salah satu negara pemberi bantuan kemanusiaan bagi Myanmar yang terkungkung kemiskinan. Tekanan terhadap Myanmar juga muncul dari negara lain. Diplomat Malaysia Razali Ismail mendesak China, India, dan Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) untuk mendorong kebebasan berpendapat di Myanmar.
"Rakyat harus diizinkan untuk melakukan perubahan. Anda tidak bisa begitu saja ditembak karena menuntut perubahan," tegas Ismail.
Malaysia merupakan investor utama dalam pengembangan pertanian padi di Myanmar. Malaysia telah menghentikan seluruh perjalanan menuju Myanmar, tetapi belum mengevakuasi warganya dari negara itu. Aliansi terdekat Myanmar, China, juga telah mendesak stabilitas untuk demokrasi di Burma.
"China berharap, semua pihak mendorong stabilitas damai sesegera mungkin, mempromosikan rekonsiliasi dan demokrasi," ungkap Perdana Menteri (PM) China Wen Jiabao. Tekanan juga muncul dari Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Javier Solana.
"Seluruh negara yang memiliki pengaruh harus menggunakan kekuatannya di Myanmar sekarang," paparnya.
referensi : http://www.okezone.com/
Myanmar Minta Maaf Atas Kematian Wartawan Jepang
Tokyo--RoL-- Myanmar melalui menteri luar negerinya meminta maaf kepada Jepang atas kematian wartawannya yang tewas saat meliput aksi unjukrasa damai menentang pemerintah Myanmar, namun tidak mengakui penembakan yang menewaskan Kenji Nagai (50) dalam peristiwa tersebut. "Menlu Myanmar Nyan Win memang merespon protes Jepang yang disampaikan oleh Menlu Jepang Masahiko Komura, namun tidak mengakui penembakannya," kata pejabat kementerian luar negeri Jepang, seperti dikutip Asahi Shimbun di Tokyo, Senin.
Perwakilan junta militer Myanmar membantah telah menembak Nagai hingga tewas di jalanan kota Yangon, saat kerusuhan massa meletup di ibukota Myanmar itu.
Foto-foto dan tayangan di televisi mengenai kematian Nagai, wartawan foto dan jurnalisvideo dari Asian Press Front (APF News) terlihat dramatis. Nagai tetap saja membidikan kamera video kecilnya ke arah tentara Myanmar yang tengah memburu massa dengan menggunakan senapan.
Sementara tubuhnya sendiri tergeletak bersimbah darah akibat peluru tajam yang menembus bagian dada wartawan kawakan APF News itu.
Kedua menteri luar negeri itu bertemu di New York, usia mengikuti sidang umum PBB yang juga diikuti oleh Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhyono.
Jepang memang gusar atas Myanmar sampai-sampai membuat Jepang mempertimbangkan sanksi terhadap negara itu. Jepang sendiri saat ini tengah mengutus Wakil Menlunya ke Yangoon untuk meminta penjelasan resmi mengenai kematian wartawannya.
Pengiriman pejabat tinggi Jepang itu guna memastikan penjelasan dari Myanmar sebelum sanksi diputuskan oleh Tokyo. Proses pemulangan jenasah Kenji Nagai juga sedang diselesaikan
Aksi demonstrasi massa bermula ketika pemerintah junta militer menaikkan harga BBM hingga 500 persen. Aksi itu kemudian menjadi kerusuhan setelah ribuan biksu muda turun ke jalan ikut bergabung bersama rakyat menentang kebijakan yang dinilai semakin menindas rakyat tersebut. Polisi dan tentara kemudian menggunakan kekerasan dalam membubarkan massa termasuk memberangus para biksu tersebut, dan menutup akses internet.
Kota Yangon sendiri saat ini berhasil dikuasai militer dan polisi Myanmar, namun kecaman dari komunitas internasional terus berdatangan. AS bahkan membekukan kekayaan pejabat militer Myanmar.
Aksi massa juga berlangsung di Tokyo pada akhir pekan lalu. Sekitar 700 pengunjuk rasa melakukan demonstrasi di halaman kedutaan Myanmar di Tokyo.
referensi : http://www.republika.co.id
Sidang Majelis Umum PBB,Myanmar Korban Konspirasi Internasional
Pemerintah Myanmar menuduh sejumlah negara asing dalam beberapa tahun belakangan ini telah bersekongkol untuk membuat kekacauan, campur-tangan, serta berupaya menyerang negerinya melalui bentuk penjajahan baru.
"Akhirnya, dengan dalih bahwa suatu negera tidak demokratis, tidak stabil dan berpotensi untuk mengancam perdamaian dan keamanan internasional, mereka secara langsung campur-tangan dan menyerang suatu negara," kata Menteri Luar Negeri Myanmar U Nyan Win, ketika menyampaikan pidato dalam Sidang ke-62 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Markas Besar PBB, New York, Senin (1/10).
Junta militer Myanmar menyebutkan ada tiga tahap bentuk penjajahan baru yang diterapkan oleh negara-negara asing.
Yang pertama, menurut Nyan Win, ialah mereka menggelar kampanye melalui media massa dan menyebarkan informasi yang salah bahwa terjadi pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia.
"Mereka menggambarkan kampanye tersebut sebagai perjuangan untuk demokrasi," ujarnya.
Kedua, negara-negara tersebut menerapkan sanksi-sanksi yang mengakibatkan tersendatnya pembangunan ekonomi dan membuat rakyat menjadi miskin.
"Saya ingin tekankan, sanksi ekonomi tidak produktif dan justru memperlambat demokrasi," kata Nyan Win.
Tahap ketiga penjajahan baru, katanya, negara-negara yang menjalankan neo-kolonialisme itu mengerahkan dukungan politik dan ekonomi untuk menciptakan kekacauan di negerinya.
"Negara saya saat ini menjadi bagian dari upaya tersebut. Masyarakat internasional juga harus berhati-hati terhadap upaya-upaya penjajahan baru seperti itu," Nyan Win mengingatkan.
Tentang ketegangan yang berlangsung di Myanmar menyusul gelombang demonstrasi yang dilaporkan telah menewaskan 10 orang itu, junta militer menunjuk kepada `para oportunis politik` sebagai pihak yang membuat situasi semakin buruk.
"Situasinya tidak akan memburuk seperti itu kalau saja aksi protes yang dilakukan oleh sebuah kelompok kecil aktivis penentang kenaikan bahan bakar, tidak dieksploitir oleh para oportunis politik," kata Nyan Win.
Para oportunis politik juga disebutnya telah memanfaatkan protes-protes oleh para pendeta Buddha yang menuntut permintaan maaf terhadap perlakuan tidak wajar yang dilakukan oleh pejabat berwenang di suatu tempat.
Menurut Menlu Nyan Win, pasukan pemerintah sebenarnya telah selama satu bulan menahan diri dan tidak mencampuri situasi tersebut.
"Tetapi, ketika kerumunan orang sudah menjadi kacau dan provokatif, mereka terpaksa memberlakukan jam malam. Setelah itu, karena para pengunjuk rasa tidak mengindahkan peringatan tersebut, mereka (pasukan pemerintah --Red) harus mengambil langkah guna memulihkan situasi. Sekarang keadaan di Myanmar sudah normal," dalihnya.
Nyan Win mengatakan bahwa pemerintahannya sadar untuk menjalankan tanggung jawab memimpin negeri tersebut menuju negara yang demokratis.
"Kami telah meletakkan peta jalan demokrasi dan akan bekerja secara sungguh-sungguh untuk mencapainya," ujarnya.
Myanmar, katanya, bertekad untuk terus bekerja sama dengan PBB dalam menjalankan politik luar negerinya.
"Kami telah menyetujui kedatangan utusan khusus Sekretaris Jenderal PBB, Ibrahim Gambari. Dia sekarang sudah di Myanmar," kata Nyan Win.
Gambari bahkan telah bertemu dengan tokoh demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi.
referensi : http://www.gatra.com/
Myanmar Kurangi Jam Malam di Yangon
Penguasa Myanmar mengurangi jam malam atas kota utama Yangon mulai Selasa (2/10) malam. Pengeras suara di truk yang melintasi Yangon mengumumkan jam malam akan berlangsung dari pukul 22.00 hingga 04.00 waktu setempat, dua jam lebih singkat dari pukul 21.00 hingga 05.00 yang diumumkan sepekan lalu.
Pembatasan itu, yang mencakup sebutan Yangon sebagai "daerah terbatas", diumumkan Selasa lalu sesaat sebelum pemerintah melancarkan penumpasan berdarah terhadap pengunjuk rasa. Kelonggaran itu merupakan tanda lain kepercayaan penguasa pada penumpasan unjuk rasa tersebut.
Sejumlah warga dan kendaraan memang mulai terlihat melintasi Kota Yangon, namun suasana tetap tegang dan biara utama masih dikepung. "Kami harus bekerja untuk makan, sehingga kami datang ke pusat kota untuk melaksanakan tugas hari ini," kata seorang petugas parkir, sebagaimana dikutip Antara.
Sejumlah sekolah juga sudah dibuka, bersama dengan beberapa toko dan rumah makan. Tapi perdagangan masih sepi karena warga tetap tegang sesudah penumpasan itu, yang mencakup pencidukan orang biasa oleh pemerintah