so far so good
maaf gw ga pernah kasih komen, karena gw lebih senang lihat bersambung terus
gw suka jalan ceritanya, bisa mempengaruhi emosi pembaca...
GRP meluncur lage
Printable View
so far so good
maaf gw ga pernah kasih komen, karena gw lebih senang lihat bersambung terus
gw suka jalan ceritanya, bisa mempengaruhi emosi pembaca...
GRP meluncur lage
Maklum, masih amatir bgt... @_@
---------------------------------------------------
Rolling Destiny
Pagi hari, kembali di kamarku. Kali ini untungnya aku bisa bangun sendiri. Tidak perlu teriakan super kejam dari mama. Aku bisa melakukan segalanya lagi, termasuk ibadah, yang sejak kemarin kutinggalkan sama sekali.
Kata dokter saat meneleponku malam tadi, aku sudah boleh beraktifitas penuh seperti biasa, karena luka di dalam tubuhku semuanya tidak ada yang parah. Malah, pukulan dan hantaman listrik itu menjadi stimulus bagi hormon hormon yang bekerja kurang maksimal di tubuhku. Juga melancarkan peredaran darah di seluruh tubuhku. Entah bagaimana bisa begitu, dokter sendiri malah heran. Tapi tetap harus minum obat untuk mencegah efek samping.
Tidak heran, setelah bangun tidur ini, rasanya badan seperti habis berlari 100 km di pegunungan yang dingin. Segar sekali.
Setelah shalat subuh dan mandi, seperti biasa yang kulakukan, aku segera turun. Adik adikku yang kecil sudah berada di bawah. Tapi, Karin bahkan belum bangun. Aku segera mengetuk kamarnya, disuruh mama. Dan dia tak lama kemudian bangun.
Rully sudah siap berangkat, jadi sekitar jam 06.15 kami berangkat. Sesampainya di sekolah, aku seperti selebriti tenar. Semua mata melihatku. Bahkan anak anak kelas 1 yang tidak mengenalku sama sekali, memperlihatkan ekspresi seperti aku anak presiden yang baru lolos dari kematian.
Di loteng, setelah memarkir sepeda, aku di datangi anak anak tim basket. Tampak mereka memang menungguku di sini. Aku sudah siap, jika mereka akan menghakimiku, lalu memberhentikan aku dari tim. Tapi yang terjadi justru di luar dugaanku. Wajah mereka semuanya ceria.
”Hebat bro. Hebat... loe emang cerminan anak basket sejati,” kata Ridwan tiba tiba. Anak XI IPS 3 ini langsung menyalamiku erat, hingga tanganku kelu semua.
”Hah? Apa?”
”Alah... jangan pura pura ****’ lu...” kata Sony. Dia menjitak kepalaku.
”Aku nggak ngerti....” kataku jujur. Tiba tiba sang big man, center terbaik kami dan kapten tim, Razak Abdullah datang membelah melewati anak anak basket lainnya. Dia langsung memelukku erat.
”Bara.... terima kasih.... terima kasih Bara...” katanya berulang ulang. Aku yang sesak nafas karena erat pelukannya, langsung berusaha menenangkannya. Setelah beberapa menit, akhirnya dia melepaskan.
”Kalian kok aneh gini sih?” kataku sambil memandang mereka jijik. Beberapa dari mereka malah tertawa. Aku semakin pusing.
”Kamu ga usah merendah gitu dong ra. Berita kemenanganmu terhadap Andra di pengadilan pendidikan sudah terdengar luas.” kata Razak. Jadi, berita itu yang membuat mereka menjadi seperti ini.
”Kamu pahlawan kami Ra. Tidak hanya kami, tapi juga seisi sekolah ini. Andra di sini adalah tirani. Jika dia datang, semua orang pasti menyibak. Bahkan guru guru sekalipun. Tapi berkat kamu bos, kita jadi sekolah yang bebas !! Hidup Bara!! Hidup SMANIC!!” Seru Razak kepada barisan sekitar 13 anak dibelakangnya. Diikuti sorak sorai semua anak anak basket. Tak ada ekspresi lain dariku selain tersenyum melihat tingkah mereka.
”Bentar, Emang Andra dimana sekarang?” tanyaku pura pura ****.
”Loh, kamu ga tahu ya? Oleh pengadilan pendidikan dia diasingkan ke Mars selama minimal 4 tahun. Bersekolah di sana harus sampai lulus kuliah, baru diberi ijin untuk kembali ke bumi. Dia juga diharuskan melakukan berbagai kegiatan sosial dan wajib lapor.”
”OO.... gitu... Ya udah lah... ayo turun. Berita gitu aja dibesar besarin.” kataku sok cool sembari melalui mereka.
”Eh, belum ra. Ada lagi yang aku pribadi mau kasih ke kamu,” Razak menghadangku saat aku berjalan menuju lift.
”Apa lagi?”
”Ini...” Razak menaruh sesuatu di tanganku. Mataku langsung terbelalak melihatnya. Sebuah ban kapten tim basket, diserahkannya padaku. Hal yang sudah sejak lama aku idam idamkan.
Aku memandang Razak. Dia mengangguk dengan sepenuh hati. Aku langsung memeluknya dengan terharu.
”Thanks... thanks banget bro...” kataku.
”Iya. Sekarang kamu yang lebih pantes menjadi kapten tim. Kamu sudah membuktikan kelasmu sebagai orang sportif.” kata Razak saat aku melepaskan pelukanku. ”Ini juga sebagai permintaan maafku soal kemaren.” Razak menepuk pundakku. Anak anak basket lainnya memandangku dengan optimis. Maka, Aku pun harus siap dengan ini.
Setelah prosesi itu, aku dan teman teman segera kembali ke kelas karena bel tanda jam pelajaran dimulai sudah berdering. Setelah berpisah di lorong lorong, aku masuk ke kelas bersama Sony. Di dalam kelas, aku melihat Tatia, seperti biasa, sudah duduk di bangku paling belakang. Aku memandangnya agak lama, entah untuk apa. Dia masih sama dingin. Tapi saat aku hampir memalingkan muka dia melihat ke arahku. Dengan wajah yang sebelumnya sudah menampakkan ekspresi ceria, dia.... tersenyum padaku.
”Loh, ra?” ujar Sony, kaget juga, menyadarkanku dari takjub dan terkejut.
“Halah… biarkan saja.” Kataku sok acuh. Sebenarnya aku sendiri juga deg deg ser… apalagi dia berubah seperti ini. Tapi aku tidak ingin Sony mengetahuinya.
Jam demi jam, kelas demi kelas kulalui dengan sedikit lebih rileks. Salah satu faktornya tentu saja perubahan pada diri Tatia. Tapi masih ada hal yang kupikirkan.
Jam istirahat yang sudah ku tunggu tunggu akhirnya tiba. Aku dan Sony, yang sudah janjian dengan anak anak basket, segera naik ke atas. Di perjalanan, aku melihat wanita yang kupikirkan sejak tadi. Marissa, yang sedang membawa beberapa buku, dan terus berjalan tertunduk.
”Pagi, Marissa...” sapaku. Aku mencoba membantunya, agar dia tidak menjaga jarak dariku, dengan menyapanya seolah tidak pernah terjadi apa apa.
”Pagi...” dia memang membalas, tapi tanpa melihatku sama sekali. Kepalanya terus tertunduk ke bawah. Buku paket besar yang ada di dadanya semakin erat dia peluk Ternyata dia kembali extrovert padaku.
”Kenapa dia?” tanya Sony.
”Entahlah... ” kataku. Tentu saja akan jadi masalah besar jika aku memberi tahu alasan sebenarnya tentang perilaku aneh Marissa padaku. Tapi di belakang, dia dihadang beberapa cewek kelas 1 yang tampaknya bersimpati dengannya. Mereka bertanya tanya sesuatu tentang bagaimana keadaan Marissa sekarang atau apa yang dilakukan Andra padanya.
Di loteng kami seperti biasa berkumpul di bawah pohon keres. Kami sepakat, bahwa latihan akan dimulai nanti siang. Sekitar pukul 2. Karena tim basket cewek juga akan berlatih. Kami akan berlatih bersama tim basket cewek. Sehingga materi latihan pertama tidak akan membosankan. Kenapa? Karena tim basket cewek, teruttama tahun ini, sudah seperti catwalk.
Bahkan ekskul cheerleader yang biasanya dipenuhi ”bintang sekolah” kalah menarik dan cantik cantik daripada tim basket cewek. Jika biasanya cheerleader menjadi tontonan yang ditunggu tunggu, sekarang di sekolahku sudah tidak perlu. Karena tim basketnya sendiri sudah terlalu menarik. Jauh mengalahkan cheerleader.
”Bang Yus emang tau banget kemauan anak buahnya...” kata Razak, sang Center raksasa, bersemangat. Bang Yus, atau biasanya kupanggil Mas Yus, adalah pelatih kami. Dia mantan pemain liga mahasiswa dan IBL, juga timnas U-20, jadi bisa dibilang cukup berpengalaman.
Yang dimaksud razak adalah game mini yang Peraturannya; kami, tim basket cowok dan cewek, akan berlatih sendiri sendiri terlebih dahulu, kemudian pelatih masing masing menentukan line up winning 5, kemudian di mixing. Nanti akan diadakan pertandingan 2 kuarter, dengan 2 tim yang bertanding adalah tim campuran. 1 terdiri 2 cewek dan 3 cowok, lainnya 2 cowok dan 3 cewek.
Sejak aku masuk tim basket, baru 2 kali ada latihan seperti ini. Ini yang ke 3. Dan menurut pengalaman, pertandingan seperti ini tidak ada yang serius. Kami semua bercanda, bahkan sering pertandingan berakhir hanya dengan skor 20-10, atau 25-15.
Agar semuanya bermain, biasanya setelah pertandingan antar starting line-up, setelahnya ada lagi pertandingan antar substitute. Jadi semuanya merasa senang, dan latihan pun semakin semangat.
"Iyo zak. Nomer siji (satu), kudu godain Virnie!!” kata Doni, point-guard tandemku, sambil mengepalkan tangannya. Dia tampak ”bernafsu” sekali. Wajar, walaupun di kelas kami sedikit menjadi musuh, haru di akui, Virnie selain kapten tim, cantik, paling menjulang dan yang paling ”cling” kulitnya, mungkin gara gara keturunan dari ayahnya yang Jerman, juga center yang lekuk tubuhnya menarik.
Tidak heran banyak yang gemas terhadapnya. Bahkan, sering di suatu pertandingan saat dia melakukan shooting, suporter laki laki, dari tim manapun, banyak yang melongo, bersorak kagum... ”Woooo” bahkan sering juga bersiul siul tidak sopan. Aku sendiri sudah kebal, karena setiap hari bertemu dan tahu tingkah lakunya. Tapi tidak dengan teman teman dari kelas lain.
”Wo wo wo… , tunggu dulu Don. Pasti gue yang bakal dapet atensi Virnie.” kata Dwipa sombong. Anak ini memang pesaing Doni, karena selain posisi dan skil, tinggi badan, bahkan tipikal permainan juga hampir sama.
”Bah... anak bali bisa apa di jawa? Inget pertandingan kemaren?! Shoot 13 kali ga ada yang masuk tuh bukti loe uda hilang dari peredaran man.” Kata Doni sambil menepuk bahu Dwipa. Wajah Doni benar benar mengejek, meremehkan, dan semua hal jelek terpancar dari wajahnya. Bila aku yang dibegituin, pulang pasti sudah rata mukanya.
”Jah... jawa kok hitam. Kamu tuh papua!!” balas Dwipa. Guyon di sini memang sangat rasis, tapi kami tidak ada masalah. Doni hampir membalas tapi dipotong oleh Ridwan.
”Eh, katanya ada barang baru yah di tim basket cewek? Cantik lagi.” Ridwan, small forward SMANIC, berkomentar. Barang baru?
”Masak?” tanya Raka ingin tahu. Playboy yang satu ini pasti semangat jika ada sesuatu yang ”baru”.
”Dasar Playboy Kampong!!” aku jitak kepala anak kelas XI IPA 1 dan Playmaker terbaik sekolah kami dan Surabaya ini keras keras. Dia meringis menahan sakit. Aku puas. Aku tidak peduli dia bintang tim PON Jatim. Apalagi kami di sini semuanya sudah seperti saudara. Jadi tidak ada yang peduli dengan label yang melekat pada diri kami secara individu. Ya, ini salah satu keluarga yang kupunya, paling ku rindukan dalam ingatanku yang sedikit.
”Iya, bos. Katanya dia lebih cantik dari Virnie n mainnya lebih enak.” tukas Ridwan meyakinkan.
”Bah... ga percaya. Virnie tuh model tingkat nasional, basket sering juara di mana mana. Dia juga ikut CLS Junior. Mana mungkin ada yang ngalahin dia di skul ini dalam kedua hal itu. Kalo ada jelas uda bersinar lah... Raka ga bakal tinggal diam... ” potong Razak. Raka manyun sok alim. Aku setuju dengannya, karena bagaimanapun, di sekolah ini tidak ada wanita pebasket lain yang lebih cantik dari Virnie.
”Tapi beneran ini zak. ” Ridwan masih ngeyel. Razak hanya menggeleng gelengkan kepala diikuti beberapa teman lain bersamaan.
”Uda uda... daripada kita ngegosip kayak cewek gini, mending ntar kita semua dateng tepat waktu. Jadi bisa observasi lagi. Sapa bener sapa salah... key?” kataku melerai. Mereka semua setuju. Kemudian, tepat saat bel tanda istirahat selesai berbunyi, kami kembali ke kelas masing masing.
Hari yang melelahkan, dimulai dengan Fisika 2 jam, Matematika 1 jam, Bahasa Inggris 2 jam, serta Kimia 3 jam, akhirnya selesai. Walaupun dengan seabrek PR, Aku pulang dengan perasaan riang. Basket akan dimulai lagi, hasrat hidupku pun naik lagi. Aku jadi bisa melupakan tentang Farah, tentang Marissa, tentang Dr.O dan lainnya walau sementara. Aku pikir sudah saatnya aku lepas sejenak dari ini semua. Kembali menjadi manusia biasa. Karena otakku tidak cukup kuat untuk menerima itu semua bersamaan.
Sesampainya di rumah, ada sesuatu yang aneh Seorang laki laki tinggi tegap, berusia sekitar 45 – 50 tahunan, sedang berdiri di depan pintu gerbang rumahku. Dia memakai hem warna biru langit yang tidak dimasukkan, celana jins biru belel, dan kacamata hitam. Tampaknya sedang menunggu seseorang.
Tiba tiba saat aku mendekita, Dia memandang ke arah ku.
Belum selesai aku bertanya sendiri dalam hati, ingatan Ryan langsung menyibak di kepalaku.
”Akhirnya kamu datang anakku”
”Aa... Anda... ”
”Benar, aku ayah Ryan. Ayahmu, Bara” katanya sambil merentangkan tangan. Ternyata dia mengetahui identitas asliku.
LOOK INTO THE EDGE
”Anda tidak kehilangan ingatan?” aku memutuskan untuk memanggilnya Anda. Sebagai tanda hormatku. Aku tidak ingin sembarangan memanggilnya ayah, sementara dia tidak mengakuiku sebagai anak. Lebih baik aku memanggilnya Anda, agar kami bisa lebih ”berkomunikasi”.
”Aku ini pejabat tinggi di Federasi Ruang Angkasa (Space Federation (SF)). Tergabung dalam Earth Super Ambassador (ESA, duta besar bumi untuk SF) perwakilan Indonesia. Aku juga adalah hakim yang disebut sebagai ”MY Lord” di SF. Tidak ada penjahat yang lolos dariku. Jadi aku mengetahui apa saja di dalam negaraku, bahkan bumi. Termasuk tentang anak muda jenius yang tertidur di dalam mesin hebat.” katanya.
”Suatu saat kami melihat lihat markas Deppeten. Dan aku yang sejak awal sudah tertarik kepadamu, mengajak ibumu, Aline, berjalan jalan ke ruang penyimpanan ”tubuh”mu. Dia ternyata juga tertarik, mungkin lebih tepatnya iba, padamu, dan berniat untuk mengangkatmu menjadi anak saat kau keluar dari mesin itu kelak.
”Dari Mars, kami kehilangan Ryan. Karena musuhku dalam percaturan politik dan hukum angkasa berhasil mengetahui identitasku, dan membunuhnya. Memang dia bisa kukejar dan kujebloskan dalam penjara, tapi itu tidak merubah apapun pada keluarga kecil kami. Aline sedih sekali. Terlebih aku, karena Ryan adalah anak pertama laki laki, harapanku kelak di masa depan. Anak yang kudidik sendiri sejak kecil, sampai di usianya yang 17 tahun.
”Tiba tiba aku mendapat telepon dari Deppeten. Mereka kebingungan karena kau yang baru bangun, menyerang segalanya, menghancurkan apa saja. Sementara mereka tidak diperbolehkan melakukan tindakan represif padamu. Mereka merencanakan untuk mengapus ingatanmu dan menjadikanmu salah satu bagian Deppeten.
”Tiba tiba Aline mengambil telepon itu, dan dia tidak memperbolehkan Deppeten melakukan tindakan itu. Dia menawarkan solusi ini...”
”Solusi ini?”
”Menghapus ingatan seluruh keluarga dan termasuk ingatannya sendiri, untuk memberikanmu keluarga baru.” aku baru tahu, jika ternyata ini adalah rencana mama sendiri.
”Jelas aku tidak setuju. Aku tidak mungkin menggantikan anak yang kurawat sendiri sejak pertama dia menghembuskan nafas di dunia, dengan seorang prajurit sebatang kara dari masa lalu.”
”Tapi Aline memberikan alasan yang tak bisa kutolak.” bahkan di saat mulai menceritakan kisah yang sedih, tidak ada ekspresi yang berlebihan tampak di wajahnya. Masih tetap tegas, tanpa kompromi. Sosok yang mengerikan.
”Aline berkata, bahwa dia ingin hidup sebagai manusia biasa. Dia ingin ketenangan dalam hidupnya. Dia sangat menyayangi Ryan, karena itu dengan cintanya, dia ingin kau pun merasakannya. Jika kau diangkat anak tanpa pembalikan ingatan, kau tidak akan merasakan kasih sayang yang sama dengan yang diterima Ryan.”
”Kau paham? Dia ingin membantumu. Aline mengorbankan perasaannya, kenangan tentang buah hati yang dicintainya. Hanya karena dia ingin menjadikanmu orang yang berguna seperti kau di masa lalu. Dan dia yakin Ryan akan tenang di alam sana, karena posisinya digantikan oleh orang yang memiliki potensi yang setidaknya lebih baik.” kisah menyedihkan ini membuatku seketika tertunduk lesu. Begitu banyak yang dikorbankan oleh orang orang demi diriku. Semakin bisa kurasakan, di pundak ini ada beban yang tak ringan, malah terus bertambah.
”Dia tidak ingin bercerai denganku, karena itu dia terus menjadi istriku, walaupun ingatannya tidak akan sama lagi. Tapi tetap saja aku tidak ingin Ryan digantikan.
”Jadi karena itu aku pergi ke angkasa raya. Menjelajah berbagai dunia. Tidak lupa di sela tugas tugasku, setiap hari aku memonitor mu dengan berbagai peralatan ku. Dan setiap hari pula kau selalu membuatku terkesan. Kau terus menerus memberikan kebahagiaan pada Aline. Seakan kau sudah menyadari siapa kau sebenarnya. Kau juga membuatnya, membuatku, bangga memiliki ”anak” sepertimu.
”Tapi aku yakin suatu saat kau akan membuat kesalahan yang membuat istriku marah sekali padamu. Dan di saat itulah aku akan mengembalikan ingatannya. Tapi itu tidak kunjung kau lakukan selama 1,5 tahun ini. Sampai akhirnya aku menyerah, atas egoku sendiri. Ego yang tak ingin menambah rasa cinta di hatiku...”
”Aku berdoa pada Tuhan. Ya tuhan, jika anak ini benar benar adalah anakku tunjukkan padaku tandanya. Dan kau melakukannya seminggu setelah aku berdoa.
”Melakukan?? Melakukan apa??”
”Membela kebenaran dengan mempertaruhkan segalanya.” aku terdiam bingung.
Dia terus menatapku, sampai akhirnya aku sadar.
”Jadi, pertarunganku itu?”
”Pertarunganmu dengan Andra tentu saja bisa kulihat dengan jelas karena aku memiliki teropong angkasa pribadi yang setiap saat memantau apapun yang kau lakukan. Sekarang teropong itu sudah kuhancurkan, karena aku sudah tidak memerlukannya.”
”Apa hubungannya membela kebenaran dengan... tandaku sebagai anak Anda?”
”Setiap anakku selalu kudidik untuk membela kebenaran dan jujur lebih dari apapun. Jujur sudah setiap hari kau lakukan, tapi membela kebenaran belum. Dan akhirnya tuhan menunjukkan padaku, bahwa kau benar benar ”anak”ku. Karena tanpa sedikitpun ajaran dariku kau sudah mampu menyerap inti dari setiap didikanku. Sekedar ingatan masa lalu tidak bisa membuat keyakinan seperti ini tumbuh. Bahkan tidak semua tentara akan berjiwa dan bertindak patriotik tanpa komando dari atasan.”
”Inti?”
”Meskipun identitasku selalu dilindungi secara ketat, aku bahkan tidak takut untuk kehilangan istri dan anak demi membela kebenaran. Apabila benar benar kedokku terbuka. Aku adalah hakim yang disebut sebagai ”MY Lord” di SF.Tidak ada penjahat yang lolos dariku. Dan kau sudah menerapkannya pada dirimu, anakku.”
”Tapi, di tempat seperti ini... anda bisa.... ”
”Tenang saja. Dari Radius 10 km dari titik tempatku berdiri, ada pagar elektromagnet tak nampak yang membuat identitasku terlindungi.”
”Kulanjutkan. Kau tidak takut kehilangan Marissa.” nama itu lagi, pikirku. ”Aku sebenarnya sungguh tau, kau menyayanginya. Entah sebagai apa, yang jelas kau sangat sayang padanya. Benar?” aku terdiam. Aku sendiri merasa abstrak apa sebenarnya yang sedang dan telah kurasakan padanya. Bukan sekedar cinta kakak terhadap adik, tapi bukan juga cinta ****** seperti yang didapatkan lazimnya anak SMA. Karena dia selalu menjadi inspirasiku dalam melakukan banyak hal.
”Sebagai hadiah atas kerja kerasmu nak, aku akan kembalikan Evergreen pada bangunannya”
”Maksud anda?”
”Jangan memanggilku Anda terus, seperti orang lain saja.” tolaknya sembari menertawaiku.
”Ah, iya... maaf.... maksud... ayah?”
”Aku akan menjadi partner bisnis dari Alfa Rahorte. Memang secara bisnis untungnya kecil untukku, tapi kekayaanku saat ini pun sudah lebih dari cukup untuk kita saat ini dan kelak. Apalagi Aline juga sudah bekerja. Aku semakin tenang.” jelasnya, nampak bangga.
”Be... benarkah...?” aku yakin saat ini ada binar binar kejujuran di mataku. Gembira yang datang langsung dari dalam hati.
”Ya... Pasti.....”
”Alhamdulillah.....” aku segera sujud syukur saat ini juga. Aku merasa teramat sangat bahagia dengan kejutan ini.
”Jadi, kau mau memberikan pelukan pada ayahmu kan?” dia merentangkan tangannya diiringi senyum seorang ayah yang bangga. Aku segera menyongsongnya, ayahku. Ayah yang baru, entah yang ke berapa. Yang jelas, saat ini aku bahagia untuk kami, juga untuk Marissa.
”Terima kasih.... terima kasih ayah....” kataku terharu.
”Ya... ya.... ya...” katanya sambil menepuk nepuk punggungku. Aku memeluknya semakin erat. Entah kenapa, sungguh aku begitu bahagia saat ini.
”Apakah suatu saat ayah akan memberikan kembali ingatan mama dan adik adik?” tanyaku sambil melepaskan pelukanku.
”Rencanaku adalah setelah Farah tertangkap. Tapi untuk Rully dan Sandy harus lebih jauh, mungkin kecuali Karin.” agak sedikit sakit hati ini. Bagaimanapun juga aku masih memegang keyakinan Farah tidak bertujuan melukaiku. Tapi biarlah, tidak ada yang percaya pada seorang anak SMA ingusan yang dikejar kejar masa lalunya sampai dia bisa membuktikan.
”O iya, ada lagi. Sepertinya mamamu suka dengan agen muda itu.” deg deg... hancur sudah. Ternyata ayah juga mengetahui ini. Keringat dingin langsung mengalir dari kepalaku. ”Kamu gimana?”
”Em... aku...” Segera terjadi pergolakan dalam jiwaku. Aku bahagia Evergreen kembali, sehingga Marissa tidak perlu khawatir lagi, tidak perlu bersama Andra lagi. Di sisi lain, aku juga mulai menaruh rasa, lagi, terhadap Tatia. Karena aku yakin, Tatia masih bisa ”disembuhkan”. Jadi, saat ini Aku benar benar tak bisa memutuskan mana yang harus kupilih. Mungkin tak akan pernah bisa. Tapi segera kupikir Marissa sedikit lebih baik, karena saat ini dia lebih bisa tersenyum.
”Kalo aku sih terserah kamu dan mamamu aja. Tapi sebagai anak laki laki dan pertama, yang berbakti, aku ingin kamu berikan sesuatu yang berharga untuknya.” kata ayah sambil berlalu.
”Loh, ayah mau kemana?”
”Aku mau kembali ke SF. Aku ke sini hanya ingin menjengukmu saja. Dan menjelaskan ini. Jadi semoga beruntung, nak,” katanya sambil masuk ke mobil.
”Assalamualaikum...”
”Waalaikum salam..” dan yang tertinggal hanyalah deru mobil mewahnya saja.